Gambaran Ekonomi dari Migas (Bagian 3-Selesai)

Dari hasil penelitian penulis mengenai pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di tiga propinsi penghasil minyak dan gas bumi, yakni Aceh, Riau dan Kalimantan Timur untuk periode 1969-1982 pada saat harga minyak makin baik, peranan hasil migas nampak semakin besar terutama bagi perekonomian Indonesia. Sebelum diberlakukan UU Otonomi Daerah, dimana seluruh hasul sumber daya alam migas merupakan hasil atau pendapatan sepenuhnya untuk pemerintah pusat walaupun dihasilkan dari tiga propinsi tersebut.

Sebagai kenyataannya, jika PDRB di tiga propinsi itu termasuk hasil migasnya, maka PDRB di tiga propinsi itu sangat besar sekali, sebelum membahasnya lebih agak rinci perlu dilihat bagaimana perkembangan harga minyak mentah ekspor Indonesia untuk jenis Minas, seperti yang terdapat dalam tabel 1 yang menunjukkan harga minyak mentah jenis Minas yang termasuk kelompok minyak mentah termahal di dunia. Karenanya sangat besar perannya dalam perekonomian Indonesia, terutama pada periode 1969-1982.

Tabel 1
Harga Minyak Mentah Ekspor
Jenis Minas (per barrel)
Periode 1969-1982
Tahun
Harga (US$)
Perubahan Harga (US$)
Januari 1969
1,67
-
April 1971
2,21
0,54
Oktober 1971
2,6
0,39
April 1972
2,96
0,36
April 1973
2.73
-0,23
November 1973
6
3,27
Januari 1974
10,8
4,8
Juli 1974
12,6
1,8
Desember 1979
25,5
12,9
Januari 1981
35
9,5
1982
34,53
-0,47

Dari tabel 1 itu terlihat, pada bulan Januari 1969 harganya hanya US$1,67 per barrel, pada bulan April 1971 naik menjadi US$2,21 per barrel, kemudian naik lagi di bulan Oktober menjadi US$2,6 per barrel, dan seterusnya. Baru sejak bulan November 1973 harga minyak Minas mulai melonjak, karena akibat terjadinya perang Oktober 1973 di Timur Tengah, sehingga harga minyak Minas Indonesia naik menjadi US$6 per barrel.

Sejak itulah harga minyak mentah Indonesia tidak lagi naik, hanya beberapa sen dolar per barelnya, seperti sebelum perang Oktober 1973, tetapi kemudian terus naik berlipat-lipat ganda. Seperti yang terjadi pada bulan Januari 1974 harga minas naik menjadi US$10,8 per barrel dan terus naik hingga pada bulan Desember 1979 harga minyak mentah Minas naik menjadi US$25,5 per barrel dan masih terus naik hingga mencapai puncaknya pada bulan Januari 1981 harga minyak mentah jenis Minas naik menjadi US$35 per barrel yang kemudian merosot lagi.

Dari gambaran kenaikan harga minyak Minas Indonesia terutama sejak bulan November 1973, maka untuk mengukur peran migas bagi perekonomian Indonesia akan lebih realis lagi. jika diambil periode penelitian antara 1969 hingga 1982. Walau setelah 1980-an hingga kini ternyata peran migas dalam perekonomian Indonesia khususnya masih tetap saja besar.

Bahkan dengan adanya UU Otonomi Daerah dimana sebagian dari hasil sumber daya alam migas khususnya diberikan kepada daerah penghasil migas. Ini berarti peran migas juga akan semakin besar bagi pertumbuhan perekonomian daerah selaku wilayah penghasil sumber daya alam migas khususnya.

Atas dasar harga minyak mentah Minas yang terus naik, itulah penulistelah meneliti betapa besarnya peran migas dalam perekonomian Indonesia. Terutama sejak 1973 hingga 1982, dimana hingga 1982 harga minyak mentah minas masih tetap seharga US$34,53 per barrel yang berlaku sejak November 1981.

Dari gambaran pertumbuhan PDRB di tiga wilayah migas, yakni Riau, Aceh dan Kalimantan Timur, jika pendapatan dari migasnya dihitung dalam PDRB-nya maka hasilnya sangat besar sekali dan lebih mudah untuk memahaminya peranan migasnya. Begitu juga karena hasil migas dimasukkan sebagai pendapatan pusat berarti PDB Indonesia juga semakin besar, termasuk presentase pertumbuhan PDB Indonesia juga cukup besar.

PDRB Tiga Wilayah dan PDB Indonesia

Pada 1969 PDRB Aceh, Riau dan Kalimantan Timur termasuk hasil migas berjumlah Rp249.838,6 juta (77,2 persen berasal dari hasil migas). Jumlah ini sebesar 9,2 persennya dari PDB indonesia pada tahun yang sama, pada 1969 jumlah PDB atas dasar harga yang berlaku berjumlah Rp2.718 miliar.

Sumbangan dari migas sebesar itu terutama yang berasal dari Propinsi Riau dan sedikit dari Kalimantan Timur, yaitu hanya mencapai nilai Rp142.905,4 juta atau 5,3 persen dari jumlah PDB Indonesia pada 1969 (atas dasar harga yang berlaku, karena LNG baik di Aceh maupun di Kalimantan Timur belum dihasilkan sebagai LNG komoditas ekspor).

Sebagai hasil perkembangan industri migas yang dibarengi dengan adanya kenaikan-kenaikan tingkat harga minyak dunia, terutama akibat adanya perang Oktober 1973 di Timur Tengah, maka pada 1976 atas dasar harga yang berlaku, PDRB dari tiga wilayah migas itu mencapai 18,64 persen dari PDB Indonesia yang berjumlaj Rp15.466,5 miliar atas dasar harga yang berlaku.

Dengan perkembangan produksi serta kenaikan harga migas ditambah lagi dengan adanya hasil ekspor LNG dari Aceh dan Kalimantan Timur, maka pada 1980 atas dasar harga yang berlaku PDRB tiga wilayah migas itu naik menjadi 23,4 persen dari jumlah PDB Indonesia. Jumlah PDB Indonesia pada 1980 naik menjadi Rp45.445,7 miliar atas dasar harga yang berlaku, sedangkan khusus dari migas mencapai 19,08 persen dari jumlah PDB Indonesia 1980.

Baik dilihat dari komposisi PDRB secara sektoral atau lapangan usaha Indonesia maupun dilihat dari PDRB (termasuk hasil dari migas) di tiga wilayah migas itu, memang sektor pertanian ternyata telah bergeser dengan bidang migas.

Aceh

Pada 1969 sumbangan sektor pertanian Aceh sebesar 60,96 persen dari jumlah PDRB-nya dan sumbangan migas belum terlihat, pada 1976 dimana sumbangan sektor pertaniannya turun menjadi 48,89 persen dari jumlah PDRB-nya dan peran dari migas menjadi 24,04 persennya dari jumlah PDRB Aceh pada 1976. Pada 1980 sumbangan sektor pertanian Aceh terus turun menjadi 15,9 persen dari jumlah PDRB-nya, sedangkan peranan atau sumbangan migasnya terutama dari hasil LNG naik menjadi 74,33 persen dari jumlah PDRB-nya.

Kalimantan Timur

Pada 1969 sumbangan dari sektor pertanian dalam PDRB Kalimantan Timur telah mencapai 62,86 persen dari jumlah PDRB-nya, sedangkan peranan atau sumbangan dari migas hanya sebesar 4,35 persen dari jumlah PDRB-nya pada tahun yang sama. Oleh karena adanya perkembangan pesat terutama setelah berdirinya kilang LNG dan sebagai penghasil devisa ekspor LNG yang sangat besar, maka pada 1976 peranan sektor pertanian dalam PDRB-nya turun menjadi hanya 12,07 persennya, sedangkan peran migasnya naik menjadi 62,34 persennya dari jumlah PDRB-nya.

Pada 1980, sumbangan sektor pertanian menjadi 11,45 persen dan dari migas naik menjadi 70,26 persen dari jumlah PDRB-nya, baik PDB mapun PDRB di tiga wilayah itu atas dasar harga yang berlaku. hal ini agar peran migas dengan harga migas yang terus naik semakin jelas besarnya peran migas baik dalam PDB maupun dalam PDRB di tiga wilayah migas itu dan dengan mudah terminateperannya.

Riau

Pada 1969, sektor pertanian dari wilayah migas Riau (penghasil minyak tertua di Indonesia) hanya sebesar 8,92 persen dan dari migas telah mencapai 75,74 persennya dari jumlah PDRB. Pada 1976 peranan sektor pertanian dalam PDRB-nya turun menjadi 3,42 persen dan peranan dari migas meningkat menjadi 87,44 persen dari jumlah PDRB-nya.

Pada 1980, sumbangan sektor pertanian dari propinsi Riau turun sedikit menjadi 3,22 persen dan peranan migasnya juga sedikit turun menjadi 86,95 persennya dari jumlah PDRB-nya, pada 1980 juga dihitung atas dasar harga yang berlaku.

Arti Tiga Wilayah Migas

Migas di samping sebagai sumber devisa utama, maupun sebagai sumber pendapatan negara, juga sangat penting, artinya bagi pemenuhan kebutuhan BBM di dalam negeri khususnya juga sebagai bahan baku industri.

Migas merupakan usaha yang padat modal, di lain pihak persoalan segi kependudukan serta kesempatan kerja sangat terkait sekali.

Jika diperhatikan apa yang diungkapkan Prof DR Sumitro Djojohadikusumo, bahwa dalam jangka menengah, sektor-sektor yang menunjukkan laju pertumbuhan yang paling pesat leading growth sectors terletak pada sektor ekstraktif, migas, barang mineral, kayu dan hasil hutan dan lainnya. Penggalian dan pengolahan kekayaan alam ini merupakan usaha produksi yang padat modal serta membutuhkan teknologi maju, dalam tahap-tahap jangka menengah (10-15 tahun) usaha ini belum menunjukkan daya serap yang luas dan baru terdapat pada tahap sesudah mulai tumbuhnya kekuatan-kekuatan efek sekunder di bidang industri.

Dengan meningkatnya produksi migas yang padat modal dari sektoral terutama dari instansi pemerintah sudah sejak Pelita I Ditjen Migas dan Pertamina telah merintis untuk melakukan inventarisasi barang-barang yang dibutuhkan perusahaan migas baik untuk barang-barang modal, barang barang konsumtif maupun untuk jasa-jasa yang biasanya harus diimpor.

Kemudian secara berangsur-angsur barang-barang yang semula diimpor itu bisa diusahakan atau dihasilkan atau diadakan atau disediakan dari hasil dalam negeri, ini berarti telah ada upaya peralihan sebagian produk impor aneka rupa barang migas dari impor ke hasil dalam negeri (sayangnya, kurang berjalan, dan penulissudah tidak sempat melihat apa yang sedang terjadi saat ini, Red).

Sekaligus secara tidak langsung hal demikian telah menumbuhkan peran migas yang terus berkembang serta tumbuh untuk pertumbuhan serta perkembangan berbagai bidang usaha dalam negeri, terutama usaha-usaha penunjang di bidang migas yang pada akhirnya juga mempunyai peran yang berarti baik bagi perekonomian daerah migas maupun perekonomian nasional karena adanya usaha-usaha penunjang kegiatan-kegiatan di bidang migas di Indonesia.

Di samping itu dengan dihasilkannya gas bumi baik dari Kalimantan Timur maupun Aceh dan sebagainya, maka hasilnya secara kentara atau tidak kentara usaha-usaha atau keberhasilan itu akan memberikan kesempatan berkembangnya industri baik di tiga wilayah migas tersebut maupun di daerah lain terutama kota-kota industri. Misalnya, adanya hasil gas bumi maka muncullah industri-industri petrokimia di berbagai daerah, terutama di Kalimantan TImur dan Aceh, misalnya industri-industri pupuk urea, amoniak, kertas, methanol dan lain-lain industri yang banyak kaitannya dengan hasil gas bumi.

Oleh karena struktur industri berbeda-beda antar daerah, maka muncul kecenderungan antar struktur industri serta pertumbuhan regional terdapat suatu hubungan klausal.

Dengan perkembangan migas yang begitu pesat di tiga wilayah migas tersebut, nampaknya perannya sebagai penunjang PDB bahkan PNB termasuk PDRB atau perekonomian daerah nampak sangat besar. Layaklah jika tiga wilayah migas itu setelah berlakunya UU Otonomi Daerah, maka tiga wilayah itu memperoleh hasil dari migas yang cukup memadai. Karena dananya cukup besar, maka cukup untuk menbiayai pembangunan di tiga wilayah migas itu yang pada gilirannya juga sebagai penunjang perekonomian nasional yang tercermin terutama dalam PDB.

Dari gambaran tersebut secara garis besarnya dari perbandingan angka antara PDRB dan PDB Indonesia memang peran migas sangat besar dalam perekonomian nasional terutama pada saat harga migas sangat tinggi, apalagi jika ditambah volume produksi dan ekspor migas Indonesia makin meningkat.

Dalam tabel 2,3, dan 4 terlihat angka PDRB, hasil dari migas Aceh, Kalimantan Timur dan Riau, dibandingkan dengan jumlah PDB periode 1983-1989, sebagai berikut

Tabel 2
Jumlah PDRB Aceh Dibanding PDB Indonesia
Periode 1983-1989
(dalam triliun Rupiah, atas dasar harga yang berlaku)
Tahun
Jumah dari Migas
Jumlah PDRB
Jumlah PDB
1983
2,241
3,425
77,623
1984
2,890
4,224
89,886
1985
2,711
4,251
96,997
1986
3,495
5,208
102,683
1987
3,234
5,201
124,817
1988
3,774
6,067
142,105
1989
4,676
7,232
167,185
*Sumber: diolah dari Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia. Menurut Lapangan Usaha, 1983-1989, BPS, Juli 1991 dan Pembangunan Dalam Angka, 1997 Bappenas, Juli 1998.


Tabel 3
Jumlah PDRB Kalimantan Timur Dibanding PDB Indonesia
Periode 1983-1989
(dalam triliun Rupiah, atas dasar harga yang berlaku)
Tahun
Jumah dari Migas
Jumlah PDRB
Jumlah PDB
1983
3,268
4,316
77,623
1984
4,152
5,575
89,886
1985
4,377
5,962
96,997
1986
3,628
5,502
102,683
1987
4,751
7,218
124,817
1988
4,869
7,927
142,105
1989
5,096
8,883
167,185
*Sumber: diolah dari Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia. Menurut Lapangan Usaha, 1983-1989, BPS, Juli 1991 dan Pembangunan Dalam Angka, 1997 Bappenas, Juli 1998.


Tabel 4
Jumlah PDRB Riau Dibanding PDB Indonesia
Periode 1983-1989
(dalam triliun Rupiah, atas dasar harga yang berlaku)
Tahun
Jumah dari Migas
Jumlah PDRB
Jumlah PDB
1983
6,534
7,510
77,623
1984
6,449
7,616
89,886
1985
6,118
7,433
96,997
1986
6,063
7,539
102,683
1987
7,649
9,393
124,817
1988
7,198
9,225
142,105
1989
9,254
11,635
167,185
*Sumber: diolah dari Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia. Menurut Lapangan Usaha, 1983-1989, BPS, Juli 1991 dan Pembangunan Dalam Angka, 1997 Bappenas, Juli 1998.


Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002.