Jembatani Kepentingan Geothermal dan Konservasi Hutan

Indonesia memiliki cadangan energi panasbumi (geothermal)hingga 40 persen dari total cadangan dunia sekitar 29.000 MW, sementara yang dikembangkan baru 1.760 MW. Sumber energi baru-terbarukan ini sebenarnya bukan barang baru, namun pengembangannya tidak sepesat energi fosil. Padahal, cadangan yang begitu besar ini bisa menjadi salah satu solusi untuk menjaga ketahanan energi Indonesia.

General Manager Operasional PT Ametis Energi Nusantara Aan Akhmad Prayoga mengatakan, isu tumpang tindih lahan masih menjadi salah satu penghambat perkembangan energi panasbumi. Namun, dia mengakui, tanpa adanya konservasi hutan, energi menggunakan uap dari dalam perut bumi juga tidak dapat diproduksi.

Berikut perbincangannya saat ditemui MigasReview.com usai pembukaan Konferensi dan Pameran EBTKE CONEX 2013 Indonesia dengan tema Conservation, New and Renewable Energy - Road To Energy Security & People Welfare di Jakarta Convention Center, Rabu (21/08/2013).

Apa yang menjadi kekurangan kita dalam hal mengembangkan energi panasbumi?

Keterbatasan resource, yaitu sumber daya manusia, finansial dan teknologi. Satu-satunya sekolah yang mempelajari panasbumi di Indonesia adalah Institut Teknik Bandung, dan itu hanya sebagai mata kuliah, bukan jurusan. Yang ada jurusannya di tingkat program Master. Sedangkan negeri lain yang notabene memiliki cadangan energi panas tidak terlalu besar, seperti Islandia dan Selandia Baru malah memiliki institut khusus untuk pengembangan energi panasbumi.

Berapa investasi yang perlu dipersiapkan?

Nilai investasi untuk kapasitas pembangkit 50 MW sekitar US$200-300 juta. Dibandingkan industri minyak dan gas (migas), ini termasuk awal yang sangat besar karena untuk bisa mendapatkan energi panasbumi yang keluar pertama kali butuh 5-7 tahun. Survei 1 tahun, eksplorasi dengan asumsi 2-3 tahun, dan pengembangan pembangkit 2-3 tahun tahun. Nah, adakah investor yang mau menunggu selama itu? Tanpa ada komitmen tulus dari pelaku usaha, mustahil dikembangkan. Belum lagi tanpa ada dukungan dari pemerintah.

Berapa luas lahan yang diperlukan dan bagaimana sistem kerja energi panasbumi?

Lahan yang dibutuhkan untuk pembangkit berkapasitas 50-100 MW kurang dari 100 hektare, sementara untuk well head sekitar 1 hektare. Sistem kerja energi panasbumi ini, karena lahannya berdekatan dengan gunung berapi yang aktif, di bawah tanah ada aktivitas lava, ibarat memasak air di kompor. Saat mendidih, timbul uap. Uap tersebut yang diproduksikan untuk menggerakkan turbin. Itu sebabnya, kita percaya hutan begitu penting. Meski ada kompor, namun kalau tidak ada air, maka tidak akan menimbulkan uap. Jika tidak ada hutan karena gundul, airnya tidak meresap di dalam tanah dan terjadilah erosi. Makanya, energi panasbumi dan konservasi hutan bisa disinergikan. Sama-sama dapat menuai kebaikan bagi pemangku kepentingan.

Apakah kendala tumpang tindih lahan ini membuat minimnya pelaku usaha energi panasbumi?

Pada 2010-2011, mungkin banyak kendala dalam perkembangan energi panasbumi. Tapi harapan kami setelah pasca 2014 atau 2015, energi dari panasbumi ini, terlebih lagi dengan ada EBTKE CONEX, akan semakin berkembang pesat. Kondisi sekarang cukup berat. Penghambat nomor satu adalah implementasi regulasi, yaitu yang paling sering menjadi masalah mengenai tumpang tindih lahan antara lahan panasbumi dengan lahan konservasi. Sehingga, yang mana akan menjadi prioritas? Kita butuh energi, sementara konservasi hutan juga diperlukan. Keduanya punya regulasi masing-masing, maka perlu mencari mana yang harus didahulukan, karena sama-sama kuat kepentingannya.

Energi panasbumi termasuk dalam UU 2/2013 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, apakah masih juga menghambat?

Kami sebagai pelaku usaha energi panasbumi ingin agar energi ini berkembang dengan adanya UU 2/2013. Itu sebabnya, konservasi hutan dan panasbumi termasuk kepentingan umum dalam satu peraturan. Kalau tidak memungkinkan adanya regulasi baru, setidaknya ada yang dapat menjembatani kepentingan keduanya. Sebab, kalau tidak dijembatani, tumpang tindih akan terus terjadi. Keinginan membangun fasilitas energi panasbumi jadi terbatas karena adanya regulasi konservasi hutan. Sehingga, pemerintah maunya apa, energi atau konservasi hutan? Padahal, solusinya bisa dicari.

Energi panasbumi bukanlah berkonsep seperti pertambangan, hanya membutuhkan lahan untuk membuat sumur dan jalur pipa dibandingkan sistem penambangan lain. Saya mengerti, konservasi hutan sangat diperlukan. Tapi tanpa energi, bangsa ini bagaimana bisa maju? Yang namanya panasbumi letaknya berada di kawasan gunung dan di situ juga adanya hutan.


dikutip dari MigasReview.com

Pertamina Bermitra dengan OOG dan COI Bangun Kilang Bernilai Rp 130 Triliun

PT Pertamina (Persero) menetapkan akan bermitra dengan perusahaan minyak asal Oman yakni Overseas Oil and Gas LLC (OOG) yang menggandeng perusahaan trading Cosmo Oil International Pte Ltd (COI) yang merupakan trading arm Cosmo Energy Group (salah satu perusahaan pengolahan minyak Jepang) sebagai calon mitra untuk pembangunan kilang Bontang. Nilai proyek pembangunan ini diperkirakan akan mencapai 10 miliar dolar AS atau sekitar Rp130 triliun. Pembangunan kilang Bontang merupakan salah satu program pemerintah untuk membangun kilang baru atau Grass Root Refinery (GRR) yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi untuk Indonesia.

Konsorsium ini terpilih setelah proses seleksi calon mitra untuk proyek GRR Bontang. Proses pemilihan ini dilaksanakan berdasarkan skema penugasan pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM 7935 K/10/MEM/2016 tanggal 9 Desember 2016. Proses seleksi dijalankan sejak Januari 2017 yang pada awalnya diikuti oleh sekitar 100 perusahaan pendaftar. Selanjutnya, setelah tahapan seleksi awal, project expose, hingga tahap Request for Information dan Workshop diperoleh 8 calon mitra potensial.

Selanjutnya, Pertamina menyampaikan persyaratan terkait dengan perubahan struktur bisnis GRR Bontang kepada mitra potensial tersebut yakni dari sisi finansial Pertamina tidak ikut mendanai proyek dan Pertamina mendapatkan >10% saham dari proyek tanpa mengeluarkan biaya. Selain itu, Pertamina juga menyampaikan perubahan struktur bisnis terkait dengan deposit dana yang dilakukan oleh mitra; Pasokan minyak mentah dimana Pertamina berhak memasok sampai 20% dari minyak mentah GRR Bontang, Product Offtake dimana Pertamina tidak memberikan jaminan offtake serta Pertamina bersedia bekerjasama untuk joint marketing.

Dari proses tersebut, ada dua calon mitra potensial yang menyampaikan kesanggupannya. Pertamina memilih OOG sebagai mitra strategis dengan beberapa pertimbangan antara lain OOG mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah Oman untuk pendanaan proyek dan penyediaan pasokan minyak mentah, serta memiliki kemitraan strategis dengan COI dalam hal dukungan teknis dan pemasaran produk.

Pembangunan kilang di Kabupaten Bontang, Kalimantan Timur ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa penambahan kapasitas pengolahan sebesar 300 ribu barel per hari yang akan menghasilkan produk utama berupa gasoline dan diesel. Pembangunan ini diperkirakan akan memberikan lapangan pekerjaan hingga lebih dari 20.000 orang saat proyek pembangunan, dan sekitar 1.600 orang saat kilang sudah beroperasi.

Tahapan selanjutnya, Pertamina dan mitra terpilih akan menandatangani Frame Work Agreementyang dilanjutkan dengan Feasibility Study(FS) yang akan diselesaikan pada pertengahan 2019, dan dilanjutkan dengan penyusunan engineering package (FEED) hingga akhir 2020. Ditargetkan kilang Bontang beroperasi pada 2025.


Pertamina Akan Bangun Proyek Listrik Terintegrasi di Bangladesh

PT Pertamina (Persero) dan Bangladesh Power Development Board (BPDP) menandatangani nota kesepahaman (MoU) antara Pertamina dengan BPDP tentang pembangunan proyek listrik terintegrasi di Bangladesh.

Penandatanganan MoU dilakukan oleh Ginanjar selaku VP Power New Renewable Energy Pertamina dengan Chairman of BPDP Khaled Mahmood dan disaksikan oleh Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Republik Bangladesh Sheikh Hasina di Dhaka.


Kerja sama ini merupakan tindak lanjut dari MoU sebelumnya di sektor energi yang ditandatangani Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI dengan Ministry of Power, Energy and Mineral Resources of the People’s Bangladesh pada 15 September 2017 lalu.

Dalam MoU sebelumnya tersebut, Pertamina akan membangun dan mengembangkan proyek terintegrasi di Bangladesh yang terdiri dari Independent Power Producer (IPP) Combined Cycle Gas Turbine (CCGT) Power Plant dengan kapasitas 1400 MW. Proyek ini nantinya akan terhubung dengan fasilitas penerima LNG yang terdiri dari Floating Storageand Regasification Unit (FSRU), infrastruktur mooring dan off loading, serta jalur pipa gas baik subseamaupun onshore.

Dalam proyek ini, BPDB akan bertindak sebagai pembeli listrik yang dihasilkan oleh fasilitas terintegrasi tersebut. Adapun nilai investasi dari proyek ini diperkirakan sebesar US$2 miliar atau sekitar Rp26,3 triliun, dimana proses penyelesaian konstruksi fasilitas ini akan membutuhkan waktu 3 (tiga) tahun setelah tahap financial closing dicapai. Rencananya konstruksi akan dimulai tahun 2019.


Dikutip dari pertamina.com