Migas dalam Penanaman Modal Asing

Sejak jaman dahulu bumi Indonesia kaya akan beraneka sumber daya alam, baik sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan lain-lain, juga sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui lagi (un-renewable) seperti tambang, baik berupa batubara, minyak dan gas (migas) maupun hasil tambang lainnya.

Untuk menghasilkan sumber daya alam yang aneka rupa itu diperlukan dana atau modal/investasi yang sangat besar, terutama untuk bidang migas. Selain investasi yang sangat besar juga dibutuhkan teknologi yang tinggi, keahlian serta risikonya sangat besar, terutama jika hasil pengeboran tidak ditemukan migas.

Oleh karena Indonesia ingin menjadi bangsa yang adil dan makmur sesuai UUD 1945, maka diperlukan pembangunan di segala sektor dan bidang. Untuk itu dibutuhkan dana yang sangat besar. Salah satu yang diharapkan bisa mendatangkan sumber dana bari pembangunan selain potensi yang sangat kecil dari dana di dalam negeri, juga sangat besar jika Indonesia berhasil ekspor aneka sumber daya alam, termasuk juga keberhasilan Indonesia memperoleh Bantuan Luar Negeri.

Untuk itulah layak jika pada awal Orde Baru keluarlah UU yang berkenaan dengan Penanaman Modal Asing, yakni seperti yang diatur di dalam UU No. 1 tahun 1967, oleh karena sumber daya alam seperti migas juga sejak lama menjadi produk ekspor dunia (perlu diingat Indonesia sudah tidak lagi jadi negara pengekspor migas sejak 2003, terutama minyak, penulis juga sudah mengingatkan migas merupakan sumber daya alam yang un-renewable, sementara kebutuhan dalam negeri lebih tinggi daripada ketersediaan sumber daya alam, Red), maka layak dengan dibukanya peluang bagi modal asing berusaha di Indonesia. Maka semakin banyaklah kontraktor migas asing yang melakukan operasinya di Indonesia, terutama di lepas pantai (offshore) yang berhasil baik (pertanyaannya, apakah pemodal dalam negeri yang pure nasionalis bisa melakukannya? jangan sampai juga melancarkan modal asing namun soul adil dan makmur berdasarkan UUD 1945 hilang, namun hanya dimanfaatkan sekelompok golongan, kemana jiwa merah putih?, Red).

Pengaruh Penanam Modal Asing Terhadap Ekspor

Phyllis Rosandale mengemukakan, bahwa modal asing pegang peranan penting di dalam proses membaiknya realisasi serta prospek hasil ekspor selama tahun 1970-an. Masalahnya kebanyak produk ekspor Indonesia utama periode tahun 1950-an dan periode 1960-an tidak mempunyai kemantapan permintaan terhadap produk Indonesia, juga selalu mengalami penurunan harga di pasaran dunia. Empat dari lima produk tradisional ekspor Indonesia utama, seperti karet, kopi, teh dan lada, pasarannya lambat perkembangnnya, sedangkan pasaran bagi barang ekspor utama ke lima, yakni kopra, justru turun setelah perang dunia kedua.

Sekiranya Indonesia masih tetap mempertahankan komposisi produk ekspornya seperti periode tersebut, maka peluang untuk menghasilkan devisa ekspor menjadi kecil, apapun yang terjadi di sektor penawaran dalam negeri. Satu-satunya cara yang umumnya berlaku bagi negara kecil untuk menghindar dari prospek yang tidak begitu baik dalam perdagangan internasional yakni dengan cara keberanian mengubah komposisi ekspornya, mencakup lebih banyak barang yang mempunyai prospek lebih baik dilihat dari segi perkembangan harga maupun jumlahnya.

Masalahnya, faktor kemajuan sebagian juga karena adanya kebijakan ekonomi yang lebih baik (untuk siapa?, Red), untuk itu Indonesia dianggap telah berhasil melakukan hal tersebut selama sepuluh tahun sejak tahun 1967 (kebijakan ekonominya hanya berefek sepuluh tahun? apakah tidak ada yang bisa lebih visioner?, Red).

Penanaman modal asing sebagai penggerak utama bagi pertumbuhan ekspor barang-barang mineral dan kayu, satu-satunya sektor yang tumbuh karena investasi yang dilakukan pemerintah adalah bidang tambang timah. Perkembangan ekspor minyak bumi, kemudian bertambah dengan ekspor gas bumi LNG dan LPG, kayu, tembaga, nikel serta seluruhnya bersumber karena masuknya modal swasta asing, terutama swasta asing yang berhasil menambang migas selama ini.

Terbesar dari hasil migas yakni berasal dari ekspor, terutama gas bumi, sedangkan minyak bumi dikhawatirkan jumlah produksi minyak dalam negeri tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan BBM di dalam negeri, yang berarti Indonesia akan menjadi negara net importir minyak (sudah 12 tahun lamanya, bahkan sejak penulis selalu melakukan riset sejak tahun 1980-an, selalu mengingatkan tentang supply dan demand, mengingat migas adalah un-renewablemaka tak pantas Indonesia dijuluki “Kaya akan Minyak”, bukan hanya ekspor perlu mengubah komposisi, pengguna migas sepertinya juga perlu, Red).

Ini berarti pula yang selama ini minyak bumi bisa menghasilkan devisa ekspor, maka pada saatnya Indonesia harus mengeluarkan devisa/dana untuk impor BBM. Oleh karena itu, pihak Pertamina terus memberikan insentif baru yang saling menguntungkan terutama bagi kontraktor migas asing. Dengan kata lain, jika produksi migas meningkat, harga migas dunia makin baik, maka hasil ekspor akan meningkat.

Hasil ini secara berantai akan menambah pendapatan dalam negeri dari migas, menambah dana pembangunan di segala sektor/bidang maupun regional, dan pada akhirnya akan menambah pertumbuhan ekonomi Indonesia (mudah-mudah tidak ‘nyasar’ atau ngendondi suatu tempat, penggunaan dari pendapatan dalam negeri, Red). Karena adanya keberhasilan pembangunan di segala sektor/bidang, terutama karena adanya dana pembangunan dari hasil migas, ternayta usaha bidang-bidang lain di luar migas ikut berkembang, sekaligus juga semakin banyaknya para investor asing menanam modalnya untuk usaha non migas.


Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002