Gambaran Ekonomi dari Migas (Bagian 3-Selesai)

Dari hasil penelitian penulis mengenai pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di tiga propinsi penghasil minyak dan gas bumi, yakni Aceh, Riau dan Kalimantan Timur untuk periode 1969-1982 pada saat harga minyak makin baik, peranan hasil migas nampak semakin besar terutama bagi perekonomian Indonesia. Sebelum diberlakukan UU Otonomi Daerah, dimana seluruh hasul sumber daya alam migas merupakan hasil atau pendapatan sepenuhnya untuk pemerintah pusat walaupun dihasilkan dari tiga propinsi tersebut.

Sebagai kenyataannya, jika PDRB di tiga propinsi itu termasuk hasil migasnya, maka PDRB di tiga propinsi itu sangat besar sekali, sebelum membahasnya lebih agak rinci perlu dilihat bagaimana perkembangan harga minyak mentah ekspor Indonesia untuk jenis Minas, seperti yang terdapat dalam tabel 1 yang menunjukkan harga minyak mentah jenis Minas yang termasuk kelompok minyak mentah termahal di dunia. Karenanya sangat besar perannya dalam perekonomian Indonesia, terutama pada periode 1969-1982.

Tabel 1
Harga Minyak Mentah Ekspor
Jenis Minas (per barrel)
Periode 1969-1982
Tahun
Harga (US$)
Perubahan Harga (US$)
Januari 1969
1,67
-
April 1971
2,21
0,54
Oktober 1971
2,6
0,39
April 1972
2,96
0,36
April 1973
2.73
-0,23
November 1973
6
3,27
Januari 1974
10,8
4,8
Juli 1974
12,6
1,8
Desember 1979
25,5
12,9
Januari 1981
35
9,5
1982
34,53
-0,47

Dari tabel 1 itu terlihat, pada bulan Januari 1969 harganya hanya US$1,67 per barrel, pada bulan April 1971 naik menjadi US$2,21 per barrel, kemudian naik lagi di bulan Oktober menjadi US$2,6 per barrel, dan seterusnya. Baru sejak bulan November 1973 harga minyak Minas mulai melonjak, karena akibat terjadinya perang Oktober 1973 di Timur Tengah, sehingga harga minyak Minas Indonesia naik menjadi US$6 per barrel.

Sejak itulah harga minyak mentah Indonesia tidak lagi naik, hanya beberapa sen dolar per barelnya, seperti sebelum perang Oktober 1973, tetapi kemudian terus naik berlipat-lipat ganda. Seperti yang terjadi pada bulan Januari 1974 harga minas naik menjadi US$10,8 per barrel dan terus naik hingga pada bulan Desember 1979 harga minyak mentah Minas naik menjadi US$25,5 per barrel dan masih terus naik hingga mencapai puncaknya pada bulan Januari 1981 harga minyak mentah jenis Minas naik menjadi US$35 per barrel yang kemudian merosot lagi.

Dari gambaran kenaikan harga minyak Minas Indonesia terutama sejak bulan November 1973, maka untuk mengukur peran migas bagi perekonomian Indonesia akan lebih realis lagi. jika diambil periode penelitian antara 1969 hingga 1982. Walau setelah 1980-an hingga kini ternyata peran migas dalam perekonomian Indonesia khususnya masih tetap saja besar.

Bahkan dengan adanya UU Otonomi Daerah dimana sebagian dari hasil sumber daya alam migas khususnya diberikan kepada daerah penghasil migas. Ini berarti peran migas juga akan semakin besar bagi pertumbuhan perekonomian daerah selaku wilayah penghasil sumber daya alam migas khususnya.

Atas dasar harga minyak mentah Minas yang terus naik, itulah penulistelah meneliti betapa besarnya peran migas dalam perekonomian Indonesia. Terutama sejak 1973 hingga 1982, dimana hingga 1982 harga minyak mentah minas masih tetap seharga US$34,53 per barrel yang berlaku sejak November 1981.

Dari gambaran pertumbuhan PDRB di tiga wilayah migas, yakni Riau, Aceh dan Kalimantan Timur, jika pendapatan dari migasnya dihitung dalam PDRB-nya maka hasilnya sangat besar sekali dan lebih mudah untuk memahaminya peranan migasnya. Begitu juga karena hasil migas dimasukkan sebagai pendapatan pusat berarti PDB Indonesia juga semakin besar, termasuk presentase pertumbuhan PDB Indonesia juga cukup besar.

PDRB Tiga Wilayah dan PDB Indonesia

Pada 1969 PDRB Aceh, Riau dan Kalimantan Timur termasuk hasil migas berjumlah Rp249.838,6 juta (77,2 persen berasal dari hasil migas). Jumlah ini sebesar 9,2 persennya dari PDB indonesia pada tahun yang sama, pada 1969 jumlah PDB atas dasar harga yang berlaku berjumlah Rp2.718 miliar.

Sumbangan dari migas sebesar itu terutama yang berasal dari Propinsi Riau dan sedikit dari Kalimantan Timur, yaitu hanya mencapai nilai Rp142.905,4 juta atau 5,3 persen dari jumlah PDB Indonesia pada 1969 (atas dasar harga yang berlaku, karena LNG baik di Aceh maupun di Kalimantan Timur belum dihasilkan sebagai LNG komoditas ekspor).

Sebagai hasil perkembangan industri migas yang dibarengi dengan adanya kenaikan-kenaikan tingkat harga minyak dunia, terutama akibat adanya perang Oktober 1973 di Timur Tengah, maka pada 1976 atas dasar harga yang berlaku, PDRB dari tiga wilayah migas itu mencapai 18,64 persen dari PDB Indonesia yang berjumlaj Rp15.466,5 miliar atas dasar harga yang berlaku.

Dengan perkembangan produksi serta kenaikan harga migas ditambah lagi dengan adanya hasil ekspor LNG dari Aceh dan Kalimantan Timur, maka pada 1980 atas dasar harga yang berlaku PDRB tiga wilayah migas itu naik menjadi 23,4 persen dari jumlah PDB Indonesia. Jumlah PDB Indonesia pada 1980 naik menjadi Rp45.445,7 miliar atas dasar harga yang berlaku, sedangkan khusus dari migas mencapai 19,08 persen dari jumlah PDB Indonesia 1980.

Baik dilihat dari komposisi PDRB secara sektoral atau lapangan usaha Indonesia maupun dilihat dari PDRB (termasuk hasil dari migas) di tiga wilayah migas itu, memang sektor pertanian ternyata telah bergeser dengan bidang migas.

Aceh

Pada 1969 sumbangan sektor pertanian Aceh sebesar 60,96 persen dari jumlah PDRB-nya dan sumbangan migas belum terlihat, pada 1976 dimana sumbangan sektor pertaniannya turun menjadi 48,89 persen dari jumlah PDRB-nya dan peran dari migas menjadi 24,04 persennya dari jumlah PDRB Aceh pada 1976. Pada 1980 sumbangan sektor pertanian Aceh terus turun menjadi 15,9 persen dari jumlah PDRB-nya, sedangkan peranan atau sumbangan migasnya terutama dari hasil LNG naik menjadi 74,33 persen dari jumlah PDRB-nya.

Kalimantan Timur

Pada 1969 sumbangan dari sektor pertanian dalam PDRB Kalimantan Timur telah mencapai 62,86 persen dari jumlah PDRB-nya, sedangkan peranan atau sumbangan dari migas hanya sebesar 4,35 persen dari jumlah PDRB-nya pada tahun yang sama. Oleh karena adanya perkembangan pesat terutama setelah berdirinya kilang LNG dan sebagai penghasil devisa ekspor LNG yang sangat besar, maka pada 1976 peranan sektor pertanian dalam PDRB-nya turun menjadi hanya 12,07 persennya, sedangkan peran migasnya naik menjadi 62,34 persennya dari jumlah PDRB-nya.

Pada 1980, sumbangan sektor pertanian menjadi 11,45 persen dan dari migas naik menjadi 70,26 persen dari jumlah PDRB-nya, baik PDB mapun PDRB di tiga wilayah itu atas dasar harga yang berlaku. hal ini agar peran migas dengan harga migas yang terus naik semakin jelas besarnya peran migas baik dalam PDB maupun dalam PDRB di tiga wilayah migas itu dan dengan mudah terminateperannya.

Riau

Pada 1969, sektor pertanian dari wilayah migas Riau (penghasil minyak tertua di Indonesia) hanya sebesar 8,92 persen dan dari migas telah mencapai 75,74 persennya dari jumlah PDRB. Pada 1976 peranan sektor pertanian dalam PDRB-nya turun menjadi 3,42 persen dan peranan dari migas meningkat menjadi 87,44 persen dari jumlah PDRB-nya.

Pada 1980, sumbangan sektor pertanian dari propinsi Riau turun sedikit menjadi 3,22 persen dan peranan migasnya juga sedikit turun menjadi 86,95 persennya dari jumlah PDRB-nya, pada 1980 juga dihitung atas dasar harga yang berlaku.

Arti Tiga Wilayah Migas

Migas di samping sebagai sumber devisa utama, maupun sebagai sumber pendapatan negara, juga sangat penting, artinya bagi pemenuhan kebutuhan BBM di dalam negeri khususnya juga sebagai bahan baku industri.

Migas merupakan usaha yang padat modal, di lain pihak persoalan segi kependudukan serta kesempatan kerja sangat terkait sekali.

Jika diperhatikan apa yang diungkapkan Prof DR Sumitro Djojohadikusumo, bahwa dalam jangka menengah, sektor-sektor yang menunjukkan laju pertumbuhan yang paling pesat leading growth sectors terletak pada sektor ekstraktif, migas, barang mineral, kayu dan hasil hutan dan lainnya. Penggalian dan pengolahan kekayaan alam ini merupakan usaha produksi yang padat modal serta membutuhkan teknologi maju, dalam tahap-tahap jangka menengah (10-15 tahun) usaha ini belum menunjukkan daya serap yang luas dan baru terdapat pada tahap sesudah mulai tumbuhnya kekuatan-kekuatan efek sekunder di bidang industri.

Dengan meningkatnya produksi migas yang padat modal dari sektoral terutama dari instansi pemerintah sudah sejak Pelita I Ditjen Migas dan Pertamina telah merintis untuk melakukan inventarisasi barang-barang yang dibutuhkan perusahaan migas baik untuk barang-barang modal, barang barang konsumtif maupun untuk jasa-jasa yang biasanya harus diimpor.

Kemudian secara berangsur-angsur barang-barang yang semula diimpor itu bisa diusahakan atau dihasilkan atau diadakan atau disediakan dari hasil dalam negeri, ini berarti telah ada upaya peralihan sebagian produk impor aneka rupa barang migas dari impor ke hasil dalam negeri (sayangnya, kurang berjalan, dan penulissudah tidak sempat melihat apa yang sedang terjadi saat ini, Red).

Sekaligus secara tidak langsung hal demikian telah menumbuhkan peran migas yang terus berkembang serta tumbuh untuk pertumbuhan serta perkembangan berbagai bidang usaha dalam negeri, terutama usaha-usaha penunjang di bidang migas yang pada akhirnya juga mempunyai peran yang berarti baik bagi perekonomian daerah migas maupun perekonomian nasional karena adanya usaha-usaha penunjang kegiatan-kegiatan di bidang migas di Indonesia.

Di samping itu dengan dihasilkannya gas bumi baik dari Kalimantan Timur maupun Aceh dan sebagainya, maka hasilnya secara kentara atau tidak kentara usaha-usaha atau keberhasilan itu akan memberikan kesempatan berkembangnya industri baik di tiga wilayah migas tersebut maupun di daerah lain terutama kota-kota industri. Misalnya, adanya hasil gas bumi maka muncullah industri-industri petrokimia di berbagai daerah, terutama di Kalimantan TImur dan Aceh, misalnya industri-industri pupuk urea, amoniak, kertas, methanol dan lain-lain industri yang banyak kaitannya dengan hasil gas bumi.

Oleh karena struktur industri berbeda-beda antar daerah, maka muncul kecenderungan antar struktur industri serta pertumbuhan regional terdapat suatu hubungan klausal.

Dengan perkembangan migas yang begitu pesat di tiga wilayah migas tersebut, nampaknya perannya sebagai penunjang PDB bahkan PNB termasuk PDRB atau perekonomian daerah nampak sangat besar. Layaklah jika tiga wilayah migas itu setelah berlakunya UU Otonomi Daerah, maka tiga wilayah itu memperoleh hasil dari migas yang cukup memadai. Karena dananya cukup besar, maka cukup untuk menbiayai pembangunan di tiga wilayah migas itu yang pada gilirannya juga sebagai penunjang perekonomian nasional yang tercermin terutama dalam PDB.

Dari gambaran tersebut secara garis besarnya dari perbandingan angka antara PDRB dan PDB Indonesia memang peran migas sangat besar dalam perekonomian nasional terutama pada saat harga migas sangat tinggi, apalagi jika ditambah volume produksi dan ekspor migas Indonesia makin meningkat.

Dalam tabel 2,3, dan 4 terlihat angka PDRB, hasil dari migas Aceh, Kalimantan Timur dan Riau, dibandingkan dengan jumlah PDB periode 1983-1989, sebagai berikut

Tabel 2
Jumlah PDRB Aceh Dibanding PDB Indonesia
Periode 1983-1989
(dalam triliun Rupiah, atas dasar harga yang berlaku)
Tahun
Jumah dari Migas
Jumlah PDRB
Jumlah PDB
1983
2,241
3,425
77,623
1984
2,890
4,224
89,886
1985
2,711
4,251
96,997
1986
3,495
5,208
102,683
1987
3,234
5,201
124,817
1988
3,774
6,067
142,105
1989
4,676
7,232
167,185
*Sumber: diolah dari Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia. Menurut Lapangan Usaha, 1983-1989, BPS, Juli 1991 dan Pembangunan Dalam Angka, 1997 Bappenas, Juli 1998.


Tabel 3
Jumlah PDRB Kalimantan Timur Dibanding PDB Indonesia
Periode 1983-1989
(dalam triliun Rupiah, atas dasar harga yang berlaku)
Tahun
Jumah dari Migas
Jumlah PDRB
Jumlah PDB
1983
3,268
4,316
77,623
1984
4,152
5,575
89,886
1985
4,377
5,962
96,997
1986
3,628
5,502
102,683
1987
4,751
7,218
124,817
1988
4,869
7,927
142,105
1989
5,096
8,883
167,185
*Sumber: diolah dari Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia. Menurut Lapangan Usaha, 1983-1989, BPS, Juli 1991 dan Pembangunan Dalam Angka, 1997 Bappenas, Juli 1998.


Tabel 4
Jumlah PDRB Riau Dibanding PDB Indonesia
Periode 1983-1989
(dalam triliun Rupiah, atas dasar harga yang berlaku)
Tahun
Jumah dari Migas
Jumlah PDRB
Jumlah PDB
1983
6,534
7,510
77,623
1984
6,449
7,616
89,886
1985
6,118
7,433
96,997
1986
6,063
7,539
102,683
1987
7,649
9,393
124,817
1988
7,198
9,225
142,105
1989
9,254
11,635
167,185
*Sumber: diolah dari Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia. Menurut Lapangan Usaha, 1983-1989, BPS, Juli 1991 dan Pembangunan Dalam Angka, 1997 Bappenas, Juli 1998.


Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002.


Kesalahan Besar! Segala Hasil Migas Digiring ke APBN

Negara-negara berkembang apalagi bekas negara jajahan pada umumnya termasuk miskin, walau buminya kaya raya akan aneka rupa sumber daya alam. Baik kekayaan berupa sumber daya alam pertanian, perkebunan, kehutanan, hasil laut maupun hasil tambang dan lain-lain, tetapi karena segala hasil itu sudah sejak ratusan tahun ternyata dikuras oleh negara-negara penjajah juga semakin menyusut, ditambah lagi dengan alasan membiayai pembangunan pada era Orde Baru, pengurasan sumber daya alam terutama minyak bumi semakin besar. Seolah-olah tanpa memperhatikan bahwa cadangan migas akan segera habis sekiranya tidak ada upaya pencarian cadangan yang baru.

Sifat negara kuat yang mampu menjajah di berbagai negara berkembang yang terutama di berbagai negara yang kaya akan aneka sumber daya alamnya itu membuat negara-negara berkembang seperti Indonesia, walaupun sudah merdeka dan termasuk kaya akan sumber daya alamnya, tetapi masih saja tergantung dari utang luar negeri. Masalahnya pada masa masa Orde Lama, seperti yang diungkapkan HW Arndt,

“Bahwa kesalahan pimpinan negara Orde Lama yang terbesar kepada rakyatnya, yakni penolakannya, khususnya pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya dalam menghadapi persoalan-persoalan ekonomi negara yang demikian kompleksnya, yang dirasionalkan dengan jampi-jampi yang melantunkan tentang “kekayaan” Indonesia.”

Suatu pandangan bahwa Indonesia sebuah negara yang kaya telah menjadi dongeng di luar negeri, seperti halnya di dalam negeri. Kenyataannya hanya tinggal tiga warisan yang kesemuanya bervariasi tingkat memperdayakannya, yakni kesuburan tanah di Jawa, tumbuhan yang lebat dari hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan, serta sumber-sumber mineralnya.

Khusus kekayaan Indonesia mengenai sumber-sumber mineral antara lain diungkapkan,

“Bahwa Indonesia memang banyak memiliki sumber-sumber mineral, khususnya industri minyak yang kaya dan produktif, dan baru 5 persen wilayah yang benar-benar telah disurvey secara pasti yang kelak diharapkan bisa ditemukan lebih banyak lagi.”

HW Arndt menyatakan, bahwa sumber-sumber alam yang mempesonakan bagi orang awam tersebut hanyalah merupakan bagian dari keseluruhan potensi pembangunan ekonomi. Walaupun sumber-sumber alam tersebut dimiliki Indonesia demikian baiknya, khususnya dalam keadaan seperti di Indonesia.

Sebenarnya orang perlu memperhatikan pembangunan ekonomi yang hebat di Jepang, karena negara Jepang yang miskin dengan sumber daya alam khususnya miskin akan sumber energi khususnya migas, tetapi bisa bangkit menjadi negara industri yang besar ditunjang oleh sumber daya manusia serta modal buatan manusia. Kegiatan berusaha serta keahlian rakyat serta tersedianya modal produktif yang secara bertahap mereka kumpulkan melalui tabungan, nampaknya apa yang diungkapkan Ardnt itu seharusnya menjadi bahan pelajaran bagi pemerintah Indonesia terutama dalam upaya memanfaatkan segala aneka hasil sumber daya alamnya, khususnya hasil migas, terutama setelah perang Oktober 1973 di Timur Tengah, dimana harga minyak melonjak dari hanya US$2 per barrel menjadi belasan bahkan puluhan US$ per barrelnya.

Sejak Pelita I tahun pertama 1969/70 pemerintah telah mampu menggiring hasil migas Pertamina yang harusnya disetor ke kas negara lewat Bank Indonesia. Yang selama ini pada setiap diajukan RAPBN oleh pemerintah kepada DPR selalu terdapat pos pendapatan dalam negari yang berasal dari hasil migas, termasuk segala hasil Pertamina berupa aneka rupa bahan bakar minyak (BBM) dan non BBM yang hasilnya terbesar digiring masuk dalam pendapatan dalam negeri pada setiap APBN.

Peranan migas bukan hanya terlihat dari pertumbuhan ekonomi lewat GDP (Gross Domestic Product) atau Produk Domestik Bruto (PDB), juga terlihat terutama dalam Neraca Pembayaran khususnya dalam pos ekspor-impor, juga terlihat peranan migas berupa bahan baku untuk industri seperti gas bumi untuk pembuatan pupuk buatan, seperti pupuk urea. Selain itu, migas juga sebagai sumber energi bagi bagi sektor industri, kelistrikan, angkutan, juga bagi kehidupan rakyat banyak di sektor rumah tangga. Hanya saja ratusan triliun rupiah peran migas lewat APBN seolah-olah salah memanfaatkannya atau salah menggunakannya.

Kalau saja dilihat secara teori comparative advantage pemanfaatan dana migas layak sepenuhnya atau terbesar untuk pengembangan usaha migas, terutama dalam pembangunan kilang-kilang migas yang hasilnya terbesar untuk tujuan ekspor dan pengamanan pengadaan BBM di dalam negeri. Walau secara teorinya, bahwa dana dari hasil migas untuk modal membiayai pembangunan khususnya untuk pengembangan di berbagai non migas yang umumnya milik usaha swasta, tetapi pada akhir masa Orde Baru, ternyata segala hasil migas seolah sia-sia saja.

Karena pada kenyataannya hasil pembangunan selama Orde Baru bukannya untuk meperkecil jumlah yang hidup di bawah garis kemiskinan, malah jumlahnya makin berlipat ganda. Begitu pula besarnya pendapatan per kapita bukannya meningkat malah merosot tajam, malah diperkirakan hanya untuk para pengusaha yang dekat dengan pimpinan negara selama Orde Baru yang dikenal dengan pengusaha konglomerat yang umumnya terlibat telah menyalahgunakan pemanfaatan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

Penulis menganggap, suatu kesalahan besar yang diambil pemerintah Orde Baru sejak segala hasil migas digiring ke APBN, sehingga pengembangan di usaha migas khususnya pengembangan Pertamina seolah-olah terabaikan, bahkan seolah-olah Pertamina hanya dijadikan semacam sapi perahan. Layaklah, jika akhirnya produksi migas Pertamina hanya sekitar 5 persen dan 95 persennya dihasilkan oleh kontraktor khususnya kontraktor migas asing, begitu juga kapasitas kilang-kilang minyak hanya sekitar 900 ribu barrel per hari.

Kalau saja sejak tahun pertama Pelita I pemerintah telah menggunakan dasar kebijakan comparative advantage bagi usaha migas, pasti bukan hanya Pertamina semakin banyak mempunyai lapangan-lapangan migasnya, atau pasti jika segala dana yang berasal dari migas itu dimanfaatkan untuk pembangunan sebanyak mungkin membangun kilang migas di seluruh tanah air, pasti akan jauh lebih menguntungkan. Singapura saja yang wilayahnya sangat kecil dan bukan penghasil minyak maupun gas bumi, tetapi hanya dengan empat kilang minyaknya tetapi kapasitas hampir 1,5 juta barrel per hari, Indonesia dengan delapan kilang minyaknya, tetapi kapasitasnya jauh di bawah Singapura.

Boleh dinilai, bahwa rasa takut pemerintah akan lenyapnya hasil migas untuk pembiayaan pembangunan nasional yang meluas, tetapi nyatanya dalam prakteknya hal tersebut hanya menjadi salah besar. Karena sumbangan migas itu terlalu samar-samar untuk apa saja, yang pasti dana migas terbesar banyak dimanfaatkan oleh para pengusaha konglomerat.

Kalau saja ada yang menyatakan, bahwa dana sumbangan migas untuk membangun pelabuhan, sudah pasti pelabuhan itu dibangun dan hasilnya berupa pelabuhan terbanyak dan setiap hari akan dimanfaatkan oleh para konglomerat, karena sebagian besar pabrik, industri serta perdagangan. Begitu juga kalau dana dari migas untuk membangun jembatan atau jalan-jalan raya yang katanya untuk memperlancar kegiatan perdagangan atau ekonomi, juga pembangunan proyeknya dikerjakan oleh perusahaan besar yang pada umumnya miliki konglomerat dan bukan milik pengusaha kecil maupun koperasi.

Hasil jalan jembatan yang selesai dibangun yang banyak menelan biaya mungkin pula mengandung penggelembungan (mark-up) biaya juga, terbesar dimanfaatkan untuk memperlancar usaha para konglomerat. Celakanya, pada masa akhir Orde Baru justru para konglomerat seluruhnya hijrah ke luar negeri dengan membawa seluruh kekayaannya, bahkan mereka telah meninggalkan utang luar negerinya yang begitu besar.

Peninggalan Orde Lama

Pada waktu bangsa Indonesia merdeka boleh dikata berbagai sumber daya alam terutama yang tidak dapat diperbaharui lagi (un-renewable), seperti migas sudah banyak yang dikuras penjajah. Begitu juga untuk sumber daya alam seperti hasil perkebunan dan hutan, hasil laut sudah terlalu banyak dikuras penjajah. Untuk menghasilkan sumber daya alam yang cukup bukan hanya dibutuhkan para tenaga ahli pada bidangnya, juga dibutuhkan investasi atau modal yang tidak sedikit jumlahnya. Untuk itulah sejak Indonesia merdeka segala kegiatan produksi di segala sektor dan bidang telah meninggalkan semacam warisan yang cukup memprihatinkan bagi pemerintah Orde Baru.

Sepuluh tahun menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Lama banyak yang menilai bahwa pemerintahan Orde Lama salah urus untuk bidang ekonomi yang berakibat terjadi kemerosotan ekonomi, nampaknya hal serupa terjadi pula pada masa Orde Baru, terutama menjelang jatuhnya pemerintahan Orde Baru.

Secara harfiah banyak yang menilai, bahwa dalam masa pemerintahan Orde Lama sektor dan bidang sangat terbatas sekali, karena tidak tersedianya dana yang memadai. Ditambah lagi pemerintahan Orde Lama semakin hari bukannya lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan merata, tetapi lebih banyak pada kepentingan politik. Tidaklah heran pada akhirnya pemerintahan Orde Lama pemerintah sebenarnya telah bangkrut karena sudah tidak mampu lagi memenuhi pembayaran utang luar negerinya tepat pada waktunya (sebagian besar utang digunakan untuk kepentingan militer dan tujuan-tujuan lain yang tergolong tidak produktif). Jumlah utang luar negeri pemerintahan Orde Lama memang tidak begitu terlalu besar jika dibandingkan dengan utang-utang yang ditinglkan pemerintahan Orde Baru.

Jumlah utang luar negeri pemerintahan Orde Lama menjelang berakhirnya Orde Lama hanya sekitar US$2,5 miliar. Di samping itu, pendapatan dari devisa ekspor juga merosot pada suatu tingkat yang sama sekali tidak cukup untuk membayar separuh dari kebutuhan impor minimum karena beban utang, pada masa Orde Lama berakhir tingkat inflasi sangat tinggi. Jumlah uang beredar telah menjadi dua kali lipat pada 1965, begitu juga pada kuartal pertama 1966 pada masa Orde Baru, harga-harga meningkat antara 30-50 persen per bulannya.

Sebagian besar sektor ekonomi ternyata produksinya merosot, produksi beras, makanan pokok, serta bahan makanan lainnya, meskipun tidak mutlak turun, tetapi nyatanya gagal dalam mengimbangi pertumbuhan penduduk hingga pada 1966 yang kira-kira 10 persen dari kebutuhan pangan terpaksa harus impor.

Nampaknya keadaan serupa yang lebih parah juga terjadi pada masa berakhirnya Orde Baru dan tahun-tahun pertama pemerintahan Reformasi juga mengalami yang serupa. Bahkan juga tidak menentunya aneka rupa peraturan serta politik, bahkan keamanan di berbagai daerah khususnya. Begitu juga penyakit Orde Baru soal KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), nampaknya semakin tumbuh berkembang dalam era reformasi.

Nampaknya, menjelang berakhirnya Orde Baru ternyata jauh lebih buruk dibandingkan pada akhir Orde Lama, bukan hanya utang luar negeri sudah tergolong sangat besar sekali, sekitar US$150 miliar lebih, juta telah banyak sumber daya alam, khususnya sumber daya alam yang sangat berharga dan tidak dapat diperbaharui lagi cadangannya, seperti minyak dan gas bumi yang semakin menipis. Di samping adanya korupsi yang merajalela terutama di tempat-tempat yang basah, terutama pada waktu menjelang masa Orde Baru berakhir.

Tabel Laju Inflasi*
1970-1997
Tahun
Laju Inflasi
1970
8,9
1971
2,5
1972
25,8
1973
27,3
1974
33,3
1975
19,7
1976
14,2
1977
11,8
1978
6,7
1979
21,8
1980
16,0
1981
7,1
1982
9,7
1983
11,5
1984
8,8
1985
4,3
1986
8,8
1987
8,9
1988
5,5
1989
6,0
1990
9,5
1991
9,5
1992
4,9
1993
9,8
1994
9,2
1995
8,6
1996
6,5
1997
11,1
*Desember 1969-Maret 1979 didasarkan atas Indeks Hidup di Jakarta. Sejak April 1979-Maret 1990 didasarkan atas Indeks Harga Konsumen 17 Ibukota Propinsi. Sejak April 1990 didasarkan atas Indeks Harga 27 Ibukota Propinsi dan mencakup 200-223 jenis barang dan jasa.

Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002.