Ekonomi Minyak dan Gas Bumi dari Pelita ke Pelita

Banyak Terjadi Pergeseran

Pengaruh ekonomi dan moneter luar negeri baik yang positif maupun yang negatif terhadap Indonesia sulit dihindarkan. Kalau positif jelas sangat menguntungkan masyarakat. Sebaliknya kalau negatif seperti keadaan sekarang memang sangat merugikan. Masalahnya bangsa Indonesia hidup dan tumbuh dalam ekonomi terbuka. Mengapa penulis menganggap demikian, karena ukutan untuk ekonomi terbuka umumnya kalau peranan ekspor terhadap Produk Nasional Bruto (PNB/GNP) minimal 10 persen. Misalnya, pada 1969 atas dasar harga berlaku, GNP mencapai nilai Rp2.683,1 miliar, sedangkan ekspor barang dan jasa sebesar Rp328,4 miliar yang berarti 12,24 persen dari GNP.

Dalam keadaan Indonesia mengalami puncak keberhasilan ekspor, terutama dari hasil minyak dan gas bumi, seperti pada keadaan 1982, dimana hasil ekspor barang dan jasa mencapai nilai Rp14.927,9 miliar sedangkan GNP mencapai Rp54.027,0 miliar. Yang berarti hasil ekspor sebesar 27,6 persen lebih dari GNP.

Apa yang menjadi penyebab utama Indonesia semakin terpengaruh dari gejolak internasional. Jawaban yang tepat karena jumlah dan nilai ekspor minyak bumi ditambah lagi keberhasilan LNG sebagai sumber devisa yang besar, kesemuanya terus meningkat.

Dengan meningkatnya hasil ekspor minyak dan gas bumi yang ditunjang dengan kenaikan harga minyak terutama dimulai akhir 1973 hingga 1981, ternyata peranan minyak dan gas bumi mampu menggeser berbagai unsur atau berbagai sektor. Baik akan terlihat adanya gejolak terhadap perkembangan neraca perdagangan atau semakin kuatnya neraca pembayaran, membesarnya sumber penerimaan dalam negeri lewat pajak penghasilan (dahulu pajak perseroan) dari minyak, meningkatkan potensi tabungan pemerintah, dan juga pada gilirannya akan meningkatnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB/GDP) maupun PNB/GNP, karena adanya perkembangan investasi, dan juga perkembangan impor terutama untuk barang-barang modal.

Ganggu Cadangan Devisa

Karena hasil ekspor meningkat, maka impor juga cenderung meningkat. Kalau saja impor yang bersifat konsumtif meningkat, apalagi impor untuk hasil-hasil pertanian, sudah pasti akibatnya akan memukul perkembangan hasil pertanian dalam negeri. Kalau memang peningkatan impor terbesar berupa barang-barang modal, dalam keadaan hasil ekspor dari minyak dan gas bumi yang mengendor, memang perlu pula dikendalikan barang-barang modal mana yang utama. Jika tidak, Neraca Pembayaran akan terganggu, apalagi kalau kecenderungan pemasukan modal dari luar negeri (pinjaman, SDR, dan modal asing) ikut latah mengendor. Akhirnya akan mengganggu cadangan devisa. Jika cadangan devisa mengendor, mungkin tidak heran kalau tindakan devaluasi sebagai jawaban yang kurang menyenangkan berbagai pihak.

Itu kalau minyak dan gas bumi dilihat sebagai sumber devisa atau sebagai salah satu komoditi ekspor yang hingga kini masih tetap bagaikan jantung pembiayaan pembangunan. Tentu akan menjadi lebih komplek lagi, jika dilihat dari pengadaan kebutuhan BBM bagi dalam negeri yang cenderung meningkat. Karena BBM tidak bisa lepas pula dari harga minyak internasional, maka dengan adanya kenaikan harga minyak atau mahalnya harga minyak di dunia, berarti biaya produksi untuk menghasilkan BBM juga meningkat. Kenaikan biaya produksi BBM seharusnya diimbangi dengan kenaikan harga BBM. Kenaikan BBM pada gilirannya juga akan merangsang berbagai  produk mengalami kenaikan biaya produksi. Dengan demikian, berarti akibat adanya kenaikan harga BBM akan memberi akibat tekanan inflasi. Sedangkan, inflasi yang didorong karena kenaikan ongkos produksi inilah yang dinamakan cost push inflation.

Dengan gambaran singkat di atas jelas sekali betapa rumitnya peranan dari naik turunannya dan harga minyak bumi bagi negara berkembang yang terbesar sangat mengharapkan dari hasil minyak dan gas buminya.

Komoditi ekspor minyak dan gas bumi terutama bagi anggota OPEC, termasuk Indonesia sudah bagaikan jantung (tapi jantungnya sudah copot, karena Indonesia tidak lagi menjadi anggota OPEC sejak 2008 dan net importir minyak sejak 2003, Red). Setiap perubahan produksi, jumlah ekspor dan harga sudah pasti akan menggangu berbagai segi. Masalahnya ekspor non migas belum bisa seampuh minyak dan gas bumi, karena harganya sudah sangat wajar. Tentu akan lain lagi bagi negara maju atau industri yang juga sebagai pengekspor minyak dan gas bumi, mereka masih ada komoditi ekspor lain, yaitu hasil industri. Oleh karena itu, bagi negara maju atau industri jika jantungnya rusak, bisa segera dicangkok. Tentu akan lain lagi dengan OPEC, terutama Indonesia. Jika hasil ekspor dari minyak dan gas bumi (LNG) mengendor, maka kita harus segera mencari jalan keluarnya.

Pinjaman dan Hasil Ekspor

Salah satu jalan yang baru saja berhasil, yaitu adanya kepercayaan luar negeri untuk memberikan pinjaman US$750 juta bagi Indonesia, seperti yang dilaporkan Kompas, 19 Maret 1985.

Dibalik rasa gembira karena luar negeri masih percaya, tentu jumlah itu masih kurang begitu besar jika dibandingkan karena mengendornya hasil ekspor minyak bumi, baik karena adanya pengendalian jumlah produksi maupun penurunan harga minyak bumi. Hal ini terlihat dari hasil ekspor minyak dan gas bumi pada 1981/82 mencapai US$19.436 juga atau mencapai 82,3 persen lebih dari dari seluruh hasil ekspor Indonesia pada tahun tersebut. Maka, dengan adanya pengedoran produksi dan lesunya ekspor minyak, maka pada 1982/83 hasil ekspor minyak dan gas bumi anjlok menjadi US$14.976 juta (79,4 persen dari hasil seluruh ekspor). Dengan kata lain, hasil ekspor minyak dan gas bumi turun sebanyak US$4.460 juta atau turun 22,9 persen.

Kalau saja dibandingkan dengan pinjaman yang sebesar US$750 juta yang bisa sebagai salah satu penambah memperkuat neraca pembayaran sekaligus menambah cadangan devisa, memang jumlah itu masih belum mampu menutupi anjloknya dari hasil ekspor minyak. Tetapi apa boleh buat, dari pada nol sama sekali. Yang pasti sumber kekayaan Indonesia dan para pemimpin Indonesia masih mendapatkan luar negeri, penulis mencoba menghayal. Kalau apa yang penulis pernah uraikan di suatu media massa, agar kalau OPEC mau menurunkan produksi supaya dibagi berdasarkan per kapita produksi, mungkin untuk mencapai produksi OPEC pada tingkat 17,5 barel per hari, Indonesia tak perlu terkena.

Walau timbul reaksi dalam hati, jika produksi tetap, pasarannya lemah atau yang mau impor juga menguranginya, mau dikemanakan kelebihannya? Jawabnya, mungkin akan sampai pada pendekatan bilateral, kepercayaan luar negeri terutama Amerika Serikat yang langsung atau tidak langsung lewat para kontraktor minyaknya sangat berkepentingan dengan jumlah tanggungan pembangunan alias kepadatan penduduk. Begitu juga dengan Jepang, baik yang lansung atau tidak langsung juga tempat pelemparan hasil industrinya terutama barang-barang modal. Kesemuanya hanya bisa dicapai lewat diplomasi, lewat saling percaya dan saling menguntungkan. Tetapi khayalan penulis itu hanya tinggal harapan, masalahnya OPEC sudah mengetukkan palu seperti sekarang. Sehingga bangsa Indonesia harus prihatian, walau di balik keprihatian itu sektor non migas mungkin dirangsang bangkit kembali. Sektor pertanian harus bangkit.

Itulah gambaran betapa penting uang atau devisa minyak dan gas bumi bagi Indonesia. Sebagai gambaran perkembangan nilai minyak dan gas bumi yang semakin jelas perkembangannya dari Pelita I hingga Pelita III dan Pelita IV masih juga diharapkan. Penulis mencoba melihat dara perkembangan nilai itu lewat realisasi APBN, Neraca Pembayaran dan  PDB/GDP maupun PNB/GNP.

Lewat APBN

Yang perlu dilihat hasil nilai minyak dan gas bumi lewat APBN, yaitu sumbangannya yang semakin besar dalam pembentukan tabungan pemerintah (selisih antara jumlah penerimaan dalam negeri dikurang jumlah pengeluaran rutin). Dengan terus melonjaknya sumber penerimaan dalam negeri dari pajak penghasilan minyak (dahulu pajak perseroan minyak dan hasil lainnya), ternyata sejak awal Pelita II besarnya Tabungan Pemerintah mampu melampaui sumber dana dari bantuan luar negeri (bantuan program plus bantuan proyek). Selama Pelita I jumlah seluruh tabungan pemerintah hanya sebesar Rp569,4 miliar (dulu masih punya tabungan, sekarang? Kalau defisit, artinya tabungan ludes dong, Red), sedangkan bantuan luar negeri berjumlah Rp708,6 miliar. Selama Pelita I (1969/70 – 1973/1974) hasil dari pajak penghasilan minyak dan gas bumi (LNG) dan penerimaan lainnya sebesar Rp918,4 miliar atau 35,7 persen dari jumlah seluruh penerimaan dalam negeri Pelita I.

Selama Pelita II realisasi dari tabungan pemerintah (1974/75 – 1978/1979) melonjak menjadi Rp5.832 miliar, sedangkan jumlah dari bantuan luar negeri hanya Rp3.316,3 miliar. Yang berarti dana pembangunan selama Pelita II melonjak dari Rp1.278 miliar pada realisasi Pelita I menjadi Rp9.148,3 miliar (enak ya dikasih bantuan melulu, Red). Adapun sumbangan dari pajak penghasilan minyak dan gas bumi plus penerimaan minyak lainnya mencapai Rp8.097,9 miliar atau berarti 55,1 persen dari seluruh realisasi penerimaan dalam negeri.

Selama Repelita III (1979/80 – 1983/84) jumlah realisasi tabungan pemerintah terus melonjak menjadi Rp24.267,5 miliar, sedangkan bantuan luar negeri hanya berjumlah Rp9.265,7 miliar. Dengan kata lain, sejak awal Pelita II telah ada pergeseran besar dari ketergantungan dengan bantuan luar negeri beralih kepada menggali sumber dana pembangunan jauh lebih besar. Selama Peita III penerimaan dari pajak penghasilan minyak terus melonjak tinggi menjadi Rp36.946,5 miliar atau mencapai 66,7 persen dari seluruh penerimaan dalam negeri (catatan angka 1983/84 masih APBN).

Dari gambaran umum itu, semakin terlihat jelas bahwa dana pembangunan selama Pelita III yang melonjak menjadi Rp33.533,2 miliar terbesar ditunjang oleh hasil dari minyak dan gas bumi melalui pajak penghasilan. Dana pembangunan inilah yang sekaligus bisa menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Dengan dana pembangunan sebesar itulah memungkinkan munculnya ribuan proyek-proyek pembangunan. Tetapi dengan mengendornya penerimaan dari pajak penghasilan minyak dan gas bumi, semuanya harus prihatin (benar sekali, sangat memprihatikan malahan, ntah kemana juga dana pembangunannya, Red).

Lewat Neraca Pembayaran

Walaupun sejak awal tahun pertama Pelita I ekspor minyak dan gas bumi hingga 1981/82 terus melonjak, yaitu US$384 juta pada 1969/70 menjadi US$19.436 juta pada 1981/82, tetapi karena nilai impor barang dan jasa-jasa terus meningkat, maka transaksi berjalan hanya mengalami positif pada 1979/80 sebesar US$1.577 juta (ekspor minyak dan gas bumi mencapai US$11.649 juta) dan 1980/81 positif US$439 juta (ekspor minyak dan gas bumi US$16.883 juta), selainnya adalah negatif selama Pelita I, II dan III. Adapun cukup memprihatinkan, aitu pada 1982/83 dimana transaksi berjalan (ekspor minus impor minus jasa-jasa) mengalami minus terbesar sepanjang sejarah Pelita I hingga III, yaitu sebesar minus US$6.609 juta. Pada 1983/84 diperkirakan US$5.058 juta. Keadaan ini cukup memprihatikan, karena banyak mengganggu cadangan devisa Indonesia. Oleh karena itu, berbagai tindakan telah diambil, misalnya usaha meningkatkan kelebihan pemasukkan modal di luar sektor moneter dan sebagainya.

Setelah transaksi berjalan (neraca perdagangan barang dan jasa) ditambah SDR, pemasukan modal pemerintah, lalu lintas modal lainnya dikurang pembayaran utang, terlihat pada tabel.

Tabel. Neraca Pembayaran dari Pelita ke Pelita
Tahun
Nilai Neraca Pembayaran
Pelita I
  1969/70
(-) US$99 Juta
  1970/71
(+) US$77 Juta
  1971/72
(+) US$94 Juta
  1972/73
(+) US$338 Juta
  1973/74
(+) US$355 Juta
Pelita II
  1974/75
(+) US$302 Juta
  1975/76
(-) US$11 Juta
  1976/77
(+) US$893 Juta
  1977/78
(+) US$831 Juta
  1978/79
(+) US$770 Juta
Pelita III
  1979/80
(+) US$2.014 Juta
  1980/81*
(+) US$2.221 Juta
  1981/82
(+) US$862 Juta
  1982/83
(-) US$2.047 Juta
  1983/84**
(+) US$1.601 Juta
*pada waktu harga minyak memuncak
**nilai harapan/perkiraan

Pada 1982/83 merupakan tahun yang sangat memprihatinkan, dan diharapkan pada 1983/84 bisa menjadi plus. Mengapa diharapkan bisa plus, terutama dengan cara menekan impor minus 3,5 persen, jasa-jasa minus 11,3 persen, peningkatan pemasukan modal pemerintah (bantuan program, bantuan proyek dan lain-lain) sebesar 69,4 persen semuanya dibandingkan dengan 1982/83. Pada tahun tersebut, tertulis lalu lintas moneter plus US$3.279 juta yang berarti cadangan devisa berkurang sebesar itu.

Yang jelas, karena hasil ekspor dan gas bumi masih sangat besar, sehingga neraca pembayaran Indonesia dari Pelita I hingga Pelita III masih termasuk sehat. Tentu akan lain lagi, jika tanpa adanya minyak yang kemudian ditunjang lagi dengan hasil ekspor LNG.

Lewat PDB/GDP

Atas dasar harga yang berlaku, pertumbuhan PDB/GDP Indonesia sejak 1969 hingga 1982 (sementara) baru terlihat melonjaknya pada 1973 dimana peranan dari sektor pertambangan dan penggalian yang terutama dari hasil minyak bumi yang harganya mulai baik dan terus meningkat.  
  • 1969, PDB/GDP hanya mencapai Rp2.718 miliar dimana peranan sektor pertambangan dan penggalian hanya Rp129 miliar atau hanya 4,7 persen, sedangkan untuk pertanian 49,3 persen dari PDB/GDP.
  • 1973, PDB/GDP Indonesia naik menjadi Rp6.753,4 miliar dimana sektor pertambangan dan penggalian Rp831 miliar atau 12,3 persen dari PDB/GDP.
  • 1977, PDB/GDP melonjak terus menjadi Rp19.033 miliar, dimana dari pertambangan dan penggalian naik terus menjadi Rp3.599,7 miliar atau 18,9 persen dari PDB/GDP.
  • 1980, PDB/GDP mencapai Rp45.445,7 miliar, dimana peranan dari sektor pertambangan penggalian terutama dari minyak dan gas bumi sebesar Rp11.672 miliar atau 25,7 persen dari PDB/GDP, dan merupakan puncak tertinggi yang mampu menggeser sektor pertanian/kehutanan/perikanan yang hanya 24,8 persen
  • 1981, Peranan pertambangan dan penggalian turun menjadi 24 persen dari PDB/GDP yang mencapai Rp54.027 miliar
  • 1982, PDB/GDP naik menjadi Rp59.632,6 miliar, dimana sektor pertambangan penggalian berperan sebesar 19,6 persennya.

Dengan melonjaknya hasil dari minyak dan gas bumi, maka sektor pertambangan dan penggalian sejak 1972 telah menggeser peranan industri. Bahkan pada 1980 sempat menggeser sektor pertanian. Walau harus diakui bahwa PDB/GDP atau PNB/GNP per kapita yang tinggi dan terbesar ditunjang oleh sub sektor minyak dan gas bumi, karena merupakan penghasilan negara dan kontraktor nampaknya kurang realis, jika dibandingkan kalau PDB atau PNB per kapita ditunjang oleh sektor pertanian, industri, perdagangan dan sebagainya karena terbesar milik atau penghasilan rakyat/swasta. Oleh karena itu, pemerintah harus pandai-pandai memanfaatkan uang minyak dan gas bumi bagi pembangunan seluruh tanah air yang terdiri dari ribuan pulau dan jumlah penduduknya yang banyak ini.

Dengan kata lain, kalau PDB/GDP atau PNB/GNP per kapita yang tinggi, karena terbesar ditunjang oleh non migas bagaikan kalau banjir airnya berasal dari laut, maka seluruh pulau akan kebanjiran. Sebaliknya kalau dari migas, karena merupakan penghasilan negara dan juga para kontraktor, maka arus banjir hanya bagaikan dari salah satu sungai saja. Dimana yang terkena banjir hanya sepanjang tepi sungai tersebut.

Oleh karena itu, tepatlah jika kelak, terutama ekspor Indonesia tidak lagi sangat bersandar pada satu komoditi ekspor seperti minyak dan gas bumi, tetapi harus diperluas dan ditingkatkan dari hasil non minyak dan non gas bumi.

Itulah gambaran perkembangan nilai minyak dan gas bumi dari Pelita ke Pelita yang cukup mendebarkan hati, jika nilai ekspornya semakin merosot sedangkan sektor-sektor non minyak dan non gas bumi belum siap tampil sebagai penggantinya.

Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi Mengubah Ekonomi Dunia, 1985; Kompas, 2 April 1984.