Minyak Bumi Sebagai Alat Diplomasi (Bagian 2)

Kata diplomasi berasal dari perkataan Latin dan Yunani. Diploma berarti piagam, ijazah, surat pujian. DIplomasi merupakan suatu keahlian atau kepandaian untuk menjalankan perundingan-perundingan negara. Juga dapat dikatakan bahwa diplomasi merupakan kebutuhan resmi antara negara. Dahulu, diplomasi dijalankan oleh raja-raja (kepala-kepala negara) sendiri yang merupakan kepentingan-kepentingan raja-raja saja dan bukan kepentingan negara (apa iya sudah berubah menjadi kepentingan bersama?, Red). Sekarang diplomasi dijalankan oleh dinas diplomatik yang merupakan bagian dari dinas luar negeri (asyik dong jalan-jalan, begitu bukan tujuannya?, Red)

Misi-misi diplomasi sebenarnya telah dilaksanakan pada 1500 SM, pada waktu Raja Babylonia mengirimkan utusannya ke Mesir. Selanjutnya pada 950 SM Ratu Sheba mengunjungi Raja Solomon dari Israel. Yang dapat diartikan, bahwa diplomasi merupakan hubungan-hubungan resmi antar negara untuk berbagai kepentingan yang perlu dirundingkan atau penempatan suatu perwakilan tetap dan sebagainya.

Sedangkan tujuan dari diplomasi itu sendiri, yaitu untuk mengusahakan supaya pihak lawan sebanyak mungkin mengalah kepada tuntutan-tuntutan kita atau supaya pihak lawan itu merasa puas dengan konsesi yang sedikit-dikitnya kita berikan, sehingga dengan demikian ultima ratio (perang) dapat dicegah (tapi kalau untuk penguasaan kekayaan alam sepertinya dibutuhkan perang tuh, Red).

Pada mulanya terdapat diplomasi rahasia atau tertutup yang kemudian sekarang menjadi terbuka. Ada 3 hal yang memungkinkan pengawasan terhadap diplomasi. Pertama, pasal 102 Piagam PBB, yang mewajibkan negara-negara anggota PBB untuk mendaftarkan semua traktat-traktat atau persetujuan-persetujuan yang diadakan oleh mereka kepada Sekretariat PBB. Kedua, kesempatan bagi menteri-menteri Luar Negeri dari berbagai negara untuk saling bertemu sekali setahun, yakni pada pembukaan sidang Assemble PBB (yakin untuk sidang? ntar malah arisan, Red). Ketiga, demokrasi yang menghendaki bahwa setiap traktat atau persetujuan yang dicapai antara negara-negara baru, dapat berlaku setelah disetujui oleh parlemen masing-masing (tetap aja, diplomasi yang rahasia belum tentu disampaikan secara terbuka, so pasti ada hidden agenda, Red).

Perkembangan kontak diplomatik yang pada mulanya sesuatu negara hanya mengutus suatu misi diplomatik ke negara lain yang ditugaskan untuk mengadakan persetujuan dengan negara asing atau hanya untuk mewakili dalam upacara pernikahan Raja. Tetapi pada akhir abad 16 muncullah kebiasaan untuk menempatkan perwakilan-perwakilan diplomatik yang tetap di luar negeri. Dengan demikian dapat diartikan bahwa diplomasi merupakan alat untuk berkomunikasi dengan negara lain mengenai berbagai atau suatu kepentingan.

Perjuangan OPEC

Begitu juga kelompok negara-negara pendiri OPEC selalu mengadakan pertemuan-pertemuan dengan beberapa negara penghasil minyak, baik resmi maupun tidak resmi, dimana mereka berusaha memperjuangkan nasib mereka. Mereka dalam hal ini pada calon-calon pendiri OPEC terus menerus berjuang agar mereka memperoleh hasil yang layak dari minyaknya. Bukan saja mereka kecewa dengan tindakan sepihak kelompok perusahaan minyak raksasa yang bekerjasama dengan negara-negara induknya untuk menurunkan harga minyak, tetapi juga menyangkut masalah hasil pajak negara penghasil minyak yang semakin merosot.

Walaupun pada akhirnya OPEC dapat dibentuk, tapi hasilnya masih begitu lama, masih perlu perjuangan yang kuat. Apalagi, jika diingat bahwa kelompok OPEC masing-masing mempunyai kepentingan nasionalnya, masing-masing sesuai dengan selera kebijaksanaan politik dan ekonominya. Walau pada pembentukan OPEC masalah perbedaan politik dan ekonominya masing-masing. Walau pada pembentukan OPEC masalah perbedaan politik dalam negeri masing-masing tidak menjadi masalah, asalkan tuntutan untuk memperoleh hasil minyak yang wajar secara terwujud. Ini berarti, bahwa masalah politik di dalam OPEC yang dapat diwarnai dari perbedaan politik masing-masing anggota benar-benar dikesampingkan.

Hal ini terbukti dengan adanya peperangan antara Iran dan Iraq, bahkan adanya kelompok Saudi Arabia yang malah memihak Iraq, ini membuktikan bahwa minyak OPEC adalah urusan minyak. Seolah-olah hanya urusan pengusahaan atau usaha dagang minyak saja tanpa memperhatikan kepentingan politik serta keamanan sesama anggota OPEC. Apalagi, jika diingat struktur politik di negara-negara OPEC berlainan, terlihat dari bentuk pemerintahan ada yang Raja, ada yang Presiden dan sebagainya.

Walaupun perjuangan OPEC hingga kini masih terbatas pada masalah dagang minyak, tetapi dalam kepentingan OPEC memperoleh dukungan perjuangan dari kelompok negara berkembang lainnya yang non OPEC, kini OPEC mulai melangkah maju. Bukan saja bersedia memberikan bantuan berupa dana, bantuan pengadaan minyak bagi negara berkembang non OPEC, juga berusaha selalu mengaitkan dengan sektor-sektor lainnya yang merupakan masalah-masalah pokok terciptanya Tata Ekonomi Dunia Baru. Hal ini mengingat OPEC juga sangat prihatin dan perlu dukungan dari kelompok negara berkembang non minyak, terutama dalam menghadapi masalah inflasi dunia yang mengancam nilai penerimaan minyak, masalah dana-dana yang tersimpan di negara-negara industri, serta masalah-masalah lembaga-lembaga keuangan dunia yang banyak kaitannya dengan dana OPEC dari kelompok kaya.

Dalam pemikiran ini dicoba untuk diteliti dan dari kenyataan bahwa sebenarnya secara nyata dan jelas bahwa minyak bumi sebagai alat diplomasi sudah dilaksanakan sejak lama. Bahkan dalam usaha menciptakan Tata Ekonomi Dunia Baru diharapkan peranan OPEC yang menguasai minyak bumi dunia dapat memanfaatkan kekuatannya yang berupa minyak bumi sebagai alat diplomasi yang ampuh. Hal ini terbukti dimana kelompok OPEC tidak mau berdialog dengan kelompok negara maju atau industri hanya berpangkal pada masalh pengadaan dan harga minyak dunia saja. OPEC menghendaki pembicaraan lebih menyeluruh dan akan mencakup beberapa sektor utama yang menjadi masalah pokok bagi terciptanya Tata Ekonomi Dunia Baru.

Bicara masalah energi terutama minyak bumi dunia, ekonomi dan keuangan dunia, lembaga-lembaga moneter dunia, masalah dana serta pembangunan dan lain-lain. Dengan demikian dapat diharapkan energi terutama minyak bumi merupakan tulang punggung keberhasilan Tata Ekonomi Dunia Baru, sekaligus energi sebagai alat diplomasi yang cukup kuat.

Sebagai Alat Diplomasi

Diplomasi merupakan suatu keahlian atau kepandaian untuk menjalankan perundingan-perundingan negara. Juga dapat dikatakan bahwa diplomasi merupakan resmi antara negara-negara. Jika dilihat dari definisi tersebut, sudah dapat diartikan bahwa dalam masalah minyak bumi sebagai energi dimana kontak-kontak diplomasi telah berjalan dan berkembang dengan baik. Bukan saja kontak-kontak diplomasi antar negara industri yang berkepentingan dengan energi, juga kontak-kontak antara negara penghasil minyak OPEC dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya yang hampir sama secara bersama-sama. Bahkan dengan minyak bumi itu pula maka telah ada kontak-kontak diplomasi antara negara produsen dan negara konsumen minyak dalam hal ini negara-negara industri.

Setelah terjadi perang Oktober 1973, bukan lagi adanya kontak antara negara penghasil minyak dan perusahaan minyak raksasa, tetapi bahkan negara induk dari perusahaan minyak raksasa selalu ikut ambil bagian. Misalnya, adanya usaha pemerintah Amerika Serikat yang sering melakukan kontak-kontak diplomasi dengan beberapa negara OPEC, terutama yang pro dengan AS.

Diperkirakan hingga 2000 peranan minyak begitu kuat, tetapi kenyataannya mungkin lebih dari itu peranan minyak masih sangat menentukan. Apalagi bagi negara berkembang sungguh berat, masalahnya menghilangkan perkiraan impor minyak, akan beralih pada perkiraan impor minyak, akan beralih pada perkiraan impor energi non minyak, dan yang terbesar lagi berbagai alat-alat atau mesin-mesin atau kendaraan-kendaraan yang digerakkan dengan energi non minyak. Bukan saja harus mengimpor unit-unit pembangkit energi non minyak bahkan berbagai suku cadangnya harus impor, karena sulit diramalkan adanya kemauan negara berkembang secara cepat menyamai negara-negara maju atau industri (ternyata dulu, negara berkembang sudah galau untuk move on, Red).

Walaupun Kuwait terkaya akan dana di dunia, tetapi tidak mampu menghasilkan peralatan industri modern, terutama yang akan menghasilkan atau menggunakan energi non minyak. Sulit untuk diramalkan secara tepat bahwa pada 2000 atau lebih peranan minyak akan berakhir (wuih, mantap nih ramalan, terbukti mulai ketar-ketir cadangan minyak yang menipis akibat tidak pernah hemat energi dan pengembangan energi terbarukan terhambat, Red).

Masalahnya terletak pada, pertama, tingkat produksi yang juga ditentukan dengan cadangan minyak itu sendiri yang hampir tiap tahun nampak berubah (bertambah). Kedua, perkembangan penggunaan minyak bumi untuk waktu mendatang. Apakah dapat terkendali atau tidak. Ketiga, masalah harga minyak yang sangat menentukan cepat atau lambat munculya sumber-sumber energi lain sebagai energi komersial. Keempat, yang menyangkut masalah keamanan serta politik internasional yang akan mempengaruhi OPEC.

Masalah yang keempat, banyak sekali kaitannya dengan hubungan atau normalisasi antara negara-negara OPEC itu sendiri, antara OPEC dengan negara-negara pengimpor minyak terutama negara-negara maju industri. Dalam kaitannya antara minyak bumi dan alat diplomasi, mungkin harus dilihat dari pengusahaan minyak sejak sebelum terbentuknya OPEC, kemudian OPEC terbentuk hingga akhir 1973 serta perkembangan OPEC hingga sekarang.


Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi, Energi dan Diplomasi, 1982.