Pembangunan Daerah Dilihat dari Potensi Energi (Bagian 1)

Hampir setiap makalah, bahkan disertasi yang disajikan di luar negeri selalu didahului dengan cerita atau uraian mengenai keadaan letak, penduduk dan ribuan pulau Indonesia. Jepang sebagai negara yang juga terdiri dari kepulauan, juga masih kalah dengan kepulauan Indonesia yang begitu banyaknya.

Memang tidak begitu mudah agar seluruh daerah Indonesia bisa berkembang secara serentak. Bukan saja menyangkut penyebaran penduduk yang tak seimbang. Tidak karena sulit mencari tenaga ahli di daerah. Bukan juga karena rencana pembangunan yang seolah-olah hanya mementingkan nasional atau makro. Tetapi yang terpenting, seperti belum adanya inventarisasi sumber kekayaan alam secara terpadu yang bisa saling menunjang. Dengan demikian diharapkan perdagangan dalam negeri bisa berjalan lancar, terutama antar daerah.

Memang tidak semudah pembangunan di negara yang seluruh wilayahnya merupakan daratan, seperti halnya Amerika Serikat atau katakan saja Korea Selatan. Kalau saja harga minyak mahal, terutama untuk pengangkutan, tenaga listrik bagi industri, bagi negara yang seluruh daratan mudah sekali melakukan pemanfaatan energi lain di luar minyak bumi. Kalau negara itu mempunyai sumber panas bumi, maka dari panas bumi yang dapat menghasilkan listrik minimal bisa menggantikan bahan bakar minyak untuk listrik. Listrik bisa disebarluaskan. Bahkan listrik bisa diekspor, seperti halnya Kanada yang bisa mengekspor listrik ke negara tetangganya.

Bagi Indonesia mungkin lain lagi. Letak sumber-sumber energi primer, seperti minyak dan gas bumi (migas), batubara, tenaga air, panas bumi dan lain-lain, pada umumnya berada jauh di daerah-daerah terpencil. Yaitu terdapat di daerah-daerah yang penduduknya sedikit, jauh dari konsumen, terutama konsumen dari sektor produksi. Oleh karena itu, untuk pembangunan jangka panjang baik dilihat dari pembangunan secara nasional maupun daerah, masalah pertumbuhan industri di berbagai daerah yang kaya akan bahan baku dan bahan bakar atau energi perlu mendapatkan perhatian.

Ketimpangan Perdapatan Per Kapita

Bahkan, rencana ini bisa dipadukan dengan pengembangan penyebaran penduduk agar tidak lagi dipusatkan kepada kota-kota besar yang bukan saja sebagai kota industri, tetapi juga sebagai kota-kota perdagangan barang dan jasa. Jika pertumbuhan ini berlangsung secara jangka panjang, maka memungkinkan pertumbuhan kemakmuran hanya terpusat di kota-kota besar. Akibatnya, penyebaran penduduk akan semakin timpang. Bahkan memungkinkan munculnya ada penduduk suatu daerah yang berpendapatan per kapita sangat kecil, walau secara nyata hasil dari daerah itu terbesar.

Masalahnya, hasil dari daerah itu merupakan pendapatan nasional. Misalnya untuk daerah-daerah migas, secara domestic regional bruto, termasuk migas, merupakan terbesar diantara berbagai daerah atau propinsi. Jika tanpa migas, karena merupakan pendapatan pusat, maka produk domestik regional bruto itu dapat kecil. Sebagai contoh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) propinsi Riau pada 1979 atas dasar harga yang berlaku mempunyai PDRB Rp3.105.409,76 juta. Jumlah ini termasuk dari hasil minyak bumi yang berjumlah Rp2.704.688,82 juta, yang berarti PDRB Riau tanpa minyak bumi hanya Rp400.720,94 juta (BPS, Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia 1971-1979).

Kalau angka PDRB Riau itu dibandingkan dengan DKI Jakarta pada tahun yang sama, dimana PDRBnya berjumlah Rp2.884.609,80 juta. Jika dilihat lebih realistis lagi, yaitu pendapatan per kapita. Maka pendapatan per kapita penduduk Riau pada 1979 atas dasar harga berlaku mencapai jumlah Rp1.507.831,-. Ini kalau dihitung pendapatan per kapita termasuk minyak bumi, tetapi kalau tanpa minyak bumi, pendapatan per kapita Riau hanya Rp194.570,-.

Bisa pula dibandingkan dengan pendapatan per kapita DKI Jakarta pada tahun yang sama sebesar Rp462.307,-. Atau ditambah lagi contoh pendapatan per kapita penduduk Kalimantan Timur pada tahun yang sama, termasuk minyak bumi mencapai Rp1.876.579,- sedangkan kalau tanpa minyak bumi hanya Rp813.416,-.

Dari gambaran perbandingan besar kecilnya pendapatan per kapita pada tahun tersebut jelas sekali penduduk Kalimatan Timur sangat bahagia, baik dilihat dari pendapatan per kapita tanpa minyak, apalagi dengan minyak.

Dari contoh tersebut di atas, mungkin lebih menarik lagi jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita yang terkecil atau terendah di 1979, yaitu Nusa Tenggara Barat yang hanya Rp91.951,-.

Atas dasar data itu, ada yang perlu mendapatkan sorotan. Walau pendapatan per kapita sangat besar, nyatanya tidak sebesar itu. Masalahnya minyak bumi merupakan pendapatan pusat. Dengan kata lain, angka itu bagi daerah merupakan semu. Mengapa hasil migas merupakan pendapatan pusat, mungkin Anda bisa baca dalam bunyi pasal 33 UUD 1945, atau lebih jelasnya seperti yang tertera dalam UU No. 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) yang dalam pertimbangannya disebutkan sebagai berikut, bahwa minyak dan gas bumi adalah bahan galian strategis, baik untuk perekonomian negara maupun untuk kepentingan pertahanan dan keamanan Nasional.

Dalam pasal 11 ayat 1 tertulis aturan sebagai berikut, kepada Perusahaan disediakan seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia, sepanjang mengenai pertambangan minyak dan gas bumi. Selanjutnya dalam pasal 12 ayat 1 diatur ketentuan yang berbunyi, Perusahaan dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract).

Jadi jelaslah, walaupun suatu daerah kaya akan pendapatan dari migas, kesemuanya itu merupakan pendapatan negara dalam arti Pemerintah Pusat.

Siapkan Sumber Pendapatan Lain

Walaupun demikian, dalam usaha pelaksanaan pembangunan daerah untuk jangka panjang, perlu diingat bahwa daerah-daerah yang kaya akan migas pada akhirnya akan kering dari sumber-sumber tersebut. tentu akan berbeda dengan hasil sumber kekayaan alam seperti pertanian yang dapat diperbaharui. Oleh karena itu, adalah bijak untuk jangka panjang jika di daerah-daerah migas atau energi lai yang tidak dapat diperbaharui lagi, harus direncanakan atau disiapkan sumber pendapatan lain setelah sumber energi itu habis.

Memang telah menjadi kenyataan bahwa sumbangan dari migas, baik untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar dalam negeri, untuk bahan baku industri di pabrik-pabrik petrokimia, maupun sebagai sumber devisa maupun sumber penerimaan negara, sangat besar sekali. Misalnya, penerimaan dalam negeri periode 1983-1984 sebesar Rp14.432,7 miliar, diantaranya berasal dari hasil migas sebesar Rp9.520,2 miliar, atau sumbangan dari migas terhadap jumlah penerimaan dalam negeri pada periode tersebut adalah 66 persen.

Kalau saja, penerimaan dalam negeri tanpa migas, berarti hanya Rp4.912,5 miliar. Misalnya, anggaran pendapatan belanja negara tidak dinamis dan tidak berimbang, maka dengan jumlah pengeluaran rutin pada periode 1983-1984 sebesar Rp8.411,8 miliar, berarti tidak ada tabungan pemerintah, malah minus. Kalau berimbang dan dinamis dan tabungan pemerintah misalnya nol, berarti pengeluaran rutin harus ditekan menjadi Rp4.912,5 miliar. Tetapi, dengan adanya penerimaan dalam negeri dari hasil migas, maka pada 1983-1984 tabungan pemerintah mencapai Rp5.422 miliar (nota keuangan 1985-1986). Seperti diketahui, bahwa besar kecilnya tabungan pemerintah sangat menentukan bagi kelancaran serta pengembangan pembangunan, termasuk pula biaya pembangunan untuk seluruh Indonesia, baik lewat jalur sektoral maupun Bantuan Pembangunan Daerah.

Bachrawi Sanusi, Perspektif Daerah dalam Pembangunan Nasional, 1987.

Peranan Gas Bumi Indonesia Mendatang

Apabila energi nuklir tak dapat muncul dengan segera maka dunia akan terus dihantui krisis energi. Krisis energi akan selalu muncul jika pengadaan minyak dunia semakin terkendali, semakin diperkecil dan harganya akan terus naik setinggi langit. Karena semakin mahalnya minyak bumi, maka berbagai negara maju berusaha, bukan saja mengurangi ketergantungan akan minyak bumi impor, tetapi berusaha mencari minyak bumi sendiri. Inggris telah membuktikan, sebagai negara yang bukan lagi negara maju tergantung impor minyak, tetapi menjadi sebaliknya. Inggris telah mampu mengekspor minyak buminya, pada 1978 mampu mengekspor minyak mentah sebanyak 22 juta metrik ton dan di 1979 naik menjadi 39 juta metrik ton. Tujuan ekspornya ke Jerman Barat, Belanda, Denmark, Perancis, Belgia, Swedia, Norwegia, Amerika Serikat, Kanada dan lain-lain.

Lain lagi dengan AS, selain mencari minyak sendiri, energi lain juga dikembangkan. Bahkan sekitar bulan Juni 1980, Presiden Carter telah menandatangani undang-undang pengembangan bahan bakar sintetis. Biaya yang tersedia untuk pengembangan sekitar US$25 miliar, bahkan akan menelan biaya US$68 miliar pada 1984. Biaya sebesar itu hanya untuk menghasilkan bahan bakar dengan sasaran sebesar 2 juta barel per hari ekuivalen bahan bakar minyak di 1992. Berbagai usaha dikerjakan. Semua sumber energi dicari dan digali.

Salah satu energi yang semakin banyak digunakan atau dimanfaatkan terutama di negara-negara penghasil minyak, yaitu gas bumi. Gas bumi dapat dijadikan bahan penambah untuk penggunaan energi, selain gas bumi untuk kebutuhan bahan-bahan kimia yang disebut petrokimia.

Strategi Energi Beberapa Negara

Sebagai gambaran, gas bumi akan banyak digunakan, misalnya di AS dalam The National Energy plan-nya, tertulis pada 1976 jumlah energi yang dibutuhkan mencapai 37 juta barel ekuivalen minyak bumi per hari. Dari jumlah itu ditutup dengan hasil gas buminya sebesar 9,5 juta barel per hari. Juga masih harus impor gas bumi sebanyak 0,5 juta barel ekuivalen minyak bumi per hari. Pada 1985, jika rencananya berhasil, jumlah kebutuhan energinya meningkat menjadi 46,4 juta barel ekuivalen minyak bumi per hari. Jumlah ini akan dipenuhi antara lain dari gas buminya sendiri sebanyak 8,8 juta barel dan impor 0,6 barel ekuivalen minyak bumi per hari.

Begitu juga Kanada dalam kebijaksanaan energinya “an Energy Strategy for Canada” tertulis data energi. Didasarkan pada perhitungan low-price scenario, kebutuhan Kanada akan energi pada 1980 sekitar 10.099 x 1012 BTU, diharapkan dari gas bumi sendiri hanya 1.831 x 1012 BTU. Pada 1985 kebutuhan energinya melonjak menjadi 12.433 x 1012 BTU, diharapkan dari hasil gas buminya sendiri sebesar 1.773 x 1012 BTU.

Lain lagi dengan Jepang yang miskin akan energi. Ternyata negara ini yang juga merupakan negara mengimpor LNG Indonesia, sangat minat dengan LNG. Dilihat dari perkiraan kebutuhan energinya yang dikeluarkan oleh MITI (Ministry of International Trade and Industry), peranan gas bumi semakin ditingkatkan. Pada tahun anggaran 1975 kebutuhan energi Jepang sebesar 390 juta kiloliter ekuivalen minyak bumi. Dari jumlah ini, diantaranya dipenuhi dari LNG sebesar 5,06 juta ton atau hanya 1,8 persen dari jumlah kebutuhannya.

Pada 1985 jumlah kebutuhan energi Jepang (skenario B) tanpa konservasi sebesar 740 juta kiloliter ekuivalen minyak bumi, dengan konservasi sebesar 10,8 persen (rata-rata), maka kebutuhannya hanya 660 juta kiloliter ekuivalen minyak bumi. Dari jumlah tersebut, diantaranya akan dipenuhi dari LNG sebesar 30 ton atau naik menjadi 6,4 persen. Pada 1990 atas dasar konservasi sebesar 13,5 persen, kebutuhannya akan energi naik menjadi 792 juta kiloliter ekuivalen minyak bumi. Dari jumlah ini, peranan LNG semakin ditingkatkan menjadi 44 juta ton atau menjadi 7,7 persen. Dengan kata lain, peranan gas bumi terlepas dari ketergantungan minyak bumi, maka Jepang beralih menjadi ketergantungan gas bumi. Krisis gas bumi dunia akan muncul juga jika harga gas bumi sekarang masih dianggap murah, akan melonjak tinggi seirama dengan harga minyak bumi di dunia.

Manfaat Gas Bumi

Gas bumi merupakan hasil tambang baik yang dihasilkan secara sendiri atau bersama-sama dengan endapan minyak bumi. Yang secara tersendiri disebut non associated gas dan yang bersama endapan minyak disebut associated gas. Gas bumi itu sendiri terdiri dari campuran hidrokarbon terutama metana, serta campuran gas-gas lain, seperti karbon dioksida, helium dan lain-lain. Gas bumi biasa disebut dengan sebutan gas alam.

Hidrokarbon itu sendiri merupakan keluarga senyawa kimia yang mengandung unsur-unsur (C) dan Hidrogen (H). Hidrokarbon yang tersederhana hanya terdiri dari satu atom C dan empat atom H yang dikenal dengan sebutan metana (CH­4). Yang lainnya, yaitu berupa etana (C­2H6), propana (C3H8), butana (C4H10).

Manfaat gas bumi bukan saja dapat digunakan sebagai bahan bakar, tetapi juga digunakan untuk kebutuhan pembuatan bahan-bahan kimia yang biasa dikenal dengan sebutan petrokimia.

Dengan gas bumi dapat dijadikan bahan-bahan kebutuhan industri seperti pupuk urea, karet sintetis, serat-serat sintesis, bahan film, bahan-bahan plastik dan sebagainya. Jika sekarang tukang daun pisang telah terpukul dengan pembungkus plastik, juga karena manfaat dari gas bumi.

Dengan metana dapat menghasilkan amonia (diantaranya urea), methyl alcohol, acetylene (diantaranya vinyl chloride, neoprene rubbers), carbon black dan sebagainya. Dengan etana menghasilkan ethylene yang selanjutnya menghasilkan polyethylene, ethylene oxide, ethyl alcohol, ethyl benzene, ethyl chloride, ethylene chloride dan sebagainya. Dengan butana akan menghasilkan methyl alcohol, n-butylene (akan menghasilkan butadiene selanjutnya menjadi karet sintetis, yang merupakan hantu karet alam dan sebagainya). Dengan kata lain, manfaat gas bumi sangat banyak oleh karena itu, Indonesia tak ketinggalan memanfaatkan gas bumi untuk menunjang pembangunan nasional yang semakin besar dan mahal.

Gas Bumi Indonesia

Cadangan gas bumi Indonesia cukup besar, cadangan yang terbukti diperkirakan sekitar 25 triliun kaki kubik atau sama dengan 4,5 miliar barel minyak bumi. Jumlah ini tak termasuk cadangan lapangan AGIP yang 85 persen terdiri dari CO yang terletak di lepas pantai tengah laut Cina Selatan. Dari cadangan terbukti itu sekitar 3,5 triliun kaki kubik berupa associated gasdan sekitar 21,5 triliun lagi berupa non associated gas. Cadangan gas bumi terdapat di Sumatera bagian Utara, Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Irian dan lain-lain.

Manfaat gas bumi Indonesia, yaitu untuk meningkatkan produksi minyak bumi (berupa lift dan gas injection). Pentan plus (C5+) yang terdapat dalam gas dapat dicairkan menjadi NGL (Natural Gas Liquid). C3 dan C4merupakan komponen utama LPG (Liquefied Petroleum Gas) dan LNG (Liquefied Natural Gas) terutama dari C1 dan sebagian C­2. Ketiga jenis ini dipisahkan dengan menggunakan perbedaan suhu dan tekanan pencairan. LPG diperlukan tekanan sekitar 5 atmosfir dan LNG perlu pendinginan sekitar minus 162 derajat Celcius.

Sampai awal 1978, gas digunakan untuk pembuatan carbon black dengan kapasitas produksi 2.000 ton per tahun. Gas yang digunakan sebanyak 10 MMSCFD gas dari lapangan Rantau. Polypropylene yang dibuat di kilang Musi, Sumatera Selatan memakai off gases hasil FCCU (Fluid Catalitic Cracking Unit), sedang gas bumi hanya sebagai bahan bakar. Gas bumi sebanyak 142 MMSCFD sebagai bahan pupuk PUSRI dan bahan bakarnya.

Associated gas yang terdapat di Arjuna, Laut Jawa (ARCO, lepas pantai), Attaka, Kalimantan Timur (Union, lepas pantai) dan Jatibarang, Jawa Barat (Pertamina), gas bumi dimanfaatkan dengan cara pemisahan dari komponen C5+yang dimasukkan ke dalam minyak kembali. Sementara C3 dan C4dijual sebagai LPG dan C1 dijual sebagai gas. Sebelumnya, gas di tiga tempat itu dibakar begitu saja. Gas bumi jiga dimanfaatkan untuk gas kota.

Sedangkan, dalam Pelita III gas bumi Indonesia juga akan dimanfaatkan untuk pembuatan bahan-bahan industri yang dikenal dengan proyek-proyek petrokima, yaitu proyek Olefin Centre, Aromatic Centre, Methanol dan proyek Carbon Black.

Dengan kata lain, Indonesia telah berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan gas buminya daripada dibakar percuma. Walau diakui untuk mengolahnya dibutuhkan dana yang luar biasa besarnya.

Masa Depan

Dilihat dari besarnya cadangan, prospek pemanfaatan serta masalah usaha diversifikasi energi dan demi kepentingan pembangunan nasional, maka masa depan gas bumi Indonesia cukup cerah. Yang pasti dengan gas bumi dapat menghasilkan berupa, pertama, sebagai bahan untuk meningkatkan produksi minyak. Kedua, sebagai bahan bakar terutama untuk industri, listrik dan perumahan (LPG, gas kota dan sebagainya). Ketiga, sebagai bahan baku untuk industri kima. Keempat, sebagai sumber devisa terutama untuk ekspor LNG, LPG, Urea dan kelak hasil industri dari gas bumi dan sebagainya. Kelima, mengurangi kerugian negara berupa pembakaran gas bumi, apabila tak dapat dimanfaatkan. Keenam, dapat menambah penerimaan negara yang selalu diharapkan. Ketujuh, akan mengurangi pengeluaran devisa untuk impor bahan-bahan baku industri yang berasal dari gas bumi (plastik, serta sintetis, bahan film dan sebagainya). Kedelapan dengan gas bumi dimanfaatkan semaksimal mungkin merupakan sumbangan yang besar bagi pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan nasional. Termasuk pula dalam usaha pelaksanaan divesifikasi energi peranan gas bumi sebagai bahan bakar akan ditingkatkan dan sebagainya.

Perkiraan produksi, penyediaan bahan baku dan bahan bakar industri serta rumah tangga dan pengolahan gas bumi Pelita III terlihat pada tabel


1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
Produksi (miliar kubik kaki)
1.019
1.013
1.049
1.578
1.595
Bahan Baku dan Bahan Bakar (miliar kubik kaki)
595
627
693
1.175
1.178
LNG (juta ton)
6
7,5
7,5
10,2
13,9
LPG (ribuan ton
524
524
463
402
402
Sumber: diolah dari buku Repelita III

Sedangkan, gambaran hasil ekspor LNG didasarkan data Bank Indonesia 15 Februari 1980 (laporan mingguan), hasil ekspor LNG pada 1977 (Agustus-Desember) sebanyak 33,9 juta MMBTU dengan nilai US$87,6 juta. Pada 1978 sebesar 189,5 juta MMBTU dengan nilai US$534,7 juta. Pada 1979 hasil ekspor LNG sebanyak 323,9 juta MMBTU dengan nilai US$1.122,7 juta. Ekspor dari LNG Badak muali Agustus 1977 dan Arun mulai Oktober 1978.

Peranan gas bumi dalam pengadaan energi selama Pelita III merupakan kedua setelah minyak bumi. Kalau pada 1980 hanya sebesar 4,885 juta ekuivalen batubara, maka di 1984 terus naik menjadi 8,339 juta ton ekuivalen batubara. Dengan demikian, peranan gas bumi bagi pembangunan nasional sangat menonjol sekali.

Bachrawi Sanusi, Energi ASEAN Suatu Tantangan, 1982; Kompas, 20 Agustus 1980.


Penggunaan Minyak Bumi Sebagai Energi

Minyak bumi bukan saja dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk penerangan lampu, sebagai bahan pada petrokimia. Tetapi yang banyak digunakan dunia, yaitu untuk energi sebagai penggerak mesin industri dan kendaraan yang menggunakan minyak bumi.

Semakin pesatnya pertumbuhan industri, pertumbuhan ekonomi dan sebagainya, maka penggunaan energi berupa minyak bumi juga semakin cepat. Bukan saja penggunaan di negara-negara industri yang semakin meningkat, juga penggunaan minyak bumi sebagai energi semakin meningkat digunakan di negara-negara berkembang walau tidak begitu besar dibandingkan dengan negara industri.

Sebagai gambaran betapa pesatnya penggunaan minyak bumi sebagai energi, terutama di negara industri seperti Amerika Serikat. Negara raksasa ini ternyata peranan minyak bumi sebagai sumber energi telah melampaui penggunaan batubara yang pada mulanya banyak digunakan. Keadaan ini dimulai pada 1948, dimana suplai minyak bumi telah melampaui batubara.

Dari perkembangan pengadaan energi di AS pada 1920 dibandingkan 1955, suatu bukti bahwa peranan minyak bumi sebagai energi semakin nyata. Seperti terlihat pada tabel 1, dimana peranan minyak mentah hanya mencapai 12,5 persen dari jumlah pengadaan energi di AS, dari gas alam hanya 4,3 persen, sedangkan dari batubara 78,4 persen dari jumlah pengadaan atau kebutuhan AS. Sedangkan, tenaga air masih begitu rendah hanya 3,9 persen. Selanjutnya peranan minyak bumi sebagai energi di negara ini semakin terus meningkat, terbukti pada 1955 keadaannya telah berubah. Dimana peranan minyak bumi AS telah mencapai 41,2 persen, gas alam 25,5 persen dari jumlah pengadaan energi untuk memenuhi kebutuhan AS. Sedangkan peranan batubara pada 1955 merosot tinggal 29,5 persen dan tenaga air hanya 3,8 persen.

Tabel 1. Pengadaan Energi Amerika Serikat
Sumber Energi
Jumlah energi dalam persentase
1920
1955
Minyak mentah
13,4
41,2
Gas alam
4,3
25,5
    Minyak dan gas alam
17,7
66,7
Batubara
78,4
29,5
Tenaga air
3,9
3,8
    Jumlah
100
100
               Sumber : Virgil G Guthrie, Petroleum Products Hand Book, Mc Graw Hill, 1960

Semakin meningkatnya peranan minyak bumi sebagai energi, para ahli di negara industri telah meramalkan bahwa dunia akan kekurangan minyak bumi. Ramalan itu pernah dikemukakan pada 1920-an. Kemudian dipertegas lagi dengan adanya ramalan bahwa kelak dunia akan kekurangan minyak yang dikemukakan pada 1930-an dan setelah perang dunia ke-II.

Cadangan Minyak Habis

Secara teori dapat dipastikan bahwa minyak bumi yang merupakan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable) pada akhirnya juga akan habis. Apalagi jika jumlah produksi terus ditingkatkan sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi dunia. Maka cadangan minyak dunia akan segera habis. Sebaliknya kelestarian minyak dunia akan lama habisnya jika negara penghasil minyak secara aktif berperan dalam pengendalian produksi, walaupun berakibat cukup menggelisahkan negara-negara di dunia yang tidak mempunyai energi minyak bumi atau energi lain. Kebijakan OPEC untuk bertindak aktif dalam pengendalian produksi berarti harga minyak dunia akan semakin baik.

Seperti apa yang diperkirakan oleh Dr. Toshiaki Ushijima dalam tulisannya “Forecast of Energy Supply and Demand in the Non-Communist World”, jelas peranan minyak bumi sebagai energi masih tetap tinggi dibandingkan dengan energi lain. pada 1975, pengadaan minyak dunia non-Komunis mencapai 53,2 persen dari jumlah pengadaan energi dunia yang mencapai jumlah 86,5 juta barel per hari (bph). Pada 1985 diperkirakan peranan minyak masih tetap tinggi sekitar 50,9 persen dari jumlah kebutuhan energi (non-Komunis) yang mencapai 126,2 juta bph. Pada 1990 peranan minyak masih tetap 47,6 persen dari 147 juta bph. (lihat tabel 2)

Pada tabel 2, terlihat bahwa peranan energi non-minyak pada 1975 mencapai 40,5 persen, di 1985 sebesar 49,1 persen dan pada 1990 naik menjadi 52,4 persen, sedangkan minyak bumi sebagai energi diperkirakan akan semakin berkurang peranannya, jika masalah harga minyak semakin mahal secara perhitungan ekonomi.

Terlihat seperti keadaan di AS, dimana periode 1950-1973 konsumsi energinya tiap tahun naik rata-rata sebesar 3,5 persen. Kenaikan di sektor industri sebesar 3 persen, di sektor rumah tangga dan perdagangan naik dengan rata-rata 4,3 persen dan di sektor angkutan naik rata-rata 3,4 persen. Tetapi sejak adanya embargo minyak oleh kelompok Arab penghasil minyak pada 1973-1974, maka laju kenaikan konsumsi energi di AS untuk sektor industri turun, walaupun di sektor rumah tangga, perdagangan dan angkutan nampak terjadi pemborosan karena konsumsi bukannya turun tetapi naik.

Khusus minyak bumi konsumsi minyak AS naik rata-rata 4,4 persen per tahun hingga di 1973. Tetapi pertumbuhan ini merosot pada masa resesi 1973-1975, kemudian AS menjadi kecewa lagi karena kenyataannya pada 1976 konsumsi minyak AS mengalami tren yang melonjak menjadi 6,7 persen.

Apabila pemerintah AS tidak dapat mengendalikan pertumbuhan konsumsi minyaknya, maka diperkirakan negara ini pada 1985 akan membutuhkan minyak sebanyak 22,8 juta bph. Sedangkan pada 1976 kebutuhan akan minyak hanya sebesar 17,4 juta bph.

Keadaan yang mencemaskan itulah yang memaksa AS harus bertindak, mengingat kemampuan produksinya sendiri hanya mencapai 10 juta bph pada 1976. Oleh karena itu, muncullah apa yang dinamakan The National Energy Paln yang dikeluarkan oleh Gedung Putih, Washington pada tanggal 29 April 1977.

Tabel 2. Perkiraan Pengadaan Energi Dunia (Non-Komunis)
(dalam jutaan barel ekuivalen minyak bumi dan persentase)
Jenis Energi
1975
1985
1990
Jumlah energi (jutaan bph)
86,5
126,2
147
Minyak bumi
53,2%
50,9%
47,6%
Gas alam
18,5%
16,3%
16%
Tenaga air
7,3%
7,1%
7,1%
Batubara
19,1%
17,4%
19,4%
Tenaga nuklir
1,9%
7,5%
8,2%
Bahan Bakar sintetis dan lain-lain
-
0,8%
1,7%
Sumber: diolah dari Forecast of Energy Supply and Demand in the Non-Communist World


Dari tabel 2 tersebut, terlihat bahwa peranan energi non-minyak pada 1975 mencapai 40,5 persen, di 1985 sebesar 49 persen, Karena peranan minyak bumi semakin penting sebagai bahan energi terutama di AS, tidak mengherankan jika terjadi setiap perubahan atau kenaikan harga minyak OPEC, ternyata AS yang lebih mengajukan protes. Sebab masalah minyak sebagai sumber energi akan berpengaruh bukan saja bagi pertumbuhan ekonomi moneter negara non-Komunis, namun juga akan memperburuk keadaan sosial politik serta keamanan dunia.

Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi, Energi dan Diplomasi, 1982.