Dikhawatirkan pada 2000 (penulis menulis pada 1980, Red) Indonesia diperkirakan akan kekurangan air. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin padat akan menyerang pangan, tanah, sawah, air dan berbagai rupa kebutuhan hidup. Pangan telah diimpor. Energi terutama bahan bakar minyak akan diimpor (dan memang sudah terjadi, padahal sudah diingatkan, Red). Yang lebih parah lagi kalau air juga harus diimpor (sepertinya penulis menyinggung air kemasan yang tidak perlu dimasak dan penulispernah mengatakan “apa perlu harga air lebih mahal dari minyak, padahal mengurasnya sama-sama dari perut bumi”, Red).
Yang menjadi tanda tanya penulis, apakah bangsa Indonesia telah bertekad bulat untuk menjadi negara industri tanpa memperhatikan sektor pertanian. Bagaimana dengan usaha pengembangan pertanian terutama untuk hasil pangan dan bahan-bahan ekspor? Masalah negara maju atau industri dewasa ini, terutama menghadapi masalah energi, perlu dijadikan pengalaman (eh, selama ini jadi pengalaman atau habis manis sepah dibuang?, Red).
Jika sekarang Indonesia masih harus mengimpor beras lebih dari Rp1 miliar, bagaimana selanjutnya? Apakah perlu ditinjau kembali sistem perencanaan pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Terutama dalam masalah prioritas utama dalam jumlah dana yang dibutuhkan. Prioritas pertanian harus didasarkan hasil yang nyata.
Selagi Indonesia masih mampu mengekspor minyak dan gas alam, seharusnya Indonesia tak perlu berambisi untuk menjadi negara industri seperti yang pernah dialami di berbagai negara industri. Masalahnya yaitu mereka berusaha menghilangkan ketergantungan energi impor, terutama berupa minyak dan gas alam. Batubara dibangkitkan, juga tenaga nuklir yang kesemuanya penuh mengandung risiko pencemaran lingkungan hidup.
Apa artinya kelak jika Indonesia telah menjadi negara penghasil mesin-mesin, tetapi entah harus digerakkan dengan apa? Bahan bakar terancam akan habis. Pencemaran lingkungan hidup semakin hebat. Apa artinya pendapatan nasional atau per kapita tertinggi dunia, tetapi setiap nafas selalu dihantui kematian karena udara kotor. Masalah sekarang bagaimana kalau kelak Indonesia menjadi negara utama di dunia yang mampu menjadi negara pengekspor beras, gula, kopra, ikan asin, dan sebagainya. Semuanya merupakan bahan ekspor yang dapat diperbaharui.
Hujan Buatan
Dua pokok masalah mungkin dapat dijadikan hantu bagi bangsa Indonesia. Pertama, hasil pertanian termasuk masalah air, keduamasalah energi. Mungkin bangsa Indonesia akan bergembira kalau menteri Ristek Habibie dapat menjamin dalam beberapa tahun lagi Indonesia menjadi negara pengekspor beras, Indonesia akan menjadi negara agraris semi modern (dengan memperhitungkan tenaga manusia yang semakin banyak dan bukan dibunuh dengan tenaga mesin yang masih harus diimpor). Karena pertanian juga merupakan sumber penghasil energi (baca tulisan di Kompas, Minggu 8 Juni 1980, Kapan Kendaraan Bermotor di Indonesia Pakai Alkohol).
Dalam kaitannya dengan pertanian dan energi, penulis tertarik dengan suatu berita yang dimuat di harian Kompas. Pada halaman satu tertulis berita yang berjudul Hujan Buatan 1 m3 = Rp1. Dikemukakan oleh pejabat Dirut Perum Otorita Jatiluhur Ir. Muhammad Ulama, bahwa percobaan hujan buatan yang diadakan beberapa bulan yang lalu telah berhasil memasukkan air sebanyak 100 juta m3 untuk waduk Jatiluhur. Karena biaya pembuatan hujan itu hanya Rp100 juta, berarti untuk menghasilkan air hujan sebanyak satu meter kubik hanya satu rupiah. Dalam hal pelaksanaan hujan buatan tentu tak terlepas jasa Ir. M Subagio yang telah memperoleh dukungan penuh dari Prof. Habibie.
Bahkan beberapa minggu lalu, kelompok Ir. M Subagio telah berhasil menurunkan hujan buatannya untuk daerah pertanian di Lombok. Dengan kata lain, prospek pengembangan hujan buatan, bukan saja sangat penting artinya sektor pertanian, juga sangat penting bagi pengadaan air untuk pembangkit tenaga listrik atau energi (ibarat sekali mengayuh dayung dua tiga pulau terlampaui, efisien dan efektif, tapi kenapa malah ga pernah digunakan lagi atau dikembangkan ya?, Red).
Indonesia telah berusaha untuk melaksanakan diversifikasi energi, yaitu secara berangsur akan mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar minyak. Di antara energi yang akan dikembangkan yaitu batubara, panas bumi, kayu, energi surya, gas alam, mineral radioaktif dan yang lebih penting lagi yaitu tenaga air.
Dengan air segala kehidupan akan terjamin hidup panjang. Tentu air yang sehat, air yang terhindar dari segala rupa pencemaran. Musim panas yang terlalu panjang akan mengancam hasil pertanian akan menjadi kering. Pembangkitan tenaga listrik dengan tenaga air akan mati. Industri-industri kecil yang mengharapkan air juga terancam. Bahkan sumber energi panas bumi pun jika kehabisan air tak akan berarti sama sekali. Oleh karena itu, masuk akallah kalau proyek hujan buatan perlu dikembangkan, karena banyak kaitannya dengan pertanian dan energi.
Apalah arti waduk-waduk raksasa seperti Jatiluhur jika tak ada airnya. Oleh karena itu, pembuatan waduk-waduk perlu dilengkapi dengan usaha pelaksanaan pembuatan hujan. Terutama untuk masa musim kemarau yang terlalu panjang dan sangat kritis bagi segala kehidupan. Air sangat penting bagi segala kehidupan.
Air dan Energi
Pada waktu kereta api mulai dipakai, air sebagai sumber tenaga penggerak roda telah digunakan. Munculnya kereta api listrik, terutama listrik yang dibangkitkan dengan tenaga air, peranan air juga sangat penting. Beberapa tahun yang lalu terutama di Jakarta, sering terjadi mati listrik secara bergiliran (dan masih aja tuh hingga jaman teknologi digital laku bak kacang goreng, Red), karena tenaga listrik dari Jatiluhur sangat kritis. Musim kemarau yang panjang, air untuk pembangkit listrik sangat kritis. Lagi-lagi masalah air. Bahkan dalam Pelita III ini, terutama untuk kepentingan energi, tenaga air telah diperhitungkan (apa sekarang masih diperhitungkan? Selama bahan bakar minyak disubsidi sepertinya lebih enak menikmati jatah ‘kue’ yang sudah disediakan dibandingkan memerlukan umpan/kail untuk mendapatkan ikan, Red).
Tenaga air merupakan salah satu sumber energi untuk pembangkit listrik. Secara teoritis potensi tenaga air di seluruh Indonesia diperkirakan 31 ribu MW. Sedangkan pada 1977 kapasitas terpasang pusat listrik tenaga air (PLTA) baru mencapai 450 MW. Potensi tenaga air di dekat pusat-pusat konsumen seperti Pulau Jawa yang belum dimanfaatkan sekitar 2.000 MW. Sebelum 2000 diperkirakan seluruh potensi untuk P. Jawa itu telah dapat dimanfaatkan sekitar 4.000 MW. Suatu jumlah yang cukup besar untuk menggantikan bahan bakar minyak yang masih banyak digunakan. Walau tentu dengan catatan, bagaimana pengelolaan air itu. Bagaimana kalau musim kemarau yang panjang. Tentu jawabannya yang masuk akal, yaitu membangun waduk-waduk dan juga persiapan untuk pembuatan hujan.
Dilihat dari jumlah kebutuhan energi Indonesia pada 1980 ini, diperkirakan akan mencapai jumlah 34,176 juta ton ekuivalen batubara. Dari jumlah kebutuhan ini akan ditutup dari tenaga air sekitar 0,51 juta ton ekuivalen batubara. Pada 1984, kebutuhan energi bagi Indonesia akan mencapai 51,919 juta ton ekuivalen batubara. Dari jumlah ini akan dipenuhi dari tenaga air sekitar 1.084 ton ekuivalen batubara.
Dilihat dari pembangkitan tenaga listrik, ternyata peranan tenaga listrik, ternyata peranan tenaga air masih cukup besar. pada 1979 (untuk P. Jawa) kebutuhan energi untuk pembangkitan tenaga listrik mencapai jumlah 5.780 GWH. Secara prosentase penggunaan energi berupa tenaga air sebanyak 28 persennya dan sisanya minyak bumi. Pada 1980, ini kebutuhan energi sebanyak 7.005 GWH, dimana peranan tenaga air sebesar 25 persennya dan sisanya bahan bakar minyak. Pada 1985, kebutuhan energinya sebanyak 17.096 GWH, dimana penggunaan energinya dari tenaga air mencapai 29 persen, minyak 37 persen, panas bumi 1 persen dan batubara 33 persen.
Walau secara prosentase hingga 2000 pemakaian energi untuk pembangkitan tenaga listrik yang berasal dari tenaga air semakin kecil, tetapi secara jumlah energi yang dibangkitkan dari tenaga air semakin besar. hal ini mencerminkan bahwa potensi atau pemanfaatan tenaga air mungkin hanya sebesar itu (khusus P. Jawa).
Jumlah energi yang dibangkitkan dari tenaga air pada 1979 hanya 1.951 GWH, 1985 menjadi 4.920 GWH, pada 1993 menjadi 7.469 GWH hingga 2000 (khusus P. Jawa). Untuk di luar P. Jawa nampaknya direncanakan pemanfaatan tenaga air untuk listrik lebih besar lagi. Apabila pada 1978/79 sumber tenaga berupa minyak 88 persen dan tenaga air 12 persen, sedangkan pada 1990/91 dirubah menjadi minyak 53 persen, tenaga air meningkat menjadi 33,5 persen dan batubara hanya sekitar 13,5 persen. Dengan kata lain tenaga air masih memegang peranan terutama untuk pembangkitan tenaga listrik.
Jatiluhur dan Air
Waduk Jatiluhur berfungsi serbaguna. Pertama, berupa penyediaan air untuk air minum dan penggelontoran bagi DKI Jakarta dengan mas 14m3 per detik. Kedua, penyediaan air irigasi, untuk mengairi sawah seluas 260 ribu hektar sepanjang tahun. Ketiga, penyediaan tenaga listrik sekitar 810 juta kWh per tahun untuk DKI Jakarta dan Jawa Barat. Keempat, untuk pengendalian banjir. Kelima, pengembangan perikanan dan keenam untuk pengembangan kepariwisataan.
Air yang masuk ke waduk Jatiluhur sangat dipengaruhi dengan keadaan air yang berasal dari sungar Citarum yang luasnya sekitar 4.500 km2. Pada 1972 misalnya, merupakan tahun kering, air masuk sangat kurang sekali, sehingga pada bulan September dan Oktober berada di bawah garis terendah. Yang idealnya kalau air waduk di antara dua garis teratas. Jika terjadi tahun kering, maka terpaksa fungsi waduk Jatiluhur yang serbaguna itu menjadi kurang sempurna, karena air untuk irigasi hanya diberikan sebesar 90 persen dari kebutuhan.
Dilakukan pemberhentian produksi listrik bila permukaan air di bawah lubang pengambilan dari pipa pesat. Untuk itu, perlu dicarikan jalan keluar yaitu usaha pelaksanaan pembuatan hujan. Dari tanggal 1-16 November 1979 telah dilakukan percobaan hujan buatan yang ketiga di Das Citarum. Oktober mendatang (1980, Red) akan dilakukan kembali.
Jatiluhur dan Hujan Buatan
Hujan buatan pada bulan November 1979 itu di AM (waduk Juanda) ternyata telah menambah air sebanyak 118 juta m3, betapa besar manfaatnya jumlah itu bagi pembangkitan tenaga listrik dan pengairan. Didasarkan perhitungan, jika untuk menghasilkan 1 kWh listrik di PLTA Juanda dibutuhkan sekitar 5 m3, berarti dengan tambahan air hujan buatan sebanyak itu akan menghasilkan listrik sebesar 23,6 x 106kWh. Kalau tarif listrik hanya Rp20 per kWh, berarti dari hasil hujan buatan sebanyak itu akan menghasilkan nilai listrik seharga Rp472 juta.
Sedangkan bagi pengairan sudah jelas bermanfaat sekali. Dengan didasarkan perhitungan kebutuhan air untuk padi 10 ribu m3/ha/musim, maka dengan hasil air hujan buatan sebanyak 118 juta m3 dapat mengairi sawah seluas 11.800 ha/musim. Kalau setiap ha dapat menghasilkan 4 ton @ Rp125.000, maka dengan hasil hujan buatan sebanyak itu akan mendatangkan hasil dari padi sebesar Rp5.900 juta. Dengan kata lain, jika dihitung secara orang awam, kalau untuk menghasilkan hujan buatan Rp1 per m3, berarti dengan mengeluarkan biaya sebanyak Rp118 juta akan menghasilkan tenaga listrik dan juga padi yang banyak. Seperti, pada perhitungan tersebut di atas, Rp472 juta dari listrik dan hasil sawah sebesar Rp5.900 juta.
Dengan demikian berarti prospek hujan buatan bukan saja sangat penting artinya bagi pertanian termasuk kebutuhan air minum, tetapi juga pelaksanaan kebijaksaaan pemerintah dalam usaha diversifikasi energi. Terutama tenaga air untuk pembangkitan tenaga listrik. Tenaga air untuk pembangkitan tenaga listrik sudah pasti jauh lebih murah dibandingkan dengan bahan bakar minyak. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan kenaikan tarif listrik yang cukup memusingkan pikiran konsumen, seharusnya masyarakat dijelaskan. Khususnya di DKI Jakarta, apakah listriknya bahan bakar minyak, atau berapa besarnya tenaga listrik dari tenaga air Jatiluhur?
Apakah dengan tenaga air tarifnya harus naik setinggi itu? Yang pasti rencana perluasan produksi pemanfaatan tenaga listrik, terutama untuk masuk desa, kunci utamanya yaitu daya beli konsumen secara keseluruhan. Hal ini banyak dikaitannya dengan tingginya tarif dan besarnya pendapatan konsumen atau masyarakat itu sendiri, terutama dari kelompok rumah tangga (non-komersial). Apalagi jika diukur dengan garis kemiskinan.
Bachrawi Sanusi, Energi ASEAN Suatu Tantangan, 1982; Kompas, 3 Juli 1980.