Lapangan Migas Indonesia Ibarat Parit Kecil Tersumbat Sampah

MigasReview, Jakarta - Lifting atau produksi minyak dan gas bumi (migas) selalu menjadi perbincangan yang tak hanya di kalangan pemerintah dan kompleks para wakil rakyat. Pengguna bahan bakar fosil pun tidak luput mempertanyakan mengapa produksi minyak cenderung turun, padahal Indonesia pernah berjaya dengan produksi 1,6 juta barel per hari (bph) pada 1977 dan 1995. Selain itu, negara ini juga memiliki lapangan migas sendiri dibandingkan dengan negara yang tidak memilikinya, seperti Jepang, China, dan India. Namun, negara-negara tersebut mampu mengelola energi demi kepentingan bangsa mereka.

Apalagi bila dibandingkan dengan beberapa negara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Iran dan Irak yang memiliki cadangan minyak sangat banyak, yang dapat memproduksi minyak hingga 2,3 juta bph. Tetapi, lapangan migas Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara-negara tersebut. Kepala Divisi Pengendalian Program dan Anggaran, Bidang Pengendalian Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Benny Lubiantara menggambarkan bahwa lapangan yang berada di Irak ibarat seperti kolam karena memiliki lapisan pertama minyak yang sangat tebal.

“Sementara di kita (Indonesia), lapangan minyaknya ibarat parit kecil, banyak sampahnya pula sehingga mampet, sulit mengalir. Di Arab, lapisannya tebal, ngebornya lancar. Mau produksi berapa juta barel, ya tinggal ngebor sumur yang banyak,” ujarnya kepada MigasReview.comdikantornya, beberapa waktu lalu.

Namun, Benny juga menegaskan, terlalu banyak sumur yang dibor juga akan merusak karakterisik reservoir. Sehingga, setiap lapangan migas memiliki titik optimum dalam menentukan banyaknya sumur.

“Sementara karakteristik reservoir di Indonesia tipis, mampet dan cadangannya juga sedikit. Kalau dibandingkan dengan blok West Qurna-1 yang bisa memproduksi 2,3 juta bph, Indonesia cuma 800 ribu bph dari ujung Sabang hingga Marauke karena dalam reservoir-nya banyak batuan, banyak minyak yang menempel di bebatuan. Itu sebabnya menggunakan EOR (Enhanced Oil Recovery) untuk mengalirkannya,” terang alumni Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung ITB) ini.

Sumur Tua


Memang banyak sumur tua yang berada di Indonesia, yang biasanya masih menyimpan sisa cadangan sekitar ratusan bph. Tetapi kondisi lapangan itu tidak memungkinkan digunakannya teknologi konvensional (primary recovery). Maka, di era 1970-80an, sumur-sumur yang tinggal memiliki cadangan tersisa 500 bph cenderung ditutup dengan alasan tidak ekonomis.


Oleh karena itu, penggunaan teknologi non-konvensional dapat mengubah lapangan yang dikategorikan primary recovery menjadi secondary recovery atau tertiary recovery. Penentuan kategori secondary dan tertiary tergantung pada karakteristik lapisan tanah lapangan migas.

“Yang termasuk secondary adalah menginjeksikan air (water flood) ke dalam sumur untuk menjaga tekanan di dalamnya tetap besar supaya tidak turun atau decline. Sewaktu lapangan itu masih primary, lama-kelamaan tekanannya turun. Karena itu dilakukan injeksi sehingga minyak bisa keluar karena adanya tekanan,” jelas mantan analis Kebijakan Fiskal Migas di OPEC tersebut.

Setelah primary, bukan berarti harus melalui tahap secondary. Benny menjelaskan, bila menggunakan cairan kimia maka akan dikategorikan tertiary recovery, seperti EOR. Namun, penggunaan EOR lebih baik dilakukan pada lapangan migas yang memiliki cadangan besar karena nilai keekonomiannya harus dihitung.

“Teknologi EOR menggunakan surfaktan (zat kimia) atau gas, tergantung mana yang cocok. Yang jelas, ini hanya dilakukan di cadangan dan lapangan besar karena dana yang dibutuhkan bisa hampir 3 kali lipat dari teknologi konvensional,” ujarnya.

No Cure No Fee


SKK Migas sedang membuat Pedoman Tata Kerja (PTK) yang mengatur menyangkut penggunaan teknologi tingkat lanjut di lapangan-lapangan yang tidak dikembangkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) melalui mekanisme no cure no fee, di mana pihak ketiga (provider) diberi izin untuk melakukan optimasi di lapangan yang tidak dikembangkan.

Contoh yang ada dalam no cure no fee adalah apabila setelah menggunakan EOR ternyata tidak menghasilkan produksi, maka providermendapatkan pengembalian investasi sebesar 75 persen dengan indikator-indikator tertentu.

“Bisa sliding skill. Harus dibuat fair dengan kondisi-kondisinya provider pada indikator tertentu, dan perlu insentif lain di luar kontrak PSC agar bisa ekonomis. Karena kalau no cure no pay, siapa yang mau mengerjakannya? Surfaktan kan mahal,” pungkas Benny.

SKK Migas memang sedang berupaya memaksimalkan produksi di setiap lapangan minyak dengan penggunaan EOR. Deputi Dukungan Bisnis SKK Migas Gerhard Marteen Rummeser mengatakan, upaya itu ditempuh demi menyukseskan zero decline dengan meningkatkan lifting minyak, sebab produksi minyak nasional bisa turun drastis hingga 40 persen.

Namun, PTK no cure no fee masih dalam pembahasan karena perlu menyosialisasikannya kepada provider dan pemangku kepentingan lainnya. Itu sebabnya, diperlukan penanganan pelaksanaan metode EOR oleh tenaga-tenaga ahli baik untuk studi kelayakan maupun implementasinya.

Indonesia setidaknya memiliki 160 jenis minyak, atau paling banyak di dunia. Tiap jenis membutuhkan ahli untuk analisis secara kompleks. Kegiatan EOR dapat menjadi alternatif dalam meningkatkan produksi minyak dengan cadangan yang sangat terbatas.

(anovianti muharti)

Tantangan Distribusi Gas di Negara Kepulauan

Pembangunan infrastruktur pendistribusian gas di Indonesia sedang dilakukan oleh pemerintah, agar pemanfaatan gas alam dapat digunakan secara merata. Perbaikan tata kelola gas diperlukan, terutama regulasi, untuk kenyamanan iklim investasi sehingga mendorong pengembangan infrastruktur gas.

Pendistribusian menggunakan pipa memang masih lebih murah. Namun, secara geografis, Indonesia merupakan kepulauan, maka diperlukan inovasi bagaimana mendistribusikan gas alam agar dapat dimanfaatkan pengguna gas (konsumen).

VP Commercial Java Pertagas Niaga Kusdi Widodo, yang menjadi salah satu pembicara di Gas Indonesia Summit & Exhibition 2017 (GIS 2017), akan menyampaikan tentang perkembangan LNG Small Scale for Domestic Market, peluang dan tantangannya dan apa yang telah dilakukan oleh Pertamina untuk mendukung program pemerintah dalam memperluas cakupan pengguna gas di Indonesia.

Berikut obrolannya dengan MigasReview.com

Harga gas terkadang sering dikaitkan dengan harga minyak. Bagaimana menentukan harga gas, apakah ada imbasnya dengan harga minyak mentah saat ini?

Harga gas dapat ditentukan dari harga keekonomian sumber gas (harga gas hulu) ditambah biaya transportasi gas dan biaya-biaya lain yang terkait. Disamping itu harga gas juga dikaitkan dengan harga minyak bumi terutama harga gas yang berbasis dari sumber LNG. Jadi harga gas berbasis LNG adalah meliputi harga LNG ditambah biaya storagedan regasifikasi ditambah biaya transportasi gas dan biaya-biaya lain yang terkait.

Darimana saja sumber gas yang didapatkan?

Saat ini gas yang dipakai di Indonesia diperoleh dari sumber-sumber gas di dalam negeri. Gas dialirkan melalui pipa terutama di pulau Jawa dan Sumatera dan juga ditransportasikan melalui kapal LNG, apabila sumbernya diperoleh dari tempat lain (Kalimantan – Bontang / Papua - Tangguh) untuk dipakai di Jawa dan Sumatera. Sesuai dengan gas balance, Indonesia akan kekurangan gas dimulai tahun 2020, sehingga apabila tidak terdapat sumber baru maka Indonesia perlu mengimpor LNG.

Menurut Anda, apakah lebih ekonomis mengimpor dibanding memroduksinya?

Hal ini tergantung, terutama dari lokasi. Memang gas kita (nasional) yang diproduksi semakin sulit tempatnya, maka akan berdampak ke harga (semakin mahal). Apabila kita membandingkannya, maka sifatnya sangat temporal, karena dikemudian hari siapa tahu ditemukan sumber (gas) baru.

Kondisi saat ini, harga LNG (spot market) yang sangat kompetitif, maka tantangannya adalah transportasi untuk mendistribusikannya, kemudian receiving terminal, terutama apabila kita impor (LNG) harus disiapkan. Yang mana, line base receiving terminal membutuhkan waktu sekitar 4 tahun, Floating Storage Regasification Unit (FSRU) membutuhkan waktu sekitar 3 tahun. Sehingga yang kita bicarakan sekarang di 3-4 tahun kemudian akan berbeda lagi, kecuali bila menggunakan kontrak jangka panjang dengan sumber gas.

Indonesia merupakan negara kepulauan, pendistribusian gas seperti apa yang cocok?

Distribusi melalui pipa merupakan distribusi yang paling murah, namun untuk daerah kepulauan yang luas distribusi melalui LNG dengan memakai kapal LNG akan lebih mudah dan murah (reliable).

Apakah FSRU diperlukan lebih banyak?

Tergantung besarannya, FSRU cukup mahal. Namun, apabila receiving-nya kecil-kecil cenderung lebih baik menggunakan FSU (floating storage unit) lalu regasifikasinya diproses di darat, memang yang membutuhkan waktu adalah membangun FSU. Selain itu, harus dipertimbangkan juga dari sisi kebutuhannya, seberapa besar kebutuhan gas di suatu daerah, apakah dengan menggunakan FSRU tidak kebesaran?

Oleh karena itu, selain perlu dipertimbangkan faktor-faktor untuk menyediakan infrastruktur tersebut, perlu dimulai membuat semacam cluster dengan membuat FSU yang besar kapasitasnya kemudian didistribusikan mengunakan kapal-kapal kecil. Namun, sejauh ini belum ada yang melakukannya karena belum ekonomis. Selain itu, komitmen pembeli (buyer) belum ada.

Berapa kebutuhan gas rata-rata tahunan?

Gas balance di 2015 sekitar 5.600 MMSCFD. Di 2018, akan meningkat sekitar 7.700 MMSCFD. Setiap tahun diperkirakan naik 6%. Sementara dari sumber gas sejak 2015, sebenarnya sudah terlihat defisit, hanya saja dikarenakan marketnya scattered (terpencar-pencar) maka tidak terlihat defisitnya. Sebab di suatu tempat antara sumber gas dengan kebutuhannya kurang, namun terdapat di suatu tempat antara sumber gas dengan kebutuhannya berlebih. Apabila infrastruktur sudah terbangunpun, pada 2025 defisit gas terjadi sekitar 4,4 TCF per day.

Hal ini perlu dicermati, saat ini yang dapat dilakukan penghematan dan diversifikasi energi. Karena mencari cadangan atau sumber gas juga membutuhkan waktu dan monetisasi yang perlu diperhitungkan.

Apa yang membedakan dari LNG, CNG dan LPG, bagaimana masing-masing penanganannya?

LNG adalah gas alam yang dicairkan dengan cara didinginkan pada suhu kurang lebih minus 160oC, LNG terdiri dari gas methane, sedangkan CNG adalah gas alam yang decompress(ditekan) sampai dengan tekanan kurang lebih 200 bar, sedangkan LPG adalah merupakan fraksi berat gas alam yang terdiri dari propane dan butane. Ketiga gas ini dibuat untuk memudahkan transportasi gas ke konsumen terutama untuk transportasi jauh ribuan kilometer (LNG/LPG), apabila belum tersedia transportasi pipa ke daerah tersebut.

Seperti apakah rantai pendistribusian gas?

Sebenarnya rantainya sangat logic, mulai dari sumber gas kemudian masuk ke pipa transmisi, selama kita membicarakan gas pipa, kemudian dialirkan ke pipa distribusi, dimana masing-masing diperlukan meteran, dan apabila jaraknya jauh dibutuhkan kompresor, tentunya ini menjadi biaya-biaya yang akan diperhitungkan hingga sampai ke konsumen. Saat ini memang ada 2 cara penjualan. Pertama, direct (langsung) dari sumber ke konsumen. Kedua, melalui beberapa badan usaha (trader).

Apa harapan Anda terhadap industri gas nasional?

Kita berharap diberikan kemudahan untuk mendapatkan sumber-sumber (gas) yang baru dan terkoneksinya sumber-sumber gas dengan konsumen pemakai gas, namun kita juga berharap agar dibangunnya infrastruktur gas terutama untuk LNG untuk mem-backup sumber-sumber gas yang ada saat ini. Kita juga berharap adanya dukungan pemerintah berupa regulasi yang mendukung dunia usaha diantaranya adalah regulasi tentang harga gas, sehingga harga mau di-open, diberi ceiling, sehingga yang berinvestasi dapat memperhitungkan break even point-nya.

Apa yang akan Anda sampaikan pada forum GIS 2017?

Saya akan memberikan gambaran mengenai market gas di Indonesia secara umum, kemudian peran LNG yang saat ini mayoritas penyuplaian gas (jalur dsitribusi) menggunakan pipa. Market yang besar terutama di Jawa, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, sementara untuk Jawa Tengah masih on progress pengembangan jalur pipa gas dari Jawa Timur (Gresik-Semarang), sehingga nantinya pipa gas di Jawa akan terintegrasi. Market yang kedua di Sumatera, yaitu Sumatera bagian utara dan selatan. Hal ini karena kondisi sekarang masih terpencar-pencar antara daerah sumber gas dengan daerah konsumennya.

Selain gas pipa, untuk bridgingmenggunakan CNG, terutama untuk konsumen yang belum tersambung dengan pipa dan belum ekonomis apabila perlu dibangun pipa gas.

Sementara perkembangan sumber gas, kondisi saat ini di Jawa Barat dan Jawa Timur mulai mengalami penurunan, begitupun sumber baru bila ditemukan namun belum ekonomis untuk dikembangkan. Oleh karena itu, di Jawa Barat menggunakan LNG untuk diregasifikasi melalui FSRU yang kemudian dialirkan ke pipa bawah laut (sepanjang 20km) ke Muara Karang, lalu dialirkan ke Muara Tawar (PT PJB). Alokasi gas, paling besar untuk PLN (pembangkit listrik), namun juga digunakan untuk (konsumen) industri, seperti baja, keramik, kaca, smelter hingga industri makanan (Jawa Barat). Di sumatera Utara kita sudah merevitalisasi Arun menjadi receiving terminal LNG, kemudian pipa Arun-Belawan.

Karena kita sudah memiliki dua tempat pengiriman LNG, maka kita membangun small facility, yaitu LNG Small Scale for Domestic Market, ukuran saat ini iso tank 12 feet. Tangki ini akan didistribusikan untuk konsumen yang berada di daerah, seperti Kalimantan Timur dan Sumatera bagian utara yang tidak terjangkau dengan gas pipa.


LNG Small Scaleini, dapat dibawa menggunakan truk ataupun kapal untuk antar pulau kecil dan sudah terdapat regasification unit, namun unit ini ditempatkan di konsumen. Regasification unit ini sudah ada di Medan (Sumatera Utara), Kalimantan Timur, lalu dalam waktu dekat kita akan menyuplai PLN (PLTG) Sambera. Sekarang yang sedang diuji coba daerah Ambon.

Bahan Bakar Hidrokarbon Pengganti Minyak Bumi

Hampir 100 persen dan selama hampir 100 tahun, dunia mengandalkan minyak bumi sebagai sumber daya energi. Tak heran, penggunaan sumber daya energi hidrokarbon yang besar berimbas pada pengembangan teknologi mengikuti perkembangan sumber daya tersebut. Oleh karena itu, semua teknologi, semua mesin konversi energi dikembangkan untuk menggunakan atau dicocokkan dengan bahan bakar dari hidrokarbon, termasuk bahan bakar minyak (BBM).

Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI) Tatang Hernas Soerawidjaja, meski minyak bumi hingga abad 22 masih tetap akan ada, kemampuan untuk mengekploitasi dari perut bumi jauh lebih rendah daripada mengonsumsinya. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan energi fosil harus mulai dikurangi atau berhemat memakai BBM.

Mengetahui sulitnya mendapatkan emas hitam, mulailah para ahli energi di dunia mencari sumber daya energi terbarukan yang mirip atau mudah diubah menjadi hidrokarbon. Berikut penjelasan Tatang saat ditemui MigasReview.comdi kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), beberapa waktu lalu.

Kapan sebenarnya mulai terinisiasi pengembangan energi terbarukan?

Mulai awal 2000 memang sudah dipikirkan tentang energi terbarukan. Di dunia, terutama bioenergi sangat diperlukan. Pertama kali inisiasinya oleh Brasil pada 1970-an. Berawal dari pemikiran bahwa sebelum 1970, Brasil merupakan pengimpor minyak yang sangat besar. Pada 1974, presiden Brasil terpilih adalah Ernesto Beckmann Geisel, mantan presiden Petrobras yang juga seorang jenderal. Geisel mengetahui berapa banyak biaya yang dihabiskan untuk mengimpor minyak. Suatu hari pada 1975, dia berkunjung ke sebuah laboratorium milik pemerintahan Brasil, kalau di sini seperti BPPT, yang sedang melakukan penelitian campuran etanol (Gasohol) ke mesin.

Geisel melihat penelitian tersebut itu sebagai jawaban dari permasalahan impor minyak di negaranya, hingga mengatakan ke stafnya, “Batalkan semua agenda pertemuan saya hari ini” Dia mau berada di laboratorium itu meminta penjelasan dari penelitian tersebut, sehingga rencana kunjungan setengah jam menjadi setengah hari. Dua minggu kemudian, keluarlah dekrit program bensin beralkohol, hingga sekarang Brasil terkenal dengan penggunaan bahan bakar bioetanol meskipun pada 1980-an Petrobras menemukan cadangan minyak lepas pantai yang saat ini melampaui cadangan minyak Indonesia.

Artinya, butuh political will yang memiliki tujuan, mau diapakan energi ini.

Apakah ada energi terbarukan yang bisa menggantikan atau mirip minyak bumi?

Jawabannya ada. Anda tahu apa itu asam lemak? Asam karboksilat rantai panjang terdiri atas unsur C2H dan COOH. Contoh asam palmitat (C15H31COOH). Kalau orang energi bilang, ini hidrokarbon terkontaminasi. Ada 2 cara agar dapat menjadi hidrokarbon. Pertama, tarik CO2 sehingga menjadi C15H32. Kedua, tekan CO2 dengan hidrogen keluar menjadi air (H2O) sehingga berubah menjadi C16H34. Apa ini? Inilah heksadekan, yang merupakan bahan bakar diesel dengan angka oktan 100. Dari mana mendapatkan asam palmitat? Itu merupakan salah satu asam lemak yang paling mudah diperoleh dari tumbuh-tumbuhan famili Palmaceae, seperti kelapa (cocos nucifera) dan kelapa sawit (elaeis guineensis).

Jadi kita punya energi terbarukan. Teknologi mengonversi asam lemak menjadi hidrokarbon ini sudah berkembang. Namanya hydrodeoxygenation fatty oil, dan di dunia, pabriknya baru ada lima, termasuk yang mau berjalan di Gresik, meski teknologinya agak berbeda dengan keempat pabrik yang lain. Tiga di antaranya punya Neste Oil, perusahaan migas asal Finlandia, yang terletak satu di Porvoo, Finlandia, satu di Singapura, dan satu lagi di Rotterdam. Kapasitas yang cukup besar yang di Singapura. Bayangkan, kita mengekspor 1 juta ton minyak kelapa sawit untuk diubah menjadi bahan bakar hidrokarbon. Dan yang di Rotterdam, perkiraan saya juga mendapatkan minyak kelapa sawit dari Indonesia.

Sementara kalau mau perbandingan, Pertamina mengimpor minyak mentah 1 juta ton dari Arab untuk memenuhi kilang petrokimia yang sedang dibangun. Ini sudah menunjukkan tanda-tanda ketertinggalan.

Neste Oil dengan pabrik pengubah asam lemak menjadi hidrokarbon itu, menggunakan suplai minyak kelapa sawit dari Indonesia, sedangkan kita masih memikirkan atau mengandalkan minyak mentah dari negara lain. Padahal, energi terbarukan ada di depan mata. Sehingga, dari penerapan teknologi saja kita sudah tertinggal karena masih memikirkan cara mendapatkan sumber minyak, sementara yang lain sudah mulai menerapkan energi dari minyak nabati.

Artinya, teknologi hydrodeoxygenation fatty oil bisa menciptakan bahan bakar dari tumbuh-tumbuhan?

Ini yang saya sebut generasi satu setengah. Berbasis kesadaran bahwa pada minyak-lemak nabati sebenarnya memiliki 85-90 persen hidrokarbon yang relatif mudah dikonversi menjadi biohidrokarbon alias renewable hydrocarbon dan dapat diolah dengan teknologi-teknologi yang sudah mapan diterapkan di kilang-kilang minyak bumi. Kini berkembang kilang-kilang hidrodeoksigenasi minyak-lemak nabati menjadi biohidrokarbon, seperti Neste Oil tadi. Hasil produknya Bio Hydrofined Diesel (BHD), Bioavtur (Jet Biofuel), Biogasoline, Bioelpiji. Beberapa negara di dunia kini juga mengembangkan semua pohon potensial penghasil minyak-lemak nabati non-pangan. Keanekaragaman hayati Indonesia adalah gudang aneka pohon potensial penghasil minyak-lemak nabati.

Mengapa bioenergi?

Sistem energi dunia harus (dan sedang diupayakan) beralih dari sebuah sistem energi berbasis sumber daya fosil ke sistem energi berbasis sumber daya terbarukan. Sistem energi dunia yang ada sekarang telah dibangun, selama hampir satu abad, dengan berdasar (atau merujuk) pada aneka keunggulan sumber daya fosil. Sumber daya fosil adalah sumber daya bahan bakar. Karena itu, semua teknologi dan mesin pengonversi sumber daya bahan bakar menjadi aneka bahan bakar bermutu tinggi, listrik, kalor, dan sebagainya, kini sudah tersedia. Industri energi sangat butuh sumber daya terbarukan yang langsung sesuai dengan teknologi dan mesin tersebut.

Bioenergi merupakan jembatan transisi vital peralihan sistem energi berbasis sumber daya fosil ke sistem energi berbasis sumber daya terbarukan. Konsumsi bioenergi akan terus membesar. Pada 2050, kontribusinya hampir sama besar dengan jumlah total energi-energi terbarukan lain.

 Kenapa harus mulai melakukan transisi?

Ada beberapa tujuan,
  • Memperkuat keterjaminan pasokan energi (energy security) sambil mengurangi dan akhirnya meredam kebutuhan akan bahan bakar fosil.
  • Mengembangkan industri sambil menyehatkan neraca pembayaran negara (country balance of payment).
  • Meningkatkan kreasi nilai tambah hasil-hasil industri budidaya.
  • Membuka lapangan/kesempatan kerja terutama di wilayah-wilayah pedesaan.
  • Mengurangi toxicity produk-produk dan proses-proses demi peningkatan kesehatan.
  • Mengurangi pemanasan global (emisi gas-gas rumah kaca).


Anda mengatakan, negara yang potensi sumber dayanya jauh lebih besar dari rata-rata, tidak boleh terbawa arus rata-rata. Maksudnya?

Misal, produksi timah kita terbilang cukup besar di dunia, tapi riset timah diserahkan semua ke asosiasi negara-negara penghasil timah (International Tin Council/ITC) di London. Mereka lakukan riset untuk memenuhi keinginan semua anggota, akibatnya keinginan rata-rata yang disepakati, sehingga yang memiliki sumber besar tidak akan bisa kebutuhan risetnya tidak bisa terpenuhi. Maka seharusnya yang memiliki sumber daya besar harus melakukan riset sendiri, tapi tidak dilakukan. Hingga saat cadangan timah sendiri mulai menipis, mereka mulai kebingungan mau dibuat apalagi. Padahal, dalam kandungan timah masih ada kadar mineral lain. Itulah yang sering jadi pertanyaan, kita memiliki sumber daya alam besar, kenapa harus mengikuti kemauan orang lain?

Oleh karena itu, untuk setiap masalah yang krusial kita harus ngomong yang benarnya bagaimana, dan kebijakan pemerintah harus ada dasar ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), bukan kebijakan dibuat kemudian iptek disuruh mengikutinya. Ini gila!


Saya pernah bertemu dengan seseorang dari National Academic of Science Amerika Serikat (NAS). Dia bercerita mengapa dan bagaimana NAS bisa maju dan berkembang. Presiden AS Abraham Lincoln menegaskan, kebijakan AS harus didasari iptek. Sehingga, perdebatan apapun di AS, mulai dari politik di-backup oleh iptek dengan berbeda pandangan. Tapi kalau di Indonesia, tidak ada perdebatan yang didasari oleh iptek.