Bersakit-sakit Dahulu, Net Eksportir Minyak Kemudian

Industri Migas di Brazil

Industri migas di Brazil berangkat dari keprihatinan dimana berdasarkan hasil survey di darat (onshore) tahun 1960-an, tidak banyak ditemukan cadangan migas di sana. Menyadari sebagai negara miskin minyak, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang intinya mencari cara supaya minyak digunakan lebih efisien dan sedapat mungkin beralih dari minyak.

Dalam rangka mengurangi pengeluaran untuk impor minyak, pemerintah memutuskan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang diharapkan dapat mengurangi kebutuhan minyak pada pembangkit listrik di masa akan datang, membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan meluncurkan program bahan bakar ethanol terbesar di dunia.

Pajak bahan bakar minyak ditingkatkan untuk mendorong efisiensi energi dan menghindari pemborosan bahan bakar minyak.

Pemerintah pada saat yang sama mendorong Petrobras untuk mempercepat program pemenuhan kebutuhan minyak untuk keperluan domestik. Menyadari tidak ada prospek migas di onshore, Petrobras beralih ke lepas pantai (offshore). Campos Basin ditemukan pada 1974, pengusaan teknologi lepas pantai dimulai dengan lokasi dangkal (shallow water), yang kemudian dilanjutkan dengan laut dalam (deep water).

Pada 1995 terjadi deregulasi untuk sektor migas. Petrobras di privatisasi, hak monopolinya dicabut. Pemerintah mendirikan National Petroleum Agency (ANP) yang bertanggung jawab terhadap urusan penawaran wilayah kerja dan mengatur kegiatan baik hulu dan hilir.

Deregulasi ini bertujuan agar Petrobras terbiasa berkompetisi, meningkatkan transparansi fiskal dan mengundang investor asing di sektor migas. Kegiatan eksplorasi meningkat sehingga terjadi banyak temuan cadangan minyak besar pertengahan tahun 2000-an dari lokasi laut dalam.

Prinsip “bersakit-sakit dahulu” ini berbuah sukses. Padahal 32 tahun yang lalu, produksi minyak di Brazil hanya 200 ribu barel per hari, sementara konsumsi minyak mencapai 1,2 juta barel per hari. Saat ini, Brazil menjadi negara net eksporter minyak dan produksinya akan cenderung terus meningkat dekade ke depan dengan berproduksinya lapangan-lapangan baru dari lokasi laut dalam tersebut.

Pada sistem konsesi di Brazil, IOC yang memperoleh konsesi diwajibkan untuk menginvestasikan 1% dari pendapatan bruto suatu lapangan untuk kegiatan riset dan pengembangan. Dana tersebut dialokasikan masing-masing 50% untuk riset pada perusahaan tersebut dan 50% oleh perguruan tinggi dan institusi riset nasional. TIdaklah mengherankan kalau saat ini Petrobras menjadi salah sati “penguasa” teknologi eksplorasi dan produksi migas di laut dalam.


Benny Lubiantara, Ekonomi Migas Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas, 2012.

Migas dalam Penanaman Modal Asing

Sejak jaman dahulu bumi Indonesia kaya akan beraneka sumber daya alam, baik sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan lain-lain, juga sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui lagi (un-renewable) seperti tambang, baik berupa batubara, minyak dan gas (migas) maupun hasil tambang lainnya.

Untuk menghasilkan sumber daya alam yang aneka rupa itu diperlukan dana atau modal/investasi yang sangat besar, terutama untuk bidang migas. Selain investasi yang sangat besar juga dibutuhkan teknologi yang tinggi, keahlian serta risikonya sangat besar, terutama jika hasil pengeboran tidak ditemukan migas.

Oleh karena Indonesia ingin menjadi bangsa yang adil dan makmur sesuai UUD 1945, maka diperlukan pembangunan di segala sektor dan bidang. Untuk itu dibutuhkan dana yang sangat besar. Salah satu yang diharapkan bisa mendatangkan sumber dana bari pembangunan selain potensi yang sangat kecil dari dana di dalam negeri, juga sangat besar jika Indonesia berhasil ekspor aneka sumber daya alam, termasuk juga keberhasilan Indonesia memperoleh Bantuan Luar Negeri.

Untuk itulah layak jika pada awal Orde Baru keluarlah UU yang berkenaan dengan Penanaman Modal Asing, yakni seperti yang diatur di dalam UU No. 1 tahun 1967, oleh karena sumber daya alam seperti migas juga sejak lama menjadi produk ekspor dunia (perlu diingat Indonesia sudah tidak lagi jadi negara pengekspor migas sejak 2003, terutama minyak, penulis juga sudah mengingatkan migas merupakan sumber daya alam yang un-renewable, sementara kebutuhan dalam negeri lebih tinggi daripada ketersediaan sumber daya alam, Red), maka layak dengan dibukanya peluang bagi modal asing berusaha di Indonesia. Maka semakin banyaklah kontraktor migas asing yang melakukan operasinya di Indonesia, terutama di lepas pantai (offshore) yang berhasil baik (pertanyaannya, apakah pemodal dalam negeri yang pure nasionalis bisa melakukannya? jangan sampai juga melancarkan modal asing namun soul adil dan makmur berdasarkan UUD 1945 hilang, namun hanya dimanfaatkan sekelompok golongan, kemana jiwa merah putih?, Red).

Pengaruh Penanam Modal Asing Terhadap Ekspor

Phyllis Rosandale mengemukakan, bahwa modal asing pegang peranan penting di dalam proses membaiknya realisasi serta prospek hasil ekspor selama tahun 1970-an. Masalahnya kebanyak produk ekspor Indonesia utama periode tahun 1950-an dan periode 1960-an tidak mempunyai kemantapan permintaan terhadap produk Indonesia, juga selalu mengalami penurunan harga di pasaran dunia. Empat dari lima produk tradisional ekspor Indonesia utama, seperti karet, kopi, teh dan lada, pasarannya lambat perkembangnnya, sedangkan pasaran bagi barang ekspor utama ke lima, yakni kopra, justru turun setelah perang dunia kedua.

Sekiranya Indonesia masih tetap mempertahankan komposisi produk ekspornya seperti periode tersebut, maka peluang untuk menghasilkan devisa ekspor menjadi kecil, apapun yang terjadi di sektor penawaran dalam negeri. Satu-satunya cara yang umumnya berlaku bagi negara kecil untuk menghindar dari prospek yang tidak begitu baik dalam perdagangan internasional yakni dengan cara keberanian mengubah komposisi ekspornya, mencakup lebih banyak barang yang mempunyai prospek lebih baik dilihat dari segi perkembangan harga maupun jumlahnya.

Masalahnya, faktor kemajuan sebagian juga karena adanya kebijakan ekonomi yang lebih baik (untuk siapa?, Red), untuk itu Indonesia dianggap telah berhasil melakukan hal tersebut selama sepuluh tahun sejak tahun 1967 (kebijakan ekonominya hanya berefek sepuluh tahun? apakah tidak ada yang bisa lebih visioner?, Red).

Penanaman modal asing sebagai penggerak utama bagi pertumbuhan ekspor barang-barang mineral dan kayu, satu-satunya sektor yang tumbuh karena investasi yang dilakukan pemerintah adalah bidang tambang timah. Perkembangan ekspor minyak bumi, kemudian bertambah dengan ekspor gas bumi LNG dan LPG, kayu, tembaga, nikel serta seluruhnya bersumber karena masuknya modal swasta asing, terutama swasta asing yang berhasil menambang migas selama ini.

Terbesar dari hasil migas yakni berasal dari ekspor, terutama gas bumi, sedangkan minyak bumi dikhawatirkan jumlah produksi minyak dalam negeri tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan BBM di dalam negeri, yang berarti Indonesia akan menjadi negara net importir minyak (sudah 12 tahun lamanya, bahkan sejak penulis selalu melakukan riset sejak tahun 1980-an, selalu mengingatkan tentang supply dan demand, mengingat migas adalah un-renewablemaka tak pantas Indonesia dijuluki “Kaya akan Minyak”, bukan hanya ekspor perlu mengubah komposisi, pengguna migas sepertinya juga perlu, Red).

Ini berarti pula yang selama ini minyak bumi bisa menghasilkan devisa ekspor, maka pada saatnya Indonesia harus mengeluarkan devisa/dana untuk impor BBM. Oleh karena itu, pihak Pertamina terus memberikan insentif baru yang saling menguntungkan terutama bagi kontraktor migas asing. Dengan kata lain, jika produksi migas meningkat, harga migas dunia makin baik, maka hasil ekspor akan meningkat.

Hasil ini secara berantai akan menambah pendapatan dalam negeri dari migas, menambah dana pembangunan di segala sektor/bidang maupun regional, dan pada akhirnya akan menambah pertumbuhan ekonomi Indonesia (mudah-mudah tidak ‘nyasar’ atau ngendondi suatu tempat, penggunaan dari pendapatan dalam negeri, Red). Karena adanya keberhasilan pembangunan di segala sektor/bidang, terutama karena adanya dana pembangunan dari hasil migas, ternayta usaha bidang-bidang lain di luar migas ikut berkembang, sekaligus juga semakin banyaknya para investor asing menanam modalnya untuk usaha non migas.


Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002

Ekonomi Setelah Merdeka (Bagian 2 - Selesai)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia maupun pertumbuhan ekonomi per sektor atau seluruh PDB/GDP Indonesia yang banyak ditunjang oleh peran pemanfaatan uang migas maupun migas sebagai energi atau bahan baku, juga tidak bisa lepas karena harga jual BBM di dalam negeri khususnya jauh lebih murah atau lebih rendah dibandingkan dengan harga BBM di luar negeri. Oleh karena itu di satu pihak semua sektor/lapangan usaha memperoleh bantuan dari negara berupa harga BBM yang jauh lebih rendah sehingga minimal bisa menekan biaya produksi serta bisa meningkatkan daya saing, tetapi sebaliknya semakin jumlah BBM yang dibutuhkan dan harganya di bawah biaya produksi BBM per liternya, berarti jumlah subsidi BBM makin lama makin membengkak.

Besar kecilnya jumlah subsidi BBM bukan karena tergantung harga jual BBM-nya rendah, tetapi yang sangat menentukan karena semakin besarnya jumlah subsidi BBM, yakni pertama, jumlah kebutuhan BBM terus meningkat. Kedua, meningkatnya harga minyak dunia makin mahal dan dalam harga/nilai Dollar AS. Ketiga, jika kurs rupiah makin merosot tajam terutama terhadap Dollar AS. Akibatnya terpaksa pemerintah bersama DPR setuju menaikkan harga BBM, walau seharusnya pemerintah berkewajiban agar daya beli masyarakat harus terus ditingkatkan dan merupakan salah satu tugas serta tanggung jawab pemerintah, bukan sebaliknya justru kenaikan harga BBM maka daya beli rakyat kecil, khususnya semakin turun tajam.

Secara riil pendapatan rakyat kecil khususnya terus merosot, dengan kata lain daya beli hasil pendapatan rakyat kecil makin kurus atau menyusut tajam (rakyat sebenarnya, bukan rakyat yang selalu gonta-ganti kendaraan pribadi atau gonta-ganti status online dengan gadget bukan buatan dalam negeri pula, Red).

Kalau saja pemerintah mampu menurunkan kurs Dollar AS, katakan saja dari Rp9.000 per US$ bisa menjadi antara Rp3.000 sampai Rp4.000 pasti subsidi BBM tidak membengkak dan harga BBM tidak perlu naik (tapi kan, nanti ‘kue’ dari selisih nilai/harga gakebagian, suara rakyat mana yang sedang diwakilkan?, Red). Kalaupun harga minyak dunia katakan saja turun 20 persen secara Dollar AS, tetapi jika kurs rupiah turun lebih dari 40 persen terhadap US$ berarti secara rupiah harga BBM lagi-lagi pemerintah seperti tidak punya usaha positif dan selalu mengambil enaknya saja menjual sumber daya alam berupa warisan migas yang usianya sudah lebih 100 tahun, yakni dengan seenaknya saja menaikkan harga BBM.

Walau ada alasan bahwa uang subsidi BBM katanya untuk mengentas kemiskinan, nampaknya kebijakan ini sangat tidak tepat, yang pasti dikhawatirkan justru yang muncul kebocoran dana subsidi BBM yang merugikan rakyat banyak.

Dengan kata lain, sebenarnya adanya subsidi BBM untuk membantu merangsang produksi sektor non migas bisa meningkat tajam. Perhatikan saja adanya perubahan struktur ekonomi Indonesia juga harus diingat bahwa subsidi BBM seperti minyak tanah sebenarnya sejak lama mempunyai latar belakang yang baik terhadap lingkungan hidup, terutama bagi keamanan rakyat banyak, untuk itu agar rakyat tidak menebang pohon sebagai bahan bakar (namun yang terjadi sekarang ditebang untuk buka lahan perkebunan dengan kamuflase kebakaran hutan karena ada titik api dari bawah tanah, padahal hutan Indonesia salah satu paru-paru dunia, Red). Karena penebangan pohon secara seenaknya saja akibat minyak tanah mahal atau tak terjangkau untuk dibeli oleh rakyat kevil sehingga muncul penebangan pohon-pohon secara liar, akibatnya banyak daerah yang tanahnya longsor dan banjir ketika hujan (penulis pun mengetahui banjir akan tiba karena hutan tidak dilindungi, Red).

Banyak Oknum

Oleh karena itu, sudah sejak lama minyak tanah, khususnya selalu diberi subsidi, tetapi niat upaya baik pemerintah terutama pada masa ekonomi yang tak menentu akhirnya makin banyak oknum pengusaha yang nakal, karena harga minyak tanah yang sangat murah makan bukan hanya BBM, khususnya minyak tanah, solar dan lain-lain diseludupkan ke luar negeri tetapi minyak tanah juga dicampur dengan premium atau solar, sehingga merugikan konsumen BBM karena mesin kendaraannya rusak berat.

Untuk itu pengawasan dari pihak Pertamina harus diperketat kalau perlu bekerjasama dengan dunia pers (lah, mereka juga di’lindungi’ atau di’legal’kan, Red) dan rakyat setempat di mana BBM dijual, juga dengan catatan mereka itu mau bekerja keras tanpa adanya harapan munculnya KKN.

Yang pasti karena adanya subsidi BBM, maka secara tidak kentara sebenarnya pertumbuhan ekonomi di berbagai lapangan usaha terus meningkat. Misalnya saja, harga jual gas bumi untuk pembuatan pupuk urea khususnya sangat murah, ini banyak membantu para petani terutama sebagai penghasil tanaman padi, pada gilirannya GDP/PDB di sektor pertanian bisa terus meningkat, karena antara lain adanya pupuk urea itu, produksi padi meningkat, juga contoh lain karena harga BBM bersubsidi maka memungkinkan banyak yang butuh kendaraan bermotor, sehingga produksi kendaraan bermotor dan industri lainnya juga ikut meningkat, akhirnya struktur ekonomi yang semula sektor pertanian yang sangat dominan kemudian menyebar dan struktur pertanian makin kecil (pertanda baguskah? Sebelum era mesin masuk, perkembangan di Indonesia sangat bagus, tapi begitu market/pasar jenuh, lupa akan kebutuhan migas semakin meningkat sementara produk fosil sewaktu-waktu akan habis, dan tidak mempersiapkan subtitusi lainnya, Red). Dengan kata lain karena peran migas terutama dalam perekonomian Indonesia sangat besar.

Walau secara teori ada yang menilai bahwa peran migas hanya sekitar kurang dari satu persen, katakan saja untuk menghasilkan jasa hotel. Tetapi bagaimana kalau listriknya pada karena tidak ada BBM-nya, apa arti hotel itu? Justru sebaliknya kerugiannya sangat besar. Begitu juga mobil kalau secara teori katakan saja peran BBM hanya sekitar 10-15 persen, tetapi apakah mobil itu bisa berfungsi dan menghasilkan sekiranya tidak ada BBM? Dengan kata lain peran Migas dalam perekonomian bukan hanya dapat dilihat dari hasil nilai mata uangnya, juga harus dilihat atau diperhitungkan dari pemanfaatannya, apakah sebagai energi atau bahan baku industri? Selain itu juga harus dilihat dari keberadaan atau kecukupan BBM.

Ekonomi dunia akan lumpuh sekiranya OPEC menghentikan produksi atau ekspor minyaknya. Sebagai gambaran dalam tabel 1 akan terlihat perkembangan jumlah pertumbuhan konsumsi dan subsidi BBM dari tahun 1985/86 hingga tahun 1993/94

Tabel 1
Pertumbuhan Konsumsi dan Jumlah Subsidi BBM
1985/86-1993/94
Tahun Anggaran
Konsumsi BBM/Jutaan
KL Subsidi/Miliar Rp.
1985/86
24,45
374,2
1986/87
24,51
*)
1987/88
26,38
401,8
1988/89
27,84
133,1
1989/90
29,70
705,9
1990/91
33,84
3.301,0
1991/92
36,24
1.209,7
1992/93
39,03
691,8
1993/94
41,38
**)
Note:       *) Tidak ada subsidi, tetapi ada Laba Bersih Minyak (LBM), karena harga jual   per liter lebih tinggi dibandingkan biaya produksi per liter. Sehingga terdapat LBM sebesar Rp825 miliar, **) begitu juga pada tahun 1993/94 terdapat LBM Rp1.040,7 miliar.
Sumber: Diolah dari Data dan Informasi Minyak, Gas dan Panas Bumi edisi ke 2, Ditjen Migas, 1995

Oleh karena harga minyak dunia terus naik da kurs rupiah anjlok menjadi nyaris Rp10.000 per US$ pada 2000, maka layak walau harga BBM dinaikkan tetapi jumlah subsidi BBM mencapai puluhan triliun rupiah, bahkan nyaris jumlah subsidi BBM mencapai Rp60 triliun. Masalah utama karena pemerintah tidak berhasil mengupayakan perbaikan ekonomi secara profesional sehingga kurs rupiah terus merosot tajam, akibatnya walaupun harga minyak dunia tidak naik, bahkan turun (harga dengan nilai US$nya), tetapi sekiranya presentase ambruknya kurs rupiah terhadap Dollar AS khususnya jauh lebih besar, maka mau tidak mau jumlah subsidi BBM makin membengkak.

Ketidakberhasilan Pemerintah Perbaiki Perekonomian

Nampaknya DPR kurang jeli yang seolah-olah selalu setuju saja setiap usulan pemerintah untuk menaikkan harga BBM atau menaikkan tarif jasa apapun. Seharusnya yang dinilai DPR terutama yang berkaitan ketidakberhasilan pemerintah melaksanakan ekonomi dan moneter yang baik, yang sangat bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat banyak umumnya, rakyat kecil khususnya.

Malah di satu pihak pemerintah tidak berhasil mengerem ambruknya kurs rupiah, malah anggaran atau APBN yang terus rugi atau defisit di atas Rp50 triliun masih dibiarkan, tanpa adanya usaha memperkecil jumlah anggaran belanja. Defisit anggaran yang tiap tahun terus membengkak juga bisa sebagai salah satu sebab sehingga kurs rupiah terutama terhadap US$ terus ambruk, seharusnya segala rupa pengeluaran atau anggaran belanja negara harus mampu diperas sesuai dengan kemampuan pendapatan dalam negeri khususnya.

Sebenarnya negara-negara maju atau industri yang menjadi pengendali utama IMF atau Bank Dunia sudah lebih dari 100 tahun mereka mendapat subsidi harga minyak secara tidak kentara terutama subsidi harga minyak dunia dari OPEC.

Misalnya dengan cara memaksa atau meminta kepada OPEC atau produsen minyak yang termasuk nermasuk negara berkembang tetapi bukan anggota OPEC agar mereka mau bersedia menambah produksinya. Ini berarti pasaran minyak dunia akan mampu memenuhi jumlah demand (permintaan minyak dunia bahkan kalau dapat berlebihan, akhirnya harga minyak turun. Ini berarti sangat menguntungkan negara-negara besar yang industri.

Bukankah hal ini bisa diartikan selama ini keberhasilan negara maju atau industri karena keberhasilan perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia milik negara maju atau industri selaku konsumen/pengimpor minyak yang sudah sejak lama selalu berhasil memainkan harga minyak dunia semurah mungkin lewat melebihnya produksi minyak dunia terutama dari OPEC dibandingkan jumlah kebutuhan atau permintaan minyak dunia. Dimana terbesar kebutuhan minyak dunia diminta oleh negera-negara industri terutama yang termasuk dalam kelompok OECD.

Oleh karena itu, dalam pasaran global juga masih layak jika negara penghasil minyak seperti Indonesia bisa melakukan kebijakan memberi subsidi BBM, apalagi jika diingat daya beli masyarakat pada umumnya sangat rendah. Oleh karena Indonesia semakin tergantung dari hutang luar negeri, maka layaklah jika segala kebijakan ekonomi, moneter, fiskal atau swastanisasi BUMN, bahkan perubahan politik atau perubahan UUD 1945 akhirnya bisa dikendalikan bahkan didikte atau dipaksa sesuai pemintaan pihak asing.

Kamuflase GDP/PDB

Ini berarti seperti yang pernah penulis utarakan pada 1997 di beberapa media massa kalau Indonesia masih terus tergantung dengan IMF khususnya, maka akhirnya Indonesia bisa dipermainkan seperti ikan lumba-lumba (eh, namaku lagi, Red) atau binatang sirkus (nah, tempatku kerja, Red). Segalanya serba diatur oleh pihak asing, malah dikhawatirkan kelak jumlah GDP/PDB Indonesia yang makin besar bisa terbesar adalah milik para investor luar negeri atau investor asing (ternyata bukan GDP/PDB rakyat Indonesia sendiri, Red).

Oleh karena itu, tidak heran hingga kini para ahli lebih senang mengukur GDP/PDB bukan GNP/Pendapatan Nasional Bruto (PNB). Karena GNP/PNB Indonesia dikhawatirkan makin lama makin kecil karena sebagian besar dari hasil GDP/PDB harus diserahkan ke pihak asing yang telah banyak berhasil memperoleh untung besar apalagi sudah sejak lama masa Orde Baru mereka telah ditunjang oleh berbagai fasilitas seperti adanya subsidi BBM (jadi selama ini subsidi BBM bukan untuk rakyat?, Red), subsidi tarif listrik dan aneka fasilitas-fasilitas lainnya.

Oleh karena itu sangat tepat sekiranya harga BBM atau tarif listrik/telkom/angkutan boleh naik tetapi hanya kepada perusahaan/investor asing yang labanya sangat besar. Walau nampaknya pemerintah tidak akan melaksanakannya, karena khawatir Indonesia akan kehilangan investor asing. Ini berarti yang menikmati segala rupa subsidi BBM khususnya terutama para pengusaha yang sepenuhnya atau sebagian modalnya milik asing.

Karena selalu muncul rasa takut larinya para investor asing ke negara lain, yang berarti akan terjadi lenyapnya berbagai lapangan kerja dan khawatit pengangguran makin melonjak jumlahnya, maka akhirnya segala rupa kenaikan harga maupun tarif yang tidak selektif, akhirnya yang sangat menderita yakni rakyat banyak.

Mungkin apa yang penulis anggap bahwa subsidi BBM sama saja dengan negara-negara industri pengimpor minyak yang berusaha agar OPEC menambah kuota produksinya dengan maksud agar jumlah penawaran lebih besar dari jumlah permintaan minyak dunia. Akibatnya harga minyak dunia turun, semakin harga minyak dunia anjlok berarti sangat menguntungkan negara-negara industri pengimpor minyak yang berarti sama saja mereka diberi subsidi harga oleh OPEC.

Apa Itu Subsidi?

Untuk itu penulis mengambil definisi subsidi menurut Eric L Kohler (1979). Subsidy : A great of financial aid, usually by a govermental body, to some other person or institution for general purposes.

Kalau definisi itu, penulis kaitkan dengan subsidi BBM, mungkin subsidi bisa diartikan sebagai a great of financial/prices of oil aid, usually by oil exporting/producer countries, to some other person or importing countries for general purpose.

Jadi, berarti sejak 100 tahun lebih jauh sebelum OPEC dibentuk telah terjadi subsidi harga minyak dari negara-negara penghasil minyak secara global lewat upaya perusahaan minyak negara-negara industri yang sudah jelas semakin menguntungkan para pengusaha non migas di negara-negara industri pengimpor minyak.

Penulis beranggapan subsidi sebagai upaya membantu secara finansial berupa harga yang murah, begitu pula upaya menurunkan harga minyak dunia dengan cara menekan OPEC agar menambah kuota produksinya juga bisa diartikan sebagai subsidi tidak kentara secara global. Ini berarti pengaruh permainan istilah ekonomi yang akhirnya menguntungkan negara-negara industri, sama saja seperti istilah bantuan luar negeri yang sebenarnya hutang.

Karena kalau bantuan bisa diartikan bantuan itu tidak perlu dikembalikan lagi bisa berarti hibah, tetapi dengan menggunakan istilah bantuan luar negeri ternyata setiap tahun Indonesia harus membayar cicilan serta bunga hutang luar negeri, walau memang ada bantuan berupa diberi peluang mendapat pinjaman, diberi fasilitas bunga sangat rendah, juga pengembaliannya puluhan tahun (makanya selalu defisit tabungan pemerintah notabene APBN, Red).

Memang ini bantuan, tetapi pokoknya adalah hutang, oleh karena itu penulisselalu mengkritik pemerintah lewat media massa setiap RAPBN diajukan ke DPR. Masalahnya di pos pendapatan ada kata bantuan luar negeri, tidak ada istilah hutang, tetapi di dalam pengeluaran rutin ada pembayaran cicilan serta bunga hutang luar negeri, bukankah seharusnya istilah bantuan luar negeri diganti dengan istilah hutang atau pinjaman luar negeri (sekarang malah lebih canggih lagi dinamakan obligasi, Red).


Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002