Pada tanggal 2 Oktober 2000 pemerintah sudah menyampaikan rencana anggaran pendapatan dan negara (RAPBN) 2001 kepada DPR RI, walau dalam keadaan daya beli rakyat kecil terus terjepit dan ekonomi rakyat kecil semakin terjepit dan ekonomi rakyat kecil semakin terpuruk, akibat tekanan ganda negatif kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Setelah itu ada revisi-revisi RAPBN 2001 yang terakhir revisi RAPBN pada bulan Mei 2001 yang masih perlu dikaji DPR untuk disetujui.
Banyaknya revisi karena kegagalan pemerintah yang tidak mampu menahan ambruknya kurs rupiah yang sudah mendekati Rp12.000 per US$. Banyaknya protes kenaikan harga BBM seolah-olah tidak membuat pemerintah yang didukung persetujuan DPR goyah.
Sekarang suara wakil rakyat sangat menentukan. Bukan berarti seperti di masa Orde Baru. Sekarang wakil rakyat harus ingat pada rakyat. Mereka dipilih sebagai wakil rakyat, bukan musuh rakyat atau pengkhianat rakyat, yang selalu menyetujui usul pemerintah menaikkan harga BBM khususnya. Apalagi pada tahun anggaran 2001 pemerintah merencanakan harga BBM yang semula naik hanya 20 persen, kemudian direvisi akan naik 30 persen dan hal itu disetujui IMF.
Ini mencerminkan tekad pemerintah sejak Orde Baru selalu menggantungkan kehidupan ekonomi dan moneter Indonesia terutama dari warisan milik rakyat dan hutang luar negeri. Warisan yang berasal dari pengurasan sumber daya alam (SDA) yang tidak henti-hentinya, terutama hasil migas yang cadangannya tidak dapat diperbaharui lagi (un-renewable) dan hasil hutan khususnya. SDA (hutan) yang renewable ini bisa terus diperbaharui jika reboisasi berjalan baik dan lancar, misalnya tebang satu tanam tiga pohon atau lebih. Akan tetapi, uang reboisasi digunakan salah seperti masa Orde Baru (pantas banjir melulu, Red), maka hutanpun akhirnya bisa menjadi SDA yang un-renewable bahkan bisa segera musnah terbakar karena tinggal ilalang kering.
Bangsa Indonesia bukannya menjadi bangsa terkuat di ASEAN, apalagi di Asia atau di dunia. Bahkan dapat dikatakan, kini bangsa Indonesia sebagai bangsa yang boleh bangga karena penduduk dunia, terutama di negara-negara yang tergabung dalam CGI, IMF maupun Bank Dunia termasuk bangsa yang terbanyak hutang luar negerinya, tanpa hasil yang baik bagi rakyat secara merata.
Pemerintah atau wakil rakyat mungkin bangga dengan terus meningkatkan jumlah nominal RAPBN 2001 dari hanya Rp197,03 triliun lebih pada tahun APBN 2000 menjadi Rp295,11 triliun lebih pada RAPBN 2001 (sebelum ada dua kali revisi/waktu diajukan pada bulan Oktober 2000) atau naik sekitar Rp98,12 triliun atau naik sekitar 50 persen dibandingkan APBN 2000 (sebelum ada revisi-revisi yang juga tidak akan menyelesaikan masalah sepanjang pemerintah tak mampu membangkitkan kembali kurs rupiah) (wah, RAPBN sekarang yang sudah mencapai Rp1.800 triliun lebih, bagaimana kalau dibandingkan dengan aset seorang penemu software yang mencapai Rp1.000 triliun? seorang individu bisa memiliki aset sebesar itu, sementara negara berwarga 200 juta masih megap-megap untuk mengimbangi pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatan, dan bangga punya anggaran sebesar itu?, Red).
Menguras Hasil Warisan
Kebanggaan karena membesarnya nilai nominal RAPBN 2001 sebanyak itu, bukan hanya karena pemerintah terus memaksakan diri menguras hasil warisan, juga berupaya memperoleh hutang negeri dan harapan dari sedekah berupa hibah terutama dari luar negeri (mental mengemis?, Red).
Pemerintah dan wakil rakyat seharusnya semakin sadar dan bisa menilai harga diri, karena sekarang segala rupa kebijakan pemerintah secara tidak kentara, termasuk upaya menghapus seluruh subsidi BBM dalam kurun waktu tertentu harus dikendalikan luar negeri.
Subsidi tak kentara di luar BBM yang ratusan triliun rupiah yang dinikmati segelintir pengusaha, seperti bantuan pemerintah dalam memberikan pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terus bermasalah, bantuan bunga kredit, bantuan dalam rekapitulasi, bantuan penalangan hutang-hutang perusahaan/perbankan swasta, pengunduran pelunasan pembayaran hutang para bankir maupun perusahaan konglomerat, penilaian aset perusahaan yang bermasalah BLBI atau lainnya yang terlalu rendah, dan banyak lagi berbagai fasilitas keuangan yang seharusnya sebagai peningkatan pendapatan keuangan negara malah menjadi beban negara.
Akibat negatifnya, rakyat kecilah yang selalu terkena getahnya, karena semua harga dan tarif serba naik gara-gara harga BBM dinaikkan. Harus diperhatikan baik-baik oleh pemerintah maupun wakil rakyat, adanya subsidi BBM memang akan merugikan pihak pengusaha asing, karena harga BBM murah berarti daya saing aneka rupa barang ekspor Indonesia bisa makin kuat. Layak jika IMF paling keras mengingatkan soal upaya penghapusan subsidi BBM.
Akan tetapi, lembaga keuangan dunia seperti IMF tidak memperdulikan Amerika Serikat yang akan melepas persediaan minyaknya (stok minyaknya) sebanyak 30 juta barel. Bukankah hal ini berarti bahwa pemerintahan Amerika Serikat secara tak kentara telah melakukan subsidi harga terutama bagi kaum industriawan kelompok OECD.
Bahkan OPEC dipaksa untuk menambah produksi agar harga minyak dunia terus merosot dan yang untung dalam harga lagi-lagi negara industri. Oleh karena itu, dalam kebijakan upaya menghapus subsidi BBM harus dilihat dari kepentingan nasional bukan kepentingan asing, kecuali memang pemerintah makin takut kehilangan sumber dana hutang luar negerinya, yang selalu menjadi penutup defisit anggaran sebesar apapun.
Walaupun warisan dan hutang luar negeri masih terus sebagai sumber penunjang APBN 2000 dan RAPBN 2001, tetapi nyatanya defisit anggaran semakin membengkak. Pendapatan negara dan hibah dalam APBN 2000 hanya Rp157,897 triliun, sedangkan belanja negara Rp197,030 triliun yang berarti defisit sekitar Rp44,1 triliun.
Dalam RAPBN 2001 (waktu diajukan ke DPR dan belum ada revisi-revisi) jumlah pendapatan negara dan hibah naik menjadi Rp242,997 triliun, sedangkan anggaran belanja negara juga naik menjadi Rp295,113 triliun (belanja apa aja ya?, Red). Jumlah defisit RAPBN 2001 sekitar Rp52,1 triliun (jadi ingat pribahasa, besar pasak daripada tiang, Red).
Dilihat dari besarnya angka nominal APBN 2000 dan RAPBN 2001, layak jika wakil rakyat mempertegas lagi bahwa nilai rapor pemerintah juga meningkat dengan warna merah tebal. Hal ini bukan saja karena pemerintah semakin menguras hasil warisan tanpa modal, juga karena terus menggelembungkan (mark-up) hutang luar negeri sedangkan potensi untuk mengembalikannya secara riil (dengan dolar AS) semakin merosot.
Sudah Bangkrut
APBN 2000 maupun RAPBN 2001 menyerupai suatu income statement atau daftar rugi/laba suatu perusahaan swasta khususnya. Kalau saja, pemerintah adalah perusahaan swasta maka defisit anggaran yang semakin membengkak bisa disetarakan dengan kerugian perusahaan yang semakin besar.
Ini berarti pemerintah bisa dinilai sudah bangkrut. Jika perusahaan swasta yang terus rugi sangat besar dan tidak menghasilkan pajak bagi negara maupun hanya kerugian bagi para pemegang saham khususnya, maka perusahaan itu layak harus dibubarkan (hmm, kalau negara apa bisa dibubarkan? yang ada calon dijajah lagi, dan sepertinya banyak yang minat tuh, atau memang sudah dijajah secara tak kentara?, Red).
Bagi pemerintah yang APBN-nya terus menerus defisit sudah jelas akibat negatifnya akan terus membebankan kemiskinan bagi rakyat banyak khususnya, apalagi ditambah lagi rakyat kecil dicekik dengan kenaikan harga BBM. Tetapi, masih ada yang mengatakan harga BBM di Indonesia terlalu murah dibandingkan harga-harga BBM di banyak negara lain.
Jika dilihat dari akal-akalan pemerintah membandingkan harga BBM di Indonesia termurah dibandingkan dengan negara-negara perbandingannya. Tampaknya, pemerintah dalam hal perbandingan harga BBM itu seolah-olah berlagak lupa, karena tidak membandingkan dengan pendapatan per kapita yang merata antara Indonesia dengan negara-negara pembanding itu. Pemerintah jangan terus-terusan berupaya membutakan mata rakyat atau membodohi rakyat dengan kemiskinan. Kibarkan lagi hidup sederhana dan hemat, terutama bagi kaum yang kaya.
KKN harus ditumpas dengan cara hukuman berat seperti yang dilaksanakan di China. Termasuk hidupkan tim pengusut kekayaan para pejabat BUMN/perbankan milik negara yang sejak Orde Baru berkuasa yang masih aktif dan pensiun.
Semakin besar pemerintah tergantung dengan pinjaman luar negeri (apalagi sekarang ada yang namanya obligasi, surat hutang negara, bantuan lembaga keuangan dan lain sebagainya, agar tidak langsung disebut pinjaman atau hutang luar negeri, tetap saja harus dibayar berikut bunganya, Red), terutama dari IMF, maka seperti yang penulisutarakan pada 1997 di berbagai media massa, bahwa Indonesia seperti ikan lumba-lumba (nah, itu dia namaku, hehehe, Red) yang diperintah atau dipermainkan pawangnya karena ikan itu lapar dan selalu diberi beberapa ekor ikan kecil setiap atraksinya berakhir.
Ketergantungan Hutang Luar Negeri
Penulis sangat prihatin, karena dalam RAPBN 2001 ternyata pemerintah terus tergantung dari hutang luar negeri termasuk dari warisan. Sebagai gambaran pada APBN 2000 pendapatan negara dan hibah berjumlah Rp152,9 triliun berasal dari penerimaan dalam negeri terutama dari pengurasan warisan berupa SDA sebesar Rp40,08 triliun, khusus dari migas sebesar Rp33,2 triliun lebih (sebelum revisi-revisi).
Dari hutang luar negeri berupa penarikan pinjaman luar negeri (bruto) Rp27,3 triliun lebih, dikurangi cicilan pokok hutang luar negeri Rp8,6 triliun berarti netto Rp18,7 triliun. Ini berarti gali lubangnya jauh lebih dalam dibandingkan menutup lubangnya.
Hutang luar negeri makin bertambah dan bunganya juga makin membengkak, apalagi kalau kurs rupiah terus ambruk. Tampaknya, pemerintah tidak berupaya agar jumlah RAPBN dikurangi atau diperkecil (seperti tadi yang sudah dibilang, bangga dengan semakin besar nominalnya, Red), terutama untuk anggaran belanjanya malah terus bertambah (dan berdalih penyerapan anggaran makin membaik, tapi yang merasakan anggarannya siapa?, Red).
Dalam RAPBN 2001 (sebelum adanya revisi) jumlah penerimaan dalam negeri naik menjadi Rp242,99 triliun lebih diantaranya berasal dari hasil pengurasan warisan SDA sebesar Rp53,17 triliun termasuk dari migas sekitar Rp49,5 triliun lebih.
Sedangkan dari hutang luar negeri diharapkan naik menjadi Rp35,99 triliun lebih bruto minus cicilan pokok hutang luar negeri Rp15,876 triliun maka nettonya sekitar Rp20,1 triliun lebih. Lagi-lagi gali lubangnya jauh lebih dalam dibandingkan menutup lubangnya.
Jumlah hutang inipun masih belum jelas jika masalah Atambua dan kasus diberbagai daerah lainnya terus berkepanjangan (apa perlu dipecah juga? kemana semboyan Bhinneka Tunggal Ika? asal jangan sampai dijawab, itu kantoko komputer, Red). Hal ini tentu akan berakibat buruk terhadap hasil ekspor migas maupun non-migas (penulis tidak sempat merasakan saat Indonesia dinyatakan net importir minyak, mudah-mudahan tidak juga menjadi net importir gas, Red), yang akhirnya akan memukul pendapatan dari pajak.
Apalagi jika diingat, harapan pendapatan dari pajak untuk RAPBN 2001 sekitar Rp173,44 triliun atau lebih 71 persen dari jumlah seluruh pendapatan dalam negeri/pendapatan negara (apakah akan menjadi harapan baru menangguk pendapatan negara dari pajak semuanya? lah, yang bayar pajak siapa yang merasakan hasil pajak siapa? ditambah situasi yang tidak kondusif untuk berbisnis, siapa yang mau investasi?, Red).
Juga harus dicatat bahwa pengaruh pengurangan subsidi BBM dengan cara menaikkan harga BBM bukan hanya dikhawatirkan berdampak ganda negatif terhadap ekonomi rakyat kecil, juga berdampak ganda negatif laba perusahaan kecil hingga perusahaan yang sangat besar, dan akhirnya besarnya pajak tidak tercapai karena subjek dan objek pajaknya akan menurun.
Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.