Tahun demi tahun terus maju sesuai perputaran waktu. Garis pembangunan Indonesia semakin jelas dan nyata. Walau beban pembangunan dalam hal penyediaan dana, terutama dari sumber dalam negeri semakin sulit dan berat. Penduduk semakin padat. Oleh karena itu, laju pertumbuhan penduduk Indonesia harus terkendali. Bukan itu saja, penyebaran penduduk harus serasi, agar tidak seperti kapal oleng. Terlalu banyak orang yang kumpul di pulau Jawa, terutama Jakarta (selama 30 tahun yang tidak pernah ada perubahan, sudah diingatkan tetap saja seperti itu, Red), maka penyebaran pembangunan harus merata. Agar tidak ada istilah “di mana ada gula di situ ada semut”. Di mana ada pembangunan atau proyek-proyek di sana banyak orang kumpul mencari makan.
Yang pasti sasaran pembangunan harus dicapai. Masyarakat adil dan makmur harus segera tercipta. Karenanya pembangunan harus diusahakan bersama-sama. Penulisbisa sependapat kalau keberhasilan pembangunan karena keahlian para cendikiawan yang duduk sebagai birokrat. Mungkin masih ada yang perlu dan sangat mewarnai potensi dalam pembangunan apa yang dinamakan sumber kekayaan alam. Jika sumber kekayaan alam habis dan punah. Jika sumber kekayaan alam tidak punya harga lagi, mungkin bagaikan mimpi seorang arsitektur bangunan yang tidak punya kerjaan atau tidak punya modal sama sekali. Minimal dia menjadi pengarang buku yang semakin tebal. Buku itupun mungkin sulit lakunya, karena banyak orang membangun rumah seenaknya saja.
Bicara mengenai pembangunan memang sumber kekayaan alam pegang peranan utama dalam negara-negara manapun. Apalagi di negara berkembang. Apalagi ditambah oleh para cendikiawan yang mampu mengelola hasil atau potensi sumber-sumber kekayaan alam itu. Diharapkan apa yang disasarkan, apa yang diharapkan bisa tercapai. Walau masih perlu bergelut dengan permainan negara maju, baik dalam permainan suku bunga dunia moneter, atau devaluasi atau permainan proteksi (wuih, WTO nih, Red), ditambah lagi permainan politik yang sudah membaur dalam dunia ekonomi dan perdagangan.
Pada tanggal 7 Januari 1985, Presiden Soeharto untuk yang sekian kalinya menyampaikan keterangan pemerintah tentang Rancangan APBN 1985/86 di depan sidang Paripurna DPR. Pada kesempatan ini, Presiden menyatakan dengan tegas bahwa seusai dengan yang ditetapkan dalam GBHN dalam menyusun APBN 1985/86 tetap digunakan prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis. Demikian juga Trilogi pembangunan tetap merupakan kebijaksanaan dasar dalam menyusun RAPBN 1985/86. Karena itu, demikian Presiden, keseluruhan arah dan program-program nasional ditujukan untuk terus meratakan pembangunan, menumbuhkan ekonomi dan memelihara stabilitas nasional. Khusus untuk usaha pemerataan, maka delapan Jalur Pemertaaan tetap merupan pembimbing jalan yang kita tempuh, demikian Presiden.
Diplomasi Antar Negara
Peran non migas memang perlu digalakkan terus, penggalakkan itu sudah pasti tidak bisa lepas dari keadaan pasaran dalam negeri, dan yang lebih penting lagi keadaan kebijaksanaan perdagangan luar negeri baik terhadap Indonesia maupun terhadap kelompok negara-negara berkembang.
Mungkin peranan diplomasi dalam berpolitik bisa pula menunjang keberhasilan ekspor Indonesia. Hubungan bilateral perlu digalakkan terus. Apalagi hubungan multilateral. Mungkin orang akan bertanya mengapa Jepang semakin akrab dengan RRC. Seperti yang penulis tulis pada media massa Sinar Harapan, 7 Juni 1973 dengan judul Jepang Beli Sejuta Ton Minyak dari RRC, dalam tulisan tersebut penulis kemukakan sebagai berikut
Jepang sejak pagi-pagi sudah berusaha menanam modal, investasi, kontrak-kontrak dengan negara penghasil minyak bumi untuk menjamin masa depan industrinya yang sekaligus untuk menjamin kenaikan pendapatan per kapita pertahunnya. Jadi jelas di satu pihak Jepang juga melakukan diversifikasi dalam sumber-sumber minyak dan gas buminya dari berbagai negara, terutama negara tetangga, di lain pihak kepentingan politik dan pelemparan barang-barang industrinya. Kini Jepang semakin jelas untuk mengimpor minyak bumi dari RRC lebih banyak lagi. Alasannya masuk akal. Karena RRC belakangan ini banyak kebanjiran impor barang-barang hasil industri Jepang. Risiko dari banyak impor harus diimbangi bayar dengan apa. Jawabnya singkat dengan devisa ekspor berupa eskpor minyak bumi dan mungkin kelak Jepang dengan mudahnya meloloskan pipa-pipa gas alamnya ke RRC. Mungkin ini perlu dicatat, perlu pula direnungkan yang bisa mempengaruhi ekonomi migas OPEC, terutama ekonomi migas Indonesia.
Kiranya tepat, kalau gejolak dunia ikut melanda lesunya pasaran minyak dunia, bisa mempengaruhi ekonomi OPEC yang berupa ekonomi migas. Bagi Indonesia juga semakin terasa. Hal itu dikemukakan pula oleh Presiden Soeharto yang antara lain mengatakan, bahwa dalam pada itu sangat besar peranan minyak dan gas alam dalam perekonomian Indonesia juga harus mengundang kesadaran dan kewaspadaan, karena berhubungan dengan akibat-akibat yang mungkin terjadi terhadap penerimaan negara dan penerimaan devisa bila penurunan harga atau jumlah produksi dan ekspor minyak bumi dan gas alam kita (penerimaan negara atau penerimaan ‘lokal’ nih, mungkinkah kamuflase? jatah ‘kue’ jadi mengecil kalau turun penerimaannya, Red).
Dengan menyadari sangat besarnya peranan minyak bumi dan gas alam terhadap perekonomian nasional dan kemungkinan-kemungkinan di masa mendatang, maka telah diambil beberapa langkah yang menyeluruh. Adapun langkah-langkah pokok yang telah diambil sebagai berikut.
Pertama, untuk menambah sebanyak mungkin jumlah cadangan minyak bumi dan gas alam, maka secara terus menerus diusahakan kegiatan eksplorasi minyak dan gas alam.
Kedua, agar tetap tersedia jumlah minyak bumi dan gas alam yang cukup besar diekspor, maka diusahakan penghematan minyak bumi di dalam negeri, atara lain dengan mengembangkan penggunaan sumber-sumber energi lainnya, seperti air, batubara, panas bumi dan sebagainya sebagai pembangkit tenaga listrik (sampai sudah net importir minyak pun masih juga belum dikembangkan tuh, malah dipandang sebelah mata melulu, giliran harga BBM naik pada ribut, terutama ribut jatahnya, Red).
Ketiga, mengusahakan terus peningkatan nilai ekspor minyak bumi dan gas alam baik dengan jalan memanfaatkan dan mengolah sumber kekayaan alam itu, maupun mengusahakan perluasan pasaran minyak bumi dan gas alam, di samping usaha yang terus menerus untuk menjaga kestabilan pasaran minyak bumi bersama-sama negara OPEC lainnya (tak heran dari dulu penulis menginginkan Indonesia keluar dari OPEC sewaktu masih punya cadangan cukup, karena harus bertanggung jawab menjaga kestabilan pasaran minyak bumi, namun nasi sudah menjadi bubur, memang Indonesia keluar dari OPEC, tapi bukan karena inisiatif atau kesadaraan, melainkan sudah tidak mampu lagi mengekspor minyak mentah, Red).
Keempat, lebih memperluas komposisi ekspor Indonesia melalui peningkatan ekspor di luar minyak bumi dan gas alam guna mengamankan penerimaan devisa bagi pembiayaan pembangunan (tapi kayaknya lebih senang dapat bantuan pinjaman, bantuan atau pinjaman? dua kata yang berbeda makna loh, Red).
Kelima, memperluas dasar komposisi penerimaan negara melalui penerimaan negara di luar minyak bumi dan gas alam dengan pembaharuan sistem perpajakan (pantas, jatah ‘kue’nya pindah, Red). Di samping itu, diusahakan pula mobilisasi tabungan masyarakat untuk pembangunan melalui pembaharuan kebijaksaan moneter dan sistem perbankan (apakah ini yang dimaksud mengeluarkan obligasi atau ORI? tapi yang nabung hampir 70 persen malah bukan masyarakat Indonesia sendiri, dan bahkan ada gerakan menabung, tapi kandas karena tabungan terkikis dengan biaya administrasi, Red).
Dari sana jelas sekali, usaha pencegahan oleh pemerintah dalam menghadapi gejolak kurang baik terhadap ekonomi migas Indonesia, memang dibutuhkan langkah-langkah tersebut. walaupun demikian, hingga kini ekonomi migas masih tetap memberikan warna bahkan cukup menentukan pembangunan di Indonesia (tidak setelah menjadi net importir minyak sejak 2003, Red).
Seperti yang penulis kemukakan dalam OPEC Buletin, Oktober 1984, dengan judul World Oil and Indonesia’s Economy, antara lain
Higher oil price between 1973 and 1982 had a positive impact on Indonesia’s economy. However, with the establishment of production allocation for OPEC members and a decline in volume of exports have suffered as a result the negative impact of a decline in volume of exports was compounded by a falling price as well. Growth in oil prices meant high state revenues and rise in the nation’s volume of savings. As oil prices rose oil and gas came to occupy a dominant role in the role nation’s balance of payment and in terms of GDP, the sector of mining (oil and gas in particular) replaced agriculture as the dominant sector of the domestic economy.
Karena secara jalan singkat dari kacamata perhitungan angka-angka APBN terutama lewat penerimaan dalam negeri dari minyak dan gas alam, cukup mengejutkan. Semakin besar jumlah penerimaan dalam negeri, apalagi pengeluaran rutin bisa ditekan, maka tabungan pemerintah bisa melonjak. Tabungan ini merupakan salah satu tongkat penentu keberhasilan pembangunan karena sebagai sumber dana pembangunan.
Kiranya tidak berlebihan penulis mencoba mengamati perkembangan ekonomi migas yang dilihat lewat perkembangan sumber penerimaan dalam negeri atau lewat APBN 1969/70 hingga yang terakhir.
RAPBN 1985/86
Semua media massa cetak, terutama surat kabar telah memuat tabel mengenai APBN 1984/85 dan RAPBN 1985/86 (sekarang masih ga ya? bahkan, mendapatkan dari Kementerian Keuangan aja ga boleh, setiap konferensi media tidak pernah boleh diminta softcopy-nya, Red). Secara angka nominal rupiah memang jumlah RAPBN 1985/86 mengalami kenaikan, jika dibandingkan dengan APBN 1984/85, yaitu dari Rp20.560,4 miliar menjadi Rp23.046 miliar pada 1985/86 atau naik 12,1 persen.
Penerimaan dalam negeri untuk 1985/86 diperkirakan naik dari Rp16.149,4 miliar menjadi Rp18.677,9 miliar atau naik 15,7 persen. Peranan utama penerimaan dalam negeri masih jelas berasal dari ekonomi migas, yaitu dari mata anggaran penerimaan minyak bumi dan gas alam, jumlahnya atau peranannya dari Rp10,366,6 miliar pada 1984/85 menjadi Rp11.159,7 miliar atau naik 7,7 persen.
Dalam RAPBN 1984/85 semakin jelas, dimana LNG semakin menggebu, karena kemunculannya yang cukup menyolok dan meyakinkan. Peranan LNG pada 1984/85 hanya Rp1.417,5 miliar, pada 1985/86 diharapkan bisa naik menjadi Rp1.680,1 miliar atau naik sebesar 14,2 persen, selebihnya berasal dari minyak bumi.
Walaupun diperkirakan pengeluaran rutin akan naik dari Rp10.101,1 miliar menjadi Rp12.399 miliar atau naik sangat besar dengan angka 22,7 persen (buat apa aja ya, pengeluaran rutin naik melulu?, Red), tetapi tabungan pemerintah (jumlah penerimaan dalam negeri minus pengeluaran rutin) naik dari Rp6.048,3 miliar menjadi Rp6.278,9 miliar atau naik 3,8 persen. Semakin jelas, peranan ekonomi migas dalam pembangunan masih cukup besar, apalagi mengingat dilihat dari penerimaan pembangunan mengalami penurunan atau minus satu persen, sedangkan untuk pengeluaran pembangunan naik 1,8 persen. Masalahnya, penerimaan bangunan pembangunan untuk bantuan proyek minus 1,7 persen. Oleh karena itu, kembali pada peranan tabungan pemerintah lagi. Di satu pihak pengeluaran rutin naik, di lain pihak penerimaan pembangunan dalam bantuan proyek turun, maka pengeluaran pembangunan untuk bantuan proyek juga minus atau turun, tetapi pengeluaran pembangunan dengan pembiayaan rupiah naik 4,3 persen.
Dilihat dari penerimaan dalam negeri, peranan ekonomi migas terutama yang berasal dari anggaran penerimaan migas pada 1984/85 sebesar 64,2 persen, maka pada 1985/86 diperkirakan sedikit turun hanya menjadi sekitar 59,75 persen dari seluruh penerimaan dalam negeri (sudah diperingatkan, penerimaan migas bukan lagi menjadi penopang utama APBN, Red).
Walaupun demikian, kita masih harus bersyukur, masih tetap sebagai negara yang mampu mengekspor minyak bumi dan gas alam, mampu menyediakan kebutuhan bahan bakar minyak, bisa dibayangkan kalau negara kita miskin akan minyak dan gas bumi, kita sebagai pengimpor minyak hasil pengolahan (sayangnya, sudah terjadi, Indonesia bukan lagi negara kaya akan minyak, dan gas bumi semakin menipis cadangannya, Red). Di satu pihak penerimaan tidak bisa sebesar itu, di lain pihak pengeluaran untuk membeli bahan bakar minyak semakin membengkak.
Peranan Migas Sejak 1969/70
Sebagai ingatan, mungkin ada baiknya kalau peranan ekonomi migas terutama yang berupa penerimaan migas yang selalu tertulus dalam setiap pengajuan RAPBN bisa diingat kembali. Mungkin bagi mereka yang senang bermain dalam angka untuk membuat proyeksi atas dasar angka time series bisa mencobanya. Walau untuk membuat ramalan berapa besarnya penerimaan hasil migas atau mendatangkannya, sangat ditentukan keadaan permintaan dan penawaran minyak dunia. Tetapi secara ilmiah, bisa saja dibuat angka proyeksinya. Pada tabel berikut penulis hanya ingin melihat bagaimana perkembangan peranan migas, jika dibandingkan dengan jumlah penerimaan dalam negeri dari tahun anggaran 1969/70 hingga 1985/86.
Peranan Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam
Terhadap Jumlah Penerimaan Dalam Negeri
(miliaran Rupiah)
Tahun | Jumlah Penerimaan Dalam Negeri | Dari Migas (Minyak dan LNG) |
Pelita I | ||
1969/70 | 243,7 | 65,8 |
1970/71 | 344,6 | 99,2 |
1971/72 | 428,0 | 140,7 |
1972/73 | 590,6 | 230,5 |
1973/74 | 967,7 | 382,2 |
Pelita II | ||
1974/75 | 1.753,7 | 957,2 |
1975/76 | 2.241,9 | 1.248,0 |
1976/77 | 2.906,4 | 1.635,3 |
1977/78 | 3.535,4 | 1.948,7 |
1978/79 | 4.266,1 | 2.308,7 |
Pelita III | ||
1979/80 | 6.696,8 | 4.259,6 |
1980/81 | 10.227,0 | 7.019,6 |
1981/82 | 12.212,6 | 8,627,8 |
1982/83 | 12.418,3 | 8.170,4 |
1983/84 | 14.432,7 | 9.520,2 |
Pelita IV | ||
1984/85 | 16.149,4 | 10.366,6 |
1985/86* | 18.677,9 | 11.159,7 |
*RAPBN
Sumber: Nota Keuangan 1984/85 dan RAPBN 1985/65
Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi Mengubah Ekonomi Dunia, 1985; Sinar Harapan, 24 Januari 1985.