Oleh
Bachrawi Sanusi,
Lektor Kepala Fakultas Ekonomi;
Anggota Pusat Kajian Energi
dan
Sumber Daya Mineral
Universitas Trisakti
*Penulis meninggal pada tanggal 16 Februari 2005, dan ini merupakan tulisan almarhum terakhir yang dikirim ke Kompas diterbitkan pada 18 Februari 2005.
SEJAK tahun 1970, saat sebagai salah satu anggota Tim Energi/BBM Departemen Pertambangan dan Energi dan tahun 1980-an juga sebagai Sekretaris Tim Repelita Ditjen Migas Pertamina, penulis selalu tidak setuju jika pemerintah merencanakan penyesuaian (istilah menaikkan) harga BBM.
Alasannya, karena daya beli rakyat banyak-yang diukur dari tingkat GDP (produk domestik bruto) per kapita-amat rendah. Selain itu, GDP per kapita Indonesia tidak merata, karena yang hidup di bawah garis kemiskinan masih amat banyak, dan kini mencapai sekitar 36 juta.
Ditambah lagi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) selalu memicu kenaikan berbagai barang komoditas dan tarif jasa. Buktinya harga BBM baru direncanakan akan naik, harga sembako sudah naik. Jika harga BBM jadi dinaikkan, mungkin harga-harga sembako yang sudah dinaikkan pasti akan naik lagi. Belum lagi kaum spekulan mulai banyak menimbun BBM.
SEJAK Orde Baru, realisasi pendapatan dalam negeri dari migas selalu jauh lebih besar dibanding jumlah subsidi BBM. Misalnya realisasi APBN tahun 2001, jumlah subsidi BBM sekitar Rp68,40 triliun, suatu jumlah tertinggi dari tahun-tahun anggaran sebelumnya. Tetapi pendapatan dalam negeri dari pajak migas sebesar Rp23,1 triliun lebih, dari penerimaan sumber daya alam minyak bumi Rp59,95 triliun, dan dari gas bumi sebesar Rp22,09 triliun. Jumlah seluruh sumbangan migas sekitar Rp105,14 triliun. Belum lagi bagian laba dari BUMN, yakni Pertamina.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan tidak membatalkan Undang Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 setelah PT Pertamina yang kian diperkecil usahanya, termasuk keuangannya yang kian sulit, selang beberapa hari sebelum keputusan MK telah berhasil menaikkan harga LPG sebesar 41,6 persen dari Rp3.000/kg menjadi Rp4.250/kg. Juga PT Pertamina berhasil pula menaikkan harga Pertamax menjadi Rp3.331 dan Pertamax Plus menjadi Rp3.495/liter.
Dari harga baru itu PT Pertamina mendapat keuntungan masing-masing Rp100/liter. Sedangkan marjin SPBU untuk Pertamax Rp147 dan Pertamax Super Rp157 (Kompas, 20/12).
Oleh karena itu, penulis mengharapkan pemerintah perlu mengeluarkan Keppres agar seorang pengusaha SPBU dan pangkalan minyak tanah se-Indonesia perlu dibatasi kepemilikan SPBU-nya maupun pangkalan minyak tanahnya. Misalnya setiap pengusaha swasta maksimal hanya menguasai dua SPBU, dan/atau dua pangkalan minyak tanah untuk seluruh Indonesia. Jika sudah ada yang memiliki jumlah SPBU dan/atau pangkalan minyak tanah oleh satu perusahaan swasta, kelebihannya supaya dijual kepada badan usaha milik daerah atau koperasi daerah, swasta daerah. Agar pengawasan harga dan penyalurannya bisa beralih ke pemerintahan daerah, apalagi sudah otonom.
Dengan keputusan MK yang tidak membatalkan UU Migas secara keseluruhan, seperti UU Ketenagalistrikan, tetapi MK hanya memutuskan adanya tiga pasal yang harus diamendemen karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Ketiga pasal yang perlu diamandemen itu yakni Pasal 12 Ayat (3) karena ada kata "diberi wewenang" yang dinilai MK bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 22 Ayat (1) mengenai badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam ngeri. Pasal 22 Ayat (1) Kata "paling banyak" dinilai MK bertentangan dengan UUD 1945. Pencabutan Pasal 28 Ayat (2) menyebutkan, harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Dan Ayat (3) menjelaskan, pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.
MK menilai Pasal 28 Ayat (2) dan Ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 karena dalam penetapan harga BBM dan gas tidak diserahkan mekanisme pasar, tetapi melalui kewenangan pemerintah (Kompas, 22/12). Hal ini mungkin akan rancu, karena arti minyak dan gas bumi bisa berarti Pertamax, pelumas, LPG, dan lainnya, bukan lagi wewenang Pertamina.
Dampak lebih jauhnya, apakah masih ada kontraktor migas asing yang mau menanam investasinya, terutama dalam hal mendirikan SPBU-SPBU se-Indonesia, karena harga Migas se-Indonesia sama dan ditentukan pemerintah.
Dalam melakukan penyelesaian amandemen suatu UU dari pengalaman akan memakan waktu lama. Mungkin sejak MK memutuskan tiga pasal yang harus diamendemen jika saja UU tidak melarang bahwa amandemen yang dibuat pemeritah, sebelum diajukan ke DPR, terlebih dahulu diajukan ke MK. Masalahnya, kalau tidak demikian, akibatnya sudah lama di DPR, amandemennya juga ditolak MK.
SELAMA ini harga jual BBM ditetapkan oleh pemerintah. Pertamina seperti kuli membuat/pengadaan BBM, penyalurannya, dan lain-lain. Sayang setelah Orde Reformasi, tiap kenaikan harga BBM sepertinya PT Pertamina yang menetapkan harga BBM, layak kebencian rakyat kepada PT Pertamina kian meningkat. Selayaknya pengumuman kenaikan harga BBM oleh menteri terkait.
Tampaknya dalam upaya menaikkan harga BBM sepertinya pemerintah mempunyai dukungan para ahli, yang mengatakan subsidi BBM kebanyakan dinikmati oleh golongan ekonomi menengah ke atas. Selayaknya pemerintah mengkaji, bukankah golongan ekonomi menengah ke atas (terutama pengusaha/pedagang) penyumbang pajak terbesar. Dengan subsidi BBM mereka, misalnya bisa memperkuat daya saing hasil produknya di pasaran global. Banyak menyerap tenaga kerja dan bahan baku dari dalam negeri, dan lain-lain, yang efek gandanya positif.
Jika pemerintah menaikkan harga setinggi mungkin, melebihi harga BBM di negara maju yang pendapatan per kapitanya amat tinggi, tidak masalah bagi mereka, karena segala kenaikan BBM khususnya akan menambah biaya (cost) dan untung (profit)-nya yang biasanya melebihi persentase kenaikan harga BBM.
Amerika Serikat yang usaha migasnya diusahakan pihak swasta, GDP-nya mencapai sekitar 11 triliun dollar AS tahun 2003. Jumlah penduduknya sekitar 290,3 juta pada Juli 2003. Sebagai negara terkuat. Konsumsi minyaknya sekitar 21 juta barrel lebih per hari. Produksi minyak mentahnya kian menurun menjadi kurang dari delapan juta barrel/hari. Cadangan minyaknya sekitar 22,7 miliar barrel awal tahun 2004. Persediaan (stock) minyaknya 1,57 miliar barrel (2 April 2004).
Produksi gas bumi, batubara, dan energi lainnya, juga cadangannya amat banyak, ternyata sejak harga minyak dunia akibat perang Oktober 1973 di Timur Tengah melonjak belasan hingga puluhan dollar AS per barrel, Pemerintah AS hingga sekarang terus memberi subsidi harga BBM, terutama bensin, solar, dan lain-lain jenisnya dengan pajak BBM yang sangat rendah. Ini berarti Pemerintah AS menjalankan kebijakan biar rugi di pajak BBM asal pajak non-BBM melonjak tinggi, industrinya maju pesat, ekonomi keuangannya berjalan baik.
Harga satu liter bensin di AS yang Termasuk Pajak (TP) dan Tidak Termasuk Pajak (TTP)-nya, harganya selalu jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara industri utama di dunia. Misalnya harga satu liter bensin per dollar AS pada bulan April 2004. Di Perancis 1,258 (Termasuk Pajak/TP) dan 0,344 (Tak Termasuk Pajak/TTP); di Jerman 1,359 (TP) dan 0,385 (TTP); Itali 1,319 (TP) dan 0,427 (TTP); Spanyol 1,023 (TP) dan 0,406 (TTP); Inggris 1,384 (TP) dan 0,348 (TTP); Jepang 1,050 (TP) dan 0,497 (TTP); Kanada 0,589 (TP) dan 0,364 (TTP); dan di AS hanya 0,473 (TP) dan 0,370 (TTP). (MOMR IEA/OECD, 12 Mei 2004).
Secara tidak kentara berbagai produk AS di pasaran global akan mampu bersaing karena biaya produksinya tidak diberatkan dengan harga BBM yang mahal. Oleh karena itu layak dalam keadaan musibah akibat gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara yang sangat parah, rakyat se-Indonesia akan semakin sedih dan menderita dalam ekonomi sekira pemerintah, tentu setelah ada persetujuan dari DPR, terpaksa menaikkan harga BBM.
Oleh karena itu, layaklah jika rencana kenaikan harga BBM dibatalkan. Apalagi jika sumbangan migas dalam APBN 2005 diperkirakan masih jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah subsidi BBM-nya. Jika dibatalkan, agar segera diumumkan.