Minyak Bumi Sebagai Alat Diplomasi (Bagian 3-Selesai)

Pada waktu OPEC terbentuk, kontak diplomasi dijiwai dengan kepentingan-kepentingan negara maju atau industri yang berupa minyak bumi. Dengan demikian, seperti halnya kontrak-kontrak diplomasi yang pernah dilakukan pada jaman raja-raja berkuasa yang dirundingkan hanya pada masalah kepentingan raja-raja itu sendiri. Begitu juga dengan kontrak-kontrak diplomasi antara negara maju atau industri, juga banyak dikaitkan pada masalah kepentingan mereka akan minyak bumi.

Hal ini tercermin, negara-negara industri kelompok Eropa yang pada mulanya tergabung dalam OEEC (Organization for European Economic Co-Operation) yang kemudian berkembang dengan terlibatnya Amerika Serikat dan juga Kanada, dan pada tanggal 14 Desember 1960 OEEC beralih menjadi OECD (The Organization for Economic Co-Operation and Development) yang anggotanya terdiri dari kelompok OEEC bersama AS dan Kanada. Tujuan organisasi ini, yaitu untuk mengusahakan kerjasama anggota untuk kepentingan yang menyangkut ekonomi termasuk pula usaha perluasan perdagangan yang multilateral tanpa adanya perbedaan-perbedaan (diskriminasi).

Juga yang menyangkut masalah kestabilan keuangan. Dengan demikian, sudah dapat dipastikan masalah energi, terutama minyak bumi, juga menjadi masalah pembicaraan dalam kontrak-kontrak diplomasi antar negara OECD (tuh, mau pilih menjadi kawan atau lawan? Semua tertuju karena energi yang bisa meningkatkan perekonomian suatu negara, asalkan dikelola dengan baik atau tanpa energi ingin kembali jaman The Flintstones?, Red).

Tindakan Sepihak

Sebaliknya dengan adanya kelompok-kelompok negara-negara industri yang nampak semakin kuat berkat bantuan tidak kentara yang berupa pengadaan minyak yang berlimpah-limpah dengan harga yang sangat murah, tanpa memperhatikan kerugian yang sangat besar di negara penghasil minyak. Tindakan sepihak perusahaan minyak raksasa berasal dari negara-negara industri atau maju telah membangkitkan semangat membela kepentingan bersama antara negara penghasil minyak yang pada umumnya telah terikat dengan sistem konsesi dengan perusahaan minyak raksasa (hmm, jadi lebih baik konsesi atau bagi hasil? Selama untuk kepentingan bersama sepertinya tidak menjadi masalah, tapi bersama yang mana/siapa?, Red).

Suatu tantangan yang teramat besar bagi kelompok negara penghasil minyak, yaitu dengan adanya tindakan-tindakan sepihak dari perusahaan minyak raksasa yang menurunkan posted price pada bulan Januari 1959/Agustus 1960. Tindakan ini ternyata tanpa adanya konsultasi, apalagi kontak diplomasi, walaupun pada kenyataannya keadaan pasaran minyak dunia pada waktu itu tidak punya alasan untuk menurunkan posted price. Dengan turunnya posted price, berarti penerimaan negara penghasil minyak dunia pada waktu itu jadi mengecil atau turun. Dengan tindakan itu, ternyata negara penghasil minyak merugi karena pendapatannya menajdi berkurang US$13,5 sen untuk setiap barelnya (ini sih, permainan perdagangan, Red).

Jika suatu negara bisa mengekspor minyak  sebanyak 1 juta barel per hari, berarti negara itu akan dirugikan sebanyak US$49 juta per tahun. Sedangkan, posted price pada waktu itu masih di bawah US$15 per barel (murah ya, tapi itukan dulu, nilai Dollar terhadap Rupiah juga sekitar seribuan atau dua ribuan, sekarang? Wuih, siapa yang untung ya?, Red). Keadaan inilah yang menyebabkan kontak-kontak antar negara penghasil minyak semakin maju dan berkembang. Terutama adanya perkembangan kontak diplomasi negara-negara industri dalam menghadapi energi. Juga antara negara-negara penghasil minyak yang juga melakukan kontak-kontak diplomasi.

Dalam kenyataannya, telah terjadi kontak-kontak diplomasi antara Venezuela dengan Timur Tengah yang semakin berkembang. Pada bulan September 1949 tiga orang utusan dari Venezuela dikirim ke Timur Tengah. Mereka telah melakukan kunjungan ke Iran, Iraq, Saudi Arabia dan Kuwait yang sangat berkaitan dengan situasi minyak dunia yang terasa merugikan negara penghasil minyak. Kemudian pada 1953 muncul Iraq-Saudi Arabia agreement juga yang menyangkut masalah minyak bumi dalam kaitannya dengan kerjasama perminyakkan.

Kontak diplomasi antara negara penghasil minyak semakin lancar (karena merasa dirugikan, makanya bersama, bahu membahu mencari solusi, tapi kalau sampai dimanfaatkan?, Red). Pada bulan April 1959, Dewan Ekonomi Liga Arab telah mempelopori mengadakan kongres minyak Arab yang pertama di Kairo. Pada kongres tersebut hadir ratusan teknokrat dari Arab dan non Arab. Dalam kongres itu telah dibicarakan sebanyak 73 kertas kerja. Pada kesempatan itu, hadir juga utusan dari Venezuela dan Iran. Kesemuanya telah membicarakan mengenai minyak bumi sebagai energi (secara tidak langsung, ada yang memulai duluan untuk rembukan atau provokasi?, Red)

Perkembangan data sejarah ini, telah memperkuat anggapan bahwa energi dalam hal ini minyak bumi sebagai alat diplomasi telah dilaksanakan dan berjalan lancar dengan hasil memuaskan. Dari hasil kontak diplomasi itulah, negara-negara penghasil minyak dapat membuat tandingan kekuatan dalam perjuangan mereka dengan dibentuknya OPEC pada bulan September 1960. Sebagai suatu tantangan buat tindakan sepihak yang dilakukan oleh perusahaan minyak raksasa pada 1959 dan 1960.

OPEC Terbentuk

Sebagai hasil kontak diplomasi antara anggota penghasil minyak yang sudah berjalan cukup lama, maka lima negara penghasil minyak utama, yaitu Saudi Arabia, Venezuela, Iran, Iraq dan Kuwait telah berhasil melakukan konferensi yang pertama sekaligus meresmikan terbentuknya OPEC pada bulan September 1960 di Baghdad. Dari hasil konferensinya yang pertama berhasil diputuskan hal-hal yang berkaitan dengan, pertama, membentuk suatu organisasi permanen yang disebut OPEC. Kedua, setiap negara dengan net substantial export crude petroleum dapat diterima menjadi anggota jika disetujui oleh kelima negara anggota pendiri. Ketiga, menetapkan tujuan dari organisasi OPEC, yaitu mempersatukan kebijaksanaan di bidang perminyakkan dan menentukan cara-cara atau langkah-langkah guna melindungi kepentingan-kepentingan negara anggota secara individual maupun kolektif (any question?, Red).

Dengan berdirinya OPEC berarti kontak diplomasi antara anggota OPEC semakin baik. Dalam kenyataa negara-negara penghasil minyak sejak akhir tahun tiga puluhan hingga beberapa tahun sebelum 1974 selalu dipermainkan secara sepihak oleh perusahaan minyak raksasa terutama oleh perusahaan yang tergolong dalam seven international majors. Perjuangan OPEC pada tahun-tahun pertama masih sangat terbatas sekali, dari perjuangan OPEC selama itu hanya memperlihatkan hasil-hasil sebagai berikut, 
  • Dapat mempertahankan posted pricepada tingkat sebelum Agustus 1960 dan pada kenyataannya posted price itu terus berlaku hingga 1970.
  • Expensing royalties dan uniform rate of royalty. Yang dimaksud royalti, yaitu suatu kompensasi yang dibayar oleh perusahaan kepada pemilik tanah karena menambang kekayaan alamnya dan memasarkan. 
Walaupun pada tahun-tahun pertama itu perjuangan OPEC masih dianggap belum berhasil menumpas kekuasaan perusahaan minyak raksasa, namun karena tujuan dari OPEC itu sangat tepat dan baik bagi dunia penghasil minyak (negara yang memiliki bumi yang mengandung minyak) lainnya, maka pada tahun-tahun berikutnya bermunculanlah anggota yang memasuki OPEC. Empat bulan setelah OPEC terbentuk kemudian Qatar masuk menjadi anggota.

Pada 1962 tercatat Libya dan Indonesia sebagai anggota (banggakah? Dimana tujuan OPEC begitu mengetahui Indonesia tidak mampu lagi menjadi negara pengekspor minyak bumi? Dimana kebijaksanaan guna melindungi kepentingan negara anggotanya?, Red). Pada bulan November 1967 masuk Abu Dhabi (yang sekarang dikenal sebutan United Arab Emirates). Kemudian pada bulan Juli 1969, Aljazair masuk sebagai anggota OPEC yang ke sembilan. Dua tahun kemudian, pada bulan juli 1971 Nigeria menjadi anggota. Pada bulan November 1973, Equador masuk dan yang terakhir Gabon diterima sebagai anggota OPEC yang ketiga belas (mereka tergabung dan bisa dikatakan negara yang kaya akan minyak karena bisa mengekspor, tapi apakah pertumbuhan dan perkembangan negaranya menjadi negara yang dapat memakmurkan rakyatnya?, Red). Ini membuktikan energi dalam hal ini minyak dan gas bumi sebagai alat diplomasi semakin menunjukkan titik terang yang meyakinkan.

Baru pada 1971 ada perubahan atau kenaikan harga minyak OPEC, walaupun masih terlalu kecil. Tetapi setelah perang Oktober 1973 di Timur Tengah yang diikuti dengan embargo minyak oleh negara Arab penghasil minyak terhadap AS dan sekutu-sekutunya, karena mendukung Israel, pada saat itulah harga minyak melonjak dengan empuknya. Naiknya harga minyak OPEC semakin sering dan sangat tinggi. tambahan pula dengan berhasilnya kontak-kontak diplomasi khusus membicarakan masalah minyak bumi sebagai sumber energi.

OPEC Hingga Sekarang
(dilihat pada era 80an, karena penulismenulis di 1982, Red)

Dengan berhasilnya perjuangan dengan berhasilnya perjuangan OPEC yang sekaligus ikut terlibat dalam pertikaian perang di Timur Tengah (khusus kelompok Arab), maka ada kesempatan untuk mengurangi suplai minyak di pasaran dunia, sedangkan kebutuhan dunia pada saat itu sudah mencemaskan negara-negara industri, karena sulit untuk dihentikan. Terutama untuk kepentingan rumah tangga atau perdagangan dan angkutan. Akibatnya harga minyak OPEC dapat meluncur naik dengan empuk dan tinggi. hal ini karena keberhasilan OPEC yang telah mampu mengubah sistem pemasaran dari buyer’s market menjadi seller’s market.

Terutama setelah OPEC berhasil, bukan saja menaikkan harganya yang tidak lagi didasarkan atas posted price tetapi atas official price (harga resmi) juga, karena adanya nasionalisasi, partisipasi negara penghasil minyak, maka penentuan harga akhirnya ada di tangan negara penghasil minyak. Ini berarti kekuasaan penentuan harga minyak ekspor telah beralih di tangan produsen minyak, dalam hal ini negara OPEC dari tangan perusahaan minyak raksasa.

Satu persatu-satu perusahaan yang didasarkan konsesi telah habis waktunya, atau dipercepat waktunya, yang kemudian beralih dengan sistem bagi hasil bahkan joint venture dan banyak juga yang beralih ke perusahaan nasional negara OPEC. Dengan demikian, kekhawatiran akan diperluas karena kenaikan harga minyak bumi dapat dijadikan faktor penentu utama, dalam hal pertumbuhan ekonomi dunia dan juga moneter dunia. Tidak mustahil jika hingga kini adanya pertentangan antara negara pengimpor minyak dengan negara penghasil minyak.

Di satu pihak terutama OPEC beralasan untuk menaikkan harga minyaknya, karena untuk mengikuti perkembangan tingkat inflasi di negara maju. Sebaliknya negara industri sebagai pengimpor minyak menganggap kenaikan harga minyak hanya akan meningkatkan tingkat inflasi dunia, terutama pada akhirnya akan terasa di negara-negara berkembang yang non minyak. Pengalaman pahit terjadi pada 1975. Semua negara di dunia mengalami kemerosotan nilai ekspor, terutama negara berkembang, karena negara industri sedang dilanda resesi. Bahkan Indonesiapun mengalami yang serupa, hasil nilai ekspornya, bukan saja minyak tetapi non minyak pun mengalami penurunan dibandingkan pada tahun sebelumnya.

Secara umum kemajuan yang dicapai oleh OPEC setelah terjadinya perang Oktober 1973 antara lain, pertama, negara-negara Arab terutama kelompok dari Arab, berhasil menaikkan persentase royalti dan pajak pendapatan atas minyak setinggi mungkin. Kedua, negara OPEC berhasil ikut partisipasi dalam perusahaan minyak, dimana perusahaan minyak masih berudaha di negara penghasil minyak. Dan berangsur-angsur perusahaan minyak asing ke perusahaan nasional negara OPEC. Hal inilah yang menyebabkan tidak lagi terdengar posted price yang dijadikan bahan pertimbangan, tetapi official price (harga jual resmi). Ketiga, keberhasilan negara OPEC untuk menasionalisasikan serta membeli perusahaan-perusahaan minyak asing yang masih berada di negara OPEC.

Keempat, secara berangsur-angsur anggota OPEC telah berhasil mengalihkan management perusahaan pengusahaan minyak dari tangan asing ke tangan nasional. Sekaligus terjadi pengalihan teknologi keahlian dalam usaha mencari minyak termasuk pemasarannya (apakah sudah dilakukan Indonesia? Eh, tapikandulu masih jadi anggota OPEC, apakah mereka membantu?, Red). Kelima, dengan kembalinya minyak ke tangan perusahaan nasional, maka harapan hasil minyak untuk kepentingan pembangunan nasional masing-masing negara OPEC semakin berhasil.

Keenam, OPEC berhasil mengubah kebijaksanaan dalam peraturan konsensi hingga menjadi usaha joint venture bahkan seratus persen menjadi milik negara (mengingatkan Pertamina punya JOB/Joint Operating Body, Red). Ketujuh, peranan OPEC di forum internasional, terutama dalam kontak-kontak diplomasi untuk berbagai kegiatan, terutama dalam kontak-kontak diplomasi untuk berbagai kegiatan, terutama masalah sosial, ekonomi dan budaya. Bahkan OPEC semakin mendapat tempat di kalangan negara maju atau industri, terutama karena kekuatan minyak buminya.

Kedelapan, dengan keberhasilan OPEC itu telah membangkitkan negara-negara berkembang baik dalam kelompok Selatan maupun dalam kelompok 77 (yang anggotanya telah lebih dari seratus) telah merasa optimis, bahwa minyak bumi sebagai alat diplomasi telah menunjukkan hasil baik. Kesempatan dengan adanya kekuatan minyak bumi sebagai energi bagi dunia, maka peranan OPEC dalam kontak diplomasi untuk menciptakan Tata Ekonomi Dunia Baru diharapkan semakin sangat berperan. Karena pada akhirnya negara-negara berkembang non minyak akan sepenuhnya meminta bantuan atas kekuatan OPEC yang ada sekarang.

Kesembilan, OPEC tidak lagi didikte oleh negara maju atau industri dalam penentuan jumlah minyak yang harus di suplai atau diproduksi serta dalam hal penentuan harga minyak OPEC jangan terlalu tinggi. Tetapi sebaliknya, OPEC dapat mendikte negara industri atau maju agar jangan memboroskan penggunaan minyak bumi sebagai sumber energi. Negara industri supaya segera mencari dan menghasilkan energi lain di luar minyak. Negara industri harus berusaha mengurangi atau menekan tingkat inflasi mereka, jika mereka menghendaki agar harga minyak OPEC tak dinaikkan lagi.

Jika negara industri membutuhkan minyak OPEC, maka mereka harus bersedia menjual berbagai rupa peralatan industri bahkan kebutuhan pertahanan atau militer dan sebagainya (itung-itung nabung buat perang, lah siapa yang memulai dia yang harus mengakhiri bukan?, Red). Banyak lagi yang menonjol atas hasil OPEC yang telah dicapai. Sehingga tepat , jika diungkapkan bahwa minyak bumi atau energi sebagai alat diplomasi. Karena dengan minyak bumi, OPEC mampu mencapai tujuan sebanyak mungkin mengalah kepada tuntutan-tuntutan kita (dalam hal ini OPEC terhadap negara-negara industri/maju/pengimpor minyak raksasa) merasa puas dengan konsensi yang sedikit-dikitnya kita berikan. Dengan demikian akan tercegalah terjadinya berbagai rupa kekerasan seperti halnya peperangan.

Secara historis antar negara penghasil minyak sejak sebelum OPEC terbentuk hingga sekarang melakukan kontak-kontak diplomasi dengan menggunakan minyak bumi sebagai alatnya.


Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi, Energi dan Diplomasi, 1982.

Minyak Bumi Sebagai Alat Diplomasi (Bagian 2)

Kata diplomasi berasal dari perkataan Latin dan Yunani. Diploma berarti piagam, ijazah, surat pujian. DIplomasi merupakan suatu keahlian atau kepandaian untuk menjalankan perundingan-perundingan negara. Juga dapat dikatakan bahwa diplomasi merupakan kebutuhan resmi antara negara. Dahulu, diplomasi dijalankan oleh raja-raja (kepala-kepala negara) sendiri yang merupakan kepentingan-kepentingan raja-raja saja dan bukan kepentingan negara (apa iya sudah berubah menjadi kepentingan bersama?, Red). Sekarang diplomasi dijalankan oleh dinas diplomatik yang merupakan bagian dari dinas luar negeri (asyik dong jalan-jalan, begitu bukan tujuannya?, Red)

Misi-misi diplomasi sebenarnya telah dilaksanakan pada 1500 SM, pada waktu Raja Babylonia mengirimkan utusannya ke Mesir. Selanjutnya pada 950 SM Ratu Sheba mengunjungi Raja Solomon dari Israel. Yang dapat diartikan, bahwa diplomasi merupakan hubungan-hubungan resmi antar negara untuk berbagai kepentingan yang perlu dirundingkan atau penempatan suatu perwakilan tetap dan sebagainya.

Sedangkan tujuan dari diplomasi itu sendiri, yaitu untuk mengusahakan supaya pihak lawan sebanyak mungkin mengalah kepada tuntutan-tuntutan kita atau supaya pihak lawan itu merasa puas dengan konsesi yang sedikit-dikitnya kita berikan, sehingga dengan demikian ultima ratio (perang) dapat dicegah (tapi kalau untuk penguasaan kekayaan alam sepertinya dibutuhkan perang tuh, Red).

Pada mulanya terdapat diplomasi rahasia atau tertutup yang kemudian sekarang menjadi terbuka. Ada 3 hal yang memungkinkan pengawasan terhadap diplomasi. Pertama, pasal 102 Piagam PBB, yang mewajibkan negara-negara anggota PBB untuk mendaftarkan semua traktat-traktat atau persetujuan-persetujuan yang diadakan oleh mereka kepada Sekretariat PBB. Kedua, kesempatan bagi menteri-menteri Luar Negeri dari berbagai negara untuk saling bertemu sekali setahun, yakni pada pembukaan sidang Assemble PBB (yakin untuk sidang? ntar malah arisan, Red). Ketiga, demokrasi yang menghendaki bahwa setiap traktat atau persetujuan yang dicapai antara negara-negara baru, dapat berlaku setelah disetujui oleh parlemen masing-masing (tetap aja, diplomasi yang rahasia belum tentu disampaikan secara terbuka, so pasti ada hidden agenda, Red).

Perkembangan kontak diplomatik yang pada mulanya sesuatu negara hanya mengutus suatu misi diplomatik ke negara lain yang ditugaskan untuk mengadakan persetujuan dengan negara asing atau hanya untuk mewakili dalam upacara pernikahan Raja. Tetapi pada akhir abad 16 muncullah kebiasaan untuk menempatkan perwakilan-perwakilan diplomatik yang tetap di luar negeri. Dengan demikian dapat diartikan bahwa diplomasi merupakan alat untuk berkomunikasi dengan negara lain mengenai berbagai atau suatu kepentingan.

Perjuangan OPEC

Begitu juga kelompok negara-negara pendiri OPEC selalu mengadakan pertemuan-pertemuan dengan beberapa negara penghasil minyak, baik resmi maupun tidak resmi, dimana mereka berusaha memperjuangkan nasib mereka. Mereka dalam hal ini pada calon-calon pendiri OPEC terus menerus berjuang agar mereka memperoleh hasil yang layak dari minyaknya. Bukan saja mereka kecewa dengan tindakan sepihak kelompok perusahaan minyak raksasa yang bekerjasama dengan negara-negara induknya untuk menurunkan harga minyak, tetapi juga menyangkut masalah hasil pajak negara penghasil minyak yang semakin merosot.

Walaupun pada akhirnya OPEC dapat dibentuk, tapi hasilnya masih begitu lama, masih perlu perjuangan yang kuat. Apalagi, jika diingat bahwa kelompok OPEC masing-masing mempunyai kepentingan nasionalnya, masing-masing sesuai dengan selera kebijaksanaan politik dan ekonominya. Walau pada pembentukan OPEC masalah perbedaan politik dan ekonominya masing-masing. Walau pada pembentukan OPEC masalah perbedaan politik dalam negeri masing-masing tidak menjadi masalah, asalkan tuntutan untuk memperoleh hasil minyak yang wajar secara terwujud. Ini berarti, bahwa masalah politik di dalam OPEC yang dapat diwarnai dari perbedaan politik masing-masing anggota benar-benar dikesampingkan.

Hal ini terbukti dengan adanya peperangan antara Iran dan Iraq, bahkan adanya kelompok Saudi Arabia yang malah memihak Iraq, ini membuktikan bahwa minyak OPEC adalah urusan minyak. Seolah-olah hanya urusan pengusahaan atau usaha dagang minyak saja tanpa memperhatikan kepentingan politik serta keamanan sesama anggota OPEC. Apalagi, jika diingat struktur politik di negara-negara OPEC berlainan, terlihat dari bentuk pemerintahan ada yang Raja, ada yang Presiden dan sebagainya.

Walaupun perjuangan OPEC hingga kini masih terbatas pada masalah dagang minyak, tetapi dalam kepentingan OPEC memperoleh dukungan perjuangan dari kelompok negara berkembang lainnya yang non OPEC, kini OPEC mulai melangkah maju. Bukan saja bersedia memberikan bantuan berupa dana, bantuan pengadaan minyak bagi negara berkembang non OPEC, juga berusaha selalu mengaitkan dengan sektor-sektor lainnya yang merupakan masalah-masalah pokok terciptanya Tata Ekonomi Dunia Baru. Hal ini mengingat OPEC juga sangat prihatin dan perlu dukungan dari kelompok negara berkembang non minyak, terutama dalam menghadapi masalah inflasi dunia yang mengancam nilai penerimaan minyak, masalah dana-dana yang tersimpan di negara-negara industri, serta masalah-masalah lembaga-lembaga keuangan dunia yang banyak kaitannya dengan dana OPEC dari kelompok kaya.

Dalam pemikiran ini dicoba untuk diteliti dan dari kenyataan bahwa sebenarnya secara nyata dan jelas bahwa minyak bumi sebagai alat diplomasi sudah dilaksanakan sejak lama. Bahkan dalam usaha menciptakan Tata Ekonomi Dunia Baru diharapkan peranan OPEC yang menguasai minyak bumi dunia dapat memanfaatkan kekuatannya yang berupa minyak bumi sebagai alat diplomasi yang ampuh. Hal ini terbukti dimana kelompok OPEC tidak mau berdialog dengan kelompok negara maju atau industri hanya berpangkal pada masalh pengadaan dan harga minyak dunia saja. OPEC menghendaki pembicaraan lebih menyeluruh dan akan mencakup beberapa sektor utama yang menjadi masalah pokok bagi terciptanya Tata Ekonomi Dunia Baru.

Bicara masalah energi terutama minyak bumi dunia, ekonomi dan keuangan dunia, lembaga-lembaga moneter dunia, masalah dana serta pembangunan dan lain-lain. Dengan demikian dapat diharapkan energi terutama minyak bumi merupakan tulang punggung keberhasilan Tata Ekonomi Dunia Baru, sekaligus energi sebagai alat diplomasi yang cukup kuat.

Sebagai Alat Diplomasi

Diplomasi merupakan suatu keahlian atau kepandaian untuk menjalankan perundingan-perundingan negara. Juga dapat dikatakan bahwa diplomasi merupakan resmi antara negara-negara. Jika dilihat dari definisi tersebut, sudah dapat diartikan bahwa dalam masalah minyak bumi sebagai energi dimana kontak-kontak diplomasi telah berjalan dan berkembang dengan baik. Bukan saja kontak-kontak diplomasi antar negara industri yang berkepentingan dengan energi, juga kontak-kontak antara negara penghasil minyak OPEC dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya yang hampir sama secara bersama-sama. Bahkan dengan minyak bumi itu pula maka telah ada kontak-kontak diplomasi antara negara produsen dan negara konsumen minyak dalam hal ini negara-negara industri.

Setelah terjadi perang Oktober 1973, bukan lagi adanya kontak antara negara penghasil minyak dan perusahaan minyak raksasa, tetapi bahkan negara induk dari perusahaan minyak raksasa selalu ikut ambil bagian. Misalnya, adanya usaha pemerintah Amerika Serikat yang sering melakukan kontak-kontak diplomasi dengan beberapa negara OPEC, terutama yang pro dengan AS.

Diperkirakan hingga 2000 peranan minyak begitu kuat, tetapi kenyataannya mungkin lebih dari itu peranan minyak masih sangat menentukan. Apalagi bagi negara berkembang sungguh berat, masalahnya menghilangkan perkiraan impor minyak, akan beralih pada perkiraan impor minyak, akan beralih pada perkiraan impor energi non minyak, dan yang terbesar lagi berbagai alat-alat atau mesin-mesin atau kendaraan-kendaraan yang digerakkan dengan energi non minyak. Bukan saja harus mengimpor unit-unit pembangkit energi non minyak bahkan berbagai suku cadangnya harus impor, karena sulit diramalkan adanya kemauan negara berkembang secara cepat menyamai negara-negara maju atau industri (ternyata dulu, negara berkembang sudah galau untuk move on, Red).

Walaupun Kuwait terkaya akan dana di dunia, tetapi tidak mampu menghasilkan peralatan industri modern, terutama yang akan menghasilkan atau menggunakan energi non minyak. Sulit untuk diramalkan secara tepat bahwa pada 2000 atau lebih peranan minyak akan berakhir (wuih, mantap nih ramalan, terbukti mulai ketar-ketir cadangan minyak yang menipis akibat tidak pernah hemat energi dan pengembangan energi terbarukan terhambat, Red).

Masalahnya terletak pada, pertama, tingkat produksi yang juga ditentukan dengan cadangan minyak itu sendiri yang hampir tiap tahun nampak berubah (bertambah). Kedua, perkembangan penggunaan minyak bumi untuk waktu mendatang. Apakah dapat terkendali atau tidak. Ketiga, masalah harga minyak yang sangat menentukan cepat atau lambat munculya sumber-sumber energi lain sebagai energi komersial. Keempat, yang menyangkut masalah keamanan serta politik internasional yang akan mempengaruhi OPEC.

Masalah yang keempat, banyak sekali kaitannya dengan hubungan atau normalisasi antara negara-negara OPEC itu sendiri, antara OPEC dengan negara-negara pengimpor minyak terutama negara-negara maju industri. Dalam kaitannya antara minyak bumi dan alat diplomasi, mungkin harus dilihat dari pengusahaan minyak sejak sebelum terbentuknya OPEC, kemudian OPEC terbentuk hingga akhir 1973 serta perkembangan OPEC hingga sekarang.


Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi, Energi dan Diplomasi, 1982.

Minyak Bumi Sebagai Alat Diplomasi (Bagian 1)

Mungkin hingga kini belum ada ucapan di dunia yang menegaskan, bahwa minyak sebagai alat diplomasi, sebagai pernyataan nyata atau formal (karena selama ini hanya dikaitkan dengan bisnis atau industri, Red). Walaupun pada kenyataannya, dalam pertemuan-pertemuan antara kelompok negara industri maju yang sekaligus sebagai negara penjajah beserta perusahaan-perusahaan minyak raksasanya telah dilakukan kegiatan diplomasi.

Perkembangan Perdagangan

Perkembangan tingkat hidup manusia telah banyak menuntut berbagai kemajuan. Bukan saja kemajuan pada masalah perdagangan atau ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan dan sebagainya. Kesemuanya ini juga merupakan sebab timbal balik bagi perkembangan kehidupan manusia di dunia. Dimulai dengan adanya hubungan dagang yang terkenal istilah perdagangan barter antar suku, antar desa, antar kota dan antar desa dengan kota. Kesemuanya masih merupakan cermin ekonomi tertutup dan belum berkembang keluar negeri.

Dengan adanya kekurangan berbagai kebutuhan, baik untuk menghasilkan sesuatu barang maupun usaha mencari pasaran hasil produksinya, maka muncullah hubungan-hubungan perdagangan antar negara. Dengan demikian hingga kini boleh dianggap semua negara telah melakukan sistem ekonomi yang terbuka.

Dengan adanya perkembangan perdagangan yang kemudian melibatkan masalah perjanjian yang menyangkut jumlah barang yang dibutuhkan atau ditukar, msalah penilaian barang dagangan dan sebagainya. Kesemuanya itu memungkinkan adanya perkembangan kepentingan yang tidak terbatas pada masalah dagang saja. Muncullah kepentingan-kepentingan yang menyangkut soal budaya atau kesenian, agama bahkan dengan adanya strategi perdagangan antar negara yang berbeda telah meinmbulkan adanya kerjasama politik atau ideologi, bahkan pertahanan seperti halnya SEATO dan NATO. Hubungan antar negara yang melibatkan berbagai kepentingan baik secara multilateral maupun bilateral semakin berkembang, apalagi setelah terbentuk PBB.

Walaupun PBB terbentuk, tetapi nampaknya peranan PBB dalam mengakhiri perbedaan kepentingan dalam masalah ekonomi ataupun keamanan bagi negara berkembang (termasuk negara miskin) belum juga berhasil. Terutama yang menyangkut adanya perbedaan tingkat hidup yang semakin tajam antara negara industri dengan negara berkembang. Di satu pihak negara-negara industri menjual barang-barang produksi dengan harga tinggi.

Di lain pihak negara berkembang harus menjual atau menghasilkan bahan-bahan mentah sebanyak mungkin untuk memenuhi kebutuhan negara industri atau maju dengan harga relatif lebih murah dibandingkan dengan hasil barang-barang dari negara-negara industri. Tambahan pula negara-negara berkembang harus bergantung dari hasil-hasil industri negara maju dengan harga yang sangat mahal. Jika perbedaan-perbedaan penilaian tersebut berlaku dalam jangka panjang, dapat diperkirakan bahwa jurang pemisah dalam hal pendapatan antara negara industri dibandingkan dengan negara berkembang akan semakin jauh.

Atas dasar perbedaan itulah banyak negara berkembang melakukan hubungan dalam usaha memperjuangkan nasib mereka, terutama usaha menyangkut kepentingan pembangunan nasionalnya masing-masing. Dengan adanya kontak-kontak antar negara berkembang, berarti kepentingan mereka dapat disalurkan melalui kontak-kontak diplomasi dalam menghadapi kekuatan negara maju. Suatu kontak diplomasi yang dianggap cukup kuat diantaranya OPEC beserta hasil perjuangannya, kemudian kelompok 77 (sudah mencapai 133 anggota).

Pengaruh Minyak Bumi Sebagai Energi

Pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi di negara maju umumnya sangat dipengaruhi oleh besarnya energi yang tersedia serta harga energi itu sendiri. Pertumbuhan industri di negara maju semakin pesat dengan munculnya teknologi yang memakai minyak bumi sebagai bahan bakar. Dengan jumlah minyak yang berlimpah dan harga yang murah, teknologi dan perhitungan ekonomi memaksa batubara sebagai sumber energi kalah peranannya.

Sebagai contoh, perkembangan pengadaan energi di Amerika Serikat pada 1920, menunjukkan besarnya peranan batubara mencapai 78,4 persen dari jumlah kebutuhan energinya, sedangkan peranan minyak bumi hanya 13,4 persen, gas alam 4,3 persen dan tenaga air hanya 3,9 persen. Jumlah kebutuhan energi AS pada 1920 berupa batubara mencapai 15.504 triliun BTU (British Thermal Unit).

Struktur pemanfaatan energi ini, kemudian berubah. Pada 1955 jumlah energi yang tersedia bagi AS menjadi batubara 29,5 persen, tenaga air, 3,8 persen dan yang terbesar beralih menjadi minyak bumi sebanyak 41,2 persen dan gas alam 25,5 persen (apalagi kalau cadangan gas yang dimilikinya lebih banyak dari kebutuhan, mungkin gas alam jadi dominan, belum lagi isu minyak bumi diambang kritis cadangannya, makanya mulai dikembangkan energi lain selain minyak, Red). Kebutuhan batubara AS di 1955 hanya sebesar 11.695 triliun BTU, sedangkan di 1920 kebutuhan minyak bumi 2.634 triliun BTU meningkat menjadi 16.340 triliun BTU pada 1955. Kebutuhan gas alam di 1920 hanya 855 triliun BTU meningkat menjadi 10.139 triliun BTU pada 1955.

Dengan berlimpahnya minyak dan harganya murah, terutama yang datang dari negara-negara Timur Tengah, telah mempercepat pertumbuhan ekonomi sekaligus pertumbuhan penggunaan energi pada beberapa negara industri. Terbukti antara 1959-1962 konsumsi minyak bumi untuk kelompok OECD (The Organization for Economic Cooperation and Development) menunjukkan kenaikan sebesar 54 persen atau rata-rata 15,5 persen per tahun.

Dengan berhasilnya OPEC mengalihkan pengusahaan atas minyak mereka, maka secara berangsur-angsur kekuasaan kelompok negara maju telah kehilangan pegangan utama yang merupakan kunci kemajuan ekonomi dan industri mereka. Dengan munculnya keberhasilan OPEC, yang mampu menetapkan tinggi rendahnya produksi dan juga harga minyak dunia, maka segala kontak diplomasi baik di negara-negara maju maupun di negara berkembang selalu mengaitkan pada masalah minyak bumi sebagai sumber energi.

Hal ini disebabkan karena di satu pihak kebutuhan energi dunia (terutama negara-negara maju) semakin besar, di lain pihak cadangan minyak dunia terbatas. Apalagi kekuatan pengaturan produksi minyak telah beralih ke tangan OPEC, keadaan inilah yang pada akhirnya sebagai penentu mengapa energi lain harus dikembangkan.

Sebagai gambaran pada 2000 diperkirakan kebutuhan dunia akan energi sebagai bahan bakar akan mencapai 269 juta barel ekuivalen minyak bumi. Dari jumlah ini 89 juta barel berupa minyak, 33 juta barel dari gas alam, batubara 66 juta barel, nuklir 41 juta barel, kayu dan tenaga surya 24 juta barel dan tenaga air 16 juta barel, masing-masing ekuivalen minyak bumi per hari. Perkiraan ini berdasarkan perhitungan kebutuhan per tahun akan energi rata-rata 3,3 persen sejak 1980, yang diperkirakan akan mencapai 140 juta barel per hari dimana dari minyak sekitar 60 juta barel per hari, gas alam 22 juta barel per hari, batubara 33 juta barel per hari dan lain-lain.

Yang pasti hingga 2000 minyak bumi sebagai sumber energi masih terbesar jumlahnya, apalagi jika diingat sebagain besar minyak dunia itu berasal dari OPEC (mungkin itu sebabnya muncul istilah raja minyak, Red). Kemudian pada 2020 kebutuhan dunia akan energi yang berupa bahan bakar akan mencapai 453 juta barel per hari (rata-rata pertumbuhan 2,6 persen sejak 2000). Dari jumlah ini peranan batubara akan melonjak menjadi 133 juta barel, nuklir 122 juta barel, kayu dan energi surya 40 juta barel, tenaga air 24 juta barel dan dari minyak bumi hanya 95 juta barel dan gas alam 39 juta barel, masing-masing dalam per hari ekuivalen minyak bumi.

Energi Sebagai Alat Diplomasi

Dengan demikian, sungguh tepat dan kuat, jika energi dapat dimanfaatkan sebagai alat diplomasi. Indonesia bukan saja dapat berperan sebagai penghasil energi, tetapi juga sebagai negara pengekspor yang mempunyai banyak kaitan dengan pihak-pihak luar negeri, baik negara berkembang atau maju, guna meningkatkan energi dari minyak bumi ke energi lain.

Melalui kontak diplomasi dengan negara maju diharapkan dapat diperoleh jawaban atas masalah modal dan peralatan serta keahlian yang mengandung unsur teknologi tinggi (transfer teknologi sudah disarankan oleh penulis sejak lama loh, tapi sepertinya masih lebih senang dimanjakan dengan impor, apakah ada hasil produk asli ciptaan putera-puteri bangsa ini yang bisa dibanggakan?, Red). Apalagi, mengingat Indonesia menganut politik luar negeri yang bebas dan aktif berdasarkan kepentingan nasional. Juga Dasa Sila Bandung dengan prinsip-prinsip peaceful co-existence serta gagasan non alignment, maka bagi Indonesia tidak sulit untuk meningkatkan peranan energi sebagai alat diplomasi. Karena energi akan menyangkut hajat hidup umat dunia. Apalagi jika dilihat dari pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menegaskan bahwa kewajiban pemerintah Indonesia adalah

“Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”

Atas dasar itulah, mau tidak mau Indonesia sebagai negara yang juga tergabung dalam kelompok Selatan atau negara berkembang (termasuk negara miskin) harus menggunakan energi sebagai alat diplomasi yang berhasil atau bertujuan positif bagi semua pihak. Dalam hal ini, perjuangan Indonesia disalurkan melalui hubungan bilateral, multilateral atau melalui forum-forum internasional. Secara umum energi dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan tenaga.

Sedangkan pengertian energi bukan manusia, juga banyak artinya. Yang pasti energi merupakan sumber alam yang utama. Para pemakai energimengartikan energi sebagai komoditi yang mereka beli, seperti bensin, gas alam dan listrik. Energi bagi insinyur, yaitu merupakan panas bagi dapur-dapur api industri atau yang bermotif kekuatan bagi mesin-mesin yang menghasilkan tenaga. Lain lagi bagi ahli ekonomi, energi merupakan suatu bahan sebagai kunci untuk kemakmuran nasional.

Tanpa energi mungkin orang tak akan menikmati keadaan kemajuan seperti sekarang ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa energi merupakan bahan pembangkit tenaga berbagai rupa peralatan mesin untuk selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Dengan energi yang berlimpah, secara potensial, suatu negara akan menjadi kaya bahkan akan menguasai dunia.


Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi, Energi dan Diplomasi, 1982.