Antara Migas, IGGI dan Cadangan Devisa

Kelompok antar pemerintah bagi Indonesia (Intergovernmental Group on Indonesia/IGGI) adalah sebuah kelompok internasional yang didirikan pada 1967, diprakarsai oleh Amerika Serikat untuk mengkoordinasikan dana bantuan multilateral kepada Indonesia. Anggota IGGI adalah Bank Pembangunan Asia, Dana Moneter Internasional, UNDP, Bank Dunia, Australia, Belgia, Britania Raya, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Selandia Baru, Swiss dan Amerika Serikat.

IGGI mengadakan pertemuan pertamanya pada 20 Februari 1967 di Amsterdam. Indonesia saat itu diwakili Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dari 1967 hingga 1974, IGGI mengadakan dua kali pertemuan setiap tahunnya, namun sejak 1975, pertemuan hanya diadakan sekali dalam setahun karena perkembangan ekonomi Indonesia yang membaik. Bantuan awal IGGI adalah dalam penyusunan program rencana lima tahun Indonesia, Repelita I (1969-1973) dan pendanaan 60 persen darinya.

Pada Maret 1992, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa dana bantuan IGGI akan ditolak jika organisasi tersebut masih diketuai Belanda. IGGI kemudianpun digantikan Consultative Group on Indonesia (CGI). Keputusan ini juga terjadi setelah Ketua IGGI, Jan Pronk, mengecam tindakan Indonesia terhadap pembunuhan para pengunjuk rasa di Timor Timur pada 1991 (Pembantaian Santa Cruz/Insiden Dili).

Wajar Penggunaan Pinjaman Sebaik Mungkin

Semua instansi pemerintah dan lembaga yang berwewenang diminta agar memanfaatkan semaksimal mungkin pinjaman yang diperoleh dari IGGI, demikian pula bantuan lainnya serta dana murni rupiah. Karena itu, langkah-langkah untuk melancarkan pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai dari pinjaman itu, perlu lebih ditingkatkan lagi. “Jangan sampai kita meminjam tapi pelaksanaannya terlambat karena tindakan kita,” ujar Presiden Soeharto yang disampaikan dalam sidang Kabinet Terbatas bidang Ekuin di Bina Graha (Kompas, 7 Juni 1984).

Suatu harapan yang sangat bijaksana, apalagi datangnya dari harapan Presiden yang selalu memikirkan usaha serta keberhasilan pembangunan Indonesia dari berbagai bidang. Apalagi jika sumber pembiayaan pembangunan yang berupa investasi itu berasal dari luar negeri. Terutama yang menyangkut pinjaman luar negeri, baik pinjaman pemerintah maupun pinjaman perusahaan pemerintah. Baik pinjaman yang berasal dari IGGI maupun yang di luar IGGI.

Walaupun hingga kini, bangsa Indonesia masih bisa berbangga karena masih dipercaya oleh negara-negara yang memberikan pinjaman (ngarep malahan, Red). Tetapi di balik itu, apapun namanya pinjaman, baik pinjaman sifatnya lunak, apalagi yang cukup berat, akhirnya juga secara berangsur-angsur pinjaman itu harus dikembalikan bersamaan dengan bunganya, bersamaan dengan semakin meningkatnya kebutuhan investasi dalam negeri demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang diharapkan (intinya, dikembalikan ya, namanya juga pinjaman, tapi hasil pinjamannya apa? Lalu siapa yang harus mengembalikan pinjamannya?, Red). Tentu akan lain lagi kalau investasi itu berasal dari hasil Indonesia sendiri.

Hasil dari dalam negeri sendiri yang merupakan hasil dari ekspor yang melimpah ruah. Seperti halnya negara-negara OPEC kaya minyak yang sekarang terancam suram, karena ikut meramaikan perang antara Irak dan Iran di Teluk Parsi (dan sekarangpun Indonesia tidak ikut meramaikan perang, nasib ekspornya sudah suram, Red).

Mungkin pinjaman dari luar negeri dari manapun asalnya semakin terasa penting bagi Indonesia. Apalagi, jika diingat belakangan ini hasil ekspor dari minyak bumi Indonesia mengalami penurunan yang cukup memprihatikan. Bukan saja sebagai akibat umum keadaan dunia yang dinamakan resesi yang berkepanjangan, tetapi yang lebih dekat lagi karena sejak bulan Maret 1982 OPEC melaksanakan kebijaksanaan penurunan tingkat produksinya hanya pada batas 17,5 juta barel per hari (bph). Walau kemampuan produksinya bisa mencapai 32,2 juta bph (PIW-April 16, 1984).

Dalam hubungannya dengan penekanan produksi minyak OPEC itu memang di satu pihak diharapkan ekspor minyak OPEC anjlok sehingga akan mempengaruhi jumlah minyak yang dipasarkan di dunia. Akibatnya, diharapkan minimal bisa mempertahankan tingkat harga minyak OPEC. Di lain pihak secara teoritis mungkin timbul pertanyaan bagaimana dengan biaya produksi yang dikeluarkan OPEC. Apakah biayanya sama antara produksi 17,5 juta bph dan 32,2 juta bph? Terutama yang menyangkut biaya-biaya pemeliharaan dan juga biaya-biaya untuk tenaga kerja di negara-negara OPEC. Tetapi yang penting memang pasaran minyak dunia banjir. Kalau harga mau bertahan peranan OPEC sejak 1982 itu masih belum mampu mempertahankan harga minyaknya yang sudah mencapai US$34 per barel. Malah setahun kemudian, yaitu sejak Maret 1983 harga minyak OPEC diturunkan menjadi US$29 per barel (hmm, asyik ya bisa menaikkan dan menurunkan harga minyak, Red).

Rupanya kebijaksanaan OPEC dalam usaha menekan produksi hingga 17,5 juta bph masih belum mampu untuk menguasai pasaran minyak di dunia. Masalahnya minyak dari non OPEC semakin berkembang pesat (jadi selama ini adalah persaingan antar negara yang tergabung OPEC dan non OPEC? Mengingat negara non OPEC pada dasarnya bisa memproduksi minyak dan gas bumi sendiri, tapi belum mencukupi kebutuhan domestiknya, sehingga masih perlu impor, Red).

Sebagai gambaran penulis mengambil misal tingkat produksi OPEC tertinggi sejak sebelumnya, yaitu terjadi pada 1977 yang mencapai 11.413.025 ribu barel. Produksi minyak dunia seluruhnya pada 1977 mencapai jumlah 22.607.000 ribu barel. Yang berarti pada 1977 peranan dari produksi minyak OPEC lebih dari 50 persen produksi minyak dunia. Bisa dibandingkan dengan keadaan pada 1982 produksi minyak OPEC sebesar 6.751.708 ribu barel sedangkan produksi minyak dunia mencapai jumlah 20.136.000 ribu barel. Yang berarti pada 1982 peranan minyak dari OPEC hanya 33,5 persen. Ini membuktikan bahwa kebangkitan minyak dari non OPEC cukup meyakinkan. (P.E., March, 1984).

Itu jika dilihat hanya dari segi permainan angka produksi minyak OPEC dan minyak dunia. Tentu yang lebih menentukan lagi merosotnya jumlah minyak dunia yang diminta karena munculnya energi lain termasuk juga peningkatan pemanfaatan gas alam, nuklir, batubara. Bahkan di negara-negara berkembang mulai bermunculan energi listrik dengan panas bumi dan sebagainya. Belum lagi penentu kunci negara pengimpor minyak yang berupa penghematan penggunaan energi minyak bumi (negara pengimpor minyak melakukan penghematan, Indonesia lupa kalau sudah tidak bisa lagi melakukan ekspor minyak atau sudah termasuk negara pengimpor minyak sejak 2003, tapi komoditi satu ini masih juga jadi bahan perdebatan untuk penerimaan negara, apalagi kalau hasilnya kecil atau menurun, wuahyang di bilangan Senayan pasti koar-koar‘jatahnya mengecil’, Red) dan yang lebih sulit dibuat model dalam teori perhitungan matematika atau ekonometri, yaitu kebijaksanaan negara pengimpor yang berusaha pilih kasih mengimpor dari OPEC ke non OPEC, malah lebih parah lagi adanya proteksi.

Hal ini bisa terjadi karena pengaruh adanya perbedaan warna politik antara anggota OPEC itu sendiri yang buktinya terjadi peperangan antar anggota OPEC dalam arti perang berdarah, bukan perang mutu atau harga minyak. Keadaan demikianlah yang terpaksa memojokkan OPEC harus berbuat menurunkan tingkat produksinya yang berarti ada peluang baik bagi non OPEC, kemudian disusul dengan penurunan harga minyak OPEC.

Pengaruh Resesi Ekonomi Dunia

Sengaja penulis menganggap pengaruh resesi ekonomi dunia terutama yang melanda ekonomi negara maju atau industri bukan sebagai akibat dekat. Karena bagaimana pun resesi ekonomi dunia yang melanda negara maju atau industri bila direnungkan sebagian disebabkan karena melonjaknya harga minyak dunia terutama dari OPEC, sehingga industri atau pabrik-pabrik yang sangat tergantung akan energi terutama minyak bumi terpaksa banyak yang menurunkan produksinya seperti halnya OPEC hingga kini. Atau banyak pabrik atau industri yang terpaksa tutup yang pada akhirnya menjadi masalah besar, yaitu tingkat pengangguran yang cukup tinggi. Jika ekonomi negara industri menjadi suram pasti dampak negatifnya, akan menimpa kepada negara-negara bekembang. Bahkan berpengaruh besar terhadap hasil devisa negara-negara pengekspor minyak terutama OPEC (ini yang dinamakan multiplier effect, Red).

Perkembangan dunia ekonomi yang cukup pahit itu akhirnya juga membawa dampak yang kurang menyenangkan bagi neraca perdagangan maupun neraca pembayaran Indonesia. Sekaligus cukup menggoyahkan cadangan devisa Indonesia. Oleh karena itu, memang harus diakui para pengelola dan perencana ekonomi Indonesia cukup pusing juga. Karena pembangunan harus jalan terus. Karena makin tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai, besarnya investasi yang dibutuhkan juga harus makin besar. Juga tabungan dalam negeri yang harus dimobilisir untuk pembiayaan pembangunan juga harus semakin besar juga.

Kalau saja tabungan dalam negeri sulit ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan investasi, tentu masih ada jalan lain yang mungkin kurang enak dibaca dan kurang enak didengar, yaitu dengan cara usaha peningkatan pemasukan modal dari luar negeri guna membiayai sebagian dari investasi yang dibutuhkan itu. Pemasukan modal dari luar negeri atau capital inflow tersebut juga ditentukan oleh besarnya penanaman modal asing dan besarnya pinjaman luar negeri. Batas besarnya pinjaman luar negeri juga sangat ditentukan oleh kemampuan dari hasil ekspor. Nah, kalau gambaran hasil devisa dari migas belum cerah, begitu juga devisa dari non migas masih saja terus digalakkan, tetapi pinjaman dari luar negeri seperti dari IGGI untuk 1984/1985 Indonesia bisa memperoleh US$2,4 miliar adalah wajar kalau disebut suatu kepercayaan dan juga kebanggaan.

Di samping usaha peningkatan ekspor terutama dari non migas harus terus ditingkatkan terus dan pemanfaatannya harus seefektif dan seefisien mungkin. Karena harus diingat segala pinjaman darimanapun akhirnya juga akan menyangkut kehidupan anak cucu. Memang kalau bisa mungkin lebih baik mewariskan sebuah pabrik besar dengan seluruhnya modal sendiri dibandingkan kalau sebagian modal yang tertanam dalam pabrik itu berasal dari pinjaman. Walau harus diakui dengan mewariskan suatu pabrik besar yang modalnya sebagian berasal dari hutang, berarti si ahli waris harus bekerja lebih keras lagi. Di satu pihak si penerima warisan harus mampu meningkatkan produksinya, di lain pihak harus mampu membayar hutangnya tanpa mengganggu pertumbuhan pabrik itu sendiri.

Pengaruh Terhadap Cadangan Devisa

Dalam tulisan bukan maksud penulis akan mengungkapkan kemungkinan adanya kerawanan terhadap cadangan devisa sebagai akibat dari merosotnya dari hasil ekspor migas (minyak dan LNG), atau kemungkinan beralihnya kepada usaha meningkatkan pinjaman dari luar negeri seperti IGGI. Tetapi hanya sekedar menunjukkan angka-angka perkembangan dari hasil migas, besarnya pinjaman IGGI dan juga perkembangan cadangan devisa. Terutama yang bisa dibaca lewat tabel-tabel yang disuguhkan pada buku Nota Keuangan 1984/1985, maupun Laporan Tahunan Pembukuan Bank Indonesia 1982/1983.

Yang mungkin sering menjadi soroton serta spekulasi pada ahli dan pengamat ekonomi bahwa kemerosotan cadangan devisa bisa menimbulkan tindakan devaluasi. Suatu tindakan yang mungkin kurang enak dirasakan terutama bagi mereka yang berpenghasilan tetap seperti pegawai atau buruh. Kemerosotan cadangan devisa bisa mempengaruhi jumlah kemampuan impor akan turun juga. Apalagi jika akan mengancam impor barang-barang modal atau bahan baku bagi pembangunan. Dengan cadangan devisa itu pula bisa dijadikan bahan permainan untuk penentuan kurs devisa yang bisa mempengaruhi impor dan ekspor, tentu lewat devaluasi lagi.

Bicara soal migas, IGGI dan cadangan devisa. Bicara masalah migas tentu akan tertuju kepada neraca perdagangan yang menyangkut perbandingan antara nilai ekspor dan nilai impor barang dan jasa. Bicara masalah IGGI dan cadangan devisa tidak bisa lepas dengan neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Neraca pembayaran merupakan perbandingan atau selisih antara nilai ekspor dan nilai impor barang dan jasa ditambah dengan lalu lintas devisa. Baik devisa yang berasal dari modal asing, atau bantuan luar negeri (pinjaman) atau dari dana SDR (special drawing right) yang berhak ditarik dari IMF selaku anggota.

Secara kasarnya, jika neraca perdagangan menghasilkan angka plus dan pemasukan modal dari luar negeri plus, maka cadangan devisa bertambah. Jika neraca perdagangan minus, sedangkan pemasukan modal dari luar negeri plus, maka cadangan devisa bisa plus lebih besar dari minusnya neraca perdagangan, yang berarti cadangan devisa bertambah. Bisa juga, kalau plusnya lebih kecil daripada minusnya neraca perdagangan, maka cadangan devisa berkurang. Oleh karena itu, tidak selamanya neraca perdagangan yang minus atau defisit akan adanya kecenderungan cadangan devisa berkurang, kalau ternyata modal dari luar negeri (pinjaman, modal asing dan SDR) masih menunjukkan plus yang besar (waduh, bisa-bisa malah jadi lebih senang pinjam-meminjam dong, tapi perlu diingat kalau pinjaman itu harus dikembalikan dan yang menanggung bebannya pewaris generasi selanjutnya, Red).

Kalau sudah bicara masalah neraca perdagangan barang dan jasa berarti peranan migas sangat besar. bicara masalah modal dari luar negeri, terutama pinjaman luar negeri dari IGGI cukup meyakinkan. Jika semuanya menunjukkan angka plus, bahagialah untuk cadangan devisanya.

Khusus peranan migas dalam neraca perdagangan (transaksi berjalan) menunjukkan angka yang terus meningkat apabila pada 1969/70 hanya US$92 juta, maka pada 1973/74 menjadi US$641 juga, pada 1975/76 nauk terus menjadi US$3.138 juta, pada 1977/78 US$4.445 juta, pada 1981/82 naik terus menjadi US$10.452 juta (Nota Keuangan 1984/85).

Perkembangan pinjaman dan bantuan IGGI (bantuan program dan bantuan proyek) pada 1978/79 sebesar US$1.674 juta, 1979/80 US$2.237 juta, 1980/81 US$2.406 juta, 1981/82 US$2.415 juta, dan 1982/83 US$2.905 juta (BI Laporan Tahunan Pembukuan 1982/83).

Perkembangan cadangan devisa yang 1969/70 dan 1970/71 masing-masing berkurang US$43 juta dan US$18 juta, maka pada 1971/72 bertambah bertambah sebesar US$100 juta, 1972/73 bertambah US$425 juta, 1973/74 bertambah US$360 juta, 1974/75 dan 1975/76 masing-masing US$9 juta dan US$364 juta, 1976/77 bertambah lagi sebesar US$1.001 juta, 1977/78 bertambah US$651 juta, 1978/79 bertambah US$708 juta, 1979/80 bertambah US$1.690, 1980/81 bertambah US$2.736 juga dan pada 1981/82 dan 1982/83 masing-masing berkurang US$988 juta dan US$3.279 juta. 1983/84 diperkirakan bertambah US1.711 juta.

Kalau saja dalam Pelita I-III yang diambil pertambahan cadangan devisa tertinggi, yaitu yang terjadi pada 1980/81 sebesar US$2.706 juta maka peranan dari migas, IGGI dalam menunjang pertambahan cadangan devisa bisa terlihat data sebagai berikut, pada 1980/81 Neraca Perdagangan barang dan jasa (transaksi berjalan) mengalami angka plus sebesar US$439 juta (angka ini berasal dari peranan migas yang plus US$9.089 juta dan yang tanpa migas minus US$8.650 juta). SDR terdapat angka plus US$62 juta. Pemasukan Modal Pemerintah juga plus sebesar US$2.698 juta (terbesar berasal dari pinjaman/bantuan IGGI sebesar US$2.406 juta). Lalu lintas modal lainnya minus US$361 juta. Pembayaran hutang minus US$617 juta.

Keseluruhannya berjumlah US$2.221 juta (US$439 + US$62 + US$2.698 – US$361 – US$617 jutaan). Selisih yang belum dapat diperhitungkan menunjukkan angka plus US$515 juta. Sedangkan jumlah Lalu Lintas Moneternya minus angka US$2.736 juta. Ini berarti bahwa cadangan devisa Indonesia pada 1980/81 bertambah sebesar US2.736 juta.

Dari gambaran angka tersebut jelas sekali betapa eratnya hubungan antara migas dan IGGI terhadap perkembangan cadangan devisa. Oleh karena itu adalah wajar dalam keadaan devisa dari migas tetap murung dan devisa dari non migas masih digalakkan terus, maka peranan dari bantuan atau pinjaman luar negeri terutama dari IGGI masih sangat dibutuhkan. Di satu pihak Indonesia berhasil menambah hutangnya dari IGGI, di lain pihak sektor-sektor yang akan memanfaatkan pinjaman itu harus lebih efektif dan efisien. Penggunaannya harus sebaik mungkin.


Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi Mengubah Ekonomi Dunia, 1985.

Minyak Bumi Sebagai Alat Diplomasi (Bagian 3-Selesai)

Pada waktu OPEC terbentuk, kontak diplomasi dijiwai dengan kepentingan-kepentingan negara maju atau industri yang berupa minyak bumi. Dengan demikian, seperti halnya kontrak-kontrak diplomasi yang pernah dilakukan pada jaman raja-raja berkuasa yang dirundingkan hanya pada masalah kepentingan raja-raja itu sendiri. Begitu juga dengan kontrak-kontrak diplomasi antara negara maju atau industri, juga banyak dikaitkan pada masalah kepentingan mereka akan minyak bumi.

Hal ini tercermin, negara-negara industri kelompok Eropa yang pada mulanya tergabung dalam OEEC (Organization for European Economic Co-Operation) yang kemudian berkembang dengan terlibatnya Amerika Serikat dan juga Kanada, dan pada tanggal 14 Desember 1960 OEEC beralih menjadi OECD (The Organization for Economic Co-Operation and Development) yang anggotanya terdiri dari kelompok OEEC bersama AS dan Kanada. Tujuan organisasi ini, yaitu untuk mengusahakan kerjasama anggota untuk kepentingan yang menyangkut ekonomi termasuk pula usaha perluasan perdagangan yang multilateral tanpa adanya perbedaan-perbedaan (diskriminasi).

Juga yang menyangkut masalah kestabilan keuangan. Dengan demikian, sudah dapat dipastikan masalah energi, terutama minyak bumi, juga menjadi masalah pembicaraan dalam kontrak-kontrak diplomasi antar negara OECD (tuh, mau pilih menjadi kawan atau lawan? Semua tertuju karena energi yang bisa meningkatkan perekonomian suatu negara, asalkan dikelola dengan baik atau tanpa energi ingin kembali jaman The Flintstones?, Red).

Tindakan Sepihak

Sebaliknya dengan adanya kelompok-kelompok negara-negara industri yang nampak semakin kuat berkat bantuan tidak kentara yang berupa pengadaan minyak yang berlimpah-limpah dengan harga yang sangat murah, tanpa memperhatikan kerugian yang sangat besar di negara penghasil minyak. Tindakan sepihak perusahaan minyak raksasa berasal dari negara-negara industri atau maju telah membangkitkan semangat membela kepentingan bersama antara negara penghasil minyak yang pada umumnya telah terikat dengan sistem konsesi dengan perusahaan minyak raksasa (hmm, jadi lebih baik konsesi atau bagi hasil? Selama untuk kepentingan bersama sepertinya tidak menjadi masalah, tapi bersama yang mana/siapa?, Red).

Suatu tantangan yang teramat besar bagi kelompok negara penghasil minyak, yaitu dengan adanya tindakan-tindakan sepihak dari perusahaan minyak raksasa yang menurunkan posted price pada bulan Januari 1959/Agustus 1960. Tindakan ini ternyata tanpa adanya konsultasi, apalagi kontak diplomasi, walaupun pada kenyataannya keadaan pasaran minyak dunia pada waktu itu tidak punya alasan untuk menurunkan posted price. Dengan turunnya posted price, berarti penerimaan negara penghasil minyak dunia pada waktu itu jadi mengecil atau turun. Dengan tindakan itu, ternyata negara penghasil minyak merugi karena pendapatannya menajdi berkurang US$13,5 sen untuk setiap barelnya (ini sih, permainan perdagangan, Red).

Jika suatu negara bisa mengekspor minyak  sebanyak 1 juta barel per hari, berarti negara itu akan dirugikan sebanyak US$49 juta per tahun. Sedangkan, posted price pada waktu itu masih di bawah US$15 per barel (murah ya, tapi itukan dulu, nilai Dollar terhadap Rupiah juga sekitar seribuan atau dua ribuan, sekarang? Wuih, siapa yang untung ya?, Red). Keadaan inilah yang menyebabkan kontak-kontak antar negara penghasil minyak semakin maju dan berkembang. Terutama adanya perkembangan kontak diplomasi negara-negara industri dalam menghadapi energi. Juga antara negara-negara penghasil minyak yang juga melakukan kontak-kontak diplomasi.

Dalam kenyataannya, telah terjadi kontak-kontak diplomasi antara Venezuela dengan Timur Tengah yang semakin berkembang. Pada bulan September 1949 tiga orang utusan dari Venezuela dikirim ke Timur Tengah. Mereka telah melakukan kunjungan ke Iran, Iraq, Saudi Arabia dan Kuwait yang sangat berkaitan dengan situasi minyak dunia yang terasa merugikan negara penghasil minyak. Kemudian pada 1953 muncul Iraq-Saudi Arabia agreement juga yang menyangkut masalah minyak bumi dalam kaitannya dengan kerjasama perminyakkan.

Kontak diplomasi antara negara penghasil minyak semakin lancar (karena merasa dirugikan, makanya bersama, bahu membahu mencari solusi, tapi kalau sampai dimanfaatkan?, Red). Pada bulan April 1959, Dewan Ekonomi Liga Arab telah mempelopori mengadakan kongres minyak Arab yang pertama di Kairo. Pada kongres tersebut hadir ratusan teknokrat dari Arab dan non Arab. Dalam kongres itu telah dibicarakan sebanyak 73 kertas kerja. Pada kesempatan itu, hadir juga utusan dari Venezuela dan Iran. Kesemuanya telah membicarakan mengenai minyak bumi sebagai energi (secara tidak langsung, ada yang memulai duluan untuk rembukan atau provokasi?, Red)

Perkembangan data sejarah ini, telah memperkuat anggapan bahwa energi dalam hal ini minyak bumi sebagai alat diplomasi telah dilaksanakan dan berjalan lancar dengan hasil memuaskan. Dari hasil kontak diplomasi itulah, negara-negara penghasil minyak dapat membuat tandingan kekuatan dalam perjuangan mereka dengan dibentuknya OPEC pada bulan September 1960. Sebagai suatu tantangan buat tindakan sepihak yang dilakukan oleh perusahaan minyak raksasa pada 1959 dan 1960.

OPEC Terbentuk

Sebagai hasil kontak diplomasi antara anggota penghasil minyak yang sudah berjalan cukup lama, maka lima negara penghasil minyak utama, yaitu Saudi Arabia, Venezuela, Iran, Iraq dan Kuwait telah berhasil melakukan konferensi yang pertama sekaligus meresmikan terbentuknya OPEC pada bulan September 1960 di Baghdad. Dari hasil konferensinya yang pertama berhasil diputuskan hal-hal yang berkaitan dengan, pertama, membentuk suatu organisasi permanen yang disebut OPEC. Kedua, setiap negara dengan net substantial export crude petroleum dapat diterima menjadi anggota jika disetujui oleh kelima negara anggota pendiri. Ketiga, menetapkan tujuan dari organisasi OPEC, yaitu mempersatukan kebijaksanaan di bidang perminyakkan dan menentukan cara-cara atau langkah-langkah guna melindungi kepentingan-kepentingan negara anggota secara individual maupun kolektif (any question?, Red).

Dengan berdirinya OPEC berarti kontak diplomasi antara anggota OPEC semakin baik. Dalam kenyataa negara-negara penghasil minyak sejak akhir tahun tiga puluhan hingga beberapa tahun sebelum 1974 selalu dipermainkan secara sepihak oleh perusahaan minyak raksasa terutama oleh perusahaan yang tergolong dalam seven international majors. Perjuangan OPEC pada tahun-tahun pertama masih sangat terbatas sekali, dari perjuangan OPEC selama itu hanya memperlihatkan hasil-hasil sebagai berikut, 
  • Dapat mempertahankan posted pricepada tingkat sebelum Agustus 1960 dan pada kenyataannya posted price itu terus berlaku hingga 1970.
  • Expensing royalties dan uniform rate of royalty. Yang dimaksud royalti, yaitu suatu kompensasi yang dibayar oleh perusahaan kepada pemilik tanah karena menambang kekayaan alamnya dan memasarkan. 
Walaupun pada tahun-tahun pertama itu perjuangan OPEC masih dianggap belum berhasil menumpas kekuasaan perusahaan minyak raksasa, namun karena tujuan dari OPEC itu sangat tepat dan baik bagi dunia penghasil minyak (negara yang memiliki bumi yang mengandung minyak) lainnya, maka pada tahun-tahun berikutnya bermunculanlah anggota yang memasuki OPEC. Empat bulan setelah OPEC terbentuk kemudian Qatar masuk menjadi anggota.

Pada 1962 tercatat Libya dan Indonesia sebagai anggota (banggakah? Dimana tujuan OPEC begitu mengetahui Indonesia tidak mampu lagi menjadi negara pengekspor minyak bumi? Dimana kebijaksanaan guna melindungi kepentingan negara anggotanya?, Red). Pada bulan November 1967 masuk Abu Dhabi (yang sekarang dikenal sebutan United Arab Emirates). Kemudian pada bulan Juli 1969, Aljazair masuk sebagai anggota OPEC yang ke sembilan. Dua tahun kemudian, pada bulan juli 1971 Nigeria menjadi anggota. Pada bulan November 1973, Equador masuk dan yang terakhir Gabon diterima sebagai anggota OPEC yang ketiga belas (mereka tergabung dan bisa dikatakan negara yang kaya akan minyak karena bisa mengekspor, tapi apakah pertumbuhan dan perkembangan negaranya menjadi negara yang dapat memakmurkan rakyatnya?, Red). Ini membuktikan energi dalam hal ini minyak dan gas bumi sebagai alat diplomasi semakin menunjukkan titik terang yang meyakinkan.

Baru pada 1971 ada perubahan atau kenaikan harga minyak OPEC, walaupun masih terlalu kecil. Tetapi setelah perang Oktober 1973 di Timur Tengah yang diikuti dengan embargo minyak oleh negara Arab penghasil minyak terhadap AS dan sekutu-sekutunya, karena mendukung Israel, pada saat itulah harga minyak melonjak dengan empuknya. Naiknya harga minyak OPEC semakin sering dan sangat tinggi. tambahan pula dengan berhasilnya kontak-kontak diplomasi khusus membicarakan masalah minyak bumi sebagai sumber energi.

OPEC Hingga Sekarang
(dilihat pada era 80an, karena penulismenulis di 1982, Red)

Dengan berhasilnya perjuangan dengan berhasilnya perjuangan OPEC yang sekaligus ikut terlibat dalam pertikaian perang di Timur Tengah (khusus kelompok Arab), maka ada kesempatan untuk mengurangi suplai minyak di pasaran dunia, sedangkan kebutuhan dunia pada saat itu sudah mencemaskan negara-negara industri, karena sulit untuk dihentikan. Terutama untuk kepentingan rumah tangga atau perdagangan dan angkutan. Akibatnya harga minyak OPEC dapat meluncur naik dengan empuk dan tinggi. hal ini karena keberhasilan OPEC yang telah mampu mengubah sistem pemasaran dari buyer’s market menjadi seller’s market.

Terutama setelah OPEC berhasil, bukan saja menaikkan harganya yang tidak lagi didasarkan atas posted price tetapi atas official price (harga resmi) juga, karena adanya nasionalisasi, partisipasi negara penghasil minyak, maka penentuan harga akhirnya ada di tangan negara penghasil minyak. Ini berarti kekuasaan penentuan harga minyak ekspor telah beralih di tangan produsen minyak, dalam hal ini negara OPEC dari tangan perusahaan minyak raksasa.

Satu persatu-satu perusahaan yang didasarkan konsesi telah habis waktunya, atau dipercepat waktunya, yang kemudian beralih dengan sistem bagi hasil bahkan joint venture dan banyak juga yang beralih ke perusahaan nasional negara OPEC. Dengan demikian, kekhawatiran akan diperluas karena kenaikan harga minyak bumi dapat dijadikan faktor penentu utama, dalam hal pertumbuhan ekonomi dunia dan juga moneter dunia. Tidak mustahil jika hingga kini adanya pertentangan antara negara pengimpor minyak dengan negara penghasil minyak.

Di satu pihak terutama OPEC beralasan untuk menaikkan harga minyaknya, karena untuk mengikuti perkembangan tingkat inflasi di negara maju. Sebaliknya negara industri sebagai pengimpor minyak menganggap kenaikan harga minyak hanya akan meningkatkan tingkat inflasi dunia, terutama pada akhirnya akan terasa di negara-negara berkembang yang non minyak. Pengalaman pahit terjadi pada 1975. Semua negara di dunia mengalami kemerosotan nilai ekspor, terutama negara berkembang, karena negara industri sedang dilanda resesi. Bahkan Indonesiapun mengalami yang serupa, hasil nilai ekspornya, bukan saja minyak tetapi non minyak pun mengalami penurunan dibandingkan pada tahun sebelumnya.

Secara umum kemajuan yang dicapai oleh OPEC setelah terjadinya perang Oktober 1973 antara lain, pertama, negara-negara Arab terutama kelompok dari Arab, berhasil menaikkan persentase royalti dan pajak pendapatan atas minyak setinggi mungkin. Kedua, negara OPEC berhasil ikut partisipasi dalam perusahaan minyak, dimana perusahaan minyak masih berudaha di negara penghasil minyak. Dan berangsur-angsur perusahaan minyak asing ke perusahaan nasional negara OPEC. Hal inilah yang menyebabkan tidak lagi terdengar posted price yang dijadikan bahan pertimbangan, tetapi official price (harga jual resmi). Ketiga, keberhasilan negara OPEC untuk menasionalisasikan serta membeli perusahaan-perusahaan minyak asing yang masih berada di negara OPEC.

Keempat, secara berangsur-angsur anggota OPEC telah berhasil mengalihkan management perusahaan pengusahaan minyak dari tangan asing ke tangan nasional. Sekaligus terjadi pengalihan teknologi keahlian dalam usaha mencari minyak termasuk pemasarannya (apakah sudah dilakukan Indonesia? Eh, tapikandulu masih jadi anggota OPEC, apakah mereka membantu?, Red). Kelima, dengan kembalinya minyak ke tangan perusahaan nasional, maka harapan hasil minyak untuk kepentingan pembangunan nasional masing-masing negara OPEC semakin berhasil.

Keenam, OPEC berhasil mengubah kebijaksanaan dalam peraturan konsensi hingga menjadi usaha joint venture bahkan seratus persen menjadi milik negara (mengingatkan Pertamina punya JOB/Joint Operating Body, Red). Ketujuh, peranan OPEC di forum internasional, terutama dalam kontak-kontak diplomasi untuk berbagai kegiatan, terutama dalam kontak-kontak diplomasi untuk berbagai kegiatan, terutama masalah sosial, ekonomi dan budaya. Bahkan OPEC semakin mendapat tempat di kalangan negara maju atau industri, terutama karena kekuatan minyak buminya.

Kedelapan, dengan keberhasilan OPEC itu telah membangkitkan negara-negara berkembang baik dalam kelompok Selatan maupun dalam kelompok 77 (yang anggotanya telah lebih dari seratus) telah merasa optimis, bahwa minyak bumi sebagai alat diplomasi telah menunjukkan hasil baik. Kesempatan dengan adanya kekuatan minyak bumi sebagai energi bagi dunia, maka peranan OPEC dalam kontak diplomasi untuk menciptakan Tata Ekonomi Dunia Baru diharapkan semakin sangat berperan. Karena pada akhirnya negara-negara berkembang non minyak akan sepenuhnya meminta bantuan atas kekuatan OPEC yang ada sekarang.

Kesembilan, OPEC tidak lagi didikte oleh negara maju atau industri dalam penentuan jumlah minyak yang harus di suplai atau diproduksi serta dalam hal penentuan harga minyak OPEC jangan terlalu tinggi. Tetapi sebaliknya, OPEC dapat mendikte negara industri atau maju agar jangan memboroskan penggunaan minyak bumi sebagai sumber energi. Negara industri supaya segera mencari dan menghasilkan energi lain di luar minyak. Negara industri harus berusaha mengurangi atau menekan tingkat inflasi mereka, jika mereka menghendaki agar harga minyak OPEC tak dinaikkan lagi.

Jika negara industri membutuhkan minyak OPEC, maka mereka harus bersedia menjual berbagai rupa peralatan industri bahkan kebutuhan pertahanan atau militer dan sebagainya (itung-itung nabung buat perang, lah siapa yang memulai dia yang harus mengakhiri bukan?, Red). Banyak lagi yang menonjol atas hasil OPEC yang telah dicapai. Sehingga tepat , jika diungkapkan bahwa minyak bumi atau energi sebagai alat diplomasi. Karena dengan minyak bumi, OPEC mampu mencapai tujuan sebanyak mungkin mengalah kepada tuntutan-tuntutan kita (dalam hal ini OPEC terhadap negara-negara industri/maju/pengimpor minyak raksasa) merasa puas dengan konsensi yang sedikit-dikitnya kita berikan. Dengan demikian akan tercegalah terjadinya berbagai rupa kekerasan seperti halnya peperangan.

Secara historis antar negara penghasil minyak sejak sebelum OPEC terbentuk hingga sekarang melakukan kontak-kontak diplomasi dengan menggunakan minyak bumi sebagai alatnya.


Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi, Energi dan Diplomasi, 1982.

Minyak Bumi Sebagai Alat Diplomasi (Bagian 2)

Kata diplomasi berasal dari perkataan Latin dan Yunani. Diploma berarti piagam, ijazah, surat pujian. DIplomasi merupakan suatu keahlian atau kepandaian untuk menjalankan perundingan-perundingan negara. Juga dapat dikatakan bahwa diplomasi merupakan kebutuhan resmi antara negara. Dahulu, diplomasi dijalankan oleh raja-raja (kepala-kepala negara) sendiri yang merupakan kepentingan-kepentingan raja-raja saja dan bukan kepentingan negara (apa iya sudah berubah menjadi kepentingan bersama?, Red). Sekarang diplomasi dijalankan oleh dinas diplomatik yang merupakan bagian dari dinas luar negeri (asyik dong jalan-jalan, begitu bukan tujuannya?, Red)

Misi-misi diplomasi sebenarnya telah dilaksanakan pada 1500 SM, pada waktu Raja Babylonia mengirimkan utusannya ke Mesir. Selanjutnya pada 950 SM Ratu Sheba mengunjungi Raja Solomon dari Israel. Yang dapat diartikan, bahwa diplomasi merupakan hubungan-hubungan resmi antar negara untuk berbagai kepentingan yang perlu dirundingkan atau penempatan suatu perwakilan tetap dan sebagainya.

Sedangkan tujuan dari diplomasi itu sendiri, yaitu untuk mengusahakan supaya pihak lawan sebanyak mungkin mengalah kepada tuntutan-tuntutan kita atau supaya pihak lawan itu merasa puas dengan konsesi yang sedikit-dikitnya kita berikan, sehingga dengan demikian ultima ratio (perang) dapat dicegah (tapi kalau untuk penguasaan kekayaan alam sepertinya dibutuhkan perang tuh, Red).

Pada mulanya terdapat diplomasi rahasia atau tertutup yang kemudian sekarang menjadi terbuka. Ada 3 hal yang memungkinkan pengawasan terhadap diplomasi. Pertama, pasal 102 Piagam PBB, yang mewajibkan negara-negara anggota PBB untuk mendaftarkan semua traktat-traktat atau persetujuan-persetujuan yang diadakan oleh mereka kepada Sekretariat PBB. Kedua, kesempatan bagi menteri-menteri Luar Negeri dari berbagai negara untuk saling bertemu sekali setahun, yakni pada pembukaan sidang Assemble PBB (yakin untuk sidang? ntar malah arisan, Red). Ketiga, demokrasi yang menghendaki bahwa setiap traktat atau persetujuan yang dicapai antara negara-negara baru, dapat berlaku setelah disetujui oleh parlemen masing-masing (tetap aja, diplomasi yang rahasia belum tentu disampaikan secara terbuka, so pasti ada hidden agenda, Red).

Perkembangan kontak diplomatik yang pada mulanya sesuatu negara hanya mengutus suatu misi diplomatik ke negara lain yang ditugaskan untuk mengadakan persetujuan dengan negara asing atau hanya untuk mewakili dalam upacara pernikahan Raja. Tetapi pada akhir abad 16 muncullah kebiasaan untuk menempatkan perwakilan-perwakilan diplomatik yang tetap di luar negeri. Dengan demikian dapat diartikan bahwa diplomasi merupakan alat untuk berkomunikasi dengan negara lain mengenai berbagai atau suatu kepentingan.

Perjuangan OPEC

Begitu juga kelompok negara-negara pendiri OPEC selalu mengadakan pertemuan-pertemuan dengan beberapa negara penghasil minyak, baik resmi maupun tidak resmi, dimana mereka berusaha memperjuangkan nasib mereka. Mereka dalam hal ini pada calon-calon pendiri OPEC terus menerus berjuang agar mereka memperoleh hasil yang layak dari minyaknya. Bukan saja mereka kecewa dengan tindakan sepihak kelompok perusahaan minyak raksasa yang bekerjasama dengan negara-negara induknya untuk menurunkan harga minyak, tetapi juga menyangkut masalah hasil pajak negara penghasil minyak yang semakin merosot.

Walaupun pada akhirnya OPEC dapat dibentuk, tapi hasilnya masih begitu lama, masih perlu perjuangan yang kuat. Apalagi, jika diingat bahwa kelompok OPEC masing-masing mempunyai kepentingan nasionalnya, masing-masing sesuai dengan selera kebijaksanaan politik dan ekonominya. Walau pada pembentukan OPEC masalah perbedaan politik dan ekonominya masing-masing. Walau pada pembentukan OPEC masalah perbedaan politik dalam negeri masing-masing tidak menjadi masalah, asalkan tuntutan untuk memperoleh hasil minyak yang wajar secara terwujud. Ini berarti, bahwa masalah politik di dalam OPEC yang dapat diwarnai dari perbedaan politik masing-masing anggota benar-benar dikesampingkan.

Hal ini terbukti dengan adanya peperangan antara Iran dan Iraq, bahkan adanya kelompok Saudi Arabia yang malah memihak Iraq, ini membuktikan bahwa minyak OPEC adalah urusan minyak. Seolah-olah hanya urusan pengusahaan atau usaha dagang minyak saja tanpa memperhatikan kepentingan politik serta keamanan sesama anggota OPEC. Apalagi, jika diingat struktur politik di negara-negara OPEC berlainan, terlihat dari bentuk pemerintahan ada yang Raja, ada yang Presiden dan sebagainya.

Walaupun perjuangan OPEC hingga kini masih terbatas pada masalah dagang minyak, tetapi dalam kepentingan OPEC memperoleh dukungan perjuangan dari kelompok negara berkembang lainnya yang non OPEC, kini OPEC mulai melangkah maju. Bukan saja bersedia memberikan bantuan berupa dana, bantuan pengadaan minyak bagi negara berkembang non OPEC, juga berusaha selalu mengaitkan dengan sektor-sektor lainnya yang merupakan masalah-masalah pokok terciptanya Tata Ekonomi Dunia Baru. Hal ini mengingat OPEC juga sangat prihatin dan perlu dukungan dari kelompok negara berkembang non minyak, terutama dalam menghadapi masalah inflasi dunia yang mengancam nilai penerimaan minyak, masalah dana-dana yang tersimpan di negara-negara industri, serta masalah-masalah lembaga-lembaga keuangan dunia yang banyak kaitannya dengan dana OPEC dari kelompok kaya.

Dalam pemikiran ini dicoba untuk diteliti dan dari kenyataan bahwa sebenarnya secara nyata dan jelas bahwa minyak bumi sebagai alat diplomasi sudah dilaksanakan sejak lama. Bahkan dalam usaha menciptakan Tata Ekonomi Dunia Baru diharapkan peranan OPEC yang menguasai minyak bumi dunia dapat memanfaatkan kekuatannya yang berupa minyak bumi sebagai alat diplomasi yang ampuh. Hal ini terbukti dimana kelompok OPEC tidak mau berdialog dengan kelompok negara maju atau industri hanya berpangkal pada masalh pengadaan dan harga minyak dunia saja. OPEC menghendaki pembicaraan lebih menyeluruh dan akan mencakup beberapa sektor utama yang menjadi masalah pokok bagi terciptanya Tata Ekonomi Dunia Baru.

Bicara masalah energi terutama minyak bumi dunia, ekonomi dan keuangan dunia, lembaga-lembaga moneter dunia, masalah dana serta pembangunan dan lain-lain. Dengan demikian dapat diharapkan energi terutama minyak bumi merupakan tulang punggung keberhasilan Tata Ekonomi Dunia Baru, sekaligus energi sebagai alat diplomasi yang cukup kuat.

Sebagai Alat Diplomasi

Diplomasi merupakan suatu keahlian atau kepandaian untuk menjalankan perundingan-perundingan negara. Juga dapat dikatakan bahwa diplomasi merupakan resmi antara negara-negara. Jika dilihat dari definisi tersebut, sudah dapat diartikan bahwa dalam masalah minyak bumi sebagai energi dimana kontak-kontak diplomasi telah berjalan dan berkembang dengan baik. Bukan saja kontak-kontak diplomasi antar negara industri yang berkepentingan dengan energi, juga kontak-kontak antara negara penghasil minyak OPEC dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya yang hampir sama secara bersama-sama. Bahkan dengan minyak bumi itu pula maka telah ada kontak-kontak diplomasi antara negara produsen dan negara konsumen minyak dalam hal ini negara-negara industri.

Setelah terjadi perang Oktober 1973, bukan lagi adanya kontak antara negara penghasil minyak dan perusahaan minyak raksasa, tetapi bahkan negara induk dari perusahaan minyak raksasa selalu ikut ambil bagian. Misalnya, adanya usaha pemerintah Amerika Serikat yang sering melakukan kontak-kontak diplomasi dengan beberapa negara OPEC, terutama yang pro dengan AS.

Diperkirakan hingga 2000 peranan minyak begitu kuat, tetapi kenyataannya mungkin lebih dari itu peranan minyak masih sangat menentukan. Apalagi bagi negara berkembang sungguh berat, masalahnya menghilangkan perkiraan impor minyak, akan beralih pada perkiraan impor minyak, akan beralih pada perkiraan impor energi non minyak, dan yang terbesar lagi berbagai alat-alat atau mesin-mesin atau kendaraan-kendaraan yang digerakkan dengan energi non minyak. Bukan saja harus mengimpor unit-unit pembangkit energi non minyak bahkan berbagai suku cadangnya harus impor, karena sulit diramalkan adanya kemauan negara berkembang secara cepat menyamai negara-negara maju atau industri (ternyata dulu, negara berkembang sudah galau untuk move on, Red).

Walaupun Kuwait terkaya akan dana di dunia, tetapi tidak mampu menghasilkan peralatan industri modern, terutama yang akan menghasilkan atau menggunakan energi non minyak. Sulit untuk diramalkan secara tepat bahwa pada 2000 atau lebih peranan minyak akan berakhir (wuih, mantap nih ramalan, terbukti mulai ketar-ketir cadangan minyak yang menipis akibat tidak pernah hemat energi dan pengembangan energi terbarukan terhambat, Red).

Masalahnya terletak pada, pertama, tingkat produksi yang juga ditentukan dengan cadangan minyak itu sendiri yang hampir tiap tahun nampak berubah (bertambah). Kedua, perkembangan penggunaan minyak bumi untuk waktu mendatang. Apakah dapat terkendali atau tidak. Ketiga, masalah harga minyak yang sangat menentukan cepat atau lambat munculya sumber-sumber energi lain sebagai energi komersial. Keempat, yang menyangkut masalah keamanan serta politik internasional yang akan mempengaruhi OPEC.

Masalah yang keempat, banyak sekali kaitannya dengan hubungan atau normalisasi antara negara-negara OPEC itu sendiri, antara OPEC dengan negara-negara pengimpor minyak terutama negara-negara maju industri. Dalam kaitannya antara minyak bumi dan alat diplomasi, mungkin harus dilihat dari pengusahaan minyak sejak sebelum terbentuknya OPEC, kemudian OPEC terbentuk hingga akhir 1973 serta perkembangan OPEC hingga sekarang.


Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi, Energi dan Diplomasi, 1982.

Minyak Bumi Sebagai Alat Diplomasi (Bagian 1)

Mungkin hingga kini belum ada ucapan di dunia yang menegaskan, bahwa minyak sebagai alat diplomasi, sebagai pernyataan nyata atau formal (karena selama ini hanya dikaitkan dengan bisnis atau industri, Red). Walaupun pada kenyataannya, dalam pertemuan-pertemuan antara kelompok negara industri maju yang sekaligus sebagai negara penjajah beserta perusahaan-perusahaan minyak raksasanya telah dilakukan kegiatan diplomasi.

Perkembangan Perdagangan

Perkembangan tingkat hidup manusia telah banyak menuntut berbagai kemajuan. Bukan saja kemajuan pada masalah perdagangan atau ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan dan sebagainya. Kesemuanya ini juga merupakan sebab timbal balik bagi perkembangan kehidupan manusia di dunia. Dimulai dengan adanya hubungan dagang yang terkenal istilah perdagangan barter antar suku, antar desa, antar kota dan antar desa dengan kota. Kesemuanya masih merupakan cermin ekonomi tertutup dan belum berkembang keluar negeri.

Dengan adanya kekurangan berbagai kebutuhan, baik untuk menghasilkan sesuatu barang maupun usaha mencari pasaran hasil produksinya, maka muncullah hubungan-hubungan perdagangan antar negara. Dengan demikian hingga kini boleh dianggap semua negara telah melakukan sistem ekonomi yang terbuka.

Dengan adanya perkembangan perdagangan yang kemudian melibatkan masalah perjanjian yang menyangkut jumlah barang yang dibutuhkan atau ditukar, msalah penilaian barang dagangan dan sebagainya. Kesemuanya itu memungkinkan adanya perkembangan kepentingan yang tidak terbatas pada masalah dagang saja. Muncullah kepentingan-kepentingan yang menyangkut soal budaya atau kesenian, agama bahkan dengan adanya strategi perdagangan antar negara yang berbeda telah meinmbulkan adanya kerjasama politik atau ideologi, bahkan pertahanan seperti halnya SEATO dan NATO. Hubungan antar negara yang melibatkan berbagai kepentingan baik secara multilateral maupun bilateral semakin berkembang, apalagi setelah terbentuk PBB.

Walaupun PBB terbentuk, tetapi nampaknya peranan PBB dalam mengakhiri perbedaan kepentingan dalam masalah ekonomi ataupun keamanan bagi negara berkembang (termasuk negara miskin) belum juga berhasil. Terutama yang menyangkut adanya perbedaan tingkat hidup yang semakin tajam antara negara industri dengan negara berkembang. Di satu pihak negara-negara industri menjual barang-barang produksi dengan harga tinggi.

Di lain pihak negara berkembang harus menjual atau menghasilkan bahan-bahan mentah sebanyak mungkin untuk memenuhi kebutuhan negara industri atau maju dengan harga relatif lebih murah dibandingkan dengan hasil barang-barang dari negara-negara industri. Tambahan pula negara-negara berkembang harus bergantung dari hasil-hasil industri negara maju dengan harga yang sangat mahal. Jika perbedaan-perbedaan penilaian tersebut berlaku dalam jangka panjang, dapat diperkirakan bahwa jurang pemisah dalam hal pendapatan antara negara industri dibandingkan dengan negara berkembang akan semakin jauh.

Atas dasar perbedaan itulah banyak negara berkembang melakukan hubungan dalam usaha memperjuangkan nasib mereka, terutama usaha menyangkut kepentingan pembangunan nasionalnya masing-masing. Dengan adanya kontak-kontak antar negara berkembang, berarti kepentingan mereka dapat disalurkan melalui kontak-kontak diplomasi dalam menghadapi kekuatan negara maju. Suatu kontak diplomasi yang dianggap cukup kuat diantaranya OPEC beserta hasil perjuangannya, kemudian kelompok 77 (sudah mencapai 133 anggota).

Pengaruh Minyak Bumi Sebagai Energi

Pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi di negara maju umumnya sangat dipengaruhi oleh besarnya energi yang tersedia serta harga energi itu sendiri. Pertumbuhan industri di negara maju semakin pesat dengan munculnya teknologi yang memakai minyak bumi sebagai bahan bakar. Dengan jumlah minyak yang berlimpah dan harga yang murah, teknologi dan perhitungan ekonomi memaksa batubara sebagai sumber energi kalah peranannya.

Sebagai contoh, perkembangan pengadaan energi di Amerika Serikat pada 1920, menunjukkan besarnya peranan batubara mencapai 78,4 persen dari jumlah kebutuhan energinya, sedangkan peranan minyak bumi hanya 13,4 persen, gas alam 4,3 persen dan tenaga air hanya 3,9 persen. Jumlah kebutuhan energi AS pada 1920 berupa batubara mencapai 15.504 triliun BTU (British Thermal Unit).

Struktur pemanfaatan energi ini, kemudian berubah. Pada 1955 jumlah energi yang tersedia bagi AS menjadi batubara 29,5 persen, tenaga air, 3,8 persen dan yang terbesar beralih menjadi minyak bumi sebanyak 41,2 persen dan gas alam 25,5 persen (apalagi kalau cadangan gas yang dimilikinya lebih banyak dari kebutuhan, mungkin gas alam jadi dominan, belum lagi isu minyak bumi diambang kritis cadangannya, makanya mulai dikembangkan energi lain selain minyak, Red). Kebutuhan batubara AS di 1955 hanya sebesar 11.695 triliun BTU, sedangkan di 1920 kebutuhan minyak bumi 2.634 triliun BTU meningkat menjadi 16.340 triliun BTU pada 1955. Kebutuhan gas alam di 1920 hanya 855 triliun BTU meningkat menjadi 10.139 triliun BTU pada 1955.

Dengan berlimpahnya minyak dan harganya murah, terutama yang datang dari negara-negara Timur Tengah, telah mempercepat pertumbuhan ekonomi sekaligus pertumbuhan penggunaan energi pada beberapa negara industri. Terbukti antara 1959-1962 konsumsi minyak bumi untuk kelompok OECD (The Organization for Economic Cooperation and Development) menunjukkan kenaikan sebesar 54 persen atau rata-rata 15,5 persen per tahun.

Dengan berhasilnya OPEC mengalihkan pengusahaan atas minyak mereka, maka secara berangsur-angsur kekuasaan kelompok negara maju telah kehilangan pegangan utama yang merupakan kunci kemajuan ekonomi dan industri mereka. Dengan munculnya keberhasilan OPEC, yang mampu menetapkan tinggi rendahnya produksi dan juga harga minyak dunia, maka segala kontak diplomasi baik di negara-negara maju maupun di negara berkembang selalu mengaitkan pada masalah minyak bumi sebagai sumber energi.

Hal ini disebabkan karena di satu pihak kebutuhan energi dunia (terutama negara-negara maju) semakin besar, di lain pihak cadangan minyak dunia terbatas. Apalagi kekuatan pengaturan produksi minyak telah beralih ke tangan OPEC, keadaan inilah yang pada akhirnya sebagai penentu mengapa energi lain harus dikembangkan.

Sebagai gambaran pada 2000 diperkirakan kebutuhan dunia akan energi sebagai bahan bakar akan mencapai 269 juta barel ekuivalen minyak bumi. Dari jumlah ini 89 juta barel berupa minyak, 33 juta barel dari gas alam, batubara 66 juta barel, nuklir 41 juta barel, kayu dan tenaga surya 24 juta barel dan tenaga air 16 juta barel, masing-masing ekuivalen minyak bumi per hari. Perkiraan ini berdasarkan perhitungan kebutuhan per tahun akan energi rata-rata 3,3 persen sejak 1980, yang diperkirakan akan mencapai 140 juta barel per hari dimana dari minyak sekitar 60 juta barel per hari, gas alam 22 juta barel per hari, batubara 33 juta barel per hari dan lain-lain.

Yang pasti hingga 2000 minyak bumi sebagai sumber energi masih terbesar jumlahnya, apalagi jika diingat sebagain besar minyak dunia itu berasal dari OPEC (mungkin itu sebabnya muncul istilah raja minyak, Red). Kemudian pada 2020 kebutuhan dunia akan energi yang berupa bahan bakar akan mencapai 453 juta barel per hari (rata-rata pertumbuhan 2,6 persen sejak 2000). Dari jumlah ini peranan batubara akan melonjak menjadi 133 juta barel, nuklir 122 juta barel, kayu dan energi surya 40 juta barel, tenaga air 24 juta barel dan dari minyak bumi hanya 95 juta barel dan gas alam 39 juta barel, masing-masing dalam per hari ekuivalen minyak bumi.

Energi Sebagai Alat Diplomasi

Dengan demikian, sungguh tepat dan kuat, jika energi dapat dimanfaatkan sebagai alat diplomasi. Indonesia bukan saja dapat berperan sebagai penghasil energi, tetapi juga sebagai negara pengekspor yang mempunyai banyak kaitan dengan pihak-pihak luar negeri, baik negara berkembang atau maju, guna meningkatkan energi dari minyak bumi ke energi lain.

Melalui kontak diplomasi dengan negara maju diharapkan dapat diperoleh jawaban atas masalah modal dan peralatan serta keahlian yang mengandung unsur teknologi tinggi (transfer teknologi sudah disarankan oleh penulis sejak lama loh, tapi sepertinya masih lebih senang dimanjakan dengan impor, apakah ada hasil produk asli ciptaan putera-puteri bangsa ini yang bisa dibanggakan?, Red). Apalagi, mengingat Indonesia menganut politik luar negeri yang bebas dan aktif berdasarkan kepentingan nasional. Juga Dasa Sila Bandung dengan prinsip-prinsip peaceful co-existence serta gagasan non alignment, maka bagi Indonesia tidak sulit untuk meningkatkan peranan energi sebagai alat diplomasi. Karena energi akan menyangkut hajat hidup umat dunia. Apalagi jika dilihat dari pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menegaskan bahwa kewajiban pemerintah Indonesia adalah

“Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”

Atas dasar itulah, mau tidak mau Indonesia sebagai negara yang juga tergabung dalam kelompok Selatan atau negara berkembang (termasuk negara miskin) harus menggunakan energi sebagai alat diplomasi yang berhasil atau bertujuan positif bagi semua pihak. Dalam hal ini, perjuangan Indonesia disalurkan melalui hubungan bilateral, multilateral atau melalui forum-forum internasional. Secara umum energi dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan tenaga.

Sedangkan pengertian energi bukan manusia, juga banyak artinya. Yang pasti energi merupakan sumber alam yang utama. Para pemakai energimengartikan energi sebagai komoditi yang mereka beli, seperti bensin, gas alam dan listrik. Energi bagi insinyur, yaitu merupakan panas bagi dapur-dapur api industri atau yang bermotif kekuatan bagi mesin-mesin yang menghasilkan tenaga. Lain lagi bagi ahli ekonomi, energi merupakan suatu bahan sebagai kunci untuk kemakmuran nasional.

Tanpa energi mungkin orang tak akan menikmati keadaan kemajuan seperti sekarang ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa energi merupakan bahan pembangkit tenaga berbagai rupa peralatan mesin untuk selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Dengan energi yang berlimpah, secara potensial, suatu negara akan menjadi kaya bahkan akan menguasai dunia.


Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi, Energi dan Diplomasi, 1982.

Potensi Minyak Bumi Dunia (Dilihat dari Era 1980an)

Berapa lama minyak bumi dunia akan habis sangat tergantung pertama dari besar kecilnya cadangan dan yang kedua berapa besarnya produksi yang disesuaikan dan tingkat kebutuhan dunia akan minyak bumi. Sedangkan, besar kecilnya tingkat kemakmuran suatu negara. Semakin makmur, diperkirakan kebutuhan akan energi terutama berupa minyak bumi juga semakin besar.

Jika minyak bumi kelak masih merupakan sumber energi utama, sudah dapat diramalkan bahwa ketergantungan negara-negara industri non-komunis terhadap negara OPEC semakin besar. Tidak mengherankan jika keamanan di negara-negara Timur Tengah pada akhirnya selalu dihantui oleh bencana peperangan antar negara penghasil minyak di Timur Tengah. Karena minyak bumi merupakan kunci bagi industri.

Mungkin pengalaman keadaan di kawasan Asia Tenggara yang selalu terjadi keributan perlu dijadikan contoh. Karena Asia Tenggara dalam kategori gudang yang kaya akan sumber-sumber kekayaan alam seperti halnya, minyak, timah, tembaga, bauksit, nikel, karet, gula, kopi dan sebagainya (treasure house of resource). Maka tidaklah heran kalau Asia Tenggara sejak perang dunia kedua, telah menjadi kancah perebutan negara raksasa seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, RRC, Jepang setelah pengaruh Perancis menjadi luntur. Apalagi kawasan Asia Tenggara yang pada waktu itu kaya akan bahan tambang dan hasil pertanian atau perkebunan, maka tidak mengherankan jika potensi minyak dunia yang terbesar seperti di Timur Tengah juga akan menjadi kawasan yang cukup menggelisahkan. Berbagai kepentingan akan ikut mewarnai negara-negara di Timur Tengah, masalanya kini minyak bumi sebagai sumber energi menjadi penentu sekali bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Sebagai gambaran berapa banyak minyak dunia yang telah dihasilkan, dan berapa besar cadangannya akan terlihat seperti pada tabel 1.

Tabel 1
Potensi Minyak Bumi Dunia yang Telah Diketahui
(miliar barel)
Wilayah
Produksi Kumulatif
(1859-1977)
Cadangan
(akhir 1977)
Perbandingan Cadangan/Produksi Kumulatif
Amerika Serikat
114
29
0,25
Timur Tengah
100
366
3,7
Uni Soviet & Eropa Timur
55
78
1,4
Afrika
25
59
2,4
Kanada
8
6
0,75
Eropa Barat
4
27
6,7
Belahan Dunia Barat Lainnya
46
40
0,9
Belahan Dunia Timur Lainnya
15
40
2,7
Jumlah
367
645

                Sumber: International Petroleum Encyclopedia, 1978

Dari tabel 1 tersebut terlihat bahwa cadangan minyak yang terbesar, yaitu di Timur Tengah. Diharapkan sumbangan minyak dan Timur Tengah akan memegang peranan utama, apalagi jika diingat kumulatif produksinya yang sangat besar setelah Amerika Serikat. Jika dilihat dari jumlah kebutuhan minyak bumi di Timur Tengah sendiri sangat kecil, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kumulatif minyak Timur Tengah yang mencapai 100 miliar barel, nyatanya telah disedot oleh perusahaan minyak raksasa (pintar ya mereka, ga punya ladang migas sendiri, nyedot di ladang tempat lain, kenapa trik seperti itu tidak digunakan juga sama Indonesia?, Red).

Di samping usaha mempengaruhi suasana di kawasan negara-negara penghasil minyak seperti Timur Tengah, juga sambil berusaha mencari serta menghasilkan energi lain di luar minyak, sekaligus menciptakan hasil mesin-mesin industri atau mesin-mesin angkutan lainnya yang menggunakan energi bukan minyak.

Itulah sekedar gambaran berapa besarnya potensi minyak dunia yang hingga kini masih menjadi bahan energi utama dan masih menggelisahkan berbagai negara di dunia yang sama sekali tidak mempunyai energi berupa minyak bumi atau energi lainnya.

Kebutuhan Minyak Bumi Dunia

Besar kecilnya perkembangan kebutuhan minyak bumi pada akhirnya sangat ditentukan pertama oleh tingkat kemakmuran suatu negara, kedua tingkat harga minyak itu sendiri dibandingkan dengan harga energi lainnya. Penentu lain, yaitu adanya sumber energi lain yang lebih banyak dan ekonomis (mungkin dari beberapa negara yang sengaja membatasi kebutuhannya akan minyak bumi). Masalah harga minyak itu sendiri sangat ditentukan oleh tuntutan dari negara penghasil minyak yang selalu menuntut harga yang terus naik dengan alasan untuk memenuhi persamaan nilai tukar akibat adanya inflasi di negara maju.

Di samping itu, kebijaksanaan OPEC yang berusaha melestarikan cadangan minyaknya hingga dapat bertahan agak alam lagi daripada minyak terus dikuras sebesar-besarnya hanya untuk kepentingan negara industri atau maju. Dengan adanya ketakutan akan kelangkaan minyak bumi di dunia, banyak para ahli meramalkan bahwa pada akhirnya energi lain juga akan mampu menggantikan minyak bumi sebagai energi.

Dilihat dari jumlah kebutuhan dunia akan minyak bumi memang ada kecenderungan usaha mengurangi ketergantungan akan minyak bumi. Sebagai gambaran pada tabel 2, akan terlihat mengenai berapa kebutuhan dunia non-komunis akan minyak bumi, dan pada tabel 3 akan terlihat kebutuhan dunia akan energi, dimana peranan dari minyak secara prosentase akan ditekan.

Tabel 2
Perkiraan Kebutuhan Dunia (Non-Komunis) Akan Minyak Bumi
(jutaan barel per hari)
Negara
1976
1985
1990
Amerika Serikat
16,7
22,5
23,5
OECD Eropa
13,6
16,9
18,0
Kanada
2,0
2,5
2,2
Jepang
4,8
6,5
7,4
Negara maju lainnya
1,2
1,8
2,2
OECD lainnya
2,1
4,5
5,7
Negara berkembang non OPEC
6,7
9,5
11,0
Lain-lain
0,9
-
-
Jumlah
48,0
64,2
70,0
            Sumber: Forecast of Energy Supply and Demand in the Non-Communist World, OPEC Bulletin, July 31,1978

Tabel 3
Kebutuhan Dunia Akan Energi Primer Sebagai Bahan Bakar
(jutaan barel per hari ekuivalen minyak bumi)
Jenis
1980
2000
2020
Minyak Bumi
60
89
95
Gas Alam
22
33
39
Batubara
33
66
133
Nuklir
3
41
122
Kayu & Energi Surya
14
24
40
Tenaga Air
8
16
24
Jumlah
140
269
453
Pertumbuhan rata-rata per tahun
3,3%
2,6%
            Sumber: World Energy Conference, 1978

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa diharapkan pada 2020 peranan minyak bumi tidak lagi begitu besar, malah sebaliknya dunia kembali seperti keadaan energi Amerika Serikat di 1920. Dimana peranan batubara kembali lagi sangat berperan. Di samping itu, energi berupa nuklir, kayu, energi surya dan tenaga air terpaksa dikembangkan. Dengan demikian semakin jelas, bahwa sebenarnya kebutuhan dunia akan minyak bumi semakin besar jumlahnya akan terus dikendalikan oleh OPEC, maka energi lain di luar minyak bumi semakin dikembangkan.

Minyak Dunia dan Kemungkinan Sebagai Alat Diplomasi

Untuk mengukur sampai seberapa jauh peranan energi dapat diandalkan sebagai alat diplomasi, terutama perlu dilihat sumber pengadaan minyak bumi duni. Jika dilihat dari tabel 1, terlihat sekali bahwa dalam jangka panjang potensi minyak bumi di dunia yang berupa cadangan sekitar 366 miliar barel berada di Timut Tengah, terutama di negara-negara OPEC seperti Saudi Arabia, Irak, Kuwait, United Arab Emirates dan lain-lain yang kaya akan minyaknya, tetapi jumlah penduduknya sedikit (pantas jadi target melulu, selain itu kontraknya tidak menggunakan PSC, makanya sulit mendapatkan minyak di daerah tersebut, Red).

Di lain pihak, jika dilihat dari tabel 2 terlihat jelas kebutuhan dunia (non-komunis) akan minyak bumi terbesar berada di negara-negara OECD, sedangkan kebutuhan minyak di negara-negara berkembang (bahkan OPEC sendiri) masih jauh lebih kecil. Sedangkan, dalam tabel 3 terlihat jelas, kebutuhan dunia akan energi primer masih diharapkan terbesar berupa minyak bumi. Dalam keadaan inilah, sungguh tepat jika peranan minyak bumi bumi sebagai sumber energi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan diplomasi yang nyata, terutama dalam menciptakan Tata Ekonomi Dunia Baru yang masih terus diperjuangkan. Dimana kekuatan dari OPEC, terutama dari OPEC kelompok kaya, seperti Saudi Arabia, Kuwait, Irak, UAE, Qatar, Iran sangat diharapkan peranannya dalam usaha membentuk Tata Ekonomi Dunia Baru.

Dilihat dari potensi minyak dunia yang berupa cadangan (sebagian besar berada di tangan OPEC) memungkinkan OPEC sebagai kelompok negara berkembang dapat secara aktif berjuang bersama kelompok negara berkembang lainnya. Yang berarti dengan minyak bumi sebagai senjata atau alat diplomasi, diharapkan tuntutan perubahan yang menyangkut nasib negara berkembang non-OPEC dapat tercipta. Terutama dalam usaha mengaitkan segala rupa perjanjian atau dialog dengan pihak negara-negara industri atau maju, agar berbagai masalah pokok yang menjiwai Tata Ekonomi Dunia Baru harus selalu dikaitkan dengan kekuatan minyak OPEC.

Untuk itu, harus dilihat secara kenyataannya, dimana pada awal 1981 dari hasil pertemuan di Bali bulan Desember 1980, OPEC berhasil menaikkan harganya lagi antara US$2 – US$4 per barel. Hal ini bukan saja akan mempengaruhi ekonomi dunia baik negara-negara maju atau industri, tetapi juga sangat berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang yang miskin akan energi. Dengan keadaan demikian, memungkinkan kelompok negara-negara industri harus berhati-hati dan mau mengikuti kehendak kelompok negara berkembang, dimana OPEC sebagai pemimpinnya.

Di lain pihak kelompok negara berkembang yang telah melangkah pada industri, tetapi miskin akan energi berupa minyak bumi, terpaksa harus lebih erat lagi melakukan hubungan kerjasama dengan kelompok negara berkembang lainnya yang mampu memberikan pengadaan minyak serta dana, misalnya dari OPEC.

Untuk mengukur bagaimana potensi OPEC terhadap minyak bumi dunia, perlu pula dilihat data kuantitatif sampai seberapa jauh peranan OPEC di dunia. Sebagai kenyataan, dengan terganggunya produksi serta ekspor minyak dari Irak dan Iran, walaupun Saudi Arabia mampu menaikkan produksinya menjadi sekitar 9,5 juta barel per hari, tetapi kenyataannya harga minyak OPEC pada 1981 mampu naik menjadi US$41 per barelnya. Ini mencerminkan kebutuhan minyak dunia masih lebih besar daripada jumlah produksi dunia. Dalam tabel 4 akan disuguhkan data terakhir produksi dunia di 1979, serta perkiraan 1980, dari gambaran ini akan terlihat dengan pasti bahwa di antara negara industri sendiri ada yang kaya akan minyak dan miskin akan minyak. Sedangkan di negara OPEC itu sendiri terlihat ada kelompok negara kaya dengan jumlah penduduk sedikit.

Tabel 4
Peranan OPEC dalam Produksi Minyak Dunia 1979
Dan Perkiraan 1980
(ribuan ton)
Kelompok Negara
1979
1980
Perubahan (%)
Bagian dari Dunia
1979
1980
Amerika Utara
562.845
567.000
0,9
17,6
18,5
Caribbean Area
221.398
240.545
8,7
6,9
7,8
Amerika Latin lainnya
54.625
56.780
3,9
1,7
1,9
Eropa Barat
108.887
116.665
7,1
3,4
3,8
Eropa Timur & USSR
608.251
625.465
2,8
19,1
20,4
Timur Tengah
1.091.858
956.630
-11,0
34,3
31,2
Afrika
293.310
261.025
12,4
9,2
8,5
Timur Jauh
248.880
241.515
2,8
7,8
7,9
Produksi Dunia
3.189.054
3.065.625
-3,9
100,0
100,0
(dari OPEC)
(1.523.954)
(1.340.830)
-12,0
47,8
43,7
                Sumber: diolah dari Petroleum Economist, January 1981

Dari gambaran ini, akan semakin jelas bahwa peranan OPEC masih sangat besar dan diharapkan dapat diandalkan dijadikan sebagai alat diplomasi. Tentu dengan catatan, diplomasi yang secara nyata atau formal. Karena hingga kini, bahkan dalam pemikiran ini sebenarnya masih dianggap bahwa sejak lama minyak bumi telah dijadikan alat diplomasi oleh beberapa pihak. Tetapi dengan munculnya usaha Tata Ekonomi Dunia Baru sudah waktunya kalau dunia menyatakan bukan saja minyak bumi sebagai alat diplomasi, tetapi juga energi secara keseluruhan sebagai alat diplomasi.

Dari gambaran 1979 dan perkiraan 1980, bahwa produksi minyak OPEC di dunia masih cukup besar ialah di atas 40 persen. Untuk melihat kelompok negara industri kaya akan minyak akan terlihat seperti tabel 5. Dalam tabel ini, penulismencoba memperlihatkan beberapa negara di dunia penghasil minyak yang cukup besar peranannya atau masih diharapkan dapat menjadi besar seperti dari Inggris dan lain-lain. Dalam hal ini, penulismencoba membagi dalam tiga kelompok besar negara penghasil minyak, yaitu kelompok OPEC. Kelompok non-OPEC-non-Komunis, dan kelompok non-OPEC-Komunis.

Tabel 5
Produksi Minyak Dunia 1979 Dan Perkiraan 1980
Atas dasar Perbandingan Kelompok
(ribuan ton)
Kelompok Negara
1979
1980
Perubahan (%)
Bagian Dunia
1979
1980
Produksi Dunia
(3.189.054)
(3.065.625)
(-3,9)
(100,0)
(100,0)
I.(Produksi OPEC)
(1.523.954)
(1.340.830)
-12,0
(47,8)
(43,7)
1.      Saudi Arabia
475.200
495.000
4,2
14,9
16,1
2.      Irak
168.025
138.000
-17,2
5,3
4,5
3.      Iran
151.390
74.000
-15,1
4,7
2,4
4.      -Abudhabi
71.060
65.000
-8,5
2,2
2,1
-Sharjah
646
480
-25,7
-
-
-Dubai
17.720
17.500
-1,2
-
-
5.      Qatar
24.404
22.800
-6,6
-
-
6.      Nigeria
113.479
101.000
-11,0
3,6
3,3
7.      Libya
98.943
85.600
-13,5
3,1
2,8
8.      Aljazair
53.175
44.850
-15,7
1,7
1,5
9.      Gabon
10.300
10.100
-1,9
-
-
10.  Kuwait
127.205
86.000
-32,8
4,0
2,8
11.  Equador
10.515
10.000
-4,9
-
-
12.  Venezuela
122.755
113.000
-7,9
3,8
3,7
13.  Indonesia
79,137
77.500
-2,1
2,5
2,5
II.(Non-OPEC-Komunis)*
(608.251)*
(625.465)*
(-2,8)*
(19,1)*
(20,4)*
USSR
586.000
603.000
2,9
18,4
19,7
RRC
106.150
106.000
-0,1
3,3
3,5
III.(Non-OPEC-Non-Komunis)*
(950.699)
(993.330)
(-4,5)
(29,8)
(32,4)
1.      Amerika Serikat
478.590
485.000
1,3
15,0
15,8
2.      Kanada
83.255
82.000
-1,5
2,6
2,7
3.      Mexico
80.815
110.00
36,5
2,5
3,6
4.      Inggris
77.854
80.000
2,8
2,4
2,6
5.      Norwegia
18.288
23.700
29,6
-
-
6.      Australia
20.522
18.750
-8,6


*belum termasuk RRC
Sumber: diolah dari Petroleum Economist, January, 1981.

Dilihat dari gambaran produksi dewasa ini, nampak sekali peranan OPEC masih tetap kuat. Dilihat dari jangka panjang, jika diukur dari potensi berupa cadangan, juga OPEC masih berperan. Kiranya tepat kalau minyak bumi bagi kelompok negara berkembang baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dapat dimanfaatkan sebagai energi untuk alat diplomasi, walaupun perlu diperhitungkan kemungkinan dari produksi atau cadangan-cadangan non-OPEC-non-Komunis yang tergabung dalam negara-negara industri atau maju yang hingga kini masih enggan untuk melaksanakan Tata Ekonomi Dunia Baru.

Usaha dalam pengendalian produksi dan harga minyak OPEC diharapkan energi sebagai alat diplomasi untuk dikaitkan pada masalah-masalah pokok Tata Ekonomi Dunia Baru sebenarnya dapat segera tercipta. Walaupun dengan catatan, perlu adanya bantuan penuh dari OPEC itu sendiri. Dalam hal ini, diharapkan Indonesia dapat berperan melalui OPEC, bukan saja menyangkut produksi dan harga minyak, tetapi juga menyangkut masalah dana dan minyak OPEC bagi negara berkembang dan dalam kaitannya dengan negara industri yang semakin tergantung akan pengadaan minyak bumi.

Dari gambaran tabel 5 dapat terlihat, bahwa bagi Amerika Serikat dan Inggris nampaknya tidak begitu sulit dalam hal minyak bumi, karena hingga kini, terutama Amerika Serikat mampu menaikkan produksi minyaknya. Bagi Indonesia, mungkin terlalu pagi jika mengemukakan atau mengharap energi sebagai alat diplomasi sebagai suatu kenyataan, karena potensi energi Indonesia berupa minyak bumi masih lebih kecil dibandingkan dengan produksi RRC yang terus mengembangkan usaha eksplorasinya.

Walaupun demikian, dari gambaran kuantitatif posisi Indonesia tidak begitu berarti, tetapi karena Indonesia mempunyai kekuatan politik di forum-forum internasional (oh ya?, Red), terutama di kelompok negara berkembang, maka diharapkan usaha Indonesia untuk mengarahkan OPEC lebih aktif lagi, bukan lagi sebagai suatu tindakan mimpi atau terlalu pagi. Hal ini terbukti dengan adanya usaha pemerintah Indonesia dalam hal Presiden Soeharto pada waktu membuka pertemuan OPEC di Bali, Desember 1980, dimana disinggung pula mengenai harapan serta anjuran yang berbau politik internasional, agar pihak yang berperang, Irak dan Iran, segera menghentikan peperangan. Hal ini dapat dikaitkan bukan saja pada jaminan keamanan nasional itu sendiri, tetapi juga keamanan dunia, terutama keamanan di kawasan negara-negara OPEC.

Keterbatasan Deposit Minyak Bumi

Dilihat dari potensi minyak bumi seperti telah diuraikan, dapat dilihat bahwa cadangan minyak bumi di dunia mungkin akan habis. Tetapi, dalam bagian ini khusus melihat dari segi keterbatasan. Seperti studi-studi yang telah dikemukakan oleh para ahli, bahwa hampir setiap tahun selalu ditemukan sumber-sumber minyak baru, yang kemudian akan menambah besarnya cadangan minyak dunia.

Secara teoritis sudah dapat dipastikan, bahwa minyak bumi di dunia akan habis karena masalah jumlah kebutuhan minyak bumi berkembang bagaikan deret ukur, sedangkan penemuan-penemuan sumber minyak bagaikan deret hitung. Bahkan diperkirakan bahwa minyak akan habis seratus tahun lagi. Tetapi kenyataannya, apakah minyak akan habis seratus tahun lagi? Sulit untuk diramalkan, karena beberapa faktor banyak menentukannya.

Yang pasti karena minyak dunia terbesar berada di negara-negara OPEC, sedangkan konsumsi terbesar berada di negara-negara maju atau industri. Tidak dapat disangkal lagi, jika pada suatu saat negara-negara OPEC secara serentak mengurangi atau menghentikan produksinya, yang kesemuanya akan mengacaukan negara industri. Ada alasan karena inflasi, maka harga minyak OPEC harus tinggi. Ada alasan karena barang-barang industri terlalu mahal. Ada alasan karena negara industri telah menekan komoditi non minyak negara berkembang. Berbagai alasan dapat muncul dalam permainan penentuan harga minyak OPEC. Yang lebih hebat lagi, jika alasan berupa menjaga kelestarian cadangan minyak agar tidak segera habis.

Pengadaan minyak dunia yang berlimpah-limpah sudah berlalu. Harga minyak yang sangat murah juga sudah habis ceritanya. Masalahnya, sekarang bagaimana kontak diplomasi antara negara industri agar mereka tetap kuat sebagai negara industri. Agar mereka tetap menguasai pasaran dunia, karena kecenderungan hasil industri yang berupa peralatan dan angkutan yang menggunakan bahan bakar minyak semakin suram. Tidak mengherankan jika berbagai negara maju atau industri yang penuh dengan dana, penuh dengan keahlian dan teknologi maju, penuh dengan mesin-mesin industri, mencoba mencari jalan keluar dalam masalah energi.

Bagi negara berkembang penghasil minyak mungkin berbeda kepentingan dengan negara industri. Mereka sebagian berpikir bagaimana kelak kalau mereka bangkit menjadi negara industri, kemudian energi apa yang digunakannya. Oleh karena itu, cadangan minyak bumi harus dipertahankan. Negara berkembang penghasil minyak yang tak besar seperti Indonesia seharusnya sudah berpikir demikian.

Lain lagi dengan negara industri, mungkin alasan yang dihadapi selama ini merupakan titik pangkal untuk menyatakan bahwa deposit minyak bumi terbatas. Oleh karena itu, hanya para ahli dari negara maju aindustri saja yang telah berusaha mengadakan publikasi yang berkenaan dengan cadangan minyak. Atas dasar kecemasan, karena deposit terbatas, jumlah penggunaan meningkat apalagi setelah negara berkembang menjadi negara industri, tak dapat terpikir dengan energi apa berbagai peralatan yang biasanya menggunakan minyak bumi harus digerakkan.

Oleh karena itu, berbagai kebijaksanaan negara-negara maju dan juga negara-negara berkembang dalam usaha pengembangan energi lain di luar minyak dijadikan alasan untuk mengurangi ketergantungan akan minyak bumi. Jika seluruh negara di dunia telah berpikir demikian, maka negara industri akan mengalami keuntungan besar untuk jangka panjang. Pertama, negara industri yang kaya akan energi seperti Amerika Serikat dapat menghasilkan energi lain dan juga dapat meningkatkan produksi minyaknya dari negara sendiri.

Kedua, bagi negara-negara berkembang yang kaya akan energi lain dan juga mengandung minyak, akan tergantung dengan negara industri. Bukan saja karena bantuan dana yang besar dari negara maju, juga masalah keahlian, teknologi dan peralatan untuk menghasilkan energi terutama non minyak. Diperkirakan kelak akan terjadi periode baru dalam masalah energi, dari batubara, minyak bumi dan kemudian akan kembali lagi kepada batubara dan energi lain di luar minyak dan batubara. Dimana kesemuanya akan dikuasai oleh negara industri atau maju.

Jika sekarang telah berakhir kerjasama dalam usaha minyak bumi antara negara berkembang dengan negara industri, maka kelak akan muncul perjanjian baru yang menyangkut energi di luar minyak bumi. Keuntungan ketiga, yaitu apabila dahulu negara industri melalui perusahaan minyak raksasanya sebagai penentu harga minyak, maka kelak mereka akan menjadi penentu herga energi lain, bahkan menjadi negara pengekspor energi lain.

Keempat, negara industri telah terhindar dari ketergantungan impor minyak dari OPEC. Sedangkan keuntungan yang kelima, sasaran negara industri yaitu untuk menghasilkan berbagai rupa peralatan atau mesin-mesin khusus dengan bahan energi non minyak. Hal ini bukan saja akan menjadi beban berat bagi negara berkembang, tetapi juga suatu tantangan yang berat bagi OPEC, karena kelak minyak bumi bukan lagi sebagai bahan energi, tetapi terpaksa hanya untuk kepentingan petrokimia selama belum ada bahan energi sintesis lainnya yang akan menggantikan minyak bumi.

Dengan demikian sulit dicarikan ukuran apakah benar, sekarang deposit minyak bumi dunia terbatas. Ataukah hanya dijadikan alasan untuk mempercepat munculnya sumber-sumber energi lain, sekaligus merubah berbagai peralatan atau mesin-mesin hanya dengan menggunakan energi non minyak? Jika dilihat secara teoritis, karena minyak bumi sekali pakai habis, dan bukan sumber energi yang dapat diperbaharui (renewable) maka pada akhirnya akan habis juga. Tetapi kapan?


Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi, Energi dan Diplomasi, 1982.