Pembangunan Daerah Dilihat dari Potensi Energi (Bagian 1)

Hampir setiap makalah, bahkan disertasi yang disajikan di luar negeri selalu didahului dengan cerita atau uraian mengenai keadaan letak, penduduk dan ribuan pulau Indonesia. Jepang sebagai negara yang juga terdiri dari kepulauan, juga masih kalah dengan kepulauan Indonesia yang begitu banyaknya.

Memang tidak begitu mudah agar seluruh daerah Indonesia bisa berkembang secara serentak. Bukan saja menyangkut penyebaran penduduk yang tak seimbang. Tidak karena sulit mencari tenaga ahli di daerah. Bukan juga karena rencana pembangunan yang seolah-olah hanya mementingkan nasional atau makro. Tetapi yang terpenting, seperti belum adanya inventarisasi sumber kekayaan alam secara terpadu yang bisa saling menunjang. Dengan demikian diharapkan perdagangan dalam negeri bisa berjalan lancar, terutama antar daerah.

Memang tidak semudah pembangunan di negara yang seluruh wilayahnya merupakan daratan, seperti halnya Amerika Serikat atau katakan saja Korea Selatan. Kalau saja harga minyak mahal, terutama untuk pengangkutan, tenaga listrik bagi industri, bagi negara yang seluruh daratan mudah sekali melakukan pemanfaatan energi lain di luar minyak bumi. Kalau negara itu mempunyai sumber panas bumi, maka dari panas bumi yang dapat menghasilkan listrik minimal bisa menggantikan bahan bakar minyak untuk listrik. Listrik bisa disebarluaskan. Bahkan listrik bisa diekspor, seperti halnya Kanada yang bisa mengekspor listrik ke negara tetangganya.

Bagi Indonesia mungkin lain lagi. Letak sumber-sumber energi primer, seperti minyak dan gas bumi (migas), batubara, tenaga air, panas bumi dan lain-lain, pada umumnya berada jauh di daerah-daerah terpencil. Yaitu terdapat di daerah-daerah yang penduduknya sedikit, jauh dari konsumen, terutama konsumen dari sektor produksi. Oleh karena itu, untuk pembangunan jangka panjang baik dilihat dari pembangunan secara nasional maupun daerah, masalah pertumbuhan industri di berbagai daerah yang kaya akan bahan baku dan bahan bakar atau energi perlu mendapatkan perhatian.

Ketimpangan Perdapatan Per Kapita

Bahkan, rencana ini bisa dipadukan dengan pengembangan penyebaran penduduk agar tidak lagi dipusatkan kepada kota-kota besar yang bukan saja sebagai kota industri, tetapi juga sebagai kota-kota perdagangan barang dan jasa. Jika pertumbuhan ini berlangsung secara jangka panjang, maka memungkinkan pertumbuhan kemakmuran hanya terpusat di kota-kota besar. Akibatnya, penyebaran penduduk akan semakin timpang. Bahkan memungkinkan munculnya ada penduduk suatu daerah yang berpendapatan per kapita sangat kecil, walau secara nyata hasil dari daerah itu terbesar.

Masalahnya, hasil dari daerah itu merupakan pendapatan nasional. Misalnya untuk daerah-daerah migas, secara domestic regional bruto, termasuk migas, merupakan terbesar diantara berbagai daerah atau propinsi. Jika tanpa migas, karena merupakan pendapatan pusat, maka produk domestik regional bruto itu dapat kecil. Sebagai contoh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) propinsi Riau pada 1979 atas dasar harga yang berlaku mempunyai PDRB Rp3.105.409,76 juta. Jumlah ini termasuk dari hasil minyak bumi yang berjumlah Rp2.704.688,82 juta, yang berarti PDRB Riau tanpa minyak bumi hanya Rp400.720,94 juta (BPS, Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia 1971-1979).

Kalau angka PDRB Riau itu dibandingkan dengan DKI Jakarta pada tahun yang sama, dimana PDRBnya berjumlah Rp2.884.609,80 juta. Jika dilihat lebih realistis lagi, yaitu pendapatan per kapita. Maka pendapatan per kapita penduduk Riau pada 1979 atas dasar harga berlaku mencapai jumlah Rp1.507.831,-. Ini kalau dihitung pendapatan per kapita termasuk minyak bumi, tetapi kalau tanpa minyak bumi, pendapatan per kapita Riau hanya Rp194.570,-.

Bisa pula dibandingkan dengan pendapatan per kapita DKI Jakarta pada tahun yang sama sebesar Rp462.307,-. Atau ditambah lagi contoh pendapatan per kapita penduduk Kalimantan Timur pada tahun yang sama, termasuk minyak bumi mencapai Rp1.876.579,- sedangkan kalau tanpa minyak bumi hanya Rp813.416,-.

Dari gambaran perbandingan besar kecilnya pendapatan per kapita pada tahun tersebut jelas sekali penduduk Kalimatan Timur sangat bahagia, baik dilihat dari pendapatan per kapita tanpa minyak, apalagi dengan minyak.

Dari contoh tersebut di atas, mungkin lebih menarik lagi jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita yang terkecil atau terendah di 1979, yaitu Nusa Tenggara Barat yang hanya Rp91.951,-.

Atas dasar data itu, ada yang perlu mendapatkan sorotan. Walau pendapatan per kapita sangat besar, nyatanya tidak sebesar itu. Masalahnya minyak bumi merupakan pendapatan pusat. Dengan kata lain, angka itu bagi daerah merupakan semu. Mengapa hasil migas merupakan pendapatan pusat, mungkin Anda bisa baca dalam bunyi pasal 33 UUD 1945, atau lebih jelasnya seperti yang tertera dalam UU No. 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) yang dalam pertimbangannya disebutkan sebagai berikut, bahwa minyak dan gas bumi adalah bahan galian strategis, baik untuk perekonomian negara maupun untuk kepentingan pertahanan dan keamanan Nasional.

Dalam pasal 11 ayat 1 tertulis aturan sebagai berikut, kepada Perusahaan disediakan seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia, sepanjang mengenai pertambangan minyak dan gas bumi. Selanjutnya dalam pasal 12 ayat 1 diatur ketentuan yang berbunyi, Perusahaan dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract).

Jadi jelaslah, walaupun suatu daerah kaya akan pendapatan dari migas, kesemuanya itu merupakan pendapatan negara dalam arti Pemerintah Pusat.

Siapkan Sumber Pendapatan Lain

Walaupun demikian, dalam usaha pelaksanaan pembangunan daerah untuk jangka panjang, perlu diingat bahwa daerah-daerah yang kaya akan migas pada akhirnya akan kering dari sumber-sumber tersebut. tentu akan berbeda dengan hasil sumber kekayaan alam seperti pertanian yang dapat diperbaharui. Oleh karena itu, adalah bijak untuk jangka panjang jika di daerah-daerah migas atau energi lai yang tidak dapat diperbaharui lagi, harus direncanakan atau disiapkan sumber pendapatan lain setelah sumber energi itu habis.

Memang telah menjadi kenyataan bahwa sumbangan dari migas, baik untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar dalam negeri, untuk bahan baku industri di pabrik-pabrik petrokimia, maupun sebagai sumber devisa maupun sumber penerimaan negara, sangat besar sekali. Misalnya, penerimaan dalam negeri periode 1983-1984 sebesar Rp14.432,7 miliar, diantaranya berasal dari hasil migas sebesar Rp9.520,2 miliar, atau sumbangan dari migas terhadap jumlah penerimaan dalam negeri pada periode tersebut adalah 66 persen.

Kalau saja, penerimaan dalam negeri tanpa migas, berarti hanya Rp4.912,5 miliar. Misalnya, anggaran pendapatan belanja negara tidak dinamis dan tidak berimbang, maka dengan jumlah pengeluaran rutin pada periode 1983-1984 sebesar Rp8.411,8 miliar, berarti tidak ada tabungan pemerintah, malah minus. Kalau berimbang dan dinamis dan tabungan pemerintah misalnya nol, berarti pengeluaran rutin harus ditekan menjadi Rp4.912,5 miliar. Tetapi, dengan adanya penerimaan dalam negeri dari hasil migas, maka pada 1983-1984 tabungan pemerintah mencapai Rp5.422 miliar (nota keuangan 1985-1986). Seperti diketahui, bahwa besar kecilnya tabungan pemerintah sangat menentukan bagi kelancaran serta pengembangan pembangunan, termasuk pula biaya pembangunan untuk seluruh Indonesia, baik lewat jalur sektoral maupun Bantuan Pembangunan Daerah.

Bachrawi Sanusi, Perspektif Daerah dalam Pembangunan Nasional, 1987.