Mengajar Tidak (Selalu) Membosankan

Cara mengajar bagi setiap pengajar atau guru memiliki ciri khas masing-masing, namun kenyataan di lapangan tidak semua pengajar dapat menyampaikan metode mengajarnya dan diterima oleh murid yang diajarkannya. Bukan karena kendala fasilitas yang perlu tersedia, dan tidak perlu juga harus yang berteknologi dalam hal proses mengajar, sementara banyak tugas yang harus dikejar para guru, dan bahkan bisa menjadi beban untuk mengikuti kurikulum yang ditetapkan.

Hikmat Hardono
Lalu, bagaimana caranya agar metode mengajar tidak menjadi beban guru dan murid juga tidak ketumpuan dalam menerima ilmu yang seharusnya didapatkan?

Direktur Ekskutif Indonesia Mengajar Hikmat Hardono menceritakan, dari refleksi pengalaman Indonesia Mengajar yang sudah berumur 3 tahun ini, akhirnya dapat menciptakan ide dengan membuat media-media belajar yang kreatif. Hal ini karena di lapangan ditemukan, adanya berbagai peraga yang diterima oleh suatu sekolah, tapi tidak mudah untuk diimplementasikan. Karena lebih mengirimkan apa yang kita pikir mereka butuhkan, bukan apa yang dapat diimplementasikan oleh mereka.

Relawan sedang mengemas
Kotak Cakrawala
Itu sebabnya dibuat rumusan-rumusan media belajar yang diperkenalkan melalui Festival Gerakan Indonesia Mengajar (FGIM) pada tanggal 5-6 Oktober 2013 di Eco Park Ancol Jakarta. Tentunya, untuk membuat rumusan tersebut tidak bisa sendirian, tetapi dibantu oleh relawan minimal 845 orang dalam menyiapkan FGIM, serta hampir 9.000 orang relawan yang tergerak untuk kerja bakti membuat media belajar seperti Kotak Cakrawala, Kartupedia, Kepingpedia, Surat Semangat, Kemas-Kemas Sains, Teater Dongeng, Melodi Ceria, Sains Berdendang, Video Profesi yang nantinya akan disebar ke 17 kabupaten di Indonesia.

Salah satu kota tujuan Kotak Cakrawala
"Kami menyaksikan sesungguhnya banyak orang bekerja dan berbakti bagi Republik ini dengan rendah hati, penuh semangat dan penuh dengan ide dari daerah-daerah, di 17 kabupaten itu, bahkan ini di luar ekspetasi kita yang di Jakarta, kita sering dengar berita yang tidak baik gambaran dari pendidikan Indonesia, ternyata banyak orang kerja keren-keren dan penuh semangat,” ujar Hikmat.


Bekerja Tidak Sekedar Omongan Belaka

Kotak Cakrawala siap di kirim
ke 17 Kabupaten
Tanpa kita sadari, lanjut Hikmat, ternyata ada kepala sekolah yang luar biasa berbakti terhadap gurunya, kemudian guru yang sayang dengan murid-muridnya jumlahnya banyak, mereka mendidik lebih dari yang diminta, mereka berikan lebih dari sekedar mendidik. Di luar itu masih banyak pegawai seperti pegawai sipil, tentara, dokter dan lain-lainnya yang ternyata aktif dalam dunia pendidikan. “Menurut kami, mereka layak dan perlu dihormati dan cara menghormatinya adalah kita ikut turut bekerja tidak sekedar hanya omongan belaka. Malu kita hanya dengan cara memberi penghargaan tapi kita tidak turut bekerja,” terangnya.

Hikmat mencontoh salah satu media belajar bernama Kartupedia, yaitu mencari informasi dalam bentuk kartu, misalkan tema tokoh pahlawan. “Mungkin di daerah yang terkoneksi dengan internet dengan mudah bisa mencari, tetapi hal itu tidak bisa dilakukan bagi daerah-daerah yang tidak terkoneksi internet, artinya perlu cara bagaimana menyampaikan informasi tersebut, dengan media-media lain dan bisa implementasikan secara general dan mudah,” jelasnya.

Relawan sedang membuat
KartuPedia
Untuk terciptanya media tersebut, juga dibutuhkan kerja sama, dimana manfaatnya tidak hanya dirasakan bagi yang menerima media-media tersebut, namun yang membuat media tersebut juga turut merasakan suasana belajarnya. Akhirnya muncul, rasa kepercayaan dan dorongan semangat yang ternyata dengan media seperti ini bisa turut membantu dalam hal proses mengajar. Dasar itu yang membuat Indonesia Mengajar (IM) bersama-sama saling mengaktivasi diri, kemudian terlibat dan bertemu dengan orang-orang yang memiliki energi yang sama.

“Dari pengalaman kami untuk mendapatkan solusi agar dapat menjembatani metode mengajar yang distandarkan Kementerian Pendidikan adalah turun ke lapangan, dan itu tidak hanya sekedar survei, assessment, forum diskusi, tidak bisa seperti itu. Harus tinggal di daerahnya, seperti kata Rendra bahwa kita harus turun ke desa-desa keluar ke jalan-jalan untuk menghayati,” ujar Hikmat
  
Saat menghayati tersebut, bagi Hikmat, baru bisa temukan solusi yang ternyata tidak tunggal. Karena saat ini masih berpandangan semua diselesaikan dengan satu tangan atau satu model tunggal. “Tidak bisa, tetap harus di customize(disesuaikan) setiap daerah pendekatannya berbeda-beda. Oleh karena itu, pendekatan IM dengan pelibatan untuk menggerakkan, dan yang paling gampang adalah dengan memberi contoh dengan mendorong pelibatan langsung kepada pemerintah daerah. Sehingga, beberapa kabupaten memiliki inovasi sendiri-sendiri, sehingga tidak ada satu model tunggal yang tercipta,” terangnya.


Hikmat mencontohkan, di Halmahera Selatan punya tantangan tersendiri setiap pulau-pulau punya kekurangan masing-masing, akhirnya yang mereka lakukan mengajak guru-guru di pulau tertentu untuk ngajar selama waktu tertentu, yang dinamakan Gerakan Desa Cerdas.

Shally Pristine
Sementara di Maluku Tenggara Barat, salah satu pengajar muda Indonesia Mengajar Shally Pristine menceritakan, awalnya guru-guru di sana bertanya bagaimana guru IM ini bisa mengajar dan lebih diterima metode mengajarnya oleh murid-murid. “Sehingga kita ajak guru-guru untuk mengikuti beberapa hari di sesi karantina Guru Muda IM. Setelah itu, mereka tergerak membuat suatu model pelatihan untuk guru-guru, seperti Guru Model yang diberi pelatihan intensif layaknya karantina Guru Muda IM. Semua kami berikan segala metodenya, dan mereka yang menjalankannya,” ujar Shally.

Dengan seperti ini, lanjut Hikmat, kita tidak perlu dibelit-belitkan dengan kontrak kerja sama, karena programnya dengan sendirinya berjalan. “Kami juga punya prinsip dengan teman-teman IM, lebih baik pendekatannya personal dahulu, karena terlalu senang berelasi membangun hubungan ke berbagai lembaga, tapi eksekusinya mana? sedangkan yang kita butuhkan ada pergerakkan yang cepat, tidak perlu terlalu banyak seremonial,” ungkapnya.

Yang Bertanya, Yang Bertanggung Jawab

Relawan membuat
Video Profesi
IM juga punya pepatah yang bertanya, yang bertanggung jawab. Karena tidak berambisi menjadi organisasi yang besar, yang penting pergerakkannya yang menghasilkan impact (dampak). Sehingga, kalau ada yang tanya, kok di kota saya belum ada? artinya, yang bertanya bertanggung jawab untuk mewujudkan di kotanya dan kita coba memfasilitasi dan bareng-bareng wujudkan. Seperti Kelas Inspirasi pertama kali diadakan di Jakarta sebanyak 25 sekolah, kemudian bergulir dilakukan di beberapa kota lainnya, karena ada yang bertanya.

Shally bahkan mengungkapkan, kenapa akhirnya bisa diadakan di Bali, karena Prof. Dr. Anak Agung Gde Muninjaya, MPH yang merupakan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana menanyakan kenapa Kelas Inspirasi di Bali tidak ada? setelah beliau melihat ada artikel mengenai KI di suatu media online. "Kemudian saya jawab, ya sudah Bapak bikin aja, dan beliau bertanya bagaimana caranya. Kemudian kita berikan tutorial, step by step, yang akhirnya pak Munin mengumpulkan beberapa temannya, bahkan sampai melibatkan seorang Bupati sebagai relawan," terangnya. (saat itu, penulis turut ikut dalam Kelas Inspirasi Bali, 11 Juni 2013. Artikel terkait Berbagi Pengetahuan dengan Kesederhanaan)

Relawan mengemas materi
Kemas-kemas Sains
Sehingga, lanjut Hikmat, bukan kita yang meminta atau memutuskan agar program ini dilaksanakan di beberapa daerah. "Namun siapa yang mau, mari bareng-barengkita wujudkan, kami fasilitasi bahkan mau diduplikasi modelnya silahkan, tidak harus memakai IM juga boleh," ujarnya. Tapi, Hikmat menegaskan, selama berinteraksi langsung dengan murid, seperti Kelas Inspirasi, tidak menyarankan membagikan sesuatu berbentuk dana, produk bahkan sponsor. Hal ini yang membedakan dengan FGIM yang interaksinya tidak langsung dengan murid, karena ini merupakan bagian dari kerja bakti.

Menurut Hikmat, pendidikan itu strategis, sehingga seringkali kerja bakti yang diharapkan hanya sekedar acara bakti sosial atau terjebak tahap ide saja. Maka, perlu ditetapkan targetnya, siapa saja yang diajak, kemudian diundang untuk bekerja termasuk iurannya. "Semua relawan melakukan iuran, sehingga tidak ada tempat duduk VVIP," jelasnya. Sebab, lanjut dia, kebanyakan orang tidak percaya diri untuk mengajak orang untuk berkorban terlebih dahulu, maka kita mengorbankan lebih dahulu agar yang diajak mau ikut berkorban. "Namun, di sini kita semua berkorban. Kalau yang diajak tidak cocok atau tidak mau, tidak ada masalah mungkin masih bisa berbuat baik di tempat lain. Jadi berkorban ternyata pilihan juga ya, disesuaikan dengan kapasitas masing-masing individu," terangnya.

Posisi Indonesia Mengajar

KepingPedia, Surat Semangat
siap dikirim ke 17 kabupaten
Hikmat menjelaskan, IM secara bentuk legal merupakan yayasan, tapi bentuk sosial adalah gerakan. “Bila gerakan siapa pemiliknya? ya kita semua, hanya saja secara legal Anies Baswedan sebagai perintis dan yang mendirikan IM. Beliau juga sebagai ketua dewan pengurus, namun ketika menerima undangan konvensi calon presiden dari suatu partai politik, beliau menyatakan mengundurkan diri dari yayasan. Kalau menurut saya, sebagai posisi pendiri memang tidak bisa digantikan, dan pengunduran dirinya disampaikan beliau untuk mengelola kemungkinan conflict of interest. Kemudian apakah IM akan terus berkembang? Tentu, karena sebagai bentuk sosial yang dimiliki semua,” jelasnya.

Adapun, persyaratan untuk menjadi Guru Muda IM maksimal umur 25 tahun, dan belum menikah. Setelah lolos dari seleksi, Guru Muda IM punya tugas mengajar diberbagai daerah sesuai dengan penempatan yang ditetapkan selama jangka waktu 5 tahun. "Tapi, setiap tahun pindah daerahnya. Kenapa? biar gacepat galau alias ga bosan," ungkap Hikmat dengan tersenyum.

Dia juga menjelaskan, tentunya ada biaya opersional yang dikeluarkan dan dalam menggalang pendanaan tersebut tentunya membutuhkan prosedur hukum, maka bentuk legalnya yang digunakan, yaitu yayasan. "Sehingga, bentuk sponsor dikumpulkan dan dikelola oleh relawan untuk kebutuhan dari kegiatan, seperti FGIM terkumpul Rp1,5 miliar," terangnya. Terakhir, Hikmat mengatakan, bahwa kalaupun aktivitasnya tidak membutuhkan legal tetap bisa jalan dengan inisiatif sendiri, selama berniat untuk kebaikan.


Berhenti mengeluh tidaklah cukup.
Berkata-kata indah dengan penuh semangat juga tidak akan pernah cukup.
Saatnya beraksi.

Segera berbuat, serentak bergerak.