Perjalanan Serta Peran Minyak dan Gas Bumi Indonesia (Bagian 1)

Upaya pencarian minyak di Indonesia telah dimulai sejak 1871. Baru pada 1883 secara kebetulan dijumpainya tanda-tanda terdapatnya minyak bumi di sekitar Telaga Tunggal oleh AJ Zijlker. Pada tanggal 15 Juni 1885, setelah memperoleh konsesi dari Sultan Langkat dia berhasil menemukan sumur minyak pada sumur Telaga Tunggal dengan cadangan yang cukup ekonomis. Lapangan ini kemudian dikenal dengan Telaga Said.

Keberhasilan tersebut membuka peluang banyak perusahaan-perusahaan yang mencari minyak dan mengusahakannya. Hal ini terbukti semakin meluasnya penemuan-penemuan lapangan minyak di Indonesia seperti di Surabaya, Cepu, Jambi, Aceh Timur, Palembang dan Kalimantan Timur. Bahkan, sejak pemerintahan Orde Baru dengan masuknya para kontraktor minyak asing, semakin banyak lapangan minyak dan gas bumi (migas) yang ditemukan dan dihasilkan, termasuk juga hasil minyak dan gas bumi dari lepas pantai (offshore).

Hingga 1970, minyak dan gas bumi yang dihasilkan hanya berasal dari daratan (onshore). Eksplorasi besar-besaran dimulai sejak 1966 (mulai pemerintah Orde Baru), baik eksplorasi di daratan maupun di lautan. Baik yang dilakukan oleh Pertamina sendiri maupun oleh kontraktor minyak asing, terutama atas dasar kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC).

Sebagai hasilnya, mulai 1971 lapangan dari lepas pantai mulai berproduksi. Pelonggokan minyak dan gas bumi di Indonesia berkaitan erat dengan cekungan sedimen berumur tersier.

Tahana (status) eksplorasi dewasa ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut,

  • Cekungan yang telah lama menghasilkan dengan hasil eksplorasi sebelum 1965, dengan penerapan berbagai cara modern menunjukkan bahwa longgokan hidrokarbon masih dapat dijumpai di cekungan tersebut, seperti cekungan di Sumatera Utara, Tengah, Selatan, Timur Laut dan Tenggara, Jawa, Kutai dan Tarakan di Kalimantan Timur, serta di Salawati Irian Jaya.
  • Wilayah kerja yang sebelumnya dianggap kurang menarik ternyata masih banyak kontraktor yang berminat seperti Muara Kampar dan daerah Dumai, masing-masing oleh Total dan Esso.
  • Cekungan di Indonesia bagian Timur cukup menarik, walaupun sebelumnya kurang menarik, karena adanya penemuan di wilayah kerja Union Texas di Tomori blok Sulawesi Tengah melalui penemuan struktur Tiaka.
  • Cekungan yang sudah ada petunjuknya dan yang membutuhkan penelitian lebih lanjut termasuk cekungan yang terdapat di sekitar laut Arafura, Maluku

Mutu dan sifat minyak bumi dari lapangan Sumatera dan Jawa berdasarkan parafin, kecuali dari lapangan Kenali Asam di Jambi dan Kruka di Jawa Timur yang berdasarkan parafin aspal dan aspal. Minyak bumi dari lapangan Kalimantan umumnya berdasarkan parafin aspal dan juga minyak dari Klamono, Irian Jaya.

Berat jenis minyak bumi Indonesia berdasarkan parafin berkisar antara 20­­o API dan 45o API, yang berdasarkan parafin aspal antara 20oAPI dan 35o API, dan berdasarkan aspal antara 17o dan 28oAPI. Tanpa pengecualian, kada belerang minyak Indonesia sangat rendah, rata-rata hanya 0,1 persen dan 0,4 persen.

Dari hasil kegiatan eksplorasi dan hasil kegiatan Enhanced Oil Recovery(EOR), ternyata adanya peningkatan cadangan dan rasio cadangan dengan produksi yang dapat dipertahankan pada tingkat yang masih aman. Sumber daya minyak bumi yang tersedia diperkirakan mencapai 50 miliar barel, yang tersimpan dalam 60 cekungan. Sedangkan, cadangan gas bumi diperkirakan sekitar 97 triliun kaki kubik yang terdiri dari 74,3 triliun kaki kubik cadangan terbukti (proven) dan 22,7 triliun kaki kubik cadangan potensial yang tersebar di daerah kerja Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kepulauan Natuna dan Sulawesi Selatan.

Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang disingkat dengan Pertamina, merupakan satu-satunya BUMN yang bergerak dalam usaha bidang minyak dan gas bumi yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan, dan penjualan.

Kepada Pertamina disediakan seluruh wilayah hukum pertambangan minyak dan gas bumi. Pertamina dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk PSC. Dewasa ini perusahaan yang bergerak juga terdapat kontraktor minyak asing. Hingga akhir 1988 jumlah perusahaan yang bekerja atas dasar kontrak sebanyak 68 perusahaan, terdiri dari 2 perusahaan atas dasar Kontrak Karya dan 66 atas dasar PSC. Selama 1988, ada penambahan 10 kontrak baru antara pihak Pertamina dengan beberapa kontraktor minyak asing.

Eksplorasi

Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada 1988 kegiatan eksplorasi berlangsung baik di permukaan maupun di bawah tanah. Adapun cara yang digunakan meliputi cara geologi, termasuk penginderaan jauh, geofisika, serta pemboran dalam. Eksplorasi geofisika menggunakan cara penampungan gempa dan cara gaya berat. Cara gempa telah melalui lintasan lebih dari 32,7 ribu km dan cara gaya berat sejauh lebih dari 5,7 ribu km. selama 1988 jumlah pemboran eksplorasi sebanyak 135 pemboran/lubang dengan jumlah kedalaman hampir mencapai 274 ribu meter. Jumlah tersebut berasal dari pemboran eksplorasi yang dilakukan Pertamina sebanyak 13 buah dengan kedalaman 29,4 ribu meter lebih. Pemboran yang dilaksanakan kontraktor PSC sebanyak 110 pemboran dengan jumlah kedalaman seluruhnya lebih dari 220,1 ribu meter dan dilaksanakan oleh Kontrak Karya (PT Stanvac) sebanyak 12 pemboran eksplorasi dengan kedalaman seluruhnya 24,3 ribu meter. (hmm, ternyata dari dulu kontribusi Pertamina dalam eksplorasi hanya mampu sekitar 9-10 persennya saja, Red)

Dari pemboran eksplorasi selama 1988 telah memperoleh hasil longgokan minyak sebanyak 39 buah (Pertamina 2, PSC 15 dan Kontrak Karya 3). Dilihat dari perkembangan tersebut menunjukkan bahwa selama 1988 angka perbandingan keberhasilan yakni 1 : 2,1.

DI Indonesia, kedalaman lapisan yang berproduksi berkisar antara 150-2.000 meter, tetapi rata-rata antara 400-1.600 meter. Adapun sumur yang terdangkal terdapat di daerah Tarakan, Sanga-Sanga, Bula dan Jawa bagian timur laut. Longgokan hidrokarbon pada kedalaman sekitar 3.000 meter masih tergolong mempunyai arti ekonomi, hal terbukti dari hasul yang diperoleh dalam pemboran secara modern, seperti yang telah dilakukan di lapangan Attaka dan struktur Badak di Kalimantan Timur, serta lapangan Arun di Aceh.

Sebagai gambaran, walaupun pada 1988 termasuk tahun pasaran dan harga minyak dunia cukup prihatin, tetapi ternyata selama tahun tersebut beberapa penemuan sumur minyak dan gas bumi dari kegiatan eksplorasi masih tetap berkembang (pantas, periode 1970-1990an produksi minyak bisa lebih dari 1 juta barel per hari, bahkan sentuh 1,6 juta barel per hari, Red).

Selama 1988, penemuan sumur-sumur minyak dan gas bumi seperti yang diperoleh Pertamina dari beberapa sumur yang terdapat di Sumbagut dan Jawa. Penemuan dari kontraktor atas dasar Kontrak Karya terjadi di Sumatera Tengah yang dilakukan PT Stanvac Indonesia. Penemuan terbesar sumur-sumur minyak dan gas bumi dari kegiatan pemboran eksplorasi berada dari kontraktor yang berdasarkan PSC. Penemuannya antara lain di daratan, Asamera menemukan beberapa sumur di Sumatera Selatan, Caltex di wilayah kerja CPP, perusahaan CSR di Bula-Seram, Hudbay di Selat Malaka, Huffco di Kalimantan Timur, Stanvac di wilayah kerja Rimau A-1, Trend di Sumatera, Union Texas di Tomori, Shell di Jambi dan Unocal di wilayah kerja daratan Teweh.

Selain yang terbesar, ditemukan juga sumur-sumur minyak dan gas bumi dari kegiatan pemboran eksplorasi selama 1988 dilakukan kontraktor atas dasar PSC, yakni Arco dari beberapa sumur di barat daya Jawa dan di tenggara Kangean, Conoco dari sumur yang terdapat di Natuna “B”, Deminex dari wilayah kerja Simenggaris, Hudbay dari wilayah kerja Selat Malaka, Japec dari Gebang Seranggang, maxus dari beberapa sumur minyak dan gas bumi di wilayah kerja Sumatera Tenggara, Union Texas dari Tanaki dan Unocal dari wilayah Kalimantan Timur.

Selama Repelita V, diperkirakan dilakukan kegiatan eksplorasi untuk seismik rata-rata 34.600 km per tahun dan pemboran ekplorasi 176 sumur per tahun.

Produksi Minyak Bumi

Pada 1971 merupakan lembaran baru bagi Indonesia dalam produksi, karena saat itu bukan saja menghasilkan minyak dari daratan, tetapi mulai menghasilkan minyak yang berasal dari lepas pantai. Hal ini merupakan bukti nyata keberhasilan Orde Baru yang memberikan peluang kepada Kontraktor Minyak Asing untuk melakukan kegiatannya di Indonesia, terutama di lepas pantai.

Pada bulan Agustus 1971 produksi pertama minyak Indonesia dari lepas pantai diperoleh dari lapangan Arjuna di wilayah kerja kontraktor Atlantic Richfield Indonesia, Inc. (ARII) di daerah lepas pantai utara Jawa Barat. Juga selanjutnya dalam bulan September 1971 produksi minyak lepas pantai dari 23 sumur mencapai jumlah 10.900 barel per hari, pada 1976 dengan cepat jumlah produksi minyak dari lepas menjadi 426 ribu barel per hari dengan sebanyak 314 sumur.

Produksi minyak mentah Indonesia mengalami puncaknya pada 1977 dengan jumlah produksi dari daratan sebanyak 1.083,2 ribu barel per hari dan dari lepas pantai mencapai 602,1 ribu barel per hari yang berarti produksi minyak mentah Indonesia pada 1977 sebesar 1.685,3 ribu barel per hari.

Pada 1988, produksi minyak mentah Indonesia mencapai jumlah hampir 492 juta barel atau rata-rata lebih dari 1,3 juta barel per hari. Jumlah tersebut berasal dari Pertamina 24,6 juta barel, Lemigas 0,2 juta barel, perusahaan Kontrak Karya 9,6 juta barel dan dari perusahaan-perusahaan PSC sebanyak 388,3 juta barel (dari dulu dominan ya, hasil produksi dari perusahaan-perusahaan migas selain Pertamina lebih banyak, Red).

Dibandingkan 1987 produksi minyak mentah Indonesia dengan 1988 mengalami kenaikan 2,3 persen. Di samping itu, pada 1988 Indonesia juga menghasilkan kondesat sebesar 60,3 juta barel lebih dan pada 1987 hampir 56,4 juta barel. Gambaran produksi minyak bumi kondensat Indonesia selama Pelita IV terlihat dalam tabel 1, sedangkan prospek produksi selama Repelita V terlihat dalam tabel 2.

Tabel 1
Produksi Minyak Mentah Indonesia Termasuk Kondensat
Pelita IV
Tahun
Jumlah (jutaan barel)
Per hari (ribu barel)
1984/85
532,2
1.458,0
1985/86
490,9
1.344,9
1986/87
516,1
1.414,1
1987/88
508,0
1.387,3
1988/89*
511,0
1.400,0
            *angka Bappenas
Sumber: Departemen Pertambangan dan Energi

Tabel 2
Produksi Minyak Mentah Indonesia Termasuk Kondensat
Repelita V
Tahun
Jumlah (jutaan barel)
Per hari (ribu barel)
1989/90
511,0
1.400,0
1990/91
522,7
1.432,0
1991/92
535,8
1.464,0
1992/93
546,0
1.496,0
1993/94
558,0
1.529,0
            Sumber: Departemen Pertambangan dan Energi

Perkiraan produksi minyak mentah termasuk kondensat selama Repelita V tersebut berasal dari Pertamina, C&T, CPI, CSR, Huffco, Petromer Trend, PTSI, Tesoro, C&T (Kontrak Karya), PTSI (Kontrak Karya), ARII, Conoco, Hudbay, Maxus, Kodeco, Marathon, Total Ind., Unocal dan Arbini.

Produksi Gas Bumi

Seperti halnya minyak bumi, dengan masuknya perusahaan-perusahaan minyak asing pada masa Orde baru dalam bentuk PSC, maka hasil gas bumi Indonesia meningkat. Pada 1970, produksi gas bumi Indonesia hanya 297,4 juta kaki kubik per hari, kemudian meningkat menjadi 1.847,7 miliar kaki pada 1988, bail berasal dari daratan maupun lepas pantai. Produksi gas bumi dari lepas pantai dimulai pada 1971 yang jumlahnya baru 2,7 juta kubik dan terus meingkat pada 1977 menjadi 700 juta kaki kubik. Dibandingkan dengan produksi gas bumi pada 1987 sebesar 1.732 miliar kaki kubik, berarti pada 1988 mengalami kenaikan 6,7 persen.

Produksi gas bumi tersebut berasal dari Pertamina, Lemigas, Kontrak Karya (PT Caltex Pacific Indonesia/CPI, PT Calasiatic Topco/C&T, PT Stanvac Indonesia/PTSI) dan dari para kontraktor atas dasar PSC (Mobil Oil, Asamera/Sumut, PT Arco/Laut Jawa, Union Oil/Unocal, Inpex Ltd., Total Indonesia, Roy M. Huffington, Tesoro, Petromer Trend, Calasiatic Topco/MF&K, Conoco, Hudbay, Kodeco Energy CO, PT Stanvac Rimau, Marathon Pet. Indonesia. (familiar kan nama-nama itu, walau ada yang berubah karena merger atau bergabung, ternyata sudah lama loh mereka bantu ekplorasi dan eksploitasi migas Indonesia, Red)

Produksi gas bumi 1988 terbesar dari kontraktor atas dasr PSC, yakti mencapai jumlah lebih dari 1.576, 5 miliar kaki kubik selama Repelita V, seperti terlihat dalam tabel 3 dan tabel 4.

Tabel 3
Produksi Gas Bumi Indonesia Pelita IV
Tahun
Jumlah (jutaan kaki kubik per hari)
1984/85
4.241
1985/86
4.334
1986/87
4.542
1987/88
4.759
1988/89*
4.931
                        *angka Bappenas
Sumber: Departemen Pertambangan dan Energi

Tabel 4
Produksi Gas Bumi Indonesia Repelita V
Tahun
Jumlah (jutaan kaki kubik per hari)
1989/90
5.249
1990/91
6.184
1991/92
6.428
1992/93
6.510
1993/94
7.607
                        Sumber: Departemen Pertambangan dan Energi

Pemanfaatan Gas Bumi

Sejalan dengan keberhasilan Indonesia menemukan lapangan-lapangan minyak mentah berikut gas (associated gas) dan gas bumi yang non-associated, maka produksi gas bumi bisa ditingkatkan sesuai dengan peningkatan jumlah kebutuhan, baik untuk dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor, terutama berupa LNG ataupun LPG.

Dari tahun ke tahun gas bumi yang dimanfaatkan terus meningkat. Pada 1988 jumlah gas bumi yang dimanfaatkan sebanyak 1.716,1 miliar kaki kubik lebih atau 92,9 persen dari seluruh produksi gas bumi saat itu. Adapun pemanfaatan sebanyak itu dimanfaatkan untuk LNG sebanyak 1.025,0 miliar kaki kubik lebih, untuk Pupuk Sriwijaya, Pupuk Kalimantan Timur, Pupuk Asean dan Pupuk Iskandar Muda seluruhnya 143,6 miliar kaki kubik. Yang dimanfaatkan untuk bahan bakar perusahaan sendiri sebesar 89,5 miliar kaki kubik lebih, dan untuk Krakatau Steel, Pupuk Kujang, serta pabrik semen Cibinong dan yang dijual setempat sebesar 88,5 miliar kaki kubik. Untuk pemanfaatan lainnya, seperti LEX Plant Union Oil, Kilang NGL Arco di Laut Jawa, kilang LPG di Rantau dan Mundu serta bahan bakar setempat.

Jumlah gas bumi yang dibakar (flared) dan susut sekitar 131,5 miliar kaki kubik atau 7,1 persen dari jumlah produksi 1988. Gambaran pemanfaatan gas bumi selama Pelita IV serta prospek pemanfaatan gas bumi selama Repelita V terlihat dalam tabel 5 dan tabel 6.

Tabel 5
Pemanfaatan Gas Bumi Indonesia Pelita IV
Tahun
Jumlah (jutaan kaki kubik per hari)
1984/85
3.890
1985/86
3.973
1986/87
4.159
1987/88
4.350
1988/89*
4.384
                        *angka Bappenas
Sumber: Departemen Pertambangan dan Energi

Tabel 6
Produksi Gas Bumi Indonesia Repelita V
Tahun
Jumlah (jutaan kaki kubik per hari)
1989/90
5.073
1990/91
5.689
1991/92
5.978
1992/93
6.054
1993/94
7.416
                        Sumber: Departemen Pertambangan dan Energi

Bachrawi Sanusi, Hasil Tambang, Minyak dan Gas Bumi Indonesia, 1991.

Pembangunan Daerah Dilihat dari Potensi Energi (Bagian 4-Selesai)

Dalam Pelita II peranan bahan bakar minyak guna memenuhi kebutuhan dalam negeri sekitar 77,9 persen, sedangkan pada akhir Pelita II konsumsi bahan bakar minyak masih sebesar 81,9 persen dari jumlah kebutuhan energi komersial. Sebaliknya peranan dari energi non minyak, yaitu gas bumi, batubara, tenaga air, panas bumi mulai meningkat, yaitu 18,1 persen pada akhir Pelita II menjadi 22,1 persen dari jumlah kebutuhan energi kemersial pada akhir Pelita III (Repelita IV, buku ke II). Sebagai gambaran pemanfaatan energi Indonesia pada akhir Pelita II dan II dapat terlihat seperti pada tabel 1. Dari tabel itu masih jelas terlihat peranan besar dari bahan bakar minyak atau yang berasal dari minyak bumi. Kemudian semakin bangkitnya pemanfaatan gas bumi yang sangat besar dibandingkan dengan tenaga air, batubara, apalagi panas bumi yang sangat kecil sekali.

Dari gambaran pada tabel 1, mencerminkan adanya usaha memanfaatkan beberapa potensi energi di Indonesia. Walau untuk jangka panjang mungkin persaingan harga antar harga energi itu sendiri harus mendapatkan perhatian yang khusus. Apalagi, jika harga minyak di pasaran dunia semakin murah, maka memungkinkan energi lain akan terpukul.

Tabel 1
Perkembangan/Realisasi Pemanfaatan Energi Komersial Indonesia
Akhir Pelita II dan III
(dalam jutaan setara barel minyak)
Jenis Energi
Akhir Pelita II
Akhir III
Kenaikan
Gas Bumi
24,495 (15,31%)
37,164 (17,70%)
51,72
Batubara
0,647 (0,40%)
1,109 (0,53%)
71,40
Tenaga Air
3,852 (2,41%)
7,761 (3,69%)
101,48
Panas Bumi
----
0,367 (0,17%)

Jumlah Non Minyak
28,994 (18,12%)
46,401 (22,09%)
60,04
Minyak Bumi
131,009 (81,88%)
163,661 (77,91%)
24,92
Jumlah Seluruh
160,003 (100%)
210,062 (100%)
31,28
 Sumber: Repelita ke IV, buku ke II

Mungkin bukan di berbagai negara berkembang saja, juga di negara maju, adanya penurunan harga minyak secara drastis bisa menghambat perkembangan teknologi di negara-negara maju atau perlu adanya penjadwalan kembali atau mematikan beberapa proyek atau industri untuk pengembangan energi lain. Masalahnya minyak bumi yang mungkin mudah diangkut, mudah disimpan dan cukup aman, dan sebagainya, kemungkinan semakin murah.

Bagi Indonesia, hal demikian perlu direnungkan. Di satu pihak minyak dan gas bumi masih melimpah, di lain pihak energi lain belum begitu banyak dihasilkan. Hal ini terlihat pada tabel 1.

Gas bumi biasanya diperoleh dalam cadangan-cadangan bersama dengan minyak bumi (associated gas) yang umumnya belum dapat dimanfaatkan kemudian dibakar. Ada juga, gas bumi yang dihasilkan secara terpisah atau tersendiri (non associated gas) yang di Sumatera Selatan telah dimanfaatkan. Pemanfaatan gas bumi juga berkembang untuk beberapa kota di Jakarta, Bogor, Cirebon, Surabaya dan kelak juga Medan, dan lain-lain. Dengan kata lain, sepanjang ada pipa gas bumi, maka gas bumi bisa dimanfaatkan untuk energi di daerah-daerah yang dilaluinya.

Cadangan Energi

Batubara yang berasal dari Bukit Asam pada 1985-1986 produksinya akan ditingkatkan menjadi 3 ton yang sebagian besar dari jumlah itu akan digunakan sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya.

Potensi dari air yang berasal dari ribuan sungai besar dan kecil yang terdapat di Indonesia memiliki potensi tenaga air yang cukup besar dan tersebar, terutama Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Potensi teoritis tenaga air di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar paling sedikit 78 ribu MW atau 410.000 GWh, diantaranya sebanyak 34 ribu MW dapat dikembangkan untuk pembangkit-pembangkit listrik berkapasitas 100 MW ke atas.

Potensi energi panas bumi di Indonesia minimal berjumlah 10 ribu MW. Dewasa ini dari beberapa daerah panas bumi yang sudah disurvei antaranya beberapa daerah di Jawa, Bali, Kerinci (Sumatera Barat) dan Lahendong (Sulawesi Utara) sudah dapat diketahui tersedianya potensi energi yang berasal dari sumber panas bumi sekitar 3.300 MW. Belum energi-energi lain terutama nuklir, dimana untuk uraniumnya di dasarkan penelitian terdapat di daerah Kalimantan Barat, walau cadangannya belum diketahui beerapa jumlah. Pemanfaatan sumber energi matahari atau energi surga, misalnya menghasilkan tenaga listrik untuk pompa air, penerangan, komunikasi di daerah-daerah terpencil. Energi angin, pemanfaatan biogas dari kotoran ternak, gambut yang banyak didapat di Irian Jaya, Sumatera dan Kalimantan. Bahkan pemanfaatan kayu yang termasuk energi non komersial pada 1980 konsumsinya se-Indonesia sekitar 43,9 juta ton atau sekitar 83,4 juta meter kubik.

Khusus cadangan batubara di Indonesia, tambang Bukit Asam secara pasti cadangannya berjumlah 200 juta ton yang dapat diusahakan secara tambang terbuku. Kalau saja produksi dari daerah ini sebesar 3 juta ton setahun, berarti usianya bisa mencapai sekitar 70 tahun. Cadangan batubara di Sumatera tidak termasuk Bukit Asam, yang kualitasnya lebih rendah cadangannya diperkirakan 10 miliar ton. Jumlah ini merupakan potensi yang sangat besar bagi pemenuhan kebutuhan energi jangka panjang, sekaligus bisa menjamin kelangsungan pembangunan daerah-daerah terutama yang dekat dengan sumber-sumber batubara. Cadangan batubara Onbilin yang diketahui dengan pasti sekitar 100 juta ton, batubara dari daerah ini bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan industri di Sumatera Barat. Cadangan-cadangan batubara lainnya terdapat di daerah Kalimantan Timur dan Selatan.

Cadangan minyak dan gas bumi Indonesia didasarkan data yang dikeluarkan OPEC (Annual Statistical Bulletin OPEC, 1981) yang juga bersumber data yang dikeluarkan oleh Oil dan Gas Journal dan beberapa negara anggota OPEC, cadangan minyak mentah Indonesia pada 1982 diperkirakan sekitar 9.800 juta barel, sedangkan cadangan terbukti gas bumi sebesar 776 miliar meter kubik. Walau ada perkiraan, bahwa 50 buah cekungan, cadangan minyak yang dapat terambil sekitar 50 miliar barel lagi.

Cadangan gas bumi Indonesia dari perkiraan terakhir sekitar 80 triliun kaki kubik. Jumlah ini bisa menjamin kelangsungan pertumbuhan industri terutama untuk pembangunan antar daerah untuk jangka panjang.

Sumber Energi Repelita IV

Dalam tabel 2, akan terlihat bagaimana rencana pengembangan berbagai sumber energi komersial hingga periode 1988-1989. Pada tabel 2 juga akan terlihat bahwa pemanfaatan gas bumi akan meningkat karena beberapa industri baru akan menggunakan gas bumi baik sebagai energi maupun sebagai bahan baku. Industri-industri yang akan menggunakan gas bumi, yaitu beberapa pabrik semen pupuk, proyek LNG (untuk ekspor), beberapa pabrik semen dan beberapa pusat listrik tenaga uap. Jumlah konsumsi energi gas bumi pada 1988-1989 diperkirakan akan mencapai sekitar 55.246 ribu setara barel minyak. Begitu juga konsumsi batubara diperkirakan meningkat karena adanya pembangunan PLTU Suralaya, Bukit Asam, Ombilin dan beberapa industri kecil.

Konsumsi batubara pada 1988-1989 diperkirakan akan mencapai jumlah 28.244 ribu setara barel minyak.

Tabel 2
Rencana Pengembangan Berbagai Sumber Energi Komersial
Dalam Repelita IV
(jutaan setara barel minyak)
Jenis Energi
Realisasi
Akhir Pelita III
Perkiraaan
Akhir Repelita IV
Kenaikan
Gas Bumi (termasuk LPG)
37,164 (17,70%)
55,246 (18,90%)
48,65%
Batubara
1,109 (0,53%)
28,244 (9,67%)
2.446,80%
Tenaga Air
7,761 (3,69%)
24,330 (8,33%)
213,49%
Panas Bumi
0,367 (0,17%)
1,958 (0,67%)
433,51%
Jumlah Non Minyak
46,401 (22,09%)
109,778 (37,57%)
136,58%
Minyak Bumi
163,661 (77,91%)
182,408 (62,43%)
11,45%
Jumlah Energi Komersial
210,062 (100%)
292,186 (100%)
39,09%
Sumber: Repelita IV, buku ke II

Gambaran jangka panjang yang dapat diandalkan untuk energi bagi pembangunan daerah. Kecuali minyak bumi yang harus dihemat, karena merupakan komoditi ekspor (sayangnya, sudah menjadi net importir sejak 2003, Red), juga gas bumi, batubara, tenaga air dan panas bumi. Walau untuk jangka panjang pengadaan berbagai energi di luar minyak terutama gas bumi dan batubara berlimpah, mungkin dalam jangka pendek merosotnya harga minyak dunia cukup mengganggu. Oleh karena itu, perlu adanya penegasan kebijaksanaan terpadu baik dari perusahaan penghasil energi maupun bagi konsumen, apakah masyarakat langsung, industri atau listrik negara.

Yang pasti kebijaksanaan subsisi untuk energi harus dihapus atau tidak perlu ada. Kalaupun diperlukan subsidi masih harus ditegaskan hingga kapan. Untuk itu, perlu perhitungan yang matang dan tepat agar tidak menjadi kepalang tanggung, Misalnya, minyak melimpah, gas bumi melimpah, harganya pasti murah sedangkan energi lain jauh tertinggal dalam harga. Dengan kata lain, harga energi lain jauh lebih mahal, sehingga secara tak langsung merupakan biaya tinggi yang akan membebani masyarakat atau konsumen.

Energi dan Pembangunan Daerah

Salah satu syarat utama dalam pelaksanaan daerah atau nasional, yaitu yang menyangkut energi. Terutama setelah menjadi energi sekinder berupa listrik. Masalahnya listrik merupakan tulang punggung bagi awal dan kelanjutan pengembangan industri dan tingkat hidup masyarakatnya.

Setelah indonesia berhasil lepas landas, maka pengadaan listrik atau energi bagi industri sudah jauh hari tersedia. Apakah listrik yang dihasilkan negara, maupun listrik yang dibangkitkan oleh industri-industri swasta sendiri. Tentu saja harus disesuaikan dengan bahan bakar yang tersedia banyak, mudah dan murah.

Mungkin untuk melihat hubungan energi lewat pengadaan listrik dengan pembangunan daerah-daerah se-Indonesia lebih mudah. Terutama pengembangan pengadaan listrik oleh negara. Masalahnya, listrik bukan saja untuk industri, tetapi juga dalam pembangunan dalam kaitan komposisi GDP atau PDRB listrik sangat dibutuhkan. Misalnya, untuk kebutuhan pertanian, bangunan, perdagangan/restoran/perhotelan, pengangkutan/komunikasi, bank/lembaga keuangan lainnya, perumahan, pemerintahan/pertahanan, jasa-jasa. Kesemuanya membutuhkan listrik. Oleh karena itu, negara maju seperti Jepang telah mengukur kebutuhan energi jangka panjangnya atas dasar kebutuhan akan jumlah tenaga listrik yang dibutuhkan.

Listrik yang merupakan energi sekunder, bisa dihasilkan dengan memanfaatkan energi primer yang komersial seperti minyak bumi, gas bumi, batubara, tenaga air, panas bumi. Di samping bisa dihasilkan dari energi sinar matahari, angin, perbedaan suhu samudera, dan lain-lain.

Dilihat dari potensi cadangan, dan letak cadangan-cadangan energi terutama gas bumi, misalnya di Sumatera, Kalimantan dan lain-lain, batu bara yang menyebar, tenaga air juga menyebar dan lain-lain, memungkinkan daerah-daerah bisa berkembang sesuai dengan adanya potensi energi di sekitarnya.

Yang nyata lagi pengadaan energi lewat pengadaan listrik bagi pembangunan Nasional ataupun daerah-daerah, misalnya bisa terlihat dengan lokasi rencana pembangunan pembangkit listrik PLN yang diharapkan beroperasi dalam Repelita IV, seperti pada tabel 3 (tambahan kapasitas dalam Repelita IV).

Tabel 3
Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik PLN
Diharapkan Beroperasi di Repelita IV
Nama Pembangkit Listrik
Lokasi
Kapasitas
(MW)
Pembangkit Listrik Tenaga Air
1.
Tes Unit I
Sumatera Selatan
16
(4 x 4)
2.
Tenggari Unit I dan II
Sulawesi Utara
17
(2 x 8,5)
3.
Bakaru Unit I dan II
Sulawesi Selatan
126
(2 x 63)
4.
Sentani Unit I dan II
Irian Jaya
13
(2 x 6,5)
5.
Sengguruh
Jawa Timur
29
(1 x 29)
6.
Wadas Lintang Unit I dan II
Jawa Tengah
16
(2 x 8)
7.
Saguling Unit I dan II
Jawa Barat
350
(2 x 175)
8.
Saguling Unit III dan IV
Jawa Barat
350
(2 x 175)
9.
Cirata Unit I dan II
Jawa Barat
250
(2 x 125)
10.
Cirata Unit III dan IV
Jawa Barat
250
(2 x 125)
11.
Curug
Jawa Barat
6
(1 x 6)

1.423

Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
Tersebar
1.100

Pembangkit Listrik Tenaga Hidro
Tersebar
52

Pembangkit Listrik Panas Bumi



1.
Kamojang Unit II dan III
Jawa Barat
110
(2 x 55)
2.
Salat Unit I dan II
Jawa Barat
110
(2 x 55)

220

Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara



1.
Ombilin Unit I dan II
Sumatera Barat
100
(2 x 50)
2.
Bukit Asam Unit I dan II
Sumatera Selatan
130
(2 x 65)
3.
Suralaya Unit I dan II
Jawa Barat
800
(2 x 400)
4.
Suralaya Unit III dan IV
Jawa Barat
800
(2 x 400)

1.830

Pembangkit Listrik Tenaga Uap Gas Bumi



1.
Belawan Unit I dan II*)
Sumatera Utara
130
(2 x 65)
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Minyak Bumi



1.
Gresik Unit III dan IV
Jawa Timur
400
(2 x 200)
2.
Priok Combined Cycle
Jakarta
100


500

Jumlah Tambahan Kapasitas
5.255

*) Pada permulaan operasi masih menggunakan minyak bumi
Sumber: Repelita IV, buku ke II

Dengan kata lain, potensi energi di suatu daerah memungkinkan daerah itu dapat berkembang dengan baik untuk jangka panjang, terutama harus ditunjang oleh energi di luar minyak bumi. Oleh karena itu, keterpaduan dalam usaha pengembangan, pemanfaatan energi di daerah-daerah sangat menentukan. Terutama dalam pengadaan jangka panjang yang cukup atau melimpah apalagi dengan harga energi yang murah.

Melihat energi listrik yang semakin meningkat digunakan di seluruh daerah Indonesia, maka mencerminkan adanya keterkaitan yang erat antara pengadaan energi dan perkembangan pembangunan daerah.

Bachrawi Sanusi, Perspektif Daerah dalam Pembangunan Nasional, 1987.