Kesalahan Besar! Segala Hasil Migas Digiring ke APBN

Negara-negara berkembang apalagi bekas negara jajahan pada umumnya termasuk miskin, walau buminya kaya raya akan aneka rupa sumber daya alam. Baik kekayaan berupa sumber daya alam pertanian, perkebunan, kehutanan, hasil laut maupun hasil tambang dan lain-lain, tetapi karena segala hasil itu sudah sejak ratusan tahun ternyata dikuras oleh negara-negara penjajah juga semakin menyusut, ditambah lagi dengan alasan membiayai pembangunan pada era Orde Baru, pengurasan sumber daya alam terutama minyak bumi semakin besar. Seolah-olah tanpa memperhatikan bahwa cadangan migas akan segera habis sekiranya tidak ada upaya pencarian cadangan yang baru.

Sifat negara kuat yang mampu menjajah di berbagai negara berkembang yang terutama di berbagai negara yang kaya akan aneka sumber daya alamnya itu membuat negara-negara berkembang seperti Indonesia, walaupun sudah merdeka dan termasuk kaya akan sumber daya alamnya, tetapi masih saja tergantung dari utang luar negeri. Masalahnya pada masa masa Orde Lama, seperti yang diungkapkan HW Arndt,

“Bahwa kesalahan pimpinan negara Orde Lama yang terbesar kepada rakyatnya, yakni penolakannya, khususnya pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya dalam menghadapi persoalan-persoalan ekonomi negara yang demikian kompleksnya, yang dirasionalkan dengan jampi-jampi yang melantunkan tentang “kekayaan” Indonesia.”

Suatu pandangan bahwa Indonesia sebuah negara yang kaya telah menjadi dongeng di luar negeri, seperti halnya di dalam negeri. Kenyataannya hanya tinggal tiga warisan yang kesemuanya bervariasi tingkat memperdayakannya, yakni kesuburan tanah di Jawa, tumbuhan yang lebat dari hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan, serta sumber-sumber mineralnya.

Khusus kekayaan Indonesia mengenai sumber-sumber mineral antara lain diungkapkan,

“Bahwa Indonesia memang banyak memiliki sumber-sumber mineral, khususnya industri minyak yang kaya dan produktif, dan baru 5 persen wilayah yang benar-benar telah disurvey secara pasti yang kelak diharapkan bisa ditemukan lebih banyak lagi.”

HW Arndt menyatakan, bahwa sumber-sumber alam yang mempesonakan bagi orang awam tersebut hanyalah merupakan bagian dari keseluruhan potensi pembangunan ekonomi. Walaupun sumber-sumber alam tersebut dimiliki Indonesia demikian baiknya, khususnya dalam keadaan seperti di Indonesia.

Sebenarnya orang perlu memperhatikan pembangunan ekonomi yang hebat di Jepang, karena negara Jepang yang miskin dengan sumber daya alam khususnya miskin akan sumber energi khususnya migas, tetapi bisa bangkit menjadi negara industri yang besar ditunjang oleh sumber daya manusia serta modal buatan manusia. Kegiatan berusaha serta keahlian rakyat serta tersedianya modal produktif yang secara bertahap mereka kumpulkan melalui tabungan, nampaknya apa yang diungkapkan Ardnt itu seharusnya menjadi bahan pelajaran bagi pemerintah Indonesia terutama dalam upaya memanfaatkan segala aneka hasil sumber daya alamnya, khususnya hasil migas, terutama setelah perang Oktober 1973 di Timur Tengah, dimana harga minyak melonjak dari hanya US$2 per barrel menjadi belasan bahkan puluhan US$ per barrelnya.

Sejak Pelita I tahun pertama 1969/70 pemerintah telah mampu menggiring hasil migas Pertamina yang harusnya disetor ke kas negara lewat Bank Indonesia. Yang selama ini pada setiap diajukan RAPBN oleh pemerintah kepada DPR selalu terdapat pos pendapatan dalam negari yang berasal dari hasil migas, termasuk segala hasil Pertamina berupa aneka rupa bahan bakar minyak (BBM) dan non BBM yang hasilnya terbesar digiring masuk dalam pendapatan dalam negeri pada setiap APBN.

Peranan migas bukan hanya terlihat dari pertumbuhan ekonomi lewat GDP (Gross Domestic Product) atau Produk Domestik Bruto (PDB), juga terlihat terutama dalam Neraca Pembayaran khususnya dalam pos ekspor-impor, juga terlihat peranan migas berupa bahan baku untuk industri seperti gas bumi untuk pembuatan pupuk buatan, seperti pupuk urea. Selain itu, migas juga sebagai sumber energi bagi bagi sektor industri, kelistrikan, angkutan, juga bagi kehidupan rakyat banyak di sektor rumah tangga. Hanya saja ratusan triliun rupiah peran migas lewat APBN seolah-olah salah memanfaatkannya atau salah menggunakannya.

Kalau saja dilihat secara teori comparative advantage pemanfaatan dana migas layak sepenuhnya atau terbesar untuk pengembangan usaha migas, terutama dalam pembangunan kilang-kilang migas yang hasilnya terbesar untuk tujuan ekspor dan pengamanan pengadaan BBM di dalam negeri. Walau secara teorinya, bahwa dana dari hasil migas untuk modal membiayai pembangunan khususnya untuk pengembangan di berbagai non migas yang umumnya milik usaha swasta, tetapi pada akhir masa Orde Baru, ternyata segala hasil migas seolah sia-sia saja.

Karena pada kenyataannya hasil pembangunan selama Orde Baru bukannya untuk meperkecil jumlah yang hidup di bawah garis kemiskinan, malah jumlahnya makin berlipat ganda. Begitu pula besarnya pendapatan per kapita bukannya meningkat malah merosot tajam, malah diperkirakan hanya untuk para pengusaha yang dekat dengan pimpinan negara selama Orde Baru yang dikenal dengan pengusaha konglomerat yang umumnya terlibat telah menyalahgunakan pemanfaatan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

Penulis menganggap, suatu kesalahan besar yang diambil pemerintah Orde Baru sejak segala hasil migas digiring ke APBN, sehingga pengembangan di usaha migas khususnya pengembangan Pertamina seolah-olah terabaikan, bahkan seolah-olah Pertamina hanya dijadikan semacam sapi perahan. Layaklah, jika akhirnya produksi migas Pertamina hanya sekitar 5 persen dan 95 persennya dihasilkan oleh kontraktor khususnya kontraktor migas asing, begitu juga kapasitas kilang-kilang minyak hanya sekitar 900 ribu barrel per hari.

Kalau saja sejak tahun pertama Pelita I pemerintah telah menggunakan dasar kebijakan comparative advantage bagi usaha migas, pasti bukan hanya Pertamina semakin banyak mempunyai lapangan-lapangan migasnya, atau pasti jika segala dana yang berasal dari migas itu dimanfaatkan untuk pembangunan sebanyak mungkin membangun kilang migas di seluruh tanah air, pasti akan jauh lebih menguntungkan. Singapura saja yang wilayahnya sangat kecil dan bukan penghasil minyak maupun gas bumi, tetapi hanya dengan empat kilang minyaknya tetapi kapasitas hampir 1,5 juta barrel per hari, Indonesia dengan delapan kilang minyaknya, tetapi kapasitasnya jauh di bawah Singapura.

Boleh dinilai, bahwa rasa takut pemerintah akan lenyapnya hasil migas untuk pembiayaan pembangunan nasional yang meluas, tetapi nyatanya dalam prakteknya hal tersebut hanya menjadi salah besar. Karena sumbangan migas itu terlalu samar-samar untuk apa saja, yang pasti dana migas terbesar banyak dimanfaatkan oleh para pengusaha konglomerat.

Kalau saja ada yang menyatakan, bahwa dana sumbangan migas untuk membangun pelabuhan, sudah pasti pelabuhan itu dibangun dan hasilnya berupa pelabuhan terbanyak dan setiap hari akan dimanfaatkan oleh para konglomerat, karena sebagian besar pabrik, industri serta perdagangan. Begitu juga kalau dana dari migas untuk membangun jembatan atau jalan-jalan raya yang katanya untuk memperlancar kegiatan perdagangan atau ekonomi, juga pembangunan proyeknya dikerjakan oleh perusahaan besar yang pada umumnya miliki konglomerat dan bukan milik pengusaha kecil maupun koperasi.

Hasil jalan jembatan yang selesai dibangun yang banyak menelan biaya mungkin pula mengandung penggelembungan (mark-up) biaya juga, terbesar dimanfaatkan untuk memperlancar usaha para konglomerat. Celakanya, pada masa akhir Orde Baru justru para konglomerat seluruhnya hijrah ke luar negeri dengan membawa seluruh kekayaannya, bahkan mereka telah meninggalkan utang luar negerinya yang begitu besar.

Peninggalan Orde Lama

Pada waktu bangsa Indonesia merdeka boleh dikata berbagai sumber daya alam terutama yang tidak dapat diperbaharui lagi (un-renewable), seperti migas sudah banyak yang dikuras penjajah. Begitu juga untuk sumber daya alam seperti hasil perkebunan dan hutan, hasil laut sudah terlalu banyak dikuras penjajah. Untuk menghasilkan sumber daya alam yang cukup bukan hanya dibutuhkan para tenaga ahli pada bidangnya, juga dibutuhkan investasi atau modal yang tidak sedikit jumlahnya. Untuk itulah sejak Indonesia merdeka segala kegiatan produksi di segala sektor dan bidang telah meninggalkan semacam warisan yang cukup memprihatinkan bagi pemerintah Orde Baru.

Sepuluh tahun menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Lama banyak yang menilai bahwa pemerintahan Orde Lama salah urus untuk bidang ekonomi yang berakibat terjadi kemerosotan ekonomi, nampaknya hal serupa terjadi pula pada masa Orde Baru, terutama menjelang jatuhnya pemerintahan Orde Baru.

Secara harfiah banyak yang menilai, bahwa dalam masa pemerintahan Orde Lama sektor dan bidang sangat terbatas sekali, karena tidak tersedianya dana yang memadai. Ditambah lagi pemerintahan Orde Lama semakin hari bukannya lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan merata, tetapi lebih banyak pada kepentingan politik. Tidaklah heran pada akhirnya pemerintahan Orde Lama pemerintah sebenarnya telah bangkrut karena sudah tidak mampu lagi memenuhi pembayaran utang luar negerinya tepat pada waktunya (sebagian besar utang digunakan untuk kepentingan militer dan tujuan-tujuan lain yang tergolong tidak produktif). Jumlah utang luar negeri pemerintahan Orde Lama memang tidak begitu terlalu besar jika dibandingkan dengan utang-utang yang ditinglkan pemerintahan Orde Baru.

Jumlah utang luar negeri pemerintahan Orde Lama menjelang berakhirnya Orde Lama hanya sekitar US$2,5 miliar. Di samping itu, pendapatan dari devisa ekspor juga merosot pada suatu tingkat yang sama sekali tidak cukup untuk membayar separuh dari kebutuhan impor minimum karena beban utang, pada masa Orde Lama berakhir tingkat inflasi sangat tinggi. Jumlah uang beredar telah menjadi dua kali lipat pada 1965, begitu juga pada kuartal pertama 1966 pada masa Orde Baru, harga-harga meningkat antara 30-50 persen per bulannya.

Sebagian besar sektor ekonomi ternyata produksinya merosot, produksi beras, makanan pokok, serta bahan makanan lainnya, meskipun tidak mutlak turun, tetapi nyatanya gagal dalam mengimbangi pertumbuhan penduduk hingga pada 1966 yang kira-kira 10 persen dari kebutuhan pangan terpaksa harus impor.

Nampaknya keadaan serupa yang lebih parah juga terjadi pada masa berakhirnya Orde Baru dan tahun-tahun pertama pemerintahan Reformasi juga mengalami yang serupa. Bahkan juga tidak menentunya aneka rupa peraturan serta politik, bahkan keamanan di berbagai daerah khususnya. Begitu juga penyakit Orde Baru soal KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), nampaknya semakin tumbuh berkembang dalam era reformasi.

Nampaknya, menjelang berakhirnya Orde Baru ternyata jauh lebih buruk dibandingkan pada akhir Orde Lama, bukan hanya utang luar negeri sudah tergolong sangat besar sekali, sekitar US$150 miliar lebih, juta telah banyak sumber daya alam, khususnya sumber daya alam yang sangat berharga dan tidak dapat diperbaharui lagi cadangannya, seperti minyak dan gas bumi yang semakin menipis. Di samping adanya korupsi yang merajalela terutama di tempat-tempat yang basah, terutama pada waktu menjelang masa Orde Baru berakhir.

Tabel Laju Inflasi*
1970-1997
Tahun
Laju Inflasi
1970
8,9
1971
2,5
1972
25,8
1973
27,3
1974
33,3
1975
19,7
1976
14,2
1977
11,8
1978
6,7
1979
21,8
1980
16,0
1981
7,1
1982
9,7
1983
11,5
1984
8,8
1985
4,3
1986
8,8
1987
8,9
1988
5,5
1989
6,0
1990
9,5
1991
9,5
1992
4,9
1993
9,8
1994
9,2
1995
8,6
1996
6,5
1997
11,1
*Desember 1969-Maret 1979 didasarkan atas Indeks Hidup di Jakarta. Sejak April 1979-Maret 1990 didasarkan atas Indeks Harga Konsumen 17 Ibukota Propinsi. Sejak April 1990 didasarkan atas Indeks Harga 27 Ibukota Propinsi dan mencakup 200-223 jenis barang dan jasa.

Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002.