Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 5 - Selesai)

Industri Penjegal Solar Rakyat

Jauh sebelum pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan harga jual bahan bakar minyak (BBM) solar yang berbeda antara yang dikonsumsi masyarakat dengan industri, sudah diduga akan terjadi kekisruhan, karena konsumen utama solar adalah sektor industri. Kalangan industri termasuk penghasil devisa sudah terlalu lama menikmati aneka subsidi, serta aneka fasilitas.

Mulai dari subsidi BBM, subsidi tarif listrik, aneka fasilitas perpajakan, kemudian perkreditan, perizinan dan lain-lain. maka sudah selayaknya jika sektor industri dikenakan harga BBM tanpa subsidi sama sekali. Hanya saja, pengawasannya harus benar-benar ketat, agar solar untuk rakyat tidak disedot sektor industri (sudah lama diingatkan, tapi pernahkah transparan bahwa benar solar untuk rakyat tidak jatuh ke sektor industri, atau selisih harga yang cukup menggiurkan yang menjadikan solar untuk rakyat selalu langka, malah bisa di atas harga subsidi? Masih butuhkah subsidi BBM?, Red). Harga dan alokasi solar untuk swasta harus dijaga.

Masalahnya daya beli masyarakat semakin terpuruk, karena ketidakmampuan pemerintah menjalankan perintah UUD 1945 untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Makmur berarti peningkatan daya beli dan taraf hidup bangsa. Justru karena ketidakberhasilan serta ketidakmampuan pemerintah mempertahankan kurs rupiah, maka rakyat lagi yang harus menanggung kegagalan pemerintah mengelola ekonomi dan moneter.

Kalau saja kurs rupiah makin kuat, defisit bisa diperkecil. Asalkan juga segala rupa anggaran belanja yang tidak penting harus diciutkan. Oleh karena itu, tidak layak jika harga BBM bagi rakyat yang semakin miskin ini harus disamakan dengan harga BBM di luar negeri yang pendapatan per kapita penduduknya sudah di atas seribu, bahkan ada yang lebih dari sepuluh ribu Dollar AS (tapi ini yang selalu dijadikan ‘kebanggaan’ bahwa pendapatan per kapita Indonesia sudah membaik atau semakin meningkat, namun pendapatan siapa? rakyat yang mana?, Red).

Oleh karena itu, wakil rakyat jangan asal setuju saja setiap ada usul kenaikan harga BBM, apalagi untuk rakyat. Justru yang perlu diawasi serta dinilai adalah ketidakmampuan dan ketidakberhasilan pemerintah untuk memperkuat kurs rupiah (yah, selama masih dapat ‘kue’ dari selisih harga subsidi sih sepertinya manut-manut aja tuh wakil rakyat, Red). Setiap tahun anggaran defisit pasti akan meningkat terus. Selain itu sumber pendapatan dikhawatirkan juga merosot, juga pinjaman luar negeri sebagai penutup defisit sejak masa Orde Lama.

Subsidi Dirampas

Keadaan ekonomi seperti sekarang bisa jadi hanya akan memperoleh jumlah objek pajaknya (kalau lancar sih, seharusnya rakyat menikmati hasil pajak berupa fasilitas publik seperti transportasi, pendidikan, lingkungan, kesehatan dan lain-lainnya, Red). Kalaupun ada mungkin masih banyak kebocoran (penulis pun sudah menduga, Red), jangankan kejujuran membayar pajak, karena hasil laba dari jual beli valas tidak dibayar, solar milik rakyat yang harganya tidak dinaikkan masih saja dirampas oleh para konglomerat.

Coba baca berita utama Harian Kompas 15 Mei 2001 berjudul “Konglomerat Beli Solar Bersubsidi”. Bukankah keserakahan sejak masa Orde Baru yang dilakukan para pengusaha masih berjalan mulus (semulus-mulusnya hingga sekarang, Red). Tentu saja tidak heran, jika stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) selalu kehabisan solar, karena mungkin di tengah jalan tanki solar untuk SPBU belok ke berbagai pabrik/industri (meski katanya, sekarang sudah pakai GPS untuk mengawasi, bukankah selama suatu peralatan buatan manusia dapat dimanipulasi, jangankan buatan manusia, yang benar-benar alami saja dapat dimanipulasi, Red). Tidak mungkin pabrik/industri besar membeli solar antri di setiap SPBU hanya untuk membeli beberapa liter. Jelas ini permainan yang sebenarnya sejak lama terjadi.

Masalah ini merupakan hasil temuan tim terpadu penanggulangan masalah penyalahgunaan pada penyediaan dan pelayanan BBM. Temuan ini sangat berharga dan harus terus ditindaklanjuti secara cepat dan tepat (oleh siapa? yang seharusnya mengamankan saja malah jadi pelaku penyalahgunaan, lalu siapa yang harus menindaklanjuti?, Red).

Untuk itulah penulis pernah mengutarakan melalui media massa bahwa dengan adanya dua harga berbeda untuk BBM, maka bukan hanya ada pengumpul BBM untuk diseludupkan ke luar negeri. Juga yang paling sulit adalah adanya pengumpul atau pembeli dari sektor industri yang membelokkan minyak subsidinya (termasuk kalau terdapat rencana harga BBM subsidi akan naik, dirancanglah manuver demonstrasi seakan kenaikan harga memberatkan rakyat, jadi masih perlukah subsidi BBM?, Red). Itulah yang dikhawatirkan dan ternyata memang demikian.

Untuk itulah langkah yang perlu segera diambil, tindaklanjuti temuan itu hingga diangkat ke pengadilan dengan hukuman berat. Tindak tegas aparat manapun termasuk aparat Pertamina jika diketahui ikut melakukan perbuatan tercela itu (siapa yang berani? selama ‘dalangnya’ yang menyuruh dan punya kekuatan/kuasa lebih kuat, Red). Disamping itu, mungkin pengawasan ketat perlu dilaksanakan. Mungkin Pertamina perlu menata kembali penyaluran BBM khususnya solar, apalagi hingga kini Indonesia masih terpaksa mengimpor solar (malah sudah impor semua-semuanya, Indonesia memang tidak kaya akan minyak, tapi kenapa tidak ada kilang untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM? lagi-lagi, nanti tidak dapat jatah ‘kue’, Red).

Pada bulan Agustus 2000 (sebagai gambaran dari penulis, Red) penjualan solar nasional mencapai jumlah 1,9 juta kl. Impor solar pada bulan yang sama sebanyak 2,8 juta barel atau sekitar 440 ribu kl. Sedangkan jumlah produksi solar dari Pertamina sebesar 8,45 juta barel atau hanya sebesar 1,345 juta kl. Kekurangannya jelas harus ditutup dari impor yang dibayar dalam Dollar AS.

Dengan itu pasti mendekati kebenaran, maka layak pula nama-nama pabrik/industri ditegur, mengapa tidak mengambil jatah solarnya pada bulan Mei 2001. Untuk itu pula perlu dipertanyakan darimana mereka membeli solar.

Yang pasti segala pelanggaran akan terus berjalan sekiranya tidak ada tindakan sanksi yang tegas dan hukuman yang cepat dan berat. Termasuk juga kepada aparat yang mengurus penyaluran BBM, termasuk backing-nya, juga termasuk para pengawasnya jika ada yang tidak jujur.

Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.