Mungkin hingga kini belum ada ucapan di dunia yang menegaskan, bahwa minyak sebagai alat diplomasi, sebagai pernyataan nyata atau formal (karena selama ini hanya dikaitkan dengan bisnis atau industri, Red). Walaupun pada kenyataannya, dalam pertemuan-pertemuan antara kelompok negara industri maju yang sekaligus sebagai negara penjajah beserta perusahaan-perusahaan minyak raksasanya telah dilakukan kegiatan diplomasi.
Perkembangan Perdagangan
Perkembangan tingkat hidup manusia telah banyak menuntut berbagai kemajuan. Bukan saja kemajuan pada masalah perdagangan atau ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan dan sebagainya. Kesemuanya ini juga merupakan sebab timbal balik bagi perkembangan kehidupan manusia di dunia. Dimulai dengan adanya hubungan dagang yang terkenal istilah perdagangan barter antar suku, antar desa, antar kota dan antar desa dengan kota. Kesemuanya masih merupakan cermin ekonomi tertutup dan belum berkembang keluar negeri.
Dengan adanya kekurangan berbagai kebutuhan, baik untuk menghasilkan sesuatu barang maupun usaha mencari pasaran hasil produksinya, maka muncullah hubungan-hubungan perdagangan antar negara. Dengan demikian hingga kini boleh dianggap semua negara telah melakukan sistem ekonomi yang terbuka.
Dengan adanya perkembangan perdagangan yang kemudian melibatkan masalah perjanjian yang menyangkut jumlah barang yang dibutuhkan atau ditukar, msalah penilaian barang dagangan dan sebagainya. Kesemuanya itu memungkinkan adanya perkembangan kepentingan yang tidak terbatas pada masalah dagang saja. Muncullah kepentingan-kepentingan yang menyangkut soal budaya atau kesenian, agama bahkan dengan adanya strategi perdagangan antar negara yang berbeda telah meinmbulkan adanya kerjasama politik atau ideologi, bahkan pertahanan seperti halnya SEATO dan NATO. Hubungan antar negara yang melibatkan berbagai kepentingan baik secara multilateral maupun bilateral semakin berkembang, apalagi setelah terbentuk PBB.
Walaupun PBB terbentuk, tetapi nampaknya peranan PBB dalam mengakhiri perbedaan kepentingan dalam masalah ekonomi ataupun keamanan bagi negara berkembang (termasuk negara miskin) belum juga berhasil. Terutama yang menyangkut adanya perbedaan tingkat hidup yang semakin tajam antara negara industri dengan negara berkembang. Di satu pihak negara-negara industri menjual barang-barang produksi dengan harga tinggi.
Di lain pihak negara berkembang harus menjual atau menghasilkan bahan-bahan mentah sebanyak mungkin untuk memenuhi kebutuhan negara industri atau maju dengan harga relatif lebih murah dibandingkan dengan hasil barang-barang dari negara-negara industri. Tambahan pula negara-negara berkembang harus bergantung dari hasil-hasil industri negara maju dengan harga yang sangat mahal. Jika perbedaan-perbedaan penilaian tersebut berlaku dalam jangka panjang, dapat diperkirakan bahwa jurang pemisah dalam hal pendapatan antara negara industri dibandingkan dengan negara berkembang akan semakin jauh.
Atas dasar perbedaan itulah banyak negara berkembang melakukan hubungan dalam usaha memperjuangkan nasib mereka, terutama usaha menyangkut kepentingan pembangunan nasionalnya masing-masing. Dengan adanya kontak-kontak antar negara berkembang, berarti kepentingan mereka dapat disalurkan melalui kontak-kontak diplomasi dalam menghadapi kekuatan negara maju. Suatu kontak diplomasi yang dianggap cukup kuat diantaranya OPEC beserta hasil perjuangannya, kemudian kelompok 77 (sudah mencapai 133 anggota).
Pengaruh Minyak Bumi Sebagai Energi
Pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi di negara maju umumnya sangat dipengaruhi oleh besarnya energi yang tersedia serta harga energi itu sendiri. Pertumbuhan industri di negara maju semakin pesat dengan munculnya teknologi yang memakai minyak bumi sebagai bahan bakar. Dengan jumlah minyak yang berlimpah dan harga yang murah, teknologi dan perhitungan ekonomi memaksa batubara sebagai sumber energi kalah peranannya.
Sebagai contoh, perkembangan pengadaan energi di Amerika Serikat pada 1920, menunjukkan besarnya peranan batubara mencapai 78,4 persen dari jumlah kebutuhan energinya, sedangkan peranan minyak bumi hanya 13,4 persen, gas alam 4,3 persen dan tenaga air hanya 3,9 persen. Jumlah kebutuhan energi AS pada 1920 berupa batubara mencapai 15.504 triliun BTU (British Thermal Unit).
Struktur pemanfaatan energi ini, kemudian berubah. Pada 1955 jumlah energi yang tersedia bagi AS menjadi batubara 29,5 persen, tenaga air, 3,8 persen dan yang terbesar beralih menjadi minyak bumi sebanyak 41,2 persen dan gas alam 25,5 persen (apalagi kalau cadangan gas yang dimilikinya lebih banyak dari kebutuhan, mungkin gas alam jadi dominan, belum lagi isu minyak bumi diambang kritis cadangannya, makanya mulai dikembangkan energi lain selain minyak, Red). Kebutuhan batubara AS di 1955 hanya sebesar 11.695 triliun BTU, sedangkan di 1920 kebutuhan minyak bumi 2.634 triliun BTU meningkat menjadi 16.340 triliun BTU pada 1955. Kebutuhan gas alam di 1920 hanya 855 triliun BTU meningkat menjadi 10.139 triliun BTU pada 1955.
Dengan berlimpahnya minyak dan harganya murah, terutama yang datang dari negara-negara Timur Tengah, telah mempercepat pertumbuhan ekonomi sekaligus pertumbuhan penggunaan energi pada beberapa negara industri. Terbukti antara 1959-1962 konsumsi minyak bumi untuk kelompok OECD (The Organization for Economic Cooperation and Development) menunjukkan kenaikan sebesar 54 persen atau rata-rata 15,5 persen per tahun.
Dengan berhasilnya OPEC mengalihkan pengusahaan atas minyak mereka, maka secara berangsur-angsur kekuasaan kelompok negara maju telah kehilangan pegangan utama yang merupakan kunci kemajuan ekonomi dan industri mereka. Dengan munculnya keberhasilan OPEC, yang mampu menetapkan tinggi rendahnya produksi dan juga harga minyak dunia, maka segala kontak diplomasi baik di negara-negara maju maupun di negara berkembang selalu mengaitkan pada masalah minyak bumi sebagai sumber energi.
Hal ini disebabkan karena di satu pihak kebutuhan energi dunia (terutama negara-negara maju) semakin besar, di lain pihak cadangan minyak dunia terbatas. Apalagi kekuatan pengaturan produksi minyak telah beralih ke tangan OPEC, keadaan inilah yang pada akhirnya sebagai penentu mengapa energi lain harus dikembangkan.
Sebagai gambaran pada 2000 diperkirakan kebutuhan dunia akan energi sebagai bahan bakar akan mencapai 269 juta barel ekuivalen minyak bumi. Dari jumlah ini 89 juta barel berupa minyak, 33 juta barel dari gas alam, batubara 66 juta barel, nuklir 41 juta barel, kayu dan tenaga surya 24 juta barel dan tenaga air 16 juta barel, masing-masing ekuivalen minyak bumi per hari. Perkiraan ini berdasarkan perhitungan kebutuhan per tahun akan energi rata-rata 3,3 persen sejak 1980, yang diperkirakan akan mencapai 140 juta barel per hari dimana dari minyak sekitar 60 juta barel per hari, gas alam 22 juta barel per hari, batubara 33 juta barel per hari dan lain-lain.
Yang pasti hingga 2000 minyak bumi sebagai sumber energi masih terbesar jumlahnya, apalagi jika diingat sebagain besar minyak dunia itu berasal dari OPEC (mungkin itu sebabnya muncul istilah raja minyak, Red). Kemudian pada 2020 kebutuhan dunia akan energi yang berupa bahan bakar akan mencapai 453 juta barel per hari (rata-rata pertumbuhan 2,6 persen sejak 2000). Dari jumlah ini peranan batubara akan melonjak menjadi 133 juta barel, nuklir 122 juta barel, kayu dan energi surya 40 juta barel, tenaga air 24 juta barel dan dari minyak bumi hanya 95 juta barel dan gas alam 39 juta barel, masing-masing dalam per hari ekuivalen minyak bumi.
Energi Sebagai Alat Diplomasi
Dengan demikian, sungguh tepat dan kuat, jika energi dapat dimanfaatkan sebagai alat diplomasi. Indonesia bukan saja dapat berperan sebagai penghasil energi, tetapi juga sebagai negara pengekspor yang mempunyai banyak kaitan dengan pihak-pihak luar negeri, baik negara berkembang atau maju, guna meningkatkan energi dari minyak bumi ke energi lain.
Melalui kontak diplomasi dengan negara maju diharapkan dapat diperoleh jawaban atas masalah modal dan peralatan serta keahlian yang mengandung unsur teknologi tinggi (transfer teknologi sudah disarankan oleh penulis sejak lama loh, tapi sepertinya masih lebih senang dimanjakan dengan impor, apakah ada hasil produk asli ciptaan putera-puteri bangsa ini yang bisa dibanggakan?, Red). Apalagi, mengingat Indonesia menganut politik luar negeri yang bebas dan aktif berdasarkan kepentingan nasional. Juga Dasa Sila Bandung dengan prinsip-prinsip peaceful co-existence serta gagasan non alignment, maka bagi Indonesia tidak sulit untuk meningkatkan peranan energi sebagai alat diplomasi. Karena energi akan menyangkut hajat hidup umat dunia. Apalagi jika dilihat dari pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menegaskan bahwa kewajiban pemerintah Indonesia adalah
“Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”
Atas dasar itulah, mau tidak mau Indonesia sebagai negara yang juga tergabung dalam kelompok Selatan atau negara berkembang (termasuk negara miskin) harus menggunakan energi sebagai alat diplomasi yang berhasil atau bertujuan positif bagi semua pihak. Dalam hal ini, perjuangan Indonesia disalurkan melalui hubungan bilateral, multilateral atau melalui forum-forum internasional. Secara umum energi dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan tenaga.
Sedangkan pengertian energi bukan manusia, juga banyak artinya. Yang pasti energi merupakan sumber alam yang utama. Para pemakai energimengartikan energi sebagai komoditi yang mereka beli, seperti bensin, gas alam dan listrik. Energi bagi insinyur, yaitu merupakan panas bagi dapur-dapur api industri atau yang bermotif kekuatan bagi mesin-mesin yang menghasilkan tenaga. Lain lagi bagi ahli ekonomi, energi merupakan suatu bahan sebagai kunci untuk kemakmuran nasional.
Tanpa energi mungkin orang tak akan menikmati keadaan kemajuan seperti sekarang ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa energi merupakan bahan pembangkit tenaga berbagai rupa peralatan mesin untuk selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Dengan energi yang berlimpah, secara potensial, suatu negara akan menjadi kaya bahkan akan menguasai dunia.
Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi, Energi dan Diplomasi, 1982.