Potensi Minyak Bumi Dunia (Dilihat dari Era 1980an)

Berapa lama minyak bumi dunia akan habis sangat tergantung pertama dari besar kecilnya cadangan dan yang kedua berapa besarnya produksi yang disesuaikan dan tingkat kebutuhan dunia akan minyak bumi. Sedangkan, besar kecilnya tingkat kemakmuran suatu negara. Semakin makmur, diperkirakan kebutuhan akan energi terutama berupa minyak bumi juga semakin besar.

Jika minyak bumi kelak masih merupakan sumber energi utama, sudah dapat diramalkan bahwa ketergantungan negara-negara industri non-komunis terhadap negara OPEC semakin besar. Tidak mengherankan jika keamanan di negara-negara Timur Tengah pada akhirnya selalu dihantui oleh bencana peperangan antar negara penghasil minyak di Timur Tengah. Karena minyak bumi merupakan kunci bagi industri.

Mungkin pengalaman keadaan di kawasan Asia Tenggara yang selalu terjadi keributan perlu dijadikan contoh. Karena Asia Tenggara dalam kategori gudang yang kaya akan sumber-sumber kekayaan alam seperti halnya, minyak, timah, tembaga, bauksit, nikel, karet, gula, kopi dan sebagainya (treasure house of resource). Maka tidaklah heran kalau Asia Tenggara sejak perang dunia kedua, telah menjadi kancah perebutan negara raksasa seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, RRC, Jepang setelah pengaruh Perancis menjadi luntur. Apalagi kawasan Asia Tenggara yang pada waktu itu kaya akan bahan tambang dan hasil pertanian atau perkebunan, maka tidak mengherankan jika potensi minyak dunia yang terbesar seperti di Timur Tengah juga akan menjadi kawasan yang cukup menggelisahkan. Berbagai kepentingan akan ikut mewarnai negara-negara di Timur Tengah, masalanya kini minyak bumi sebagai sumber energi menjadi penentu sekali bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Sebagai gambaran berapa banyak minyak dunia yang telah dihasilkan, dan berapa besar cadangannya akan terlihat seperti pada tabel 1.

Tabel 1
Potensi Minyak Bumi Dunia yang Telah Diketahui
(miliar barel)
Wilayah
Produksi Kumulatif
(1859-1977)
Cadangan
(akhir 1977)
Perbandingan Cadangan/Produksi Kumulatif
Amerika Serikat
114
29
0,25
Timur Tengah
100
366
3,7
Uni Soviet & Eropa Timur
55
78
1,4
Afrika
25
59
2,4
Kanada
8
6
0,75
Eropa Barat
4
27
6,7
Belahan Dunia Barat Lainnya
46
40
0,9
Belahan Dunia Timur Lainnya
15
40
2,7
Jumlah
367
645

                Sumber: International Petroleum Encyclopedia, 1978

Dari tabel 1 tersebut terlihat bahwa cadangan minyak yang terbesar, yaitu di Timur Tengah. Diharapkan sumbangan minyak dan Timur Tengah akan memegang peranan utama, apalagi jika diingat kumulatif produksinya yang sangat besar setelah Amerika Serikat. Jika dilihat dari jumlah kebutuhan minyak bumi di Timur Tengah sendiri sangat kecil, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kumulatif minyak Timur Tengah yang mencapai 100 miliar barel, nyatanya telah disedot oleh perusahaan minyak raksasa (pintar ya mereka, ga punya ladang migas sendiri, nyedot di ladang tempat lain, kenapa trik seperti itu tidak digunakan juga sama Indonesia?, Red).

Di samping usaha mempengaruhi suasana di kawasan negara-negara penghasil minyak seperti Timur Tengah, juga sambil berusaha mencari serta menghasilkan energi lain di luar minyak, sekaligus menciptakan hasil mesin-mesin industri atau mesin-mesin angkutan lainnya yang menggunakan energi bukan minyak.

Itulah sekedar gambaran berapa besarnya potensi minyak dunia yang hingga kini masih menjadi bahan energi utama dan masih menggelisahkan berbagai negara di dunia yang sama sekali tidak mempunyai energi berupa minyak bumi atau energi lainnya.

Kebutuhan Minyak Bumi Dunia

Besar kecilnya perkembangan kebutuhan minyak bumi pada akhirnya sangat ditentukan pertama oleh tingkat kemakmuran suatu negara, kedua tingkat harga minyak itu sendiri dibandingkan dengan harga energi lainnya. Penentu lain, yaitu adanya sumber energi lain yang lebih banyak dan ekonomis (mungkin dari beberapa negara yang sengaja membatasi kebutuhannya akan minyak bumi). Masalah harga minyak itu sendiri sangat ditentukan oleh tuntutan dari negara penghasil minyak yang selalu menuntut harga yang terus naik dengan alasan untuk memenuhi persamaan nilai tukar akibat adanya inflasi di negara maju.

Di samping itu, kebijaksanaan OPEC yang berusaha melestarikan cadangan minyaknya hingga dapat bertahan agak alam lagi daripada minyak terus dikuras sebesar-besarnya hanya untuk kepentingan negara industri atau maju. Dengan adanya ketakutan akan kelangkaan minyak bumi di dunia, banyak para ahli meramalkan bahwa pada akhirnya energi lain juga akan mampu menggantikan minyak bumi sebagai energi.

Dilihat dari jumlah kebutuhan dunia akan minyak bumi memang ada kecenderungan usaha mengurangi ketergantungan akan minyak bumi. Sebagai gambaran pada tabel 2, akan terlihat mengenai berapa kebutuhan dunia non-komunis akan minyak bumi, dan pada tabel 3 akan terlihat kebutuhan dunia akan energi, dimana peranan dari minyak secara prosentase akan ditekan.

Tabel 2
Perkiraan Kebutuhan Dunia (Non-Komunis) Akan Minyak Bumi
(jutaan barel per hari)
Negara
1976
1985
1990
Amerika Serikat
16,7
22,5
23,5
OECD Eropa
13,6
16,9
18,0
Kanada
2,0
2,5
2,2
Jepang
4,8
6,5
7,4
Negara maju lainnya
1,2
1,8
2,2
OECD lainnya
2,1
4,5
5,7
Negara berkembang non OPEC
6,7
9,5
11,0
Lain-lain
0,9
-
-
Jumlah
48,0
64,2
70,0
            Sumber: Forecast of Energy Supply and Demand in the Non-Communist World, OPEC Bulletin, July 31,1978

Tabel 3
Kebutuhan Dunia Akan Energi Primer Sebagai Bahan Bakar
(jutaan barel per hari ekuivalen minyak bumi)
Jenis
1980
2000
2020
Minyak Bumi
60
89
95
Gas Alam
22
33
39
Batubara
33
66
133
Nuklir
3
41
122
Kayu & Energi Surya
14
24
40
Tenaga Air
8
16
24
Jumlah
140
269
453
Pertumbuhan rata-rata per tahun
3,3%
2,6%
            Sumber: World Energy Conference, 1978

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa diharapkan pada 2020 peranan minyak bumi tidak lagi begitu besar, malah sebaliknya dunia kembali seperti keadaan energi Amerika Serikat di 1920. Dimana peranan batubara kembali lagi sangat berperan. Di samping itu, energi berupa nuklir, kayu, energi surya dan tenaga air terpaksa dikembangkan. Dengan demikian semakin jelas, bahwa sebenarnya kebutuhan dunia akan minyak bumi semakin besar jumlahnya akan terus dikendalikan oleh OPEC, maka energi lain di luar minyak bumi semakin dikembangkan.

Minyak Dunia dan Kemungkinan Sebagai Alat Diplomasi

Untuk mengukur sampai seberapa jauh peranan energi dapat diandalkan sebagai alat diplomasi, terutama perlu dilihat sumber pengadaan minyak bumi duni. Jika dilihat dari tabel 1, terlihat sekali bahwa dalam jangka panjang potensi minyak bumi di dunia yang berupa cadangan sekitar 366 miliar barel berada di Timut Tengah, terutama di negara-negara OPEC seperti Saudi Arabia, Irak, Kuwait, United Arab Emirates dan lain-lain yang kaya akan minyaknya, tetapi jumlah penduduknya sedikit (pantas jadi target melulu, selain itu kontraknya tidak menggunakan PSC, makanya sulit mendapatkan minyak di daerah tersebut, Red).

Di lain pihak, jika dilihat dari tabel 2 terlihat jelas kebutuhan dunia (non-komunis) akan minyak bumi terbesar berada di negara-negara OECD, sedangkan kebutuhan minyak di negara-negara berkembang (bahkan OPEC sendiri) masih jauh lebih kecil. Sedangkan, dalam tabel 3 terlihat jelas, kebutuhan dunia akan energi primer masih diharapkan terbesar berupa minyak bumi. Dalam keadaan inilah, sungguh tepat jika peranan minyak bumi bumi sebagai sumber energi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan diplomasi yang nyata, terutama dalam menciptakan Tata Ekonomi Dunia Baru yang masih terus diperjuangkan. Dimana kekuatan dari OPEC, terutama dari OPEC kelompok kaya, seperti Saudi Arabia, Kuwait, Irak, UAE, Qatar, Iran sangat diharapkan peranannya dalam usaha membentuk Tata Ekonomi Dunia Baru.

Dilihat dari potensi minyak dunia yang berupa cadangan (sebagian besar berada di tangan OPEC) memungkinkan OPEC sebagai kelompok negara berkembang dapat secara aktif berjuang bersama kelompok negara berkembang lainnya. Yang berarti dengan minyak bumi sebagai senjata atau alat diplomasi, diharapkan tuntutan perubahan yang menyangkut nasib negara berkembang non-OPEC dapat tercipta. Terutama dalam usaha mengaitkan segala rupa perjanjian atau dialog dengan pihak negara-negara industri atau maju, agar berbagai masalah pokok yang menjiwai Tata Ekonomi Dunia Baru harus selalu dikaitkan dengan kekuatan minyak OPEC.

Untuk itu, harus dilihat secara kenyataannya, dimana pada awal 1981 dari hasil pertemuan di Bali bulan Desember 1980, OPEC berhasil menaikkan harganya lagi antara US$2 – US$4 per barel. Hal ini bukan saja akan mempengaruhi ekonomi dunia baik negara-negara maju atau industri, tetapi juga sangat berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang yang miskin akan energi. Dengan keadaan demikian, memungkinkan kelompok negara-negara industri harus berhati-hati dan mau mengikuti kehendak kelompok negara berkembang, dimana OPEC sebagai pemimpinnya.

Di lain pihak kelompok negara berkembang yang telah melangkah pada industri, tetapi miskin akan energi berupa minyak bumi, terpaksa harus lebih erat lagi melakukan hubungan kerjasama dengan kelompok negara berkembang lainnya yang mampu memberikan pengadaan minyak serta dana, misalnya dari OPEC.

Untuk mengukur bagaimana potensi OPEC terhadap minyak bumi dunia, perlu pula dilihat data kuantitatif sampai seberapa jauh peranan OPEC di dunia. Sebagai kenyataan, dengan terganggunya produksi serta ekspor minyak dari Irak dan Iran, walaupun Saudi Arabia mampu menaikkan produksinya menjadi sekitar 9,5 juta barel per hari, tetapi kenyataannya harga minyak OPEC pada 1981 mampu naik menjadi US$41 per barelnya. Ini mencerminkan kebutuhan minyak dunia masih lebih besar daripada jumlah produksi dunia. Dalam tabel 4 akan disuguhkan data terakhir produksi dunia di 1979, serta perkiraan 1980, dari gambaran ini akan terlihat dengan pasti bahwa di antara negara industri sendiri ada yang kaya akan minyak dan miskin akan minyak. Sedangkan di negara OPEC itu sendiri terlihat ada kelompok negara kaya dengan jumlah penduduk sedikit.

Tabel 4
Peranan OPEC dalam Produksi Minyak Dunia 1979
Dan Perkiraan 1980
(ribuan ton)
Kelompok Negara
1979
1980
Perubahan (%)
Bagian dari Dunia
1979
1980
Amerika Utara
562.845
567.000
0,9
17,6
18,5
Caribbean Area
221.398
240.545
8,7
6,9
7,8
Amerika Latin lainnya
54.625
56.780
3,9
1,7
1,9
Eropa Barat
108.887
116.665
7,1
3,4
3,8
Eropa Timur & USSR
608.251
625.465
2,8
19,1
20,4
Timur Tengah
1.091.858
956.630
-11,0
34,3
31,2
Afrika
293.310
261.025
12,4
9,2
8,5
Timur Jauh
248.880
241.515
2,8
7,8
7,9
Produksi Dunia
3.189.054
3.065.625
-3,9
100,0
100,0
(dari OPEC)
(1.523.954)
(1.340.830)
-12,0
47,8
43,7
                Sumber: diolah dari Petroleum Economist, January 1981

Dari gambaran ini, akan semakin jelas bahwa peranan OPEC masih sangat besar dan diharapkan dapat diandalkan dijadikan sebagai alat diplomasi. Tentu dengan catatan, diplomasi yang secara nyata atau formal. Karena hingga kini, bahkan dalam pemikiran ini sebenarnya masih dianggap bahwa sejak lama minyak bumi telah dijadikan alat diplomasi oleh beberapa pihak. Tetapi dengan munculnya usaha Tata Ekonomi Dunia Baru sudah waktunya kalau dunia menyatakan bukan saja minyak bumi sebagai alat diplomasi, tetapi juga energi secara keseluruhan sebagai alat diplomasi.

Dari gambaran 1979 dan perkiraan 1980, bahwa produksi minyak OPEC di dunia masih cukup besar ialah di atas 40 persen. Untuk melihat kelompok negara industri kaya akan minyak akan terlihat seperti tabel 5. Dalam tabel ini, penulismencoba memperlihatkan beberapa negara di dunia penghasil minyak yang cukup besar peranannya atau masih diharapkan dapat menjadi besar seperti dari Inggris dan lain-lain. Dalam hal ini, penulismencoba membagi dalam tiga kelompok besar negara penghasil minyak, yaitu kelompok OPEC. Kelompok non-OPEC-non-Komunis, dan kelompok non-OPEC-Komunis.

Tabel 5
Produksi Minyak Dunia 1979 Dan Perkiraan 1980
Atas dasar Perbandingan Kelompok
(ribuan ton)
Kelompok Negara
1979
1980
Perubahan (%)
Bagian Dunia
1979
1980
Produksi Dunia
(3.189.054)
(3.065.625)
(-3,9)
(100,0)
(100,0)
I.(Produksi OPEC)
(1.523.954)
(1.340.830)
-12,0
(47,8)
(43,7)
1.      Saudi Arabia
475.200
495.000
4,2
14,9
16,1
2.      Irak
168.025
138.000
-17,2
5,3
4,5
3.      Iran
151.390
74.000
-15,1
4,7
2,4
4.      -Abudhabi
71.060
65.000
-8,5
2,2
2,1
-Sharjah
646
480
-25,7
-
-
-Dubai
17.720
17.500
-1,2
-
-
5.      Qatar
24.404
22.800
-6,6
-
-
6.      Nigeria
113.479
101.000
-11,0
3,6
3,3
7.      Libya
98.943
85.600
-13,5
3,1
2,8
8.      Aljazair
53.175
44.850
-15,7
1,7
1,5
9.      Gabon
10.300
10.100
-1,9
-
-
10.  Kuwait
127.205
86.000
-32,8
4,0
2,8
11.  Equador
10.515
10.000
-4,9
-
-
12.  Venezuela
122.755
113.000
-7,9
3,8
3,7
13.  Indonesia
79,137
77.500
-2,1
2,5
2,5
II.(Non-OPEC-Komunis)*
(608.251)*
(625.465)*
(-2,8)*
(19,1)*
(20,4)*
USSR
586.000
603.000
2,9
18,4
19,7
RRC
106.150
106.000
-0,1
3,3
3,5
III.(Non-OPEC-Non-Komunis)*
(950.699)
(993.330)
(-4,5)
(29,8)
(32,4)
1.      Amerika Serikat
478.590
485.000
1,3
15,0
15,8
2.      Kanada
83.255
82.000
-1,5
2,6
2,7
3.      Mexico
80.815
110.00
36,5
2,5
3,6
4.      Inggris
77.854
80.000
2,8
2,4
2,6
5.      Norwegia
18.288
23.700
29,6
-
-
6.      Australia
20.522
18.750
-8,6


*belum termasuk RRC
Sumber: diolah dari Petroleum Economist, January, 1981.

Dilihat dari gambaran produksi dewasa ini, nampak sekali peranan OPEC masih tetap kuat. Dilihat dari jangka panjang, jika diukur dari potensi berupa cadangan, juga OPEC masih berperan. Kiranya tepat kalau minyak bumi bagi kelompok negara berkembang baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dapat dimanfaatkan sebagai energi untuk alat diplomasi, walaupun perlu diperhitungkan kemungkinan dari produksi atau cadangan-cadangan non-OPEC-non-Komunis yang tergabung dalam negara-negara industri atau maju yang hingga kini masih enggan untuk melaksanakan Tata Ekonomi Dunia Baru.

Usaha dalam pengendalian produksi dan harga minyak OPEC diharapkan energi sebagai alat diplomasi untuk dikaitkan pada masalah-masalah pokok Tata Ekonomi Dunia Baru sebenarnya dapat segera tercipta. Walaupun dengan catatan, perlu adanya bantuan penuh dari OPEC itu sendiri. Dalam hal ini, diharapkan Indonesia dapat berperan melalui OPEC, bukan saja menyangkut produksi dan harga minyak, tetapi juga menyangkut masalah dana dan minyak OPEC bagi negara berkembang dan dalam kaitannya dengan negara industri yang semakin tergantung akan pengadaan minyak bumi.

Dari gambaran tabel 5 dapat terlihat, bahwa bagi Amerika Serikat dan Inggris nampaknya tidak begitu sulit dalam hal minyak bumi, karena hingga kini, terutama Amerika Serikat mampu menaikkan produksi minyaknya. Bagi Indonesia, mungkin terlalu pagi jika mengemukakan atau mengharap energi sebagai alat diplomasi sebagai suatu kenyataan, karena potensi energi Indonesia berupa minyak bumi masih lebih kecil dibandingkan dengan produksi RRC yang terus mengembangkan usaha eksplorasinya.

Walaupun demikian, dari gambaran kuantitatif posisi Indonesia tidak begitu berarti, tetapi karena Indonesia mempunyai kekuatan politik di forum-forum internasional (oh ya?, Red), terutama di kelompok negara berkembang, maka diharapkan usaha Indonesia untuk mengarahkan OPEC lebih aktif lagi, bukan lagi sebagai suatu tindakan mimpi atau terlalu pagi. Hal ini terbukti dengan adanya usaha pemerintah Indonesia dalam hal Presiden Soeharto pada waktu membuka pertemuan OPEC di Bali, Desember 1980, dimana disinggung pula mengenai harapan serta anjuran yang berbau politik internasional, agar pihak yang berperang, Irak dan Iran, segera menghentikan peperangan. Hal ini dapat dikaitkan bukan saja pada jaminan keamanan nasional itu sendiri, tetapi juga keamanan dunia, terutama keamanan di kawasan negara-negara OPEC.

Keterbatasan Deposit Minyak Bumi

Dilihat dari potensi minyak bumi seperti telah diuraikan, dapat dilihat bahwa cadangan minyak bumi di dunia mungkin akan habis. Tetapi, dalam bagian ini khusus melihat dari segi keterbatasan. Seperti studi-studi yang telah dikemukakan oleh para ahli, bahwa hampir setiap tahun selalu ditemukan sumber-sumber minyak baru, yang kemudian akan menambah besarnya cadangan minyak dunia.

Secara teoritis sudah dapat dipastikan, bahwa minyak bumi di dunia akan habis karena masalah jumlah kebutuhan minyak bumi berkembang bagaikan deret ukur, sedangkan penemuan-penemuan sumber minyak bagaikan deret hitung. Bahkan diperkirakan bahwa minyak akan habis seratus tahun lagi. Tetapi kenyataannya, apakah minyak akan habis seratus tahun lagi? Sulit untuk diramalkan, karena beberapa faktor banyak menentukannya.

Yang pasti karena minyak dunia terbesar berada di negara-negara OPEC, sedangkan konsumsi terbesar berada di negara-negara maju atau industri. Tidak dapat disangkal lagi, jika pada suatu saat negara-negara OPEC secara serentak mengurangi atau menghentikan produksinya, yang kesemuanya akan mengacaukan negara industri. Ada alasan karena inflasi, maka harga minyak OPEC harus tinggi. Ada alasan karena barang-barang industri terlalu mahal. Ada alasan karena negara industri telah menekan komoditi non minyak negara berkembang. Berbagai alasan dapat muncul dalam permainan penentuan harga minyak OPEC. Yang lebih hebat lagi, jika alasan berupa menjaga kelestarian cadangan minyak agar tidak segera habis.

Pengadaan minyak dunia yang berlimpah-limpah sudah berlalu. Harga minyak yang sangat murah juga sudah habis ceritanya. Masalahnya, sekarang bagaimana kontak diplomasi antara negara industri agar mereka tetap kuat sebagai negara industri. Agar mereka tetap menguasai pasaran dunia, karena kecenderungan hasil industri yang berupa peralatan dan angkutan yang menggunakan bahan bakar minyak semakin suram. Tidak mengherankan jika berbagai negara maju atau industri yang penuh dengan dana, penuh dengan keahlian dan teknologi maju, penuh dengan mesin-mesin industri, mencoba mencari jalan keluar dalam masalah energi.

Bagi negara berkembang penghasil minyak mungkin berbeda kepentingan dengan negara industri. Mereka sebagian berpikir bagaimana kelak kalau mereka bangkit menjadi negara industri, kemudian energi apa yang digunakannya. Oleh karena itu, cadangan minyak bumi harus dipertahankan. Negara berkembang penghasil minyak yang tak besar seperti Indonesia seharusnya sudah berpikir demikian.

Lain lagi dengan negara industri, mungkin alasan yang dihadapi selama ini merupakan titik pangkal untuk menyatakan bahwa deposit minyak bumi terbatas. Oleh karena itu, hanya para ahli dari negara maju aindustri saja yang telah berusaha mengadakan publikasi yang berkenaan dengan cadangan minyak. Atas dasar kecemasan, karena deposit terbatas, jumlah penggunaan meningkat apalagi setelah negara berkembang menjadi negara industri, tak dapat terpikir dengan energi apa berbagai peralatan yang biasanya menggunakan minyak bumi harus digerakkan.

Oleh karena itu, berbagai kebijaksanaan negara-negara maju dan juga negara-negara berkembang dalam usaha pengembangan energi lain di luar minyak dijadikan alasan untuk mengurangi ketergantungan akan minyak bumi. Jika seluruh negara di dunia telah berpikir demikian, maka negara industri akan mengalami keuntungan besar untuk jangka panjang. Pertama, negara industri yang kaya akan energi seperti Amerika Serikat dapat menghasilkan energi lain dan juga dapat meningkatkan produksi minyaknya dari negara sendiri.

Kedua, bagi negara-negara berkembang yang kaya akan energi lain dan juga mengandung minyak, akan tergantung dengan negara industri. Bukan saja karena bantuan dana yang besar dari negara maju, juga masalah keahlian, teknologi dan peralatan untuk menghasilkan energi terutama non minyak. Diperkirakan kelak akan terjadi periode baru dalam masalah energi, dari batubara, minyak bumi dan kemudian akan kembali lagi kepada batubara dan energi lain di luar minyak dan batubara. Dimana kesemuanya akan dikuasai oleh negara industri atau maju.

Jika sekarang telah berakhir kerjasama dalam usaha minyak bumi antara negara berkembang dengan negara industri, maka kelak akan muncul perjanjian baru yang menyangkut energi di luar minyak bumi. Keuntungan ketiga, yaitu apabila dahulu negara industri melalui perusahaan minyak raksasanya sebagai penentu harga minyak, maka kelak mereka akan menjadi penentu herga energi lain, bahkan menjadi negara pengekspor energi lain.

Keempat, negara industri telah terhindar dari ketergantungan impor minyak dari OPEC. Sedangkan keuntungan yang kelima, sasaran negara industri yaitu untuk menghasilkan berbagai rupa peralatan atau mesin-mesin khusus dengan bahan energi non minyak. Hal ini bukan saja akan menjadi beban berat bagi negara berkembang, tetapi juga suatu tantangan yang berat bagi OPEC, karena kelak minyak bumi bukan lagi sebagai bahan energi, tetapi terpaksa hanya untuk kepentingan petrokimia selama belum ada bahan energi sintesis lainnya yang akan menggantikan minyak bumi.

Dengan demikian sulit dicarikan ukuran apakah benar, sekarang deposit minyak bumi dunia terbatas. Ataukah hanya dijadikan alasan untuk mempercepat munculnya sumber-sumber energi lain, sekaligus merubah berbagai peralatan atau mesin-mesin hanya dengan menggunakan energi non minyak? Jika dilihat secara teoritis, karena minyak bumi sekali pakai habis, dan bukan sumber energi yang dapat diperbaharui (renewable) maka pada akhirnya akan habis juga. Tetapi kapan?


Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi, Energi dan Diplomasi, 1982.

Ekonomi Migas dari APBN 1969/70 hingga 1985/86

Tahun demi tahun terus maju sesuai perputaran waktu. Garis pembangunan Indonesia semakin jelas dan nyata. Walau beban pembangunan dalam hal penyediaan dana, terutama dari sumber dalam negeri semakin sulit dan berat. Penduduk semakin padat. Oleh karena itu, laju pertumbuhan penduduk Indonesia harus terkendali. Bukan itu saja, penyebaran penduduk harus serasi, agar tidak seperti kapal oleng. Terlalu banyak orang yang kumpul di pulau Jawa, terutama Jakarta (selama 30 tahun yang tidak pernah ada perubahan, sudah diingatkan tetap saja seperti itu, Red), maka penyebaran pembangunan harus merata. Agar tidak ada istilah “di mana ada gula di situ ada semut”. Di mana ada pembangunan atau proyek-proyek di sana banyak orang kumpul mencari makan.

Yang pasti sasaran pembangunan harus dicapai. Masyarakat adil dan makmur harus segera tercipta. Karenanya pembangunan harus diusahakan bersama-sama. Penulisbisa sependapat kalau keberhasilan pembangunan karena keahlian para cendikiawan yang duduk sebagai birokrat. Mungkin masih ada yang perlu dan sangat mewarnai potensi dalam pembangunan apa yang dinamakan sumber kekayaan alam. Jika sumber kekayaan alam habis dan punah. Jika sumber kekayaan alam tidak punya harga lagi, mungkin bagaikan mimpi seorang arsitektur bangunan yang tidak punya kerjaan atau tidak punya modal sama sekali. Minimal dia menjadi pengarang buku yang semakin tebal. Buku itupun mungkin sulit lakunya, karena banyak orang membangun rumah seenaknya saja.

Bicara mengenai pembangunan memang sumber kekayaan alam pegang peranan utama dalam negara-negara manapun. Apalagi di negara berkembang. Apalagi ditambah oleh para cendikiawan yang mampu mengelola hasil atau potensi sumber-sumber kekayaan alam itu. Diharapkan apa yang disasarkan, apa yang diharapkan bisa tercapai. Walau masih perlu bergelut dengan permainan negara maju, baik dalam permainan suku bunga dunia moneter, atau devaluasi atau permainan proteksi (wuih, WTO nih, Red), ditambah lagi permainan politik yang sudah membaur dalam dunia ekonomi dan perdagangan.

Pada tanggal 7 Januari 1985, Presiden Soeharto untuk yang sekian kalinya menyampaikan keterangan pemerintah tentang Rancangan APBN 1985/86 di depan sidang Paripurna DPR. Pada kesempatan ini, Presiden menyatakan dengan tegas bahwa seusai dengan yang ditetapkan dalam GBHN dalam menyusun APBN 1985/86 tetap digunakan prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis. Demikian juga Trilogi pembangunan tetap merupakan kebijaksanaan dasar dalam menyusun RAPBN 1985/86. Karena itu, demikian Presiden, keseluruhan arah dan program-program nasional ditujukan untuk terus meratakan pembangunan, menumbuhkan ekonomi dan memelihara stabilitas nasional. Khusus untuk usaha pemerataan, maka delapan Jalur Pemertaaan tetap merupan pembimbing jalan yang kita tempuh, demikian Presiden.

Diplomasi Antar Negara

Peran non migas memang perlu digalakkan terus, penggalakkan itu sudah pasti tidak bisa lepas dari keadaan pasaran dalam negeri, dan yang lebih penting lagi keadaan kebijaksanaan perdagangan luar negeri baik terhadap Indonesia maupun terhadap kelompok negara-negara berkembang.

Mungkin peranan diplomasi dalam berpolitik bisa pula menunjang keberhasilan ekspor Indonesia. Hubungan bilateral perlu digalakkan terus. Apalagi hubungan multilateral. Mungkin orang akan bertanya mengapa Jepang semakin akrab dengan RRC. Seperti yang penulis tulis pada media massa Sinar Harapan, 7 Juni 1973 dengan judul Jepang Beli Sejuta Ton Minyak dari RRC, dalam tulisan tersebut penulis kemukakan sebagai berikut

Jepang sejak pagi-pagi sudah berusaha menanam modal, investasi, kontrak-kontrak dengan negara penghasil minyak bumi untuk menjamin masa depan industrinya yang sekaligus untuk menjamin kenaikan pendapatan per kapita pertahunnya. Jadi jelas di satu pihak Jepang juga melakukan diversifikasi dalam sumber-sumber minyak dan gas buminya dari berbagai negara, terutama negara tetangga, di lain pihak kepentingan politik dan pelemparan barang-barang industrinya. Kini Jepang semakin jelas untuk mengimpor minyak bumi dari RRC lebih banyak lagi. Alasannya masuk akal. Karena RRC belakangan ini banyak kebanjiran impor barang-barang hasil industri Jepang. Risiko dari banyak impor harus diimbangi bayar dengan apa. Jawabnya singkat dengan devisa ekspor berupa eskpor minyak bumi dan mungkin kelak Jepang dengan mudahnya meloloskan pipa-pipa gas alamnya ke RRC. Mungkin ini perlu dicatat, perlu pula direnungkan yang bisa mempengaruhi ekonomi migas OPEC, terutama ekonomi migas Indonesia.

Kiranya tepat, kalau gejolak dunia ikut melanda lesunya pasaran minyak dunia, bisa mempengaruhi ekonomi OPEC yang berupa ekonomi migas. Bagi Indonesia juga semakin terasa. Hal itu dikemukakan pula oleh Presiden Soeharto yang antara lain mengatakan, bahwa dalam pada itu sangat besar peranan minyak dan gas alam dalam perekonomian Indonesia juga harus mengundang kesadaran dan kewaspadaan, karena berhubungan dengan akibat-akibat yang mungkin terjadi terhadap penerimaan negara dan penerimaan devisa bila penurunan harga atau jumlah produksi dan ekspor minyak bumi dan gas alam kita (penerimaan negara atau penerimaan ‘lokal’ nih, mungkinkah kamuflase? jatah ‘kue’ jadi mengecil kalau turun penerimaannya, Red).

Dengan menyadari sangat besarnya peranan minyak bumi dan gas alam terhadap perekonomian nasional dan kemungkinan-kemungkinan di masa mendatang, maka telah diambil beberapa langkah yang menyeluruh. Adapun langkah-langkah pokok yang telah diambil sebagai berikut.

Pertama, untuk menambah sebanyak mungkin jumlah cadangan minyak bumi dan gas alam, maka secara terus menerus diusahakan kegiatan eksplorasi minyak dan gas alam.

Kedua, agar tetap tersedia jumlah minyak bumi dan gas alam yang cukup besar diekspor, maka diusahakan penghematan minyak bumi di dalam negeri, atara lain dengan mengembangkan penggunaan sumber-sumber energi lainnya, seperti air, batubara, panas bumi dan sebagainya sebagai pembangkit tenaga listrik (sampai sudah net importir minyak pun masih juga belum dikembangkan tuh, malah dipandang sebelah mata melulu, giliran harga BBM naik pada ribut, terutama ribut jatahnya, Red).

Ketiga, mengusahakan terus peningkatan nilai ekspor minyak bumi dan gas alam baik dengan jalan memanfaatkan dan mengolah sumber kekayaan alam itu, maupun mengusahakan perluasan pasaran minyak bumi dan gas alam, di samping usaha yang terus menerus untuk menjaga kestabilan pasaran minyak bumi bersama-sama negara OPEC lainnya (tak heran dari dulu penulis menginginkan Indonesia keluar dari OPEC sewaktu masih punya cadangan cukup, karena harus bertanggung jawab menjaga kestabilan pasaran minyak bumi, namun nasi sudah menjadi bubur, memang Indonesia keluar dari OPEC, tapi bukan karena inisiatif atau kesadaraan, melainkan sudah tidak mampu lagi mengekspor minyak mentah, Red).

Keempat, lebih memperluas komposisi ekspor Indonesia melalui peningkatan ekspor di luar minyak bumi dan gas alam guna mengamankan penerimaan devisa bagi pembiayaan pembangunan (tapi kayaknya lebih senang dapat bantuan pinjaman, bantuan atau pinjaman? dua kata yang berbeda makna loh, Red).

Kelima, memperluas dasar komposisi penerimaan negara melalui penerimaan negara di luar minyak bumi dan gas alam dengan pembaharuan sistem perpajakan (pantas, jatah ‘kue’nya pindah, Red). Di samping itu, diusahakan pula mobilisasi tabungan masyarakat untuk pembangunan melalui pembaharuan kebijaksaan moneter dan sistem perbankan (apakah ini yang dimaksud mengeluarkan obligasi atau ORI? tapi yang nabung hampir 70 persen malah bukan masyarakat Indonesia sendiri, dan bahkan ada gerakan menabung, tapi kandas karena tabungan terkikis dengan biaya administrasi, Red).

Dari sana jelas sekali, usaha pencegahan oleh pemerintah dalam menghadapi gejolak kurang baik terhadap ekonomi migas Indonesia, memang dibutuhkan langkah-langkah tersebut. walaupun demikian, hingga kini ekonomi migas masih tetap memberikan warna bahkan cukup menentukan pembangunan di Indonesia (tidak setelah menjadi net importir minyak sejak 2003, Red).

Seperti yang penulis kemukakan dalam OPEC Buletin, Oktober 1984, dengan judul World Oil and Indonesia’s Economy, antara lain

Higher oil price between 1973 and 1982 had a positive impact on Indonesia’s economy. However, with the establishment of production allocation for OPEC members and a decline in volume of exports have suffered as a result the negative impact of a decline in volume of exports was compounded by a falling price as well. Growth in oil prices meant high state revenues and rise in the nation’s volume of savings. As oil prices rose oil and gas came to occupy a dominant role in the role nation’s balance of payment and in terms of GDP, the sector of mining (oil and gas in particular) replaced agriculture as the dominant sector of the domestic economy.

Karena secara jalan singkat dari kacamata perhitungan angka-angka APBN terutama lewat penerimaan dalam negeri dari minyak dan gas alam, cukup mengejutkan. Semakin besar jumlah penerimaan dalam negeri, apalagi pengeluaran rutin bisa ditekan, maka tabungan pemerintah bisa melonjak. Tabungan ini merupakan salah satu tongkat penentu keberhasilan pembangunan karena sebagai sumber dana pembangunan.

Kiranya tidak berlebihan penulis mencoba mengamati perkembangan ekonomi migas yang dilihat lewat perkembangan sumber penerimaan dalam negeri atau lewat APBN 1969/70 hingga yang terakhir.

RAPBN 1985/86

Semua media massa cetak, terutama surat kabar telah memuat tabel mengenai APBN 1984/85 dan RAPBN 1985/86 (sekarang masih ga ya? bahkan, mendapatkan dari Kementerian Keuangan aja ga boleh, setiap konferensi media tidak pernah boleh diminta softcopy-nya, Red). Secara angka nominal rupiah memang jumlah RAPBN 1985/86 mengalami kenaikan, jika dibandingkan dengan APBN 1984/85, yaitu dari Rp20.560,4 miliar menjadi Rp23.046 miliar pada 1985/86 atau naik 12,1 persen.

Penerimaan dalam negeri untuk 1985/86 diperkirakan naik dari Rp16.149,4 miliar menjadi Rp18.677,9 miliar atau naik 15,7 persen. Peranan utama penerimaan dalam negeri masih jelas berasal dari ekonomi migas, yaitu dari mata anggaran penerimaan minyak bumi dan gas alam, jumlahnya atau peranannya dari Rp10,366,6 miliar pada 1984/85 menjadi Rp11.159,7 miliar atau naik 7,7 persen.

Dalam RAPBN 1984/85 semakin jelas, dimana LNG semakin menggebu, karena kemunculannya yang cukup menyolok dan meyakinkan. Peranan LNG pada 1984/85 hanya Rp1.417,5 miliar, pada 1985/86 diharapkan bisa naik menjadi Rp1.680,1 miliar atau naik sebesar 14,2 persen, selebihnya berasal dari minyak bumi.

Walaupun diperkirakan pengeluaran rutin akan naik dari Rp10.101,1 miliar menjadi Rp12.399 miliar atau naik sangat besar dengan angka 22,7 persen (buat apa aja ya, pengeluaran rutin naik melulu?, Red), tetapi tabungan pemerintah (jumlah penerimaan dalam negeri minus pengeluaran rutin) naik dari Rp6.048,3 miliar menjadi Rp6.278,9 miliar atau naik 3,8 persen. Semakin jelas, peranan ekonomi migas dalam pembangunan masih cukup besar, apalagi mengingat dilihat dari penerimaan pembangunan mengalami penurunan atau minus satu persen, sedangkan untuk pengeluaran pembangunan naik 1,8 persen. Masalahnya, penerimaan bangunan pembangunan untuk bantuan proyek minus 1,7 persen. Oleh karena itu, kembali pada peranan tabungan pemerintah lagi. Di satu pihak pengeluaran rutin naik, di lain pihak penerimaan pembangunan dalam bantuan proyek turun, maka pengeluaran pembangunan untuk bantuan proyek juga minus atau turun, tetapi pengeluaran pembangunan dengan pembiayaan rupiah naik 4,3 persen.

Dilihat dari penerimaan dalam negeri, peranan ekonomi migas terutama yang berasal dari anggaran penerimaan migas pada 1984/85 sebesar 64,2 persen, maka pada 1985/86 diperkirakan sedikit turun hanya menjadi sekitar 59,75 persen dari seluruh penerimaan dalam negeri (sudah diperingatkan, penerimaan migas bukan lagi menjadi penopang utama APBN, Red).

Walaupun demikian, kita masih harus bersyukur, masih tetap sebagai negara yang mampu mengekspor minyak bumi dan gas alam, mampu menyediakan kebutuhan bahan bakar minyak, bisa dibayangkan kalau negara kita miskin akan minyak dan gas bumi, kita sebagai pengimpor minyak hasil pengolahan (sayangnya, sudah terjadi, Indonesia bukan lagi negara kaya akan minyak, dan gas bumi semakin menipis cadangannya, Red). Di satu pihak penerimaan tidak bisa sebesar itu, di lain pihak pengeluaran untuk membeli bahan bakar minyak semakin membengkak.

Peranan Migas Sejak 1969/70

Sebagai ingatan, mungkin ada baiknya kalau peranan ekonomi migas terutama yang berupa penerimaan migas yang selalu tertulus dalam setiap pengajuan RAPBN bisa diingat kembali. Mungkin bagi mereka yang senang bermain dalam angka untuk membuat proyeksi atas dasar angka time series bisa mencobanya. Walau untuk membuat ramalan berapa besarnya penerimaan hasil migas atau mendatangkannya, sangat ditentukan keadaan permintaan dan penawaran minyak dunia. Tetapi secara ilmiah, bisa saja dibuat angka proyeksinya. Pada tabel berikut penulis hanya ingin melihat bagaimana perkembangan peranan migas, jika dibandingkan dengan jumlah penerimaan dalam negeri dari tahun anggaran 1969/70 hingga 1985/86.

Peranan Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam
Terhadap Jumlah Penerimaan Dalam Negeri
(miliaran Rupiah)
Tahun
Jumlah Penerimaan Dalam Negeri
Dari Migas
(Minyak dan LNG)
Pelita I
  1969/70
243,7
65,8
  1970/71
344,6
99,2
  1971/72
428,0
140,7
  1972/73
590,6
230,5
  1973/74
967,7
382,2
Pelita II
  1974/75
1.753,7
957,2
  1975/76
2.241,9
1.248,0
  1976/77
2.906,4
1.635,3
  1977/78
3.535,4
1.948,7
  1978/79
4.266,1
2.308,7
Pelita III
  1979/80
6.696,8
4.259,6
  1980/81
10.227,0
7.019,6
  1981/82
12.212,6
8,627,8
  1982/83
12.418,3
8.170,4
  1983/84
14.432,7
9.520,2
Pelita IV
  1984/85
16.149,4
10.366,6
  1985/86*
18.677,9
11.159,7
            *RAPBN
                Sumber: Nota Keuangan 1984/85 dan RAPBN 1985/65


Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi Mengubah Ekonomi Dunia, 1985; Sinar Harapan, 24 Januari 1985.

Ekonomi Minyak dan Gas Bumi dari Pelita ke Pelita

Banyak Terjadi Pergeseran

Pengaruh ekonomi dan moneter luar negeri baik yang positif maupun yang negatif terhadap Indonesia sulit dihindarkan. Kalau positif jelas sangat menguntungkan masyarakat. Sebaliknya kalau negatif seperti keadaan sekarang memang sangat merugikan. Masalahnya bangsa Indonesia hidup dan tumbuh dalam ekonomi terbuka. Mengapa penulis menganggap demikian, karena ukutan untuk ekonomi terbuka umumnya kalau peranan ekspor terhadap Produk Nasional Bruto (PNB/GNP) minimal 10 persen. Misalnya, pada 1969 atas dasar harga berlaku, GNP mencapai nilai Rp2.683,1 miliar, sedangkan ekspor barang dan jasa sebesar Rp328,4 miliar yang berarti 12,24 persen dari GNP.

Dalam keadaan Indonesia mengalami puncak keberhasilan ekspor, terutama dari hasil minyak dan gas bumi, seperti pada keadaan 1982, dimana hasil ekspor barang dan jasa mencapai nilai Rp14.927,9 miliar sedangkan GNP mencapai Rp54.027,0 miliar. Yang berarti hasil ekspor sebesar 27,6 persen lebih dari GNP.

Apa yang menjadi penyebab utama Indonesia semakin terpengaruh dari gejolak internasional. Jawaban yang tepat karena jumlah dan nilai ekspor minyak bumi ditambah lagi keberhasilan LNG sebagai sumber devisa yang besar, kesemuanya terus meningkat.

Dengan meningkatnya hasil ekspor minyak dan gas bumi yang ditunjang dengan kenaikan harga minyak terutama dimulai akhir 1973 hingga 1981, ternyata peranan minyak dan gas bumi mampu menggeser berbagai unsur atau berbagai sektor. Baik akan terlihat adanya gejolak terhadap perkembangan neraca perdagangan atau semakin kuatnya neraca pembayaran, membesarnya sumber penerimaan dalam negeri lewat pajak penghasilan (dahulu pajak perseroan) dari minyak, meningkatkan potensi tabungan pemerintah, dan juga pada gilirannya akan meningkatnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB/GDP) maupun PNB/GNP, karena adanya perkembangan investasi, dan juga perkembangan impor terutama untuk barang-barang modal.

Ganggu Cadangan Devisa

Karena hasil ekspor meningkat, maka impor juga cenderung meningkat. Kalau saja impor yang bersifat konsumtif meningkat, apalagi impor untuk hasil-hasil pertanian, sudah pasti akibatnya akan memukul perkembangan hasil pertanian dalam negeri. Kalau memang peningkatan impor terbesar berupa barang-barang modal, dalam keadaan hasil ekspor dari minyak dan gas bumi yang mengendor, memang perlu pula dikendalikan barang-barang modal mana yang utama. Jika tidak, Neraca Pembayaran akan terganggu, apalagi kalau kecenderungan pemasukan modal dari luar negeri (pinjaman, SDR, dan modal asing) ikut latah mengendor. Akhirnya akan mengganggu cadangan devisa. Jika cadangan devisa mengendor, mungkin tidak heran kalau tindakan devaluasi sebagai jawaban yang kurang menyenangkan berbagai pihak.

Itu kalau minyak dan gas bumi dilihat sebagai sumber devisa atau sebagai salah satu komoditi ekspor yang hingga kini masih tetap bagaikan jantung pembiayaan pembangunan. Tentu akan menjadi lebih komplek lagi, jika dilihat dari pengadaan kebutuhan BBM bagi dalam negeri yang cenderung meningkat. Karena BBM tidak bisa lepas pula dari harga minyak internasional, maka dengan adanya kenaikan harga minyak atau mahalnya harga minyak di dunia, berarti biaya produksi untuk menghasilkan BBM juga meningkat. Kenaikan biaya produksi BBM seharusnya diimbangi dengan kenaikan harga BBM. Kenaikan BBM pada gilirannya juga akan merangsang berbagai  produk mengalami kenaikan biaya produksi. Dengan demikian, berarti akibat adanya kenaikan harga BBM akan memberi akibat tekanan inflasi. Sedangkan, inflasi yang didorong karena kenaikan ongkos produksi inilah yang dinamakan cost push inflation.

Dengan gambaran singkat di atas jelas sekali betapa rumitnya peranan dari naik turunannya dan harga minyak bumi bagi negara berkembang yang terbesar sangat mengharapkan dari hasil minyak dan gas buminya.

Komoditi ekspor minyak dan gas bumi terutama bagi anggota OPEC, termasuk Indonesia sudah bagaikan jantung (tapi jantungnya sudah copot, karena Indonesia tidak lagi menjadi anggota OPEC sejak 2008 dan net importir minyak sejak 2003, Red). Setiap perubahan produksi, jumlah ekspor dan harga sudah pasti akan menggangu berbagai segi. Masalahnya ekspor non migas belum bisa seampuh minyak dan gas bumi, karena harganya sudah sangat wajar. Tentu akan lain lagi bagi negara maju atau industri yang juga sebagai pengekspor minyak dan gas bumi, mereka masih ada komoditi ekspor lain, yaitu hasil industri. Oleh karena itu, bagi negara maju atau industri jika jantungnya rusak, bisa segera dicangkok. Tentu akan lain lagi dengan OPEC, terutama Indonesia. Jika hasil ekspor dari minyak dan gas bumi (LNG) mengendor, maka kita harus segera mencari jalan keluarnya.

Pinjaman dan Hasil Ekspor

Salah satu jalan yang baru saja berhasil, yaitu adanya kepercayaan luar negeri untuk memberikan pinjaman US$750 juta bagi Indonesia, seperti yang dilaporkan Kompas, 19 Maret 1985.

Dibalik rasa gembira karena luar negeri masih percaya, tentu jumlah itu masih kurang begitu besar jika dibandingkan karena mengendornya hasil ekspor minyak bumi, baik karena adanya pengendalian jumlah produksi maupun penurunan harga minyak bumi. Hal ini terlihat dari hasil ekspor minyak dan gas bumi pada 1981/82 mencapai US$19.436 juga atau mencapai 82,3 persen lebih dari dari seluruh hasil ekspor Indonesia pada tahun tersebut. Maka, dengan adanya pengedoran produksi dan lesunya ekspor minyak, maka pada 1982/83 hasil ekspor minyak dan gas bumi anjlok menjadi US$14.976 juta (79,4 persen dari hasil seluruh ekspor). Dengan kata lain, hasil ekspor minyak dan gas bumi turun sebanyak US$4.460 juta atau turun 22,9 persen.

Kalau saja dibandingkan dengan pinjaman yang sebesar US$750 juta yang bisa sebagai salah satu penambah memperkuat neraca pembayaran sekaligus menambah cadangan devisa, memang jumlah itu masih belum mampu menutupi anjloknya dari hasil ekspor minyak. Tetapi apa boleh buat, dari pada nol sama sekali. Yang pasti sumber kekayaan Indonesia dan para pemimpin Indonesia masih mendapatkan luar negeri, penulis mencoba menghayal. Kalau apa yang penulis pernah uraikan di suatu media massa, agar kalau OPEC mau menurunkan produksi supaya dibagi berdasarkan per kapita produksi, mungkin untuk mencapai produksi OPEC pada tingkat 17,5 barel per hari, Indonesia tak perlu terkena.

Walau timbul reaksi dalam hati, jika produksi tetap, pasarannya lemah atau yang mau impor juga menguranginya, mau dikemanakan kelebihannya? Jawabnya, mungkin akan sampai pada pendekatan bilateral, kepercayaan luar negeri terutama Amerika Serikat yang langsung atau tidak langsung lewat para kontraktor minyaknya sangat berkepentingan dengan jumlah tanggungan pembangunan alias kepadatan penduduk. Begitu juga dengan Jepang, baik yang lansung atau tidak langsung juga tempat pelemparan hasil industrinya terutama barang-barang modal. Kesemuanya hanya bisa dicapai lewat diplomasi, lewat saling percaya dan saling menguntungkan. Tetapi khayalan penulis itu hanya tinggal harapan, masalahnya OPEC sudah mengetukkan palu seperti sekarang. Sehingga bangsa Indonesia harus prihatian, walau di balik keprihatian itu sektor non migas mungkin dirangsang bangkit kembali. Sektor pertanian harus bangkit.

Itulah gambaran betapa penting uang atau devisa minyak dan gas bumi bagi Indonesia. Sebagai gambaran perkembangan nilai minyak dan gas bumi yang semakin jelas perkembangannya dari Pelita I hingga Pelita III dan Pelita IV masih juga diharapkan. Penulis mencoba melihat dara perkembangan nilai itu lewat realisasi APBN, Neraca Pembayaran dan  PDB/GDP maupun PNB/GNP.

Lewat APBN

Yang perlu dilihat hasil nilai minyak dan gas bumi lewat APBN, yaitu sumbangannya yang semakin besar dalam pembentukan tabungan pemerintah (selisih antara jumlah penerimaan dalam negeri dikurang jumlah pengeluaran rutin). Dengan terus melonjaknya sumber penerimaan dalam negeri dari pajak penghasilan minyak (dahulu pajak perseroan minyak dan hasil lainnya), ternyata sejak awal Pelita II besarnya Tabungan Pemerintah mampu melampaui sumber dana dari bantuan luar negeri (bantuan program plus bantuan proyek). Selama Pelita I jumlah seluruh tabungan pemerintah hanya sebesar Rp569,4 miliar (dulu masih punya tabungan, sekarang? Kalau defisit, artinya tabungan ludes dong, Red), sedangkan bantuan luar negeri berjumlah Rp708,6 miliar. Selama Pelita I (1969/70 – 1973/1974) hasil dari pajak penghasilan minyak dan gas bumi (LNG) dan penerimaan lainnya sebesar Rp918,4 miliar atau 35,7 persen dari jumlah seluruh penerimaan dalam negeri Pelita I.

Selama Pelita II realisasi dari tabungan pemerintah (1974/75 – 1978/1979) melonjak menjadi Rp5.832 miliar, sedangkan jumlah dari bantuan luar negeri hanya Rp3.316,3 miliar. Yang berarti dana pembangunan selama Pelita II melonjak dari Rp1.278 miliar pada realisasi Pelita I menjadi Rp9.148,3 miliar (enak ya dikasih bantuan melulu, Red). Adapun sumbangan dari pajak penghasilan minyak dan gas bumi plus penerimaan minyak lainnya mencapai Rp8.097,9 miliar atau berarti 55,1 persen dari seluruh realisasi penerimaan dalam negeri.

Selama Repelita III (1979/80 – 1983/84) jumlah realisasi tabungan pemerintah terus melonjak menjadi Rp24.267,5 miliar, sedangkan bantuan luar negeri hanya berjumlah Rp9.265,7 miliar. Dengan kata lain, sejak awal Pelita II telah ada pergeseran besar dari ketergantungan dengan bantuan luar negeri beralih kepada menggali sumber dana pembangunan jauh lebih besar. Selama Peita III penerimaan dari pajak penghasilan minyak terus melonjak tinggi menjadi Rp36.946,5 miliar atau mencapai 66,7 persen dari seluruh penerimaan dalam negeri (catatan angka 1983/84 masih APBN).

Dari gambaran umum itu, semakin terlihat jelas bahwa dana pembangunan selama Pelita III yang melonjak menjadi Rp33.533,2 miliar terbesar ditunjang oleh hasil dari minyak dan gas bumi melalui pajak penghasilan. Dana pembangunan inilah yang sekaligus bisa menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Dengan dana pembangunan sebesar itulah memungkinkan munculnya ribuan proyek-proyek pembangunan. Tetapi dengan mengendornya penerimaan dari pajak penghasilan minyak dan gas bumi, semuanya harus prihatin (benar sekali, sangat memprihatikan malahan, ntah kemana juga dana pembangunannya, Red).

Lewat Neraca Pembayaran

Walaupun sejak awal tahun pertama Pelita I ekspor minyak dan gas bumi hingga 1981/82 terus melonjak, yaitu US$384 juta pada 1969/70 menjadi US$19.436 juta pada 1981/82, tetapi karena nilai impor barang dan jasa-jasa terus meningkat, maka transaksi berjalan hanya mengalami positif pada 1979/80 sebesar US$1.577 juta (ekspor minyak dan gas bumi mencapai US$11.649 juta) dan 1980/81 positif US$439 juta (ekspor minyak dan gas bumi US$16.883 juta), selainnya adalah negatif selama Pelita I, II dan III. Adapun cukup memprihatinkan, aitu pada 1982/83 dimana transaksi berjalan (ekspor minus impor minus jasa-jasa) mengalami minus terbesar sepanjang sejarah Pelita I hingga III, yaitu sebesar minus US$6.609 juta. Pada 1983/84 diperkirakan US$5.058 juta. Keadaan ini cukup memprihatikan, karena banyak mengganggu cadangan devisa Indonesia. Oleh karena itu, berbagai tindakan telah diambil, misalnya usaha meningkatkan kelebihan pemasukkan modal di luar sektor moneter dan sebagainya.

Setelah transaksi berjalan (neraca perdagangan barang dan jasa) ditambah SDR, pemasukan modal pemerintah, lalu lintas modal lainnya dikurang pembayaran utang, terlihat pada tabel.

Tabel. Neraca Pembayaran dari Pelita ke Pelita
Tahun
Nilai Neraca Pembayaran
Pelita I
  1969/70
(-) US$99 Juta
  1970/71
(+) US$77 Juta
  1971/72
(+) US$94 Juta
  1972/73
(+) US$338 Juta
  1973/74
(+) US$355 Juta
Pelita II
  1974/75
(+) US$302 Juta
  1975/76
(-) US$11 Juta
  1976/77
(+) US$893 Juta
  1977/78
(+) US$831 Juta
  1978/79
(+) US$770 Juta
Pelita III
  1979/80
(+) US$2.014 Juta
  1980/81*
(+) US$2.221 Juta
  1981/82
(+) US$862 Juta
  1982/83
(-) US$2.047 Juta
  1983/84**
(+) US$1.601 Juta
*pada waktu harga minyak memuncak
**nilai harapan/perkiraan

Pada 1982/83 merupakan tahun yang sangat memprihatinkan, dan diharapkan pada 1983/84 bisa menjadi plus. Mengapa diharapkan bisa plus, terutama dengan cara menekan impor minus 3,5 persen, jasa-jasa minus 11,3 persen, peningkatan pemasukan modal pemerintah (bantuan program, bantuan proyek dan lain-lain) sebesar 69,4 persen semuanya dibandingkan dengan 1982/83. Pada tahun tersebut, tertulis lalu lintas moneter plus US$3.279 juta yang berarti cadangan devisa berkurang sebesar itu.

Yang jelas, karena hasil ekspor dan gas bumi masih sangat besar, sehingga neraca pembayaran Indonesia dari Pelita I hingga Pelita III masih termasuk sehat. Tentu akan lain lagi, jika tanpa adanya minyak yang kemudian ditunjang lagi dengan hasil ekspor LNG.

Lewat PDB/GDP

Atas dasar harga yang berlaku, pertumbuhan PDB/GDP Indonesia sejak 1969 hingga 1982 (sementara) baru terlihat melonjaknya pada 1973 dimana peranan dari sektor pertambangan dan penggalian yang terutama dari hasil minyak bumi yang harganya mulai baik dan terus meningkat.  
  • 1969, PDB/GDP hanya mencapai Rp2.718 miliar dimana peranan sektor pertambangan dan penggalian hanya Rp129 miliar atau hanya 4,7 persen, sedangkan untuk pertanian 49,3 persen dari PDB/GDP.
  • 1973, PDB/GDP Indonesia naik menjadi Rp6.753,4 miliar dimana sektor pertambangan dan penggalian Rp831 miliar atau 12,3 persen dari PDB/GDP.
  • 1977, PDB/GDP melonjak terus menjadi Rp19.033 miliar, dimana dari pertambangan dan penggalian naik terus menjadi Rp3.599,7 miliar atau 18,9 persen dari PDB/GDP.
  • 1980, PDB/GDP mencapai Rp45.445,7 miliar, dimana peranan dari sektor pertambangan penggalian terutama dari minyak dan gas bumi sebesar Rp11.672 miliar atau 25,7 persen dari PDB/GDP, dan merupakan puncak tertinggi yang mampu menggeser sektor pertanian/kehutanan/perikanan yang hanya 24,8 persen
  • 1981, Peranan pertambangan dan penggalian turun menjadi 24 persen dari PDB/GDP yang mencapai Rp54.027 miliar
  • 1982, PDB/GDP naik menjadi Rp59.632,6 miliar, dimana sektor pertambangan penggalian berperan sebesar 19,6 persennya.

Dengan melonjaknya hasil dari minyak dan gas bumi, maka sektor pertambangan dan penggalian sejak 1972 telah menggeser peranan industri. Bahkan pada 1980 sempat menggeser sektor pertanian. Walau harus diakui bahwa PDB/GDP atau PNB/GNP per kapita yang tinggi dan terbesar ditunjang oleh sub sektor minyak dan gas bumi, karena merupakan penghasilan negara dan kontraktor nampaknya kurang realis, jika dibandingkan kalau PDB atau PNB per kapita ditunjang oleh sektor pertanian, industri, perdagangan dan sebagainya karena terbesar milik atau penghasilan rakyat/swasta. Oleh karena itu, pemerintah harus pandai-pandai memanfaatkan uang minyak dan gas bumi bagi pembangunan seluruh tanah air yang terdiri dari ribuan pulau dan jumlah penduduknya yang banyak ini.

Dengan kata lain, kalau PDB/GDP atau PNB/GNP per kapita yang tinggi, karena terbesar ditunjang oleh non migas bagaikan kalau banjir airnya berasal dari laut, maka seluruh pulau akan kebanjiran. Sebaliknya kalau dari migas, karena merupakan penghasilan negara dan juga para kontraktor, maka arus banjir hanya bagaikan dari salah satu sungai saja. Dimana yang terkena banjir hanya sepanjang tepi sungai tersebut.

Oleh karena itu, tepatlah jika kelak, terutama ekspor Indonesia tidak lagi sangat bersandar pada satu komoditi ekspor seperti minyak dan gas bumi, tetapi harus diperluas dan ditingkatkan dari hasil non minyak dan non gas bumi.

Itulah gambaran perkembangan nilai minyak dan gas bumi dari Pelita ke Pelita yang cukup mendebarkan hati, jika nilai ekspornya semakin merosot sedangkan sektor-sektor non minyak dan non gas bumi belum siap tampil sebagai penggantinya.

Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi Mengubah Ekonomi Dunia, 1985; Kompas, 2 April 1984.