Kenaikan BBM Layak Dibatalkan

Oleh
Bachrawi Sanusi,
Lektor Kepala Fakultas Ekonomi;
Anggota Pusat Kajian Energi
dan
Sumber Daya Mineral
Universitas Trisakti

*Penulis meninggal pada tanggal 16 Februari 2005, dan ini merupakan tulisan almarhum terakhir yang dikirim ke Kompas diterbitkan pada 18 Februari 2005.

SEJAK tahun 1970, saat sebagai salah satu anggota Tim Energi/BBM Departemen Pertambangan dan Energi dan tahun 1980-an juga sebagai Sekretaris Tim Repelita Ditjen Migas Pertamina, penulis selalu tidak setuju jika pemerintah merencanakan penyesuaian (istilah menaikkan) harga BBM.

Alasannya, karena daya beli rakyat banyak-yang diukur dari tingkat GDP (produk domestik bruto) per kapita-amat rendah. Selain itu, GDP per kapita Indonesia tidak merata, karena yang hidup di bawah garis kemiskinan masih amat banyak, dan kini mencapai sekitar 36 juta.

Ditambah lagi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) selalu memicu kenaikan berbagai barang komoditas dan tarif jasa. Buktinya harga BBM baru direncanakan akan naik, harga sembako sudah naik. Jika harga BBM jadi dinaikkan, mungkin harga-harga sembako yang sudah dinaikkan pasti akan naik lagi. Belum lagi kaum spekulan mulai banyak menimbun BBM.

SEJAK Orde Baru, realisasi pendapatan dalam negeri dari migas selalu jauh lebih besar dibanding jumlah subsidi BBM. Misalnya realisasi APBN tahun 2001, jumlah subsidi BBM sekitar Rp68,40 triliun, suatu jumlah tertinggi dari tahun-tahun anggaran sebelumnya. Tetapi pendapatan dalam negeri dari pajak migas sebesar Rp23,1 triliun lebih, dari penerimaan sumber daya alam minyak bumi Rp59,95 triliun, dan dari gas bumi sebesar Rp22,09 triliun. Jumlah seluruh sumbangan migas sekitar Rp105,14 triliun. Belum lagi bagian laba dari BUMN, yakni Pertamina.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan tidak membatalkan Undang Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 setelah PT Pertamina yang kian diperkecil usahanya, termasuk keuangannya yang kian sulit, selang beberapa hari sebelum keputusan MK telah berhasil menaikkan harga LPG sebesar 41,6 persen dari Rp3.000/kg menjadi Rp4.250/kg. Juga PT Pertamina berhasil pula menaikkan harga Pertamax menjadi Rp3.331 dan Pertamax Plus menjadi Rp3.495/liter.

Dari harga baru itu PT Pertamina mendapat keuntungan masing-masing Rp100/liter. Sedangkan marjin SPBU untuk Pertamax Rp147 dan Pertamax Super Rp157 (Kompas, 20/12).

Oleh karena itu, penulis mengharapkan pemerintah perlu mengeluarkan Keppres agar seorang pengusaha SPBU dan pangkalan minyak tanah se-Indonesia perlu dibatasi kepemilikan SPBU-nya maupun pangkalan minyak tanahnya. Misalnya setiap pengusaha swasta maksimal hanya menguasai dua SPBU, dan/atau dua pangkalan minyak tanah untuk seluruh Indonesia. Jika sudah ada yang memiliki jumlah SPBU dan/atau pangkalan minyak tanah oleh satu perusahaan swasta, kelebihannya supaya dijual kepada badan usaha milik daerah atau koperasi daerah, swasta daerah. Agar pengawasan harga dan penyalurannya bisa beralih ke pemerintahan daerah, apalagi sudah otonom.

Dengan keputusan MK yang tidak membatalkan UU Migas secara keseluruhan, seperti UU Ketenagalistrikan, tetapi MK hanya memutuskan adanya tiga pasal yang harus diamendemen karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Ketiga pasal yang perlu diamandemen itu yakni Pasal 12 Ayat (3) karena ada kata "diberi wewenang" yang dinilai MK bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 22 Ayat (1) mengenai badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam ngeri. Pasal 22 Ayat (1) Kata "paling banyak" dinilai MK bertentangan dengan UUD 1945. Pencabutan Pasal 28 Ayat (2) menyebutkan, harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Dan Ayat (3) menjelaskan, pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.

MK menilai Pasal 28 Ayat (2) dan Ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 karena dalam penetapan harga BBM dan gas tidak diserahkan mekanisme pasar, tetapi melalui kewenangan pemerintah (Kompas, 22/12). Hal ini mungkin akan rancu, karena arti minyak dan gas bumi bisa berarti Pertamax, pelumas, LPG, dan lainnya, bukan lagi wewenang Pertamina.

Dampak lebih jauhnya, apakah masih ada kontraktor migas asing yang mau menanam investasinya, terutama dalam hal mendirikan SPBU-SPBU se-Indonesia, karena harga Migas se-Indonesia sama dan ditentukan pemerintah.

Dalam melakukan penyelesaian amandemen suatu UU dari pengalaman akan memakan waktu lama. Mungkin sejak MK memutuskan tiga pasal yang harus diamendemen jika saja UU tidak melarang bahwa amandemen yang dibuat pemeritah, sebelum diajukan ke DPR, terlebih dahulu diajukan ke MK. Masalahnya, kalau tidak demikian, akibatnya sudah lama di DPR, amandemennya juga ditolak MK.

SELAMA ini harga jual BBM ditetapkan oleh pemerintah. Pertamina seperti kuli membuat/pengadaan BBM, penyalurannya, dan lain-lain. Sayang setelah Orde Reformasi, tiap kenaikan harga BBM sepertinya PT Pertamina yang menetapkan harga BBM, layak kebencian rakyat kepada PT Pertamina kian meningkat. Selayaknya pengumuman kenaikan harga BBM oleh menteri terkait.

Tampaknya dalam upaya menaikkan harga BBM sepertinya pemerintah mempunyai dukungan para ahli, yang mengatakan subsidi BBM kebanyakan dinikmati oleh golongan ekonomi menengah ke atas. Selayaknya pemerintah mengkaji, bukankah golongan ekonomi menengah ke atas (terutama pengusaha/pedagang) penyumbang pajak terbesar. Dengan subsidi BBM mereka, misalnya bisa memperkuat daya saing hasil produknya di pasaran global. Banyak menyerap tenaga kerja dan bahan baku dari dalam negeri, dan lain-lain, yang efek gandanya positif.

Jika pemerintah menaikkan harga setinggi mungkin, melebihi harga BBM di negara maju yang pendapatan per kapitanya amat tinggi, tidak masalah bagi mereka, karena segala kenaikan BBM khususnya akan menambah biaya (cost) dan untung (profit)-nya yang biasanya melebihi persentase kenaikan harga BBM.

Amerika Serikat yang usaha migasnya diusahakan pihak swasta, GDP-nya mencapai sekitar 11 triliun dollar AS tahun 2003. Jumlah penduduknya sekitar 290,3 juta pada Juli 2003. Sebagai negara terkuat. Konsumsi minyaknya sekitar 21 juta barrel lebih per hari. Produksi minyak mentahnya kian menurun menjadi kurang dari delapan juta barrel/hari. Cadangan minyaknya sekitar 22,7 miliar barrel awal tahun 2004. Persediaan (stock) minyaknya 1,57 miliar barrel (2 April 2004).

Produksi gas bumi, batubara, dan energi lainnya, juga cadangannya amat banyak, ternyata sejak harga minyak dunia akibat perang Oktober 1973 di Timur Tengah melonjak belasan hingga puluhan dollar AS per barrel, Pemerintah AS hingga sekarang terus memberi subsidi harga BBM, terutama bensin, solar, dan lain-lain jenisnya dengan pajak BBM yang sangat rendah. Ini berarti Pemerintah AS menjalankan kebijakan biar rugi di pajak BBM asal pajak non-BBM melonjak tinggi, industrinya maju pesat, ekonomi keuangannya berjalan baik.

Harga satu liter bensin di AS yang Termasuk Pajak (TP) dan Tidak Termasuk Pajak (TTP)-nya, harganya selalu jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara industri utama di dunia. Misalnya harga satu liter bensin per dollar AS pada bulan April 2004. Di Perancis 1,258 (Termasuk Pajak/TP) dan 0,344 (Tak Termasuk Pajak/TTP); di Jerman 1,359 (TP) dan 0,385 (TTP); Itali 1,319 (TP) dan 0,427 (TTP); Spanyol 1,023 (TP) dan 0,406 (TTP); Inggris 1,384 (TP) dan 0,348 (TTP); Jepang 1,050 (TP) dan 0,497 (TTP); Kanada 0,589 (TP) dan 0,364 (TTP); dan di AS hanya 0,473 (TP) dan 0,370 (TTP). (MOMR IEA/OECD, 12 Mei 2004).

Secara tidak kentara berbagai produk AS di pasaran global akan mampu bersaing karena biaya produksinya tidak diberatkan dengan harga BBM yang mahal. Oleh karena itu layak dalam keadaan musibah akibat gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara yang sangat parah, rakyat se-Indonesia akan semakin sedih dan menderita dalam ekonomi sekira pemerintah, tentu setelah ada persetujuan dari DPR, terpaksa menaikkan harga BBM.

Oleh karena itu, layaklah jika rencana kenaikan harga BBM dibatalkan. Apalagi jika sumbangan migas dalam APBN 2005 diperkirakan masih jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah subsidi BBM-nya. Jika dibatalkan, agar segera diumumkan.

Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 5 - Selesai)

Industri Penjegal Solar Rakyat

Jauh sebelum pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan harga jual bahan bakar minyak (BBM) solar yang berbeda antara yang dikonsumsi masyarakat dengan industri, sudah diduga akan terjadi kekisruhan, karena konsumen utama solar adalah sektor industri. Kalangan industri termasuk penghasil devisa sudah terlalu lama menikmati aneka subsidi, serta aneka fasilitas.

Mulai dari subsidi BBM, subsidi tarif listrik, aneka fasilitas perpajakan, kemudian perkreditan, perizinan dan lain-lain. maka sudah selayaknya jika sektor industri dikenakan harga BBM tanpa subsidi sama sekali. Hanya saja, pengawasannya harus benar-benar ketat, agar solar untuk rakyat tidak disedot sektor industri (sudah lama diingatkan, tapi pernahkah transparan bahwa benar solar untuk rakyat tidak jatuh ke sektor industri, atau selisih harga yang cukup menggiurkan yang menjadikan solar untuk rakyat selalu langka, malah bisa di atas harga subsidi? Masih butuhkah subsidi BBM?, Red). Harga dan alokasi solar untuk swasta harus dijaga.

Masalahnya daya beli masyarakat semakin terpuruk, karena ketidakmampuan pemerintah menjalankan perintah UUD 1945 untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Makmur berarti peningkatan daya beli dan taraf hidup bangsa. Justru karena ketidakberhasilan serta ketidakmampuan pemerintah mempertahankan kurs rupiah, maka rakyat lagi yang harus menanggung kegagalan pemerintah mengelola ekonomi dan moneter.

Kalau saja kurs rupiah makin kuat, defisit bisa diperkecil. Asalkan juga segala rupa anggaran belanja yang tidak penting harus diciutkan. Oleh karena itu, tidak layak jika harga BBM bagi rakyat yang semakin miskin ini harus disamakan dengan harga BBM di luar negeri yang pendapatan per kapita penduduknya sudah di atas seribu, bahkan ada yang lebih dari sepuluh ribu Dollar AS (tapi ini yang selalu dijadikan ‘kebanggaan’ bahwa pendapatan per kapita Indonesia sudah membaik atau semakin meningkat, namun pendapatan siapa? rakyat yang mana?, Red).

Oleh karena itu, wakil rakyat jangan asal setuju saja setiap ada usul kenaikan harga BBM, apalagi untuk rakyat. Justru yang perlu diawasi serta dinilai adalah ketidakmampuan dan ketidakberhasilan pemerintah untuk memperkuat kurs rupiah (yah, selama masih dapat ‘kue’ dari selisih harga subsidi sih sepertinya manut-manut aja tuh wakil rakyat, Red). Setiap tahun anggaran defisit pasti akan meningkat terus. Selain itu sumber pendapatan dikhawatirkan juga merosot, juga pinjaman luar negeri sebagai penutup defisit sejak masa Orde Lama.

Subsidi Dirampas

Keadaan ekonomi seperti sekarang bisa jadi hanya akan memperoleh jumlah objek pajaknya (kalau lancar sih, seharusnya rakyat menikmati hasil pajak berupa fasilitas publik seperti transportasi, pendidikan, lingkungan, kesehatan dan lain-lainnya, Red). Kalaupun ada mungkin masih banyak kebocoran (penulis pun sudah menduga, Red), jangankan kejujuran membayar pajak, karena hasil laba dari jual beli valas tidak dibayar, solar milik rakyat yang harganya tidak dinaikkan masih saja dirampas oleh para konglomerat.

Coba baca berita utama Harian Kompas 15 Mei 2001 berjudul “Konglomerat Beli Solar Bersubsidi”. Bukankah keserakahan sejak masa Orde Baru yang dilakukan para pengusaha masih berjalan mulus (semulus-mulusnya hingga sekarang, Red). Tentu saja tidak heran, jika stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) selalu kehabisan solar, karena mungkin di tengah jalan tanki solar untuk SPBU belok ke berbagai pabrik/industri (meski katanya, sekarang sudah pakai GPS untuk mengawasi, bukankah selama suatu peralatan buatan manusia dapat dimanipulasi, jangankan buatan manusia, yang benar-benar alami saja dapat dimanipulasi, Red). Tidak mungkin pabrik/industri besar membeli solar antri di setiap SPBU hanya untuk membeli beberapa liter. Jelas ini permainan yang sebenarnya sejak lama terjadi.

Masalah ini merupakan hasil temuan tim terpadu penanggulangan masalah penyalahgunaan pada penyediaan dan pelayanan BBM. Temuan ini sangat berharga dan harus terus ditindaklanjuti secara cepat dan tepat (oleh siapa? yang seharusnya mengamankan saja malah jadi pelaku penyalahgunaan, lalu siapa yang harus menindaklanjuti?, Red).

Untuk itulah penulis pernah mengutarakan melalui media massa bahwa dengan adanya dua harga berbeda untuk BBM, maka bukan hanya ada pengumpul BBM untuk diseludupkan ke luar negeri. Juga yang paling sulit adalah adanya pengumpul atau pembeli dari sektor industri yang membelokkan minyak subsidinya (termasuk kalau terdapat rencana harga BBM subsidi akan naik, dirancanglah manuver demonstrasi seakan kenaikan harga memberatkan rakyat, jadi masih perlukah subsidi BBM?, Red). Itulah yang dikhawatirkan dan ternyata memang demikian.

Untuk itulah langkah yang perlu segera diambil, tindaklanjuti temuan itu hingga diangkat ke pengadilan dengan hukuman berat. Tindak tegas aparat manapun termasuk aparat Pertamina jika diketahui ikut melakukan perbuatan tercela itu (siapa yang berani? selama ‘dalangnya’ yang menyuruh dan punya kekuatan/kuasa lebih kuat, Red). Disamping itu, mungkin pengawasan ketat perlu dilaksanakan. Mungkin Pertamina perlu menata kembali penyaluran BBM khususnya solar, apalagi hingga kini Indonesia masih terpaksa mengimpor solar (malah sudah impor semua-semuanya, Indonesia memang tidak kaya akan minyak, tapi kenapa tidak ada kilang untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM? lagi-lagi, nanti tidak dapat jatah ‘kue’, Red).

Pada bulan Agustus 2000 (sebagai gambaran dari penulis, Red) penjualan solar nasional mencapai jumlah 1,9 juta kl. Impor solar pada bulan yang sama sebanyak 2,8 juta barel atau sekitar 440 ribu kl. Sedangkan jumlah produksi solar dari Pertamina sebesar 8,45 juta barel atau hanya sebesar 1,345 juta kl. Kekurangannya jelas harus ditutup dari impor yang dibayar dalam Dollar AS.

Dengan itu pasti mendekati kebenaran, maka layak pula nama-nama pabrik/industri ditegur, mengapa tidak mengambil jatah solarnya pada bulan Mei 2001. Untuk itu pula perlu dipertanyakan darimana mereka membeli solar.

Yang pasti segala pelanggaran akan terus berjalan sekiranya tidak ada tindakan sanksi yang tegas dan hukuman yang cepat dan berat. Termasuk juga kepada aparat yang mengurus penyaluran BBM, termasuk backing-nya, juga termasuk para pengawasnya jika ada yang tidak jujur.

Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.

Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 4)

Pada tanggal 2 Oktober 2000 pemerintah sudah menyampaikan rencana anggaran pendapatan dan negara (RAPBN) 2001 kepada DPR RI, walau dalam keadaan daya beli rakyat kecil terus terjepit dan ekonomi rakyat kecil semakin terjepit dan ekonomi rakyat kecil semakin terpuruk, akibat tekanan ganda negatif kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Setelah itu ada revisi-revisi RAPBN 2001 yang terakhir revisi RAPBN pada bulan Mei 2001 yang masih perlu dikaji DPR untuk disetujui.

Banyaknya revisi karena kegagalan pemerintah yang tidak mampu menahan ambruknya kurs rupiah yang sudah mendekati Rp12.000 per US$. Banyaknya protes kenaikan harga BBM seolah-olah tidak membuat pemerintah yang didukung persetujuan DPR goyah.

Sekarang suara wakil rakyat sangat menentukan. Bukan berarti seperti di masa Orde Baru. Sekarang wakil rakyat harus ingat pada rakyat. Mereka dipilih sebagai wakil rakyat, bukan musuh rakyat atau pengkhianat rakyat, yang selalu menyetujui usul pemerintah menaikkan harga BBM khususnya. Apalagi pada tahun anggaran 2001 pemerintah merencanakan harga BBM yang semula naik hanya 20 persen, kemudian direvisi akan naik 30 persen dan hal itu disetujui IMF.

Ini mencerminkan tekad pemerintah sejak Orde Baru selalu menggantungkan kehidupan ekonomi dan moneter Indonesia terutama dari warisan milik rakyat dan hutang luar negeri. Warisan yang berasal dari pengurasan sumber daya alam (SDA) yang tidak henti-hentinya, terutama hasil migas yang cadangannya tidak dapat diperbaharui lagi (un-renewable) dan hasil hutan khususnya. SDA (hutan) yang renewable ini bisa terus diperbaharui jika reboisasi berjalan baik dan lancar, misalnya tebang satu tanam tiga pohon atau lebih. Akan tetapi, uang reboisasi digunakan salah seperti masa Orde Baru (pantas banjir melulu, Red), maka hutanpun akhirnya bisa menjadi SDA yang un-renewable bahkan bisa segera musnah terbakar karena tinggal ilalang kering.

Bangsa Indonesia bukannya menjadi bangsa terkuat di ASEAN, apalagi di Asia atau di dunia. Bahkan dapat dikatakan, kini bangsa Indonesia sebagai bangsa yang boleh bangga karena penduduk dunia, terutama di negara-negara yang tergabung dalam CGI, IMF maupun Bank Dunia termasuk bangsa yang terbanyak hutang luar negerinya, tanpa hasil yang baik bagi rakyat secara merata.

Pemerintah atau wakil rakyat mungkin bangga dengan terus meningkatkan jumlah nominal RAPBN 2001 dari hanya Rp197,03 triliun lebih pada tahun APBN 2000 menjadi Rp295,11 triliun lebih pada RAPBN 2001 (sebelum ada dua kali revisi/waktu diajukan pada bulan Oktober 2000) atau naik sekitar Rp98,12 triliun atau naik sekitar 50 persen dibandingkan APBN 2000 (sebelum ada revisi-revisi yang juga tidak akan menyelesaikan masalah sepanjang pemerintah tak mampu membangkitkan kembali kurs rupiah) (wah, RAPBN sekarang yang sudah mencapai Rp1.800 triliun lebih, bagaimana kalau dibandingkan dengan aset seorang penemu software yang mencapai Rp1.000 triliun? seorang individu bisa memiliki aset sebesar itu, sementara negara berwarga 200 juta masih megap-megap untuk mengimbangi pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatan, dan bangga punya anggaran sebesar itu?, Red).

Menguras Hasil Warisan

Kebanggaan karena membesarnya nilai nominal RAPBN 2001 sebanyak itu, bukan hanya karena pemerintah terus memaksakan diri menguras hasil warisan, juga berupaya memperoleh hutang negeri dan harapan dari sedekah berupa hibah terutama dari luar negeri (mental mengemis?, Red).

Pemerintah dan wakil rakyat seharusnya semakin sadar dan bisa menilai harga diri, karena sekarang segala rupa kebijakan pemerintah secara tidak kentara, termasuk upaya menghapus seluruh subsidi BBM dalam kurun waktu tertentu harus dikendalikan luar negeri.

Subsidi tak kentara di luar BBM yang ratusan triliun rupiah yang dinikmati segelintir pengusaha, seperti bantuan pemerintah dalam memberikan pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terus bermasalah, bantuan bunga kredit, bantuan dalam rekapitulasi, bantuan penalangan hutang-hutang perusahaan/perbankan swasta, pengunduran pelunasan pembayaran hutang para bankir maupun perusahaan konglomerat, penilaian aset perusahaan yang bermasalah BLBI atau lainnya yang terlalu rendah, dan banyak lagi berbagai fasilitas keuangan yang seharusnya sebagai peningkatan pendapatan keuangan negara malah menjadi beban negara.

Akibat negatifnya, rakyat kecilah yang selalu terkena getahnya, karena semua harga dan tarif serba naik gara-gara harga BBM dinaikkan. Harus diperhatikan baik-baik oleh pemerintah maupun wakil rakyat, adanya subsidi BBM memang akan merugikan pihak pengusaha asing, karena harga BBM murah berarti daya saing aneka rupa barang ekspor Indonesia bisa makin kuat. Layak jika IMF paling keras mengingatkan soal upaya penghapusan subsidi BBM.

Akan tetapi, lembaga keuangan dunia seperti IMF tidak memperdulikan Amerika Serikat yang akan melepas persediaan minyaknya (stok minyaknya) sebanyak 30 juta barel. Bukankah hal ini berarti bahwa pemerintahan Amerika Serikat secara tak kentara telah melakukan subsidi harga terutama bagi kaum industriawan kelompok OECD.

Bahkan OPEC dipaksa untuk menambah produksi agar harga minyak dunia terus merosot dan yang untung dalam harga lagi-lagi negara industri. Oleh karena itu, dalam kebijakan upaya menghapus subsidi BBM harus dilihat dari kepentingan nasional bukan kepentingan asing, kecuali memang pemerintah makin takut kehilangan sumber dana hutang luar negerinya, yang selalu menjadi penutup defisit anggaran sebesar apapun.

Walaupun warisan dan hutang luar negeri masih terus sebagai sumber penunjang APBN 2000 dan RAPBN 2001, tetapi nyatanya defisit anggaran semakin membengkak. Pendapatan negara dan hibah dalam APBN 2000 hanya Rp157,897 triliun, sedangkan belanja negara Rp197,030 triliun yang berarti defisit sekitar Rp44,1 triliun.

Dalam RAPBN 2001 (waktu diajukan ke DPR dan belum ada revisi-revisi) jumlah pendapatan negara dan hibah naik menjadi Rp242,997 triliun, sedangkan anggaran belanja negara juga naik menjadi Rp295,113 triliun (belanja apa aja ya?, Red). Jumlah defisit RAPBN 2001 sekitar Rp52,1 triliun (jadi ingat pribahasa, besar pasak daripada tiang, Red).

Dilihat dari besarnya angka nominal APBN 2000 dan RAPBN 2001, layak jika wakil rakyat mempertegas lagi bahwa nilai rapor pemerintah juga meningkat dengan warna merah tebal. Hal ini bukan saja karena pemerintah semakin menguras hasil warisan tanpa modal, juga karena terus menggelembungkan (mark-up) hutang luar negeri sedangkan potensi untuk mengembalikannya secara riil (dengan dolar AS) semakin merosot.

Sudah Bangkrut

APBN 2000 maupun RAPBN 2001 menyerupai suatu income statement atau daftar rugi/laba suatu perusahaan swasta khususnya. Kalau saja, pemerintah adalah perusahaan swasta maka defisit anggaran yang semakin membengkak bisa disetarakan dengan kerugian perusahaan yang semakin besar.

Ini berarti pemerintah bisa dinilai sudah bangkrut. Jika perusahaan swasta yang terus rugi sangat besar dan tidak menghasilkan pajak bagi negara maupun hanya kerugian bagi para pemegang saham khususnya, maka perusahaan itu layak harus dibubarkan (hmm, kalau negara apa bisa dibubarkan? yang ada calon dijajah lagi, dan sepertinya banyak yang minat tuh, atau memang sudah dijajah secara tak kentara?, Red).

Bagi pemerintah yang APBN-nya terus menerus defisit sudah jelas akibat negatifnya akan terus membebankan kemiskinan bagi rakyat banyak khususnya, apalagi ditambah lagi rakyat kecil dicekik dengan kenaikan harga BBM. Tetapi, masih ada yang mengatakan harga BBM di Indonesia terlalu murah dibandingkan harga-harga BBM di banyak negara lain.

Jika dilihat dari akal-akalan pemerintah membandingkan harga BBM di Indonesia termurah dibandingkan dengan negara-negara perbandingannya. Tampaknya, pemerintah dalam hal perbandingan harga BBM itu seolah-olah berlagak lupa, karena tidak membandingkan dengan pendapatan per kapita yang merata antara Indonesia dengan negara-negara pembanding itu. Pemerintah jangan terus-terusan berupaya membutakan mata rakyat atau membodohi rakyat dengan kemiskinan. Kibarkan lagi hidup sederhana dan hemat, terutama bagi kaum yang kaya.

KKN harus ditumpas dengan cara hukuman berat seperti yang dilaksanakan di China. Termasuk hidupkan tim pengusut kekayaan para pejabat BUMN/perbankan milik negara yang sejak Orde Baru berkuasa yang masih aktif dan pensiun.

Semakin besar pemerintah tergantung dengan pinjaman luar negeri (apalagi sekarang ada yang namanya obligasi, surat hutang negara, bantuan lembaga keuangan dan lain sebagainya, agar tidak langsung disebut pinjaman atau hutang luar negeri, tetap saja harus dibayar berikut bunganya, Red), terutama dari IMF, maka seperti yang penulisutarakan pada 1997 di berbagai media massa, bahwa Indonesia seperti ikan lumba-lumba (nah, itu dia namaku, hehehe, Red) yang diperintah atau dipermainkan pawangnya karena ikan itu lapar dan selalu diberi beberapa ekor ikan kecil setiap atraksinya berakhir.

Ketergantungan Hutang Luar Negeri

Penulis sangat prihatin, karena dalam RAPBN 2001 ternyata pemerintah terus tergantung dari hutang luar negeri termasuk dari warisan. Sebagai gambaran pada APBN 2000 pendapatan negara dan hibah berjumlah Rp152,9 triliun berasal dari penerimaan dalam negeri terutama dari pengurasan warisan berupa SDA sebesar Rp40,08 triliun, khusus dari migas sebesar Rp33,2 triliun lebih (sebelum revisi-revisi).

Dari hutang luar negeri berupa penarikan pinjaman luar negeri (bruto) Rp27,3 triliun lebih, dikurangi cicilan pokok hutang luar negeri Rp8,6 triliun berarti netto Rp18,7 triliun. Ini berarti gali lubangnya jauh lebih dalam dibandingkan menutup lubangnya.

Hutang luar negeri makin bertambah dan bunganya juga makin membengkak, apalagi kalau kurs rupiah terus ambruk. Tampaknya, pemerintah tidak berupaya agar jumlah RAPBN dikurangi atau diperkecil (seperti tadi yang sudah dibilang, bangga dengan semakin besar nominalnya, Red), terutama untuk anggaran belanjanya malah terus bertambah (dan berdalih penyerapan anggaran makin membaik, tapi yang merasakan anggarannya siapa?, Red).

Dalam RAPBN 2001 (sebelum adanya revisi) jumlah penerimaan dalam negeri naik menjadi Rp242,99 triliun lebih diantaranya berasal dari hasil pengurasan warisan SDA sebesar Rp53,17 triliun termasuk dari migas sekitar Rp49,5 triliun lebih.

Sedangkan dari hutang luar negeri diharapkan naik menjadi Rp35,99 triliun lebih bruto minus cicilan pokok hutang luar negeri Rp15,876 triliun maka nettonya sekitar Rp20,1 triliun lebih. Lagi-lagi gali lubangnya jauh lebih dalam dibandingkan menutup lubangnya.

Jumlah hutang inipun masih belum jelas jika masalah Atambua dan kasus diberbagai daerah lainnya terus berkepanjangan (apa perlu dipecah juga? kemana semboyan Bhinneka Tunggal Ika? asal jangan sampai dijawab, itu kantoko komputer, Red). Hal ini tentu akan berakibat buruk terhadap hasil ekspor migas maupun non-migas (penulis tidak sempat merasakan saat Indonesia dinyatakan net importir minyak, mudah-mudahan tidak juga menjadi net importir gas, Red), yang akhirnya akan memukul pendapatan dari pajak.

Apalagi jika diingat, harapan pendapatan dari pajak untuk RAPBN 2001 sekitar Rp173,44 triliun atau lebih 71 persen dari jumlah seluruh pendapatan dalam negeri/pendapatan negara (apakah akan menjadi harapan baru menangguk pendapatan negara dari pajak semuanya? lah, yang bayar pajak siapa yang merasakan hasil pajak siapa? ditambah situasi yang tidak kondusif untuk berbisnis, siapa yang mau investasi?, Red).

Juga harus dicatat bahwa pengaruh pengurangan subsidi BBM dengan cara menaikkan harga BBM bukan hanya dikhawatirkan berdampak ganda negatif terhadap ekonomi rakyat kecil, juga berdampak ganda negatif laba perusahaan kecil hingga perusahaan yang sangat besar, dan akhirnya besarnya pajak tidak tercapai karena subjek dan objek pajaknya akan menurun.

Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.