Alfred Weber (1980) merupakan orang pertama yang mengemukakan teori komprehensif menyangkut tentang lokasi industri, walaupun banyak dari gagasannya itu sebagian besar sudah dikembangkan atau dirumuskan oleh seorang Jerman 20 tahun sebelumnya, yaitu Launhardt.
Sebagai prinsip dasar yang dikemukakan Weber, bahwa pengusaha akan memilih lokasi dimana biayanya paling kecil. Untuk modelnya itu, dia menggunakan beberapa asumsi sebagai berikut, pertama, unit yang dijadikan obyek studi adalah suatu negeri yang terisolasi, yang mempunyai iklim homogen, dimana konsumen terpusat pada pusat-pusat tertentu, semua unit perusahaan dapat memasuki berbagai pasar yang tidak terbatas. Ini berarti keadaan persaingan sempurna. Kedua, beberapa sumber daya alam seperti, air, pasir dan lempung terdapat dimana-mana, yakni tersedia secara luas. Ketiga, bahan-bahan lainnya, seperti bahan bakar, mineral dan biji besi adalah sporadik, tersedia secara terbatas pada sejumlah tempat. Keempat, tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang lokasinya sudah tetap dan ada yang mobilitasnya sudah tetap.
Mungkin teori yang dikemukakan Weber bisa direnungkan bagi Indonesia untuk pembangunan industri, pembangkitan tenaga listrik (energi sekunder), apakah dekat pada konsumen dengan risiko mengangkut energi yang cukup jauh. Atau membangun industri/pabrik di dekat sumber energi, apalagi bisa menjadi bahan baku seperti halnya pabrik pupuk urea, dimana bahan bakunya berupa gas bumi dan sumber energinya bisa juga digunakan gas bumi itu sendiri. pembangunan industri-industri di daerah mungkin perlu pertimbangan utama mengenai sumber enrgi yang melimpah dan murah. Misalnya, banyak industri dibangung di daerah-daerah yang bisa menghasilkan tenaga listrik apakah dari tenaga air, panas bumi atau langsung menggunakan batubara.
Oleh karena itu, sasaran pembangunan industri disesuaikan dengan lokasi sumber energi jangka pendek dan jangka panjang, sebab beberapa energi dapat diekspor, namun perlu diperhatikan dengan meningkatnya kebutuhan dalam negeri. Maka untuk jenis industri yang banyak membutuhkan bahan baku dan energi, baik dari migas maupun batubara atau energi lainnya, secara sasaran penyebaran penduduk dan pemerataan pembangunan mungkin lebih tepat kalau pembangunan berbagai industri itu dekat dengan sumber-sumber energi yang berlimpah. Terutama pengadaan energi itu cukup lama, misalnya lebih dari 50 tahun.
Tantangan Sumber Energi
Terlepas dari teori lokasi Weber, bagi Indonesia tantangan mungkin akan lain lagi. Pertama, bagi Indonesia aygn sumber energinya menyebar di tempat-tempat yang jauh dari konsumen menyulitkan untuk mengangkut sumber energi itu. Apalagi energi seperti panas bumi, tenaga air, bahkan batubara. Kedua, jika rencana pelaksanaan penduduk yang tidak timpang, maka perlu adanya pemekaran daerah-daerah industri yang tidak terpusatkan di kota-kota besar yang padat penduduk. Ketiga, usaha pemerataan pembangunan antar daerah yang potensi alamnya, terutama energi, cukup banyak dan bisa menunjang pembangunan nasional. Keempat, pembangunan industri yang menimbulkan pencemaran lingkungan, karena penggunaan energi seperti batubara, dan lain-lain adalah lebih tepat berada di dekat sumber energi dan bahan baku. Kelima, yang memungkinkan hasilnya bisa langsung diekspor yang berarti akan menambah pendapatan daerah, terutama untuk industri-industri swasta nasional apalagi swasta daerah.
Khusus energi yang bisa diangkut dengan mudah, pakah lewat kapal, kereta api atau lewat pipa sepertinya halnya migas, mungkin lokasi industri tak perlu dekat sumbernya. Sepanjang biaya angkutannya masih murah. Sedangkan untuk memanfaatkan gas bumi lewat pembangunan pipa, katakan dari Sumatera atau wilayah Natuna ke Jawa, atau dari Kalimantan ke Jawa masih mahal, mungkin usaha mendirikan industri dekat dengan sumber gas bumi cukup menguntungkan. Tetapi untuk jangka panjang, maka pengadaan energi untuk industri dan pemanfaatan gas bumi merupakan potensi utama bagi menjamin pertumbuhan industri Indonesia. Masalahnya, tinggal pilih apakah industri harus dibangun dengan sumber-sumber gas bumi, atau disalurkan melalui pipa-pipa, karena diharapkan masyarakat rumah tangga juga akan memanfaatkan gas bumi.
Dalam GBHN 1983, sektor industri antara lain pengembangan pusat-pusat pertumbuhan industri di daerah-daerah tertentu yang memiliki potensi sumber alam, perlu ditingkatkan dengan mendayagunakan sumber daya manusia dan sumber pembangunan lainnya. Ini berarti pertimbangan potensi proyek Asahan yang menghasilkan listrik tenaga air memungkinkan munculnya industri-industri seperti halnya industri alumina atau aluminium dan lain-lainnya.
Kebijaksanaan Energi
Pada GBHN 1983 dikemukakan, pertama, pengembangan dan pemanfaatan energi didasarkan pada kebijaksanaan energi yang menyerluruh dan terpadu dengan memperhitungkan peningkatan kebutuhan baik untuk ekspor maupun untuk pemakaian dalam negeri, serta kemampuan penyediaan energi secara strategis dalam jangka panjang. Kedua, minyak bumi merupakan sumber utama pemakaian energi di dalam negeri. penggunaannya terus meningkat, sedang jumlah persediaan terbatas. Berhubung dengan itu, dilanjutkan dan ditingkatkan langkah-langkah penghematan penggunaan minyak bumi serta pengembangan sumber-sumber energi lainnya, seperti batubara, tenaga air, panas bumi, tenaga angin, tenaga nuklir, tenaga sinar matahari, tenaga biomassa, gambut dan sebagainya. Ketiga, dst. Keempat, penggunaan tenaga listrik ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kota dan desa, untuk mendorong kegiatan ekonomi, khususnya industri. Sehubungan dengan itu perlu ditingkatkan sarana penyediaan listrik serta ditingkatkan pula pemanfaatan dan pengelolaannya, agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dengan mutu pelayanan yang baik serta harga yang terjangkau oleh masyarakat, dst.
Dari gambaran itu, bisa ditarik kesimpulan bahwa minyak bumi perlu dihemat, yang mungkin dapat diandalkan sebagai bahan komoditi ekspor (fakta, bahwa saat ini sudah menjadi net importir minyak, Red), dan juga untuk dimanfaatkan pada mesin-mesin terutama alat angkutan sulit menggunakan energi lain. Oleh karena itu, perlu dikembangkan pemanfaatan energi lain. Walaupun dalam GBHN 1983, dalam hal energi tidak terlihat adanya pemanfaatan energi gas bumi yang semakin ramai digunakan di negara-negara maju, tetapi nyatanya memang pemanfaatan gas bumi di Indonesia mulai terasa penting sejak awal 1964, gas bumi dimanfaatkan untuk pabrik pupuk PUSRI di Sumatera Selatan.
Bahkan untuk jangka panjang pemanfaatan gas bumi yang cadangannya sangat besar bisa diharapkan dapat menunjang pengadaan sumber bahan baku dan energi baik bagi industri atau pengganti bahan bakar minyak. Apakah gas bumi yang disalurkan lewat pipa maupun dalam bentuk lainnya, seperti LPG, LNG maupun CNG. Selain itu, lewat listrik, maka pemanfaatan gas bumi, batubara, tenaga air, panas bumi, energi sinar matahari dan lain-lain, bisa menunjang pembangunan industri antar daerah, dengan membangun pembangkit listrik menggunakan energi tersebut.
Bachrawi Sanusi, Perspektif Daerah dalam Pembangunan Nasional, 1987.