Lapangan Migas Indonesia Ibarat Parit Kecil Tersumbat Sampah

MigasReview, Jakarta - Lifting atau produksi minyak dan gas bumi (migas) selalu menjadi perbincangan yang tak hanya di kalangan pemerintah dan kompleks para wakil rakyat. Pengguna bahan bakar fosil pun tidak luput mempertanyakan mengapa produksi minyak cenderung turun, padahal Indonesia pernah berjaya dengan produksi 1,6 juta barel per hari (bph) pada 1977 dan 1995. Selain itu, negara ini juga memiliki lapangan migas sendiri dibandingkan dengan negara yang tidak memilikinya, seperti Jepang, China, dan India. Namun, negara-negara tersebut mampu mengelola energi demi kepentingan bangsa mereka.

Apalagi bila dibandingkan dengan beberapa negara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Iran dan Irak yang memiliki cadangan minyak sangat banyak, yang dapat memproduksi minyak hingga 2,3 juta bph. Tetapi, lapangan migas Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara-negara tersebut. Kepala Divisi Pengendalian Program dan Anggaran, Bidang Pengendalian Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Benny Lubiantara menggambarkan bahwa lapangan yang berada di Irak ibarat seperti kolam karena memiliki lapisan pertama minyak yang sangat tebal.

“Sementara di kita (Indonesia), lapangan minyaknya ibarat parit kecil, banyak sampahnya pula sehingga mampet, sulit mengalir. Di Arab, lapisannya tebal, ngebornya lancar. Mau produksi berapa juta barel, ya tinggal ngebor sumur yang banyak,” ujarnya kepada MigasReview.comdikantornya, beberapa waktu lalu.

Namun, Benny juga menegaskan, terlalu banyak sumur yang dibor juga akan merusak karakterisik reservoir. Sehingga, setiap lapangan migas memiliki titik optimum dalam menentukan banyaknya sumur.

“Sementara karakteristik reservoir di Indonesia tipis, mampet dan cadangannya juga sedikit. Kalau dibandingkan dengan blok West Qurna-1 yang bisa memproduksi 2,3 juta bph, Indonesia cuma 800 ribu bph dari ujung Sabang hingga Marauke karena dalam reservoir-nya banyak batuan, banyak minyak yang menempel di bebatuan. Itu sebabnya menggunakan EOR (Enhanced Oil Recovery) untuk mengalirkannya,” terang alumni Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung ITB) ini.

Sumur Tua


Memang banyak sumur tua yang berada di Indonesia, yang biasanya masih menyimpan sisa cadangan sekitar ratusan bph. Tetapi kondisi lapangan itu tidak memungkinkan digunakannya teknologi konvensional (primary recovery). Maka, di era 1970-80an, sumur-sumur yang tinggal memiliki cadangan tersisa 500 bph cenderung ditutup dengan alasan tidak ekonomis.


Oleh karena itu, penggunaan teknologi non-konvensional dapat mengubah lapangan yang dikategorikan primary recovery menjadi secondary recovery atau tertiary recovery. Penentuan kategori secondary dan tertiary tergantung pada karakteristik lapisan tanah lapangan migas.

“Yang termasuk secondary adalah menginjeksikan air (water flood) ke dalam sumur untuk menjaga tekanan di dalamnya tetap besar supaya tidak turun atau decline. Sewaktu lapangan itu masih primary, lama-kelamaan tekanannya turun. Karena itu dilakukan injeksi sehingga minyak bisa keluar karena adanya tekanan,” jelas mantan analis Kebijakan Fiskal Migas di OPEC tersebut.

Setelah primary, bukan berarti harus melalui tahap secondary. Benny menjelaskan, bila menggunakan cairan kimia maka akan dikategorikan tertiary recovery, seperti EOR. Namun, penggunaan EOR lebih baik dilakukan pada lapangan migas yang memiliki cadangan besar karena nilai keekonomiannya harus dihitung.

“Teknologi EOR menggunakan surfaktan (zat kimia) atau gas, tergantung mana yang cocok. Yang jelas, ini hanya dilakukan di cadangan dan lapangan besar karena dana yang dibutuhkan bisa hampir 3 kali lipat dari teknologi konvensional,” ujarnya.

No Cure No Fee


SKK Migas sedang membuat Pedoman Tata Kerja (PTK) yang mengatur menyangkut penggunaan teknologi tingkat lanjut di lapangan-lapangan yang tidak dikembangkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) melalui mekanisme no cure no fee, di mana pihak ketiga (provider) diberi izin untuk melakukan optimasi di lapangan yang tidak dikembangkan.

Contoh yang ada dalam no cure no fee adalah apabila setelah menggunakan EOR ternyata tidak menghasilkan produksi, maka providermendapatkan pengembalian investasi sebesar 75 persen dengan indikator-indikator tertentu.

“Bisa sliding skill. Harus dibuat fair dengan kondisi-kondisinya provider pada indikator tertentu, dan perlu insentif lain di luar kontrak PSC agar bisa ekonomis. Karena kalau no cure no pay, siapa yang mau mengerjakannya? Surfaktan kan mahal,” pungkas Benny.

SKK Migas memang sedang berupaya memaksimalkan produksi di setiap lapangan minyak dengan penggunaan EOR. Deputi Dukungan Bisnis SKK Migas Gerhard Marteen Rummeser mengatakan, upaya itu ditempuh demi menyukseskan zero decline dengan meningkatkan lifting minyak, sebab produksi minyak nasional bisa turun drastis hingga 40 persen.

Namun, PTK no cure no fee masih dalam pembahasan karena perlu menyosialisasikannya kepada provider dan pemangku kepentingan lainnya. Itu sebabnya, diperlukan penanganan pelaksanaan metode EOR oleh tenaga-tenaga ahli baik untuk studi kelayakan maupun implementasinya.

Indonesia setidaknya memiliki 160 jenis minyak, atau paling banyak di dunia. Tiap jenis membutuhkan ahli untuk analisis secara kompleks. Kegiatan EOR dapat menjadi alternatif dalam meningkatkan produksi minyak dengan cadangan yang sangat terbatas.

(anovianti muharti)