Ekonomi Migas dari APBN 1969/70 hingga 1985/86

Tahun demi tahun terus maju sesuai perputaran waktu. Garis pembangunan Indonesia semakin jelas dan nyata. Walau beban pembangunan dalam hal penyediaan dana, terutama dari sumber dalam negeri semakin sulit dan berat. Penduduk semakin padat. Oleh karena itu, laju pertumbuhan penduduk Indonesia harus terkendali. Bukan itu saja, penyebaran penduduk harus serasi, agar tidak seperti kapal oleng. Terlalu banyak orang yang kumpul di pulau Jawa, terutama Jakarta (selama 30 tahun yang tidak pernah ada perubahan, sudah diingatkan tetap saja seperti itu, Red), maka penyebaran pembangunan harus merata. Agar tidak ada istilah “di mana ada gula di situ ada semut”. Di mana ada pembangunan atau proyek-proyek di sana banyak orang kumpul mencari makan.

Yang pasti sasaran pembangunan harus dicapai. Masyarakat adil dan makmur harus segera tercipta. Karenanya pembangunan harus diusahakan bersama-sama. Penulisbisa sependapat kalau keberhasilan pembangunan karena keahlian para cendikiawan yang duduk sebagai birokrat. Mungkin masih ada yang perlu dan sangat mewarnai potensi dalam pembangunan apa yang dinamakan sumber kekayaan alam. Jika sumber kekayaan alam habis dan punah. Jika sumber kekayaan alam tidak punya harga lagi, mungkin bagaikan mimpi seorang arsitektur bangunan yang tidak punya kerjaan atau tidak punya modal sama sekali. Minimal dia menjadi pengarang buku yang semakin tebal. Buku itupun mungkin sulit lakunya, karena banyak orang membangun rumah seenaknya saja.

Bicara mengenai pembangunan memang sumber kekayaan alam pegang peranan utama dalam negara-negara manapun. Apalagi di negara berkembang. Apalagi ditambah oleh para cendikiawan yang mampu mengelola hasil atau potensi sumber-sumber kekayaan alam itu. Diharapkan apa yang disasarkan, apa yang diharapkan bisa tercapai. Walau masih perlu bergelut dengan permainan negara maju, baik dalam permainan suku bunga dunia moneter, atau devaluasi atau permainan proteksi (wuih, WTO nih, Red), ditambah lagi permainan politik yang sudah membaur dalam dunia ekonomi dan perdagangan.

Pada tanggal 7 Januari 1985, Presiden Soeharto untuk yang sekian kalinya menyampaikan keterangan pemerintah tentang Rancangan APBN 1985/86 di depan sidang Paripurna DPR. Pada kesempatan ini, Presiden menyatakan dengan tegas bahwa seusai dengan yang ditetapkan dalam GBHN dalam menyusun APBN 1985/86 tetap digunakan prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis. Demikian juga Trilogi pembangunan tetap merupakan kebijaksanaan dasar dalam menyusun RAPBN 1985/86. Karena itu, demikian Presiden, keseluruhan arah dan program-program nasional ditujukan untuk terus meratakan pembangunan, menumbuhkan ekonomi dan memelihara stabilitas nasional. Khusus untuk usaha pemerataan, maka delapan Jalur Pemertaaan tetap merupan pembimbing jalan yang kita tempuh, demikian Presiden.

Diplomasi Antar Negara

Peran non migas memang perlu digalakkan terus, penggalakkan itu sudah pasti tidak bisa lepas dari keadaan pasaran dalam negeri, dan yang lebih penting lagi keadaan kebijaksanaan perdagangan luar negeri baik terhadap Indonesia maupun terhadap kelompok negara-negara berkembang.

Mungkin peranan diplomasi dalam berpolitik bisa pula menunjang keberhasilan ekspor Indonesia. Hubungan bilateral perlu digalakkan terus. Apalagi hubungan multilateral. Mungkin orang akan bertanya mengapa Jepang semakin akrab dengan RRC. Seperti yang penulis tulis pada media massa Sinar Harapan, 7 Juni 1973 dengan judul Jepang Beli Sejuta Ton Minyak dari RRC, dalam tulisan tersebut penulis kemukakan sebagai berikut

Jepang sejak pagi-pagi sudah berusaha menanam modal, investasi, kontrak-kontrak dengan negara penghasil minyak bumi untuk menjamin masa depan industrinya yang sekaligus untuk menjamin kenaikan pendapatan per kapita pertahunnya. Jadi jelas di satu pihak Jepang juga melakukan diversifikasi dalam sumber-sumber minyak dan gas buminya dari berbagai negara, terutama negara tetangga, di lain pihak kepentingan politik dan pelemparan barang-barang industrinya. Kini Jepang semakin jelas untuk mengimpor minyak bumi dari RRC lebih banyak lagi. Alasannya masuk akal. Karena RRC belakangan ini banyak kebanjiran impor barang-barang hasil industri Jepang. Risiko dari banyak impor harus diimbangi bayar dengan apa. Jawabnya singkat dengan devisa ekspor berupa eskpor minyak bumi dan mungkin kelak Jepang dengan mudahnya meloloskan pipa-pipa gas alamnya ke RRC. Mungkin ini perlu dicatat, perlu pula direnungkan yang bisa mempengaruhi ekonomi migas OPEC, terutama ekonomi migas Indonesia.

Kiranya tepat, kalau gejolak dunia ikut melanda lesunya pasaran minyak dunia, bisa mempengaruhi ekonomi OPEC yang berupa ekonomi migas. Bagi Indonesia juga semakin terasa. Hal itu dikemukakan pula oleh Presiden Soeharto yang antara lain mengatakan, bahwa dalam pada itu sangat besar peranan minyak dan gas alam dalam perekonomian Indonesia juga harus mengundang kesadaran dan kewaspadaan, karena berhubungan dengan akibat-akibat yang mungkin terjadi terhadap penerimaan negara dan penerimaan devisa bila penurunan harga atau jumlah produksi dan ekspor minyak bumi dan gas alam kita (penerimaan negara atau penerimaan ‘lokal’ nih, mungkinkah kamuflase? jatah ‘kue’ jadi mengecil kalau turun penerimaannya, Red).

Dengan menyadari sangat besarnya peranan minyak bumi dan gas alam terhadap perekonomian nasional dan kemungkinan-kemungkinan di masa mendatang, maka telah diambil beberapa langkah yang menyeluruh. Adapun langkah-langkah pokok yang telah diambil sebagai berikut.

Pertama, untuk menambah sebanyak mungkin jumlah cadangan minyak bumi dan gas alam, maka secara terus menerus diusahakan kegiatan eksplorasi minyak dan gas alam.

Kedua, agar tetap tersedia jumlah minyak bumi dan gas alam yang cukup besar diekspor, maka diusahakan penghematan minyak bumi di dalam negeri, atara lain dengan mengembangkan penggunaan sumber-sumber energi lainnya, seperti air, batubara, panas bumi dan sebagainya sebagai pembangkit tenaga listrik (sampai sudah net importir minyak pun masih juga belum dikembangkan tuh, malah dipandang sebelah mata melulu, giliran harga BBM naik pada ribut, terutama ribut jatahnya, Red).

Ketiga, mengusahakan terus peningkatan nilai ekspor minyak bumi dan gas alam baik dengan jalan memanfaatkan dan mengolah sumber kekayaan alam itu, maupun mengusahakan perluasan pasaran minyak bumi dan gas alam, di samping usaha yang terus menerus untuk menjaga kestabilan pasaran minyak bumi bersama-sama negara OPEC lainnya (tak heran dari dulu penulis menginginkan Indonesia keluar dari OPEC sewaktu masih punya cadangan cukup, karena harus bertanggung jawab menjaga kestabilan pasaran minyak bumi, namun nasi sudah menjadi bubur, memang Indonesia keluar dari OPEC, tapi bukan karena inisiatif atau kesadaraan, melainkan sudah tidak mampu lagi mengekspor minyak mentah, Red).

Keempat, lebih memperluas komposisi ekspor Indonesia melalui peningkatan ekspor di luar minyak bumi dan gas alam guna mengamankan penerimaan devisa bagi pembiayaan pembangunan (tapi kayaknya lebih senang dapat bantuan pinjaman, bantuan atau pinjaman? dua kata yang berbeda makna loh, Red).

Kelima, memperluas dasar komposisi penerimaan negara melalui penerimaan negara di luar minyak bumi dan gas alam dengan pembaharuan sistem perpajakan (pantas, jatah ‘kue’nya pindah, Red). Di samping itu, diusahakan pula mobilisasi tabungan masyarakat untuk pembangunan melalui pembaharuan kebijaksaan moneter dan sistem perbankan (apakah ini yang dimaksud mengeluarkan obligasi atau ORI? tapi yang nabung hampir 70 persen malah bukan masyarakat Indonesia sendiri, dan bahkan ada gerakan menabung, tapi kandas karena tabungan terkikis dengan biaya administrasi, Red).

Dari sana jelas sekali, usaha pencegahan oleh pemerintah dalam menghadapi gejolak kurang baik terhadap ekonomi migas Indonesia, memang dibutuhkan langkah-langkah tersebut. walaupun demikian, hingga kini ekonomi migas masih tetap memberikan warna bahkan cukup menentukan pembangunan di Indonesia (tidak setelah menjadi net importir minyak sejak 2003, Red).

Seperti yang penulis kemukakan dalam OPEC Buletin, Oktober 1984, dengan judul World Oil and Indonesia’s Economy, antara lain

Higher oil price between 1973 and 1982 had a positive impact on Indonesia’s economy. However, with the establishment of production allocation for OPEC members and a decline in volume of exports have suffered as a result the negative impact of a decline in volume of exports was compounded by a falling price as well. Growth in oil prices meant high state revenues and rise in the nation’s volume of savings. As oil prices rose oil and gas came to occupy a dominant role in the role nation’s balance of payment and in terms of GDP, the sector of mining (oil and gas in particular) replaced agriculture as the dominant sector of the domestic economy.

Karena secara jalan singkat dari kacamata perhitungan angka-angka APBN terutama lewat penerimaan dalam negeri dari minyak dan gas alam, cukup mengejutkan. Semakin besar jumlah penerimaan dalam negeri, apalagi pengeluaran rutin bisa ditekan, maka tabungan pemerintah bisa melonjak. Tabungan ini merupakan salah satu tongkat penentu keberhasilan pembangunan karena sebagai sumber dana pembangunan.

Kiranya tidak berlebihan penulis mencoba mengamati perkembangan ekonomi migas yang dilihat lewat perkembangan sumber penerimaan dalam negeri atau lewat APBN 1969/70 hingga yang terakhir.

RAPBN 1985/86

Semua media massa cetak, terutama surat kabar telah memuat tabel mengenai APBN 1984/85 dan RAPBN 1985/86 (sekarang masih ga ya? bahkan, mendapatkan dari Kementerian Keuangan aja ga boleh, setiap konferensi media tidak pernah boleh diminta softcopy-nya, Red). Secara angka nominal rupiah memang jumlah RAPBN 1985/86 mengalami kenaikan, jika dibandingkan dengan APBN 1984/85, yaitu dari Rp20.560,4 miliar menjadi Rp23.046 miliar pada 1985/86 atau naik 12,1 persen.

Penerimaan dalam negeri untuk 1985/86 diperkirakan naik dari Rp16.149,4 miliar menjadi Rp18.677,9 miliar atau naik 15,7 persen. Peranan utama penerimaan dalam negeri masih jelas berasal dari ekonomi migas, yaitu dari mata anggaran penerimaan minyak bumi dan gas alam, jumlahnya atau peranannya dari Rp10,366,6 miliar pada 1984/85 menjadi Rp11.159,7 miliar atau naik 7,7 persen.

Dalam RAPBN 1984/85 semakin jelas, dimana LNG semakin menggebu, karena kemunculannya yang cukup menyolok dan meyakinkan. Peranan LNG pada 1984/85 hanya Rp1.417,5 miliar, pada 1985/86 diharapkan bisa naik menjadi Rp1.680,1 miliar atau naik sebesar 14,2 persen, selebihnya berasal dari minyak bumi.

Walaupun diperkirakan pengeluaran rutin akan naik dari Rp10.101,1 miliar menjadi Rp12.399 miliar atau naik sangat besar dengan angka 22,7 persen (buat apa aja ya, pengeluaran rutin naik melulu?, Red), tetapi tabungan pemerintah (jumlah penerimaan dalam negeri minus pengeluaran rutin) naik dari Rp6.048,3 miliar menjadi Rp6.278,9 miliar atau naik 3,8 persen. Semakin jelas, peranan ekonomi migas dalam pembangunan masih cukup besar, apalagi mengingat dilihat dari penerimaan pembangunan mengalami penurunan atau minus satu persen, sedangkan untuk pengeluaran pembangunan naik 1,8 persen. Masalahnya, penerimaan bangunan pembangunan untuk bantuan proyek minus 1,7 persen. Oleh karena itu, kembali pada peranan tabungan pemerintah lagi. Di satu pihak pengeluaran rutin naik, di lain pihak penerimaan pembangunan dalam bantuan proyek turun, maka pengeluaran pembangunan untuk bantuan proyek juga minus atau turun, tetapi pengeluaran pembangunan dengan pembiayaan rupiah naik 4,3 persen.

Dilihat dari penerimaan dalam negeri, peranan ekonomi migas terutama yang berasal dari anggaran penerimaan migas pada 1984/85 sebesar 64,2 persen, maka pada 1985/86 diperkirakan sedikit turun hanya menjadi sekitar 59,75 persen dari seluruh penerimaan dalam negeri (sudah diperingatkan, penerimaan migas bukan lagi menjadi penopang utama APBN, Red).

Walaupun demikian, kita masih harus bersyukur, masih tetap sebagai negara yang mampu mengekspor minyak bumi dan gas alam, mampu menyediakan kebutuhan bahan bakar minyak, bisa dibayangkan kalau negara kita miskin akan minyak dan gas bumi, kita sebagai pengimpor minyak hasil pengolahan (sayangnya, sudah terjadi, Indonesia bukan lagi negara kaya akan minyak, dan gas bumi semakin menipis cadangannya, Red). Di satu pihak penerimaan tidak bisa sebesar itu, di lain pihak pengeluaran untuk membeli bahan bakar minyak semakin membengkak.

Peranan Migas Sejak 1969/70

Sebagai ingatan, mungkin ada baiknya kalau peranan ekonomi migas terutama yang berupa penerimaan migas yang selalu tertulus dalam setiap pengajuan RAPBN bisa diingat kembali. Mungkin bagi mereka yang senang bermain dalam angka untuk membuat proyeksi atas dasar angka time series bisa mencobanya. Walau untuk membuat ramalan berapa besarnya penerimaan hasil migas atau mendatangkannya, sangat ditentukan keadaan permintaan dan penawaran minyak dunia. Tetapi secara ilmiah, bisa saja dibuat angka proyeksinya. Pada tabel berikut penulis hanya ingin melihat bagaimana perkembangan peranan migas, jika dibandingkan dengan jumlah penerimaan dalam negeri dari tahun anggaran 1969/70 hingga 1985/86.

Peranan Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam
Terhadap Jumlah Penerimaan Dalam Negeri
(miliaran Rupiah)
Tahun
Jumlah Penerimaan Dalam Negeri
Dari Migas
(Minyak dan LNG)
Pelita I
  1969/70
243,7
65,8
  1970/71
344,6
99,2
  1971/72
428,0
140,7
  1972/73
590,6
230,5
  1973/74
967,7
382,2
Pelita II
  1974/75
1.753,7
957,2
  1975/76
2.241,9
1.248,0
  1976/77
2.906,4
1.635,3
  1977/78
3.535,4
1.948,7
  1978/79
4.266,1
2.308,7
Pelita III
  1979/80
6.696,8
4.259,6
  1980/81
10.227,0
7.019,6
  1981/82
12.212,6
8,627,8
  1982/83
12.418,3
8.170,4
  1983/84
14.432,7
9.520,2
Pelita IV
  1984/85
16.149,4
10.366,6
  1985/86*
18.677,9
11.159,7
            *RAPBN
                Sumber: Nota Keuangan 1984/85 dan RAPBN 1985/65


Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi Mengubah Ekonomi Dunia, 1985; Sinar Harapan, 24 Januari 1985.

Ekonomi Minyak dan Gas Bumi dari Pelita ke Pelita

Banyak Terjadi Pergeseran

Pengaruh ekonomi dan moneter luar negeri baik yang positif maupun yang negatif terhadap Indonesia sulit dihindarkan. Kalau positif jelas sangat menguntungkan masyarakat. Sebaliknya kalau negatif seperti keadaan sekarang memang sangat merugikan. Masalahnya bangsa Indonesia hidup dan tumbuh dalam ekonomi terbuka. Mengapa penulis menganggap demikian, karena ukutan untuk ekonomi terbuka umumnya kalau peranan ekspor terhadap Produk Nasional Bruto (PNB/GNP) minimal 10 persen. Misalnya, pada 1969 atas dasar harga berlaku, GNP mencapai nilai Rp2.683,1 miliar, sedangkan ekspor barang dan jasa sebesar Rp328,4 miliar yang berarti 12,24 persen dari GNP.

Dalam keadaan Indonesia mengalami puncak keberhasilan ekspor, terutama dari hasil minyak dan gas bumi, seperti pada keadaan 1982, dimana hasil ekspor barang dan jasa mencapai nilai Rp14.927,9 miliar sedangkan GNP mencapai Rp54.027,0 miliar. Yang berarti hasil ekspor sebesar 27,6 persen lebih dari GNP.

Apa yang menjadi penyebab utama Indonesia semakin terpengaruh dari gejolak internasional. Jawaban yang tepat karena jumlah dan nilai ekspor minyak bumi ditambah lagi keberhasilan LNG sebagai sumber devisa yang besar, kesemuanya terus meningkat.

Dengan meningkatnya hasil ekspor minyak dan gas bumi yang ditunjang dengan kenaikan harga minyak terutama dimulai akhir 1973 hingga 1981, ternyata peranan minyak dan gas bumi mampu menggeser berbagai unsur atau berbagai sektor. Baik akan terlihat adanya gejolak terhadap perkembangan neraca perdagangan atau semakin kuatnya neraca pembayaran, membesarnya sumber penerimaan dalam negeri lewat pajak penghasilan (dahulu pajak perseroan) dari minyak, meningkatkan potensi tabungan pemerintah, dan juga pada gilirannya akan meningkatnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB/GDP) maupun PNB/GNP, karena adanya perkembangan investasi, dan juga perkembangan impor terutama untuk barang-barang modal.

Ganggu Cadangan Devisa

Karena hasil ekspor meningkat, maka impor juga cenderung meningkat. Kalau saja impor yang bersifat konsumtif meningkat, apalagi impor untuk hasil-hasil pertanian, sudah pasti akibatnya akan memukul perkembangan hasil pertanian dalam negeri. Kalau memang peningkatan impor terbesar berupa barang-barang modal, dalam keadaan hasil ekspor dari minyak dan gas bumi yang mengendor, memang perlu pula dikendalikan barang-barang modal mana yang utama. Jika tidak, Neraca Pembayaran akan terganggu, apalagi kalau kecenderungan pemasukan modal dari luar negeri (pinjaman, SDR, dan modal asing) ikut latah mengendor. Akhirnya akan mengganggu cadangan devisa. Jika cadangan devisa mengendor, mungkin tidak heran kalau tindakan devaluasi sebagai jawaban yang kurang menyenangkan berbagai pihak.

Itu kalau minyak dan gas bumi dilihat sebagai sumber devisa atau sebagai salah satu komoditi ekspor yang hingga kini masih tetap bagaikan jantung pembiayaan pembangunan. Tentu akan menjadi lebih komplek lagi, jika dilihat dari pengadaan kebutuhan BBM bagi dalam negeri yang cenderung meningkat. Karena BBM tidak bisa lepas pula dari harga minyak internasional, maka dengan adanya kenaikan harga minyak atau mahalnya harga minyak di dunia, berarti biaya produksi untuk menghasilkan BBM juga meningkat. Kenaikan biaya produksi BBM seharusnya diimbangi dengan kenaikan harga BBM. Kenaikan BBM pada gilirannya juga akan merangsang berbagai  produk mengalami kenaikan biaya produksi. Dengan demikian, berarti akibat adanya kenaikan harga BBM akan memberi akibat tekanan inflasi. Sedangkan, inflasi yang didorong karena kenaikan ongkos produksi inilah yang dinamakan cost push inflation.

Dengan gambaran singkat di atas jelas sekali betapa rumitnya peranan dari naik turunannya dan harga minyak bumi bagi negara berkembang yang terbesar sangat mengharapkan dari hasil minyak dan gas buminya.

Komoditi ekspor minyak dan gas bumi terutama bagi anggota OPEC, termasuk Indonesia sudah bagaikan jantung (tapi jantungnya sudah copot, karena Indonesia tidak lagi menjadi anggota OPEC sejak 2008 dan net importir minyak sejak 2003, Red). Setiap perubahan produksi, jumlah ekspor dan harga sudah pasti akan menggangu berbagai segi. Masalahnya ekspor non migas belum bisa seampuh minyak dan gas bumi, karena harganya sudah sangat wajar. Tentu akan lain lagi bagi negara maju atau industri yang juga sebagai pengekspor minyak dan gas bumi, mereka masih ada komoditi ekspor lain, yaitu hasil industri. Oleh karena itu, bagi negara maju atau industri jika jantungnya rusak, bisa segera dicangkok. Tentu akan lain lagi dengan OPEC, terutama Indonesia. Jika hasil ekspor dari minyak dan gas bumi (LNG) mengendor, maka kita harus segera mencari jalan keluarnya.

Pinjaman dan Hasil Ekspor

Salah satu jalan yang baru saja berhasil, yaitu adanya kepercayaan luar negeri untuk memberikan pinjaman US$750 juta bagi Indonesia, seperti yang dilaporkan Kompas, 19 Maret 1985.

Dibalik rasa gembira karena luar negeri masih percaya, tentu jumlah itu masih kurang begitu besar jika dibandingkan karena mengendornya hasil ekspor minyak bumi, baik karena adanya pengendalian jumlah produksi maupun penurunan harga minyak bumi. Hal ini terlihat dari hasil ekspor minyak dan gas bumi pada 1981/82 mencapai US$19.436 juga atau mencapai 82,3 persen lebih dari dari seluruh hasil ekspor Indonesia pada tahun tersebut. Maka, dengan adanya pengedoran produksi dan lesunya ekspor minyak, maka pada 1982/83 hasil ekspor minyak dan gas bumi anjlok menjadi US$14.976 juta (79,4 persen dari hasil seluruh ekspor). Dengan kata lain, hasil ekspor minyak dan gas bumi turun sebanyak US$4.460 juta atau turun 22,9 persen.

Kalau saja dibandingkan dengan pinjaman yang sebesar US$750 juta yang bisa sebagai salah satu penambah memperkuat neraca pembayaran sekaligus menambah cadangan devisa, memang jumlah itu masih belum mampu menutupi anjloknya dari hasil ekspor minyak. Tetapi apa boleh buat, dari pada nol sama sekali. Yang pasti sumber kekayaan Indonesia dan para pemimpin Indonesia masih mendapatkan luar negeri, penulis mencoba menghayal. Kalau apa yang penulis pernah uraikan di suatu media massa, agar kalau OPEC mau menurunkan produksi supaya dibagi berdasarkan per kapita produksi, mungkin untuk mencapai produksi OPEC pada tingkat 17,5 barel per hari, Indonesia tak perlu terkena.

Walau timbul reaksi dalam hati, jika produksi tetap, pasarannya lemah atau yang mau impor juga menguranginya, mau dikemanakan kelebihannya? Jawabnya, mungkin akan sampai pada pendekatan bilateral, kepercayaan luar negeri terutama Amerika Serikat yang langsung atau tidak langsung lewat para kontraktor minyaknya sangat berkepentingan dengan jumlah tanggungan pembangunan alias kepadatan penduduk. Begitu juga dengan Jepang, baik yang lansung atau tidak langsung juga tempat pelemparan hasil industrinya terutama barang-barang modal. Kesemuanya hanya bisa dicapai lewat diplomasi, lewat saling percaya dan saling menguntungkan. Tetapi khayalan penulis itu hanya tinggal harapan, masalahnya OPEC sudah mengetukkan palu seperti sekarang. Sehingga bangsa Indonesia harus prihatian, walau di balik keprihatian itu sektor non migas mungkin dirangsang bangkit kembali. Sektor pertanian harus bangkit.

Itulah gambaran betapa penting uang atau devisa minyak dan gas bumi bagi Indonesia. Sebagai gambaran perkembangan nilai minyak dan gas bumi yang semakin jelas perkembangannya dari Pelita I hingga Pelita III dan Pelita IV masih juga diharapkan. Penulis mencoba melihat dara perkembangan nilai itu lewat realisasi APBN, Neraca Pembayaran dan  PDB/GDP maupun PNB/GNP.

Lewat APBN

Yang perlu dilihat hasil nilai minyak dan gas bumi lewat APBN, yaitu sumbangannya yang semakin besar dalam pembentukan tabungan pemerintah (selisih antara jumlah penerimaan dalam negeri dikurang jumlah pengeluaran rutin). Dengan terus melonjaknya sumber penerimaan dalam negeri dari pajak penghasilan minyak (dahulu pajak perseroan minyak dan hasil lainnya), ternyata sejak awal Pelita II besarnya Tabungan Pemerintah mampu melampaui sumber dana dari bantuan luar negeri (bantuan program plus bantuan proyek). Selama Pelita I jumlah seluruh tabungan pemerintah hanya sebesar Rp569,4 miliar (dulu masih punya tabungan, sekarang? Kalau defisit, artinya tabungan ludes dong, Red), sedangkan bantuan luar negeri berjumlah Rp708,6 miliar. Selama Pelita I (1969/70 – 1973/1974) hasil dari pajak penghasilan minyak dan gas bumi (LNG) dan penerimaan lainnya sebesar Rp918,4 miliar atau 35,7 persen dari jumlah seluruh penerimaan dalam negeri Pelita I.

Selama Pelita II realisasi dari tabungan pemerintah (1974/75 – 1978/1979) melonjak menjadi Rp5.832 miliar, sedangkan jumlah dari bantuan luar negeri hanya Rp3.316,3 miliar. Yang berarti dana pembangunan selama Pelita II melonjak dari Rp1.278 miliar pada realisasi Pelita I menjadi Rp9.148,3 miliar (enak ya dikasih bantuan melulu, Red). Adapun sumbangan dari pajak penghasilan minyak dan gas bumi plus penerimaan minyak lainnya mencapai Rp8.097,9 miliar atau berarti 55,1 persen dari seluruh realisasi penerimaan dalam negeri.

Selama Repelita III (1979/80 – 1983/84) jumlah realisasi tabungan pemerintah terus melonjak menjadi Rp24.267,5 miliar, sedangkan bantuan luar negeri hanya berjumlah Rp9.265,7 miliar. Dengan kata lain, sejak awal Pelita II telah ada pergeseran besar dari ketergantungan dengan bantuan luar negeri beralih kepada menggali sumber dana pembangunan jauh lebih besar. Selama Peita III penerimaan dari pajak penghasilan minyak terus melonjak tinggi menjadi Rp36.946,5 miliar atau mencapai 66,7 persen dari seluruh penerimaan dalam negeri (catatan angka 1983/84 masih APBN).

Dari gambaran umum itu, semakin terlihat jelas bahwa dana pembangunan selama Pelita III yang melonjak menjadi Rp33.533,2 miliar terbesar ditunjang oleh hasil dari minyak dan gas bumi melalui pajak penghasilan. Dana pembangunan inilah yang sekaligus bisa menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Dengan dana pembangunan sebesar itulah memungkinkan munculnya ribuan proyek-proyek pembangunan. Tetapi dengan mengendornya penerimaan dari pajak penghasilan minyak dan gas bumi, semuanya harus prihatin (benar sekali, sangat memprihatikan malahan, ntah kemana juga dana pembangunannya, Red).

Lewat Neraca Pembayaran

Walaupun sejak awal tahun pertama Pelita I ekspor minyak dan gas bumi hingga 1981/82 terus melonjak, yaitu US$384 juta pada 1969/70 menjadi US$19.436 juta pada 1981/82, tetapi karena nilai impor barang dan jasa-jasa terus meningkat, maka transaksi berjalan hanya mengalami positif pada 1979/80 sebesar US$1.577 juta (ekspor minyak dan gas bumi mencapai US$11.649 juta) dan 1980/81 positif US$439 juta (ekspor minyak dan gas bumi US$16.883 juta), selainnya adalah negatif selama Pelita I, II dan III. Adapun cukup memprihatinkan, aitu pada 1982/83 dimana transaksi berjalan (ekspor minus impor minus jasa-jasa) mengalami minus terbesar sepanjang sejarah Pelita I hingga III, yaitu sebesar minus US$6.609 juta. Pada 1983/84 diperkirakan US$5.058 juta. Keadaan ini cukup memprihatikan, karena banyak mengganggu cadangan devisa Indonesia. Oleh karena itu, berbagai tindakan telah diambil, misalnya usaha meningkatkan kelebihan pemasukkan modal di luar sektor moneter dan sebagainya.

Setelah transaksi berjalan (neraca perdagangan barang dan jasa) ditambah SDR, pemasukan modal pemerintah, lalu lintas modal lainnya dikurang pembayaran utang, terlihat pada tabel.

Tabel. Neraca Pembayaran dari Pelita ke Pelita
Tahun
Nilai Neraca Pembayaran
Pelita I
  1969/70
(-) US$99 Juta
  1970/71
(+) US$77 Juta
  1971/72
(+) US$94 Juta
  1972/73
(+) US$338 Juta
  1973/74
(+) US$355 Juta
Pelita II
  1974/75
(+) US$302 Juta
  1975/76
(-) US$11 Juta
  1976/77
(+) US$893 Juta
  1977/78
(+) US$831 Juta
  1978/79
(+) US$770 Juta
Pelita III
  1979/80
(+) US$2.014 Juta
  1980/81*
(+) US$2.221 Juta
  1981/82
(+) US$862 Juta
  1982/83
(-) US$2.047 Juta
  1983/84**
(+) US$1.601 Juta
*pada waktu harga minyak memuncak
**nilai harapan/perkiraan

Pada 1982/83 merupakan tahun yang sangat memprihatinkan, dan diharapkan pada 1983/84 bisa menjadi plus. Mengapa diharapkan bisa plus, terutama dengan cara menekan impor minus 3,5 persen, jasa-jasa minus 11,3 persen, peningkatan pemasukan modal pemerintah (bantuan program, bantuan proyek dan lain-lain) sebesar 69,4 persen semuanya dibandingkan dengan 1982/83. Pada tahun tersebut, tertulis lalu lintas moneter plus US$3.279 juta yang berarti cadangan devisa berkurang sebesar itu.

Yang jelas, karena hasil ekspor dan gas bumi masih sangat besar, sehingga neraca pembayaran Indonesia dari Pelita I hingga Pelita III masih termasuk sehat. Tentu akan lain lagi, jika tanpa adanya minyak yang kemudian ditunjang lagi dengan hasil ekspor LNG.

Lewat PDB/GDP

Atas dasar harga yang berlaku, pertumbuhan PDB/GDP Indonesia sejak 1969 hingga 1982 (sementara) baru terlihat melonjaknya pada 1973 dimana peranan dari sektor pertambangan dan penggalian yang terutama dari hasil minyak bumi yang harganya mulai baik dan terus meningkat.  
  • 1969, PDB/GDP hanya mencapai Rp2.718 miliar dimana peranan sektor pertambangan dan penggalian hanya Rp129 miliar atau hanya 4,7 persen, sedangkan untuk pertanian 49,3 persen dari PDB/GDP.
  • 1973, PDB/GDP Indonesia naik menjadi Rp6.753,4 miliar dimana sektor pertambangan dan penggalian Rp831 miliar atau 12,3 persen dari PDB/GDP.
  • 1977, PDB/GDP melonjak terus menjadi Rp19.033 miliar, dimana dari pertambangan dan penggalian naik terus menjadi Rp3.599,7 miliar atau 18,9 persen dari PDB/GDP.
  • 1980, PDB/GDP mencapai Rp45.445,7 miliar, dimana peranan dari sektor pertambangan penggalian terutama dari minyak dan gas bumi sebesar Rp11.672 miliar atau 25,7 persen dari PDB/GDP, dan merupakan puncak tertinggi yang mampu menggeser sektor pertanian/kehutanan/perikanan yang hanya 24,8 persen
  • 1981, Peranan pertambangan dan penggalian turun menjadi 24 persen dari PDB/GDP yang mencapai Rp54.027 miliar
  • 1982, PDB/GDP naik menjadi Rp59.632,6 miliar, dimana sektor pertambangan penggalian berperan sebesar 19,6 persennya.

Dengan melonjaknya hasil dari minyak dan gas bumi, maka sektor pertambangan dan penggalian sejak 1972 telah menggeser peranan industri. Bahkan pada 1980 sempat menggeser sektor pertanian. Walau harus diakui bahwa PDB/GDP atau PNB/GNP per kapita yang tinggi dan terbesar ditunjang oleh sub sektor minyak dan gas bumi, karena merupakan penghasilan negara dan kontraktor nampaknya kurang realis, jika dibandingkan kalau PDB atau PNB per kapita ditunjang oleh sektor pertanian, industri, perdagangan dan sebagainya karena terbesar milik atau penghasilan rakyat/swasta. Oleh karena itu, pemerintah harus pandai-pandai memanfaatkan uang minyak dan gas bumi bagi pembangunan seluruh tanah air yang terdiri dari ribuan pulau dan jumlah penduduknya yang banyak ini.

Dengan kata lain, kalau PDB/GDP atau PNB/GNP per kapita yang tinggi, karena terbesar ditunjang oleh non migas bagaikan kalau banjir airnya berasal dari laut, maka seluruh pulau akan kebanjiran. Sebaliknya kalau dari migas, karena merupakan penghasilan negara dan juga para kontraktor, maka arus banjir hanya bagaikan dari salah satu sungai saja. Dimana yang terkena banjir hanya sepanjang tepi sungai tersebut.

Oleh karena itu, tepatlah jika kelak, terutama ekspor Indonesia tidak lagi sangat bersandar pada satu komoditi ekspor seperti minyak dan gas bumi, tetapi harus diperluas dan ditingkatkan dari hasil non minyak dan non gas bumi.

Itulah gambaran perkembangan nilai minyak dan gas bumi dari Pelita ke Pelita yang cukup mendebarkan hati, jika nilai ekspornya semakin merosot sedangkan sektor-sektor non minyak dan non gas bumi belum siap tampil sebagai penggantinya.

Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi Mengubah Ekonomi Dunia, 1985; Kompas, 2 April 1984.

Perjalanan Serta Peran Minyak dan Gas Bumi Indonesia (Bagian 2-Selesai)

Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri, termasuk pula kebutuhan akan pelumas bahan baku industri dan lain-lain, Pertamina memiliki kilang minyak di Pangkalan Brandan, Dumai, Sungai Pakning, Musi, Cilacap, Wonokromo, Balikpapan dan Cepu.

Pada 1988 jumlah BBM yang dihasilkan dari kilang-kilang tersebut berupa bahan bakar untuk pesawat terbang (Avgas) lebih dari 68 ribu barel. Dibandingkan dengan 1987 turun 21 persen. Minyak pesawat terbang (Avtur) lebih dari 5.795 ribu barel atau naik 54 persen dibandingkan dengan produksi 1987. Bensin mobil (Mogas) hampir 31.958 ribu barel atau naik 6,7 persen dibanding 1987. Minyak tanah lebih dari 41.413 ribu barel atau turun 1,9 persen dibandingkan 1987 (itu sebabnya konversi ke LPG 3 kg, sudah ada tanda penurunan, Red). Minyak solar (ADO/High Speed Diesel/HSD) hampir 51.480 ribu barel atau naik 4,6 persen dibandingkan dengan 1987. Minyak diesel (Industrial Diesel Oil/IDO) hampir 9.781 ribu barel atau naik 0,4 persen dibanding dengan 1987. Minyak bakar hampir 18.367 ribu barel atau turun 5,8 persen dibandingkan 1987.

Secara keseluruhan jumlah produksi BBM selama 1988 mencapai 158.862 barel atau naik 3,6 persen dibandingkan 1987. Di samping BBM dihasilkan juga BBM sekunder (Naptha, HOMC, LSWR), bukan BBM (LPG, Tolouena, Xylol, Superbenzex, SBPX 40B, pelarut/HAWS, BGO, Lube Base Oil, Bitumen/aspal, Ready Wax/lilin, Calcined Coke, Green Cokes dan Polytam), minyak setengah jadi (intermediate), dan lain-lain (banyak ya, hasil produk sampingan minyak mentah kalau dikelola, bukan hanya digunakan untuk bahan bakar saja loh, Red).

Selain mengelola kilang minyak Pertamina juga menghasilkan LPG dan LNG dan kilang-kilang LPG dan kilang LNG. PAda 1988 jumlah produksi LPG yang dihasilkan dari kilang LPG Arun, Badak, Arjuna, Tanjung Santan, Rantau, Mundu, Musi, Balikpapan, Dumai, Cilacap mencapai jumlah 1.253 ribu metrik ton. Jumlah produksi LNG pada 1988 berasal dari Arun lebih dari 10.746 metrik ton, dan dari kilang LNG Badak hampir 8.165 ribu metrik ton, atau seluruhnya lebih dari 18.911 ribu metrik ton.

Gambaran produksi BBM yang dihasilkan kilang-kilang tersebut selama Pelita IV terlihat pada tabel 7 dan prospeknya selama Repelita V pada tabel 8. Produksi LPG dan LNG selama Pelita IV seperti terlihat pada tabel 9 dan perkiraan pada Repelita V terlihat pada tabel 10.

Tabel 7
Produksi BBM Pelita IV
Tahun
Jumlah (ribuan barel)
1984/85
175.633
1985/86
186.987
1986/87
194.545
1987/88
219.410
1988/89*
229.940
                                    *angka Bappenas
Sumber: Departemen Pertambangan dan Energi

Tabel 8
Produksi BBM Repelita V
Tahun
Jumlah (ribuan barel)
1989/90
208.401
1990/91
208.401
1991/92
207.737
1992/93
205.967
1993/94
233.032
                                    Sumber: Departemen Pertambangan dan Energi

Tabel 9
Produksi LPG dan LNG Pelita IV
Tahun
LPG (ribuan ton)
LNG (ribuan ton)
1984/85
904
15.700
1985/86
802
15.420
1986/87
821
15.730
1987/88
766
17.540
1988/89*
1.377
20.000
                        *angka Bappenas
Sumber: Departemen Pertambangan dan Energi

Tabel 10
Produksi LPG dan LNG Repelita V
Tahun
LPG (ribuan ton)
LNG (ribuan ton)
1989/90
2.553
19.900
1990/91
2.577
22.100
1991/92
2.577
22.100
1992/93
2.761
22.100
1993/94
3.373
22.100
                        Sumber: Departemen Pertambangan dan Energi

Pada akhir Repelita V diperkirakan kilang baru Exor dengan kapasitas 100 ribu barel per hari mulai berproduksi. Di samping pengelolahan minyak dan gas bumi juga selama ini, dan mendatang terdapat juga kilang petrokimia yang hasilnya digunakan untuk bahan baku industri dalam negeri (sandang, plastik, farmasi, perekat, pelarut, ban dan lain-lain). Produk petrokimia antara lain Polytam/Poypropylene, PTA/Purified Terephatalic Acid, Methanol Paraxylene (mulai dihasilkan 1991/92) begitu juga benzene mulai 1991-1992. Dari pabrik paraxylene selain hasilnya untuk PTA Plant di Plaju juga akan menhasilkan LPG.

Produksi Polytam selama Repelita V setiap tahun diperkirakan sebanyak 15 ribu ton, PTA tahun pertama 205 ribu ton dan seterusnya 225 ribu ton per tahun, methanol 330 ribu ton, mulai 1991-1992 produksi paraxylene setiap tahunnya 270 ribu ton dan benzene 120 ribu ton.

Kebutuhan BBM dan Non BBM Dalam Negeri

 Sejalan lagu pembangunan nasional di segala sektor, bidang dan regional, baik sektor industri, angkutan, maupun rumah tangga, maka kebutuhan BBM di dalam negeri terus meningkat. Sebagai gambaran, pada 1950 penjualan BBM di dalam negeri masih sebesar 1,1 juta kiloliter, 1966 terus meningkat menjadi 5 juta kiloliter dan pada 1982 naik terus menjadi 25,1 juta kiloliter lebih. Pada akhir Repelita V diperkirakan penjualan BBM bagi kebutuhan dalam negeri akan mencapai sekitar 29,8 juta kiloliter atau 187,2 juta barel (wow, meningkat terus dan saat itu cadangannya dapat menutupi kebutuhan dalam negeri, itu sebab kelebihannya bisa diekspor, Red).

Penjualan BBM dalam negeri pada tahun pertama Pelita IV (1984/1985) berjumlah 24,6 juta kiloliter dan pada 1988/89 (akhir Pelita IV) diperkirakan mencapai 27,9 juta kiloliter. Di samping kebutuhan akan BBM, juga di dalam negeri membutuhkan non BBM, perkiraan penjualan non BBM di dalam negeri berupa pelumas tahun pertama Repelita V (1989/90) sebanyak 353,7 ribu kiloliter (termasuk impor) pada akhir Repelita V (1993/94) naik terus menjadi 382,8 ribu kiloliter. LPG dari 316 ribu ton menjadi 463,85 ribu ton pada akhir Repelita V.

Methanol mixture dari 1,7 ribu kiloliter menjadi 2 ribu kiloliter akhir Repelita V. Aspal dari 400 ribu ton (tahun pertama) menjadi 450 ribu ton tahun terakhir pada repelita V. Wax dari 25 ribu ton menjadi 30 ribu ton. Polytam dari 15 ribu ton hingga akhir Repelita V tetap 15 ribu ton. PTA dari 205 ribu ton menjadi 225 ribu ton akhir Repelita V. P Cokes dari 20 ribu ton menjadi 40 ribu ton. Dutrex dari 2,6 ribu  kiloliter menjadi 3 ribu kiloliter. SMT dari 23 ribu kiloliter menjadi 28 ribu kiloliter. SBP dari 20 ribu kiloliter menjadi 25 ribu kiloliter. SGO setiap tahunnya 700 kiloliter. Methanol dari 225 ribu ton menjadi 300 ribu ton. Kimia pertanian dari 705 kiloliter tahun pertama menjadi 2.550 kilo liter akhir Repelita V (wah, banyak hasil produk non BBM yang bisa dijual, masih ada ga ya?, Red).

Ekspor

Jumlah minyak dan gas bumi yang diekspor, baik berupa minyak mentah, minyak hasil pengolahan, maupun LNG ataupun LPG sangat tergantung pada tingkat produksi (dulu bangga bisa mengekspor dan bisa penuhi kebutuhan dalam negeri, sekarang apa-apa segalanya impor, Red). Sedangkan, tingkat produksi khususnya minyak sangat tergantung pula dari perkembangan pasar dan harga minyak dunia. Jika prospek pasaran dan harga minyak dunia semakin paik, maka kegiatan eksplorasi akan semakin bertambah dan meningkat. Diharapkan produksi minyak juga meningkat.

Oleh karena faktor pasaran dan harga minyak dunia sangat menentukan tingkat produksi, maka sejak beberapa tahun lalu OPEC melakukan kebijaksanaan kuota produksi bagi setiap anggotanya, termasuk kuota minyak bagi Indonesia untuk semester kedua 1989 berjumlah 1,307 juta barel per hari. Sedangkan, Indonesia pernah berproduksi sekitar 1,6 juta barel perhari (oh, jadi meningkatkan produksi karena persyaratan kuota OPEC agar tetap bisa menjadi anggotanya, kalau tidak memenuhi keluar dari keanggotaan. Makanya, pertengahan 2008 keluar dari OPEC selain tidak bisa memenuhi kuota, Indonesia memang sudah menjadi net importir minyak sejak 2003, Red).

Perkembangan ekspor minyak mentah Indonesia pada tahun 1969 sebesar 195,7 juta barel lebih dari produk hanya 34,1 juta barel lebih. Pada 1977, mulai termasuk kondensat, ekspor minyak Indonesia menjadi 485,3 juta barel. Selanjutnya, karena keadaan ekspor minyak mentah termasuk kondensat Indonesia terus menurun, ditambah karena adanya kuota produksi OPEC.

Sebagai gambaran, pada tahun pertama Pelita IV (1984/85) jumlah ekspor minyak mentah termasuk kondesat sebanyak 343,6 juta barel, LPG 742,3 ribu ton, LNG 14,96 juta ton. Pada 1987/1988 ekspor minyak mentah termasuk kondensat 288,7 juta (menurun), LPG terus meningkat menjadi 518 ribu ton dan LNG terus meningkat menjadi 17,28 juta ton (setelah kondisi minyak menurun, giliran gas ditingkatkan ekspornya, Red).

Pada akhir Pelita IV (1988/89) angka sementara ekspor minyak mentah dan kondensat 276,3 juta barel, LPG 1.048,6 ribu ton dan LNG 17,3 juta ton. Sedangkan, prospek ekspor minyak mentah dan kondensat selama repelita V pada tahun pertama (1989/90) diperkirakan 277,1 juta barel, LPG 2.235,7 juta ton dan LNG 17,5 juta ton. Pada akhir Repelita V (1993/94) jumlah minyak mentah dan kondensat yang diekspor kira-kira 290,61 juta barel, LPG 2.909,1 dan LNG 19 juta ton (saat itu, ditingkatkan ekspornya agar penerimaan negara sesuai rencana, tapi kebutuhan dalam negerinya diperhatikan ga ya?, Red).

Selain itu juga, diekspor berupa minyak hasil kilang (produk) seperti Avgas, Avtur, Naptha, Kerosene, Fuel, Oil, Solar dan LSWR, yang pada tahun pertama Repelita V diperkirakan sebesar 63,44 juta barel dan akhir Repelita V 68,65 juta barel. Di samping itu, ekspor berupa hasil pengolahan non BBM seperti methanol, paraxylene, benzene, calcined coke.

Penerimaan Dalam Negeri dan Devisa Migas

Penerimaan dalam negeri dari minyak dan gas bumi serta ekspornya, terlihat seperti tabel 11, dan prospek penerimaan dan hasil ekspor minyak dan gas bumi selama Repelita V terlihat pada tabel 12. Dari gambaran tersebut menunjukkan bahwa hasil dari minyak dan gas bumi masih cukup besar.

Tabel 11
Penerimaan Dalam Negeri dan
Hasil Ekspor dari Minyak dan Gas bumi
Pelita IV
Tahun
Penerimaan Dalam Negeri dari Minyak dan Gas Bumi (miliar Rupiah)
Ekspor (bruto) Minyak dan Gas Bumi (juta US$)
1984/85
10.429,9
13.994
1985/86
11.144,4
12.437
1986/87
6.337,6
6.966
1987/88
10.047,2
8.841
1988/89
9.527,0
7.478*
            *perkiraan
Sumber: Buku pertama Repelita V

Tabel 12
Penerimaan Dalam Negeri dan
Hasil Ekspor dari Minyak dan Gas bumi
Repelita V
Tahun
Penerimaan Dalam Negeri dari Minyak dan Gas Bumi (miliar Rupiah)
Ekspor (bruto) Minyak dan Gas Bumi (juta US$)
1989/90
7.899,7
7.245
1990/91
9.148,7
7.511
1991/92
9.705,9
8.124
1992/93
10.950,2
8.492
1993/94
11.779,2
8.661
Sumber: Buku pertama Repelita V

Bachrawi Sanusi, Hasil Tambang, Minyak dan Gas Bumi Indonesia, 1991.