Mengajar Tidak (Selalu) Membosankan

Cara mengajar bagi setiap pengajar atau guru memiliki ciri khas masing-masing, namun kenyataan di lapangan tidak semua pengajar dapat menyampaikan metode mengajarnya dan diterima oleh murid yang diajarkannya. Bukan karena kendala fasilitas yang perlu tersedia, dan tidak perlu juga harus yang berteknologi dalam hal proses mengajar, sementara banyak tugas yang harus dikejar para guru, dan bahkan bisa menjadi beban untuk mengikuti kurikulum yang ditetapkan.

Hikmat Hardono
Lalu, bagaimana caranya agar metode mengajar tidak menjadi beban guru dan murid juga tidak ketumpuan dalam menerima ilmu yang seharusnya didapatkan?

Direktur Ekskutif Indonesia Mengajar Hikmat Hardono menceritakan, dari refleksi pengalaman Indonesia Mengajar yang sudah berumur 3 tahun ini, akhirnya dapat menciptakan ide dengan membuat media-media belajar yang kreatif. Hal ini karena di lapangan ditemukan, adanya berbagai peraga yang diterima oleh suatu sekolah, tapi tidak mudah untuk diimplementasikan. Karena lebih mengirimkan apa yang kita pikir mereka butuhkan, bukan apa yang dapat diimplementasikan oleh mereka.

Relawan sedang mengemas
Kotak Cakrawala
Itu sebabnya dibuat rumusan-rumusan media belajar yang diperkenalkan melalui Festival Gerakan Indonesia Mengajar (FGIM) pada tanggal 5-6 Oktober 2013 di Eco Park Ancol Jakarta. Tentunya, untuk membuat rumusan tersebut tidak bisa sendirian, tetapi dibantu oleh relawan minimal 845 orang dalam menyiapkan FGIM, serta hampir 9.000 orang relawan yang tergerak untuk kerja bakti membuat media belajar seperti Kotak Cakrawala, Kartupedia, Kepingpedia, Surat Semangat, Kemas-Kemas Sains, Teater Dongeng, Melodi Ceria, Sains Berdendang, Video Profesi yang nantinya akan disebar ke 17 kabupaten di Indonesia.

Salah satu kota tujuan Kotak Cakrawala
"Kami menyaksikan sesungguhnya banyak orang bekerja dan berbakti bagi Republik ini dengan rendah hati, penuh semangat dan penuh dengan ide dari daerah-daerah, di 17 kabupaten itu, bahkan ini di luar ekspetasi kita yang di Jakarta, kita sering dengar berita yang tidak baik gambaran dari pendidikan Indonesia, ternyata banyak orang kerja keren-keren dan penuh semangat,” ujar Hikmat.


Bekerja Tidak Sekedar Omongan Belaka

Kotak Cakrawala siap di kirim
ke 17 Kabupaten
Tanpa kita sadari, lanjut Hikmat, ternyata ada kepala sekolah yang luar biasa berbakti terhadap gurunya, kemudian guru yang sayang dengan murid-muridnya jumlahnya banyak, mereka mendidik lebih dari yang diminta, mereka berikan lebih dari sekedar mendidik. Di luar itu masih banyak pegawai seperti pegawai sipil, tentara, dokter dan lain-lainnya yang ternyata aktif dalam dunia pendidikan. “Menurut kami, mereka layak dan perlu dihormati dan cara menghormatinya adalah kita ikut turut bekerja tidak sekedar hanya omongan belaka. Malu kita hanya dengan cara memberi penghargaan tapi kita tidak turut bekerja,” terangnya.

Hikmat mencontoh salah satu media belajar bernama Kartupedia, yaitu mencari informasi dalam bentuk kartu, misalkan tema tokoh pahlawan. “Mungkin di daerah yang terkoneksi dengan internet dengan mudah bisa mencari, tetapi hal itu tidak bisa dilakukan bagi daerah-daerah yang tidak terkoneksi internet, artinya perlu cara bagaimana menyampaikan informasi tersebut, dengan media-media lain dan bisa implementasikan secara general dan mudah,” jelasnya.

Relawan sedang membuat
KartuPedia
Untuk terciptanya media tersebut, juga dibutuhkan kerja sama, dimana manfaatnya tidak hanya dirasakan bagi yang menerima media-media tersebut, namun yang membuat media tersebut juga turut merasakan suasana belajarnya. Akhirnya muncul, rasa kepercayaan dan dorongan semangat yang ternyata dengan media seperti ini bisa turut membantu dalam hal proses mengajar. Dasar itu yang membuat Indonesia Mengajar (IM) bersama-sama saling mengaktivasi diri, kemudian terlibat dan bertemu dengan orang-orang yang memiliki energi yang sama.

“Dari pengalaman kami untuk mendapatkan solusi agar dapat menjembatani metode mengajar yang distandarkan Kementerian Pendidikan adalah turun ke lapangan, dan itu tidak hanya sekedar survei, assessment, forum diskusi, tidak bisa seperti itu. Harus tinggal di daerahnya, seperti kata Rendra bahwa kita harus turun ke desa-desa keluar ke jalan-jalan untuk menghayati,” ujar Hikmat
  
Saat menghayati tersebut, bagi Hikmat, baru bisa temukan solusi yang ternyata tidak tunggal. Karena saat ini masih berpandangan semua diselesaikan dengan satu tangan atau satu model tunggal. “Tidak bisa, tetap harus di customize(disesuaikan) setiap daerah pendekatannya berbeda-beda. Oleh karena itu, pendekatan IM dengan pelibatan untuk menggerakkan, dan yang paling gampang adalah dengan memberi contoh dengan mendorong pelibatan langsung kepada pemerintah daerah. Sehingga, beberapa kabupaten memiliki inovasi sendiri-sendiri, sehingga tidak ada satu model tunggal yang tercipta,” terangnya.


Hikmat mencontohkan, di Halmahera Selatan punya tantangan tersendiri setiap pulau-pulau punya kekurangan masing-masing, akhirnya yang mereka lakukan mengajak guru-guru di pulau tertentu untuk ngajar selama waktu tertentu, yang dinamakan Gerakan Desa Cerdas.

Shally Pristine
Sementara di Maluku Tenggara Barat, salah satu pengajar muda Indonesia Mengajar Shally Pristine menceritakan, awalnya guru-guru di sana bertanya bagaimana guru IM ini bisa mengajar dan lebih diterima metode mengajarnya oleh murid-murid. “Sehingga kita ajak guru-guru untuk mengikuti beberapa hari di sesi karantina Guru Muda IM. Setelah itu, mereka tergerak membuat suatu model pelatihan untuk guru-guru, seperti Guru Model yang diberi pelatihan intensif layaknya karantina Guru Muda IM. Semua kami berikan segala metodenya, dan mereka yang menjalankannya,” ujar Shally.

Dengan seperti ini, lanjut Hikmat, kita tidak perlu dibelit-belitkan dengan kontrak kerja sama, karena programnya dengan sendirinya berjalan. “Kami juga punya prinsip dengan teman-teman IM, lebih baik pendekatannya personal dahulu, karena terlalu senang berelasi membangun hubungan ke berbagai lembaga, tapi eksekusinya mana? sedangkan yang kita butuhkan ada pergerakkan yang cepat, tidak perlu terlalu banyak seremonial,” ungkapnya.

Yang Bertanya, Yang Bertanggung Jawab

Relawan membuat
Video Profesi
IM juga punya pepatah yang bertanya, yang bertanggung jawab. Karena tidak berambisi menjadi organisasi yang besar, yang penting pergerakkannya yang menghasilkan impact (dampak). Sehingga, kalau ada yang tanya, kok di kota saya belum ada? artinya, yang bertanya bertanggung jawab untuk mewujudkan di kotanya dan kita coba memfasilitasi dan bareng-bareng wujudkan. Seperti Kelas Inspirasi pertama kali diadakan di Jakarta sebanyak 25 sekolah, kemudian bergulir dilakukan di beberapa kota lainnya, karena ada yang bertanya.

Shally bahkan mengungkapkan, kenapa akhirnya bisa diadakan di Bali, karena Prof. Dr. Anak Agung Gde Muninjaya, MPH yang merupakan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana menanyakan kenapa Kelas Inspirasi di Bali tidak ada? setelah beliau melihat ada artikel mengenai KI di suatu media online. "Kemudian saya jawab, ya sudah Bapak bikin aja, dan beliau bertanya bagaimana caranya. Kemudian kita berikan tutorial, step by step, yang akhirnya pak Munin mengumpulkan beberapa temannya, bahkan sampai melibatkan seorang Bupati sebagai relawan," terangnya. (saat itu, penulis turut ikut dalam Kelas Inspirasi Bali, 11 Juni 2013. Artikel terkait Berbagi Pengetahuan dengan Kesederhanaan)

Relawan mengemas materi
Kemas-kemas Sains
Sehingga, lanjut Hikmat, bukan kita yang meminta atau memutuskan agar program ini dilaksanakan di beberapa daerah. "Namun siapa yang mau, mari bareng-barengkita wujudkan, kami fasilitasi bahkan mau diduplikasi modelnya silahkan, tidak harus memakai IM juga boleh," ujarnya. Tapi, Hikmat menegaskan, selama berinteraksi langsung dengan murid, seperti Kelas Inspirasi, tidak menyarankan membagikan sesuatu berbentuk dana, produk bahkan sponsor. Hal ini yang membedakan dengan FGIM yang interaksinya tidak langsung dengan murid, karena ini merupakan bagian dari kerja bakti.

Menurut Hikmat, pendidikan itu strategis, sehingga seringkali kerja bakti yang diharapkan hanya sekedar acara bakti sosial atau terjebak tahap ide saja. Maka, perlu ditetapkan targetnya, siapa saja yang diajak, kemudian diundang untuk bekerja termasuk iurannya. "Semua relawan melakukan iuran, sehingga tidak ada tempat duduk VVIP," jelasnya. Sebab, lanjut dia, kebanyakan orang tidak percaya diri untuk mengajak orang untuk berkorban terlebih dahulu, maka kita mengorbankan lebih dahulu agar yang diajak mau ikut berkorban. "Namun, di sini kita semua berkorban. Kalau yang diajak tidak cocok atau tidak mau, tidak ada masalah mungkin masih bisa berbuat baik di tempat lain. Jadi berkorban ternyata pilihan juga ya, disesuaikan dengan kapasitas masing-masing individu," terangnya.

Posisi Indonesia Mengajar

KepingPedia, Surat Semangat
siap dikirim ke 17 kabupaten
Hikmat menjelaskan, IM secara bentuk legal merupakan yayasan, tapi bentuk sosial adalah gerakan. “Bila gerakan siapa pemiliknya? ya kita semua, hanya saja secara legal Anies Baswedan sebagai perintis dan yang mendirikan IM. Beliau juga sebagai ketua dewan pengurus, namun ketika menerima undangan konvensi calon presiden dari suatu partai politik, beliau menyatakan mengundurkan diri dari yayasan. Kalau menurut saya, sebagai posisi pendiri memang tidak bisa digantikan, dan pengunduran dirinya disampaikan beliau untuk mengelola kemungkinan conflict of interest. Kemudian apakah IM akan terus berkembang? Tentu, karena sebagai bentuk sosial yang dimiliki semua,” jelasnya.

Adapun, persyaratan untuk menjadi Guru Muda IM maksimal umur 25 tahun, dan belum menikah. Setelah lolos dari seleksi, Guru Muda IM punya tugas mengajar diberbagai daerah sesuai dengan penempatan yang ditetapkan selama jangka waktu 5 tahun. "Tapi, setiap tahun pindah daerahnya. Kenapa? biar gacepat galau alias ga bosan," ungkap Hikmat dengan tersenyum.

Dia juga menjelaskan, tentunya ada biaya opersional yang dikeluarkan dan dalam menggalang pendanaan tersebut tentunya membutuhkan prosedur hukum, maka bentuk legalnya yang digunakan, yaitu yayasan. "Sehingga, bentuk sponsor dikumpulkan dan dikelola oleh relawan untuk kebutuhan dari kegiatan, seperti FGIM terkumpul Rp1,5 miliar," terangnya. Terakhir, Hikmat mengatakan, bahwa kalaupun aktivitasnya tidak membutuhkan legal tetap bisa jalan dengan inisiatif sendiri, selama berniat untuk kebaikan.


Berhenti mengeluh tidaklah cukup.
Berkata-kata indah dengan penuh semangat juga tidak akan pernah cukup.
Saatnya beraksi.

Segera berbuat, serentak bergerak.


Pembangunan Daerah Dilihat dari Potensi Energi (Bagian 3)

Alfred Weber (1980) merupakan orang pertama yang mengemukakan teori komprehensif menyangkut tentang lokasi industri, walaupun banyak dari gagasannya itu sebagian besar sudah dikembangkan atau dirumuskan oleh seorang Jerman 20 tahun sebelumnya, yaitu Launhardt.

Sebagai prinsip dasar yang dikemukakan Weber, bahwa pengusaha akan memilih lokasi dimana biayanya paling kecil. Untuk modelnya itu, dia menggunakan beberapa asumsi sebagai berikut, pertama, unit yang dijadikan obyek studi adalah suatu negeri yang terisolasi, yang mempunyai iklim homogen, dimana konsumen terpusat pada pusat-pusat tertentu, semua unit perusahaan dapat memasuki berbagai pasar yang tidak terbatas. Ini berarti keadaan persaingan sempurna. Kedua, beberapa sumber daya alam seperti, air, pasir dan lempung terdapat dimana-mana, yakni tersedia secara luas. Ketiga, bahan-bahan lainnya, seperti bahan bakar, mineral dan biji besi adalah sporadik, tersedia secara terbatas pada sejumlah tempat. Keempat, tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang lokasinya sudah tetap dan ada yang mobilitasnya sudah tetap.

Mungkin teori yang dikemukakan Weber bisa direnungkan bagi Indonesia untuk pembangunan industri, pembangkitan tenaga listrik (energi sekunder), apakah dekat pada konsumen dengan risiko mengangkut energi yang cukup jauh. Atau membangun industri/pabrik di dekat sumber energi, apalagi bisa menjadi bahan baku seperti halnya pabrik pupuk urea, dimana bahan bakunya berupa gas bumi dan sumber energinya bisa juga digunakan gas bumi itu sendiri. pembangunan industri-industri di daerah mungkin perlu pertimbangan utama mengenai sumber enrgi yang melimpah dan murah. Misalnya, banyak industri dibangung di daerah-daerah yang bisa menghasilkan tenaga listrik apakah dari tenaga air, panas bumi atau langsung menggunakan batubara.

Oleh karena itu, sasaran pembangunan industri disesuaikan dengan lokasi sumber energi jangka pendek dan jangka panjang, sebab beberapa energi dapat diekspor, namun perlu diperhatikan dengan meningkatnya kebutuhan dalam negeri. Maka untuk jenis industri yang banyak membutuhkan bahan baku dan energi, baik dari migas maupun batubara atau energi lainnya, secara sasaran penyebaran penduduk dan pemerataan pembangunan mungkin lebih tepat kalau pembangunan berbagai industri itu dekat dengan sumber-sumber energi yang berlimpah. Terutama pengadaan energi itu cukup lama, misalnya lebih dari 50 tahun.

Tantangan Sumber Energi

Terlepas dari teori lokasi Weber, bagi Indonesia tantangan mungkin akan lain lagi. Pertama, bagi Indonesia aygn sumber energinya menyebar di tempat-tempat yang jauh dari konsumen menyulitkan untuk mengangkut sumber energi itu. Apalagi energi seperti panas bumi, tenaga air, bahkan batubara. Kedua, jika rencana pelaksanaan penduduk yang tidak timpang, maka perlu adanya pemekaran daerah-daerah industri yang tidak terpusatkan di kota-kota besar yang padat penduduk. Ketiga, usaha pemerataan pembangunan antar daerah yang potensi alamnya, terutama energi, cukup banyak dan bisa menunjang pembangunan nasional. Keempat, pembangunan industri yang menimbulkan pencemaran lingkungan, karena penggunaan energi seperti batubara, dan lain-lain adalah lebih tepat berada di dekat sumber energi dan bahan baku. Kelima, yang memungkinkan hasilnya bisa langsung diekspor yang berarti akan menambah pendapatan daerah, terutama untuk industri-industri swasta nasional apalagi swasta daerah.

Khusus energi yang bisa diangkut dengan mudah, pakah lewat kapal, kereta api atau lewat pipa sepertinya halnya migas, mungkin lokasi industri tak perlu dekat sumbernya. Sepanjang biaya angkutannya masih murah. Sedangkan untuk memanfaatkan gas bumi lewat pembangunan pipa, katakan dari Sumatera atau wilayah Natuna ke Jawa, atau dari Kalimantan ke Jawa masih mahal, mungkin usaha mendirikan industri dekat dengan sumber gas bumi cukup menguntungkan. Tetapi untuk jangka panjang, maka pengadaan energi untuk industri dan pemanfaatan gas bumi merupakan potensi utama bagi menjamin pertumbuhan industri Indonesia. Masalahnya, tinggal pilih apakah industri harus dibangun dengan sumber-sumber gas bumi, atau disalurkan melalui pipa-pipa, karena diharapkan masyarakat rumah tangga juga akan memanfaatkan gas bumi.

Dalam GBHN 1983, sektor industri antara lain pengembangan pusat-pusat pertumbuhan industri di daerah-daerah tertentu yang memiliki potensi sumber alam, perlu ditingkatkan dengan mendayagunakan sumber daya manusia dan sumber pembangunan lainnya. Ini berarti pertimbangan potensi proyek Asahan yang menghasilkan listrik tenaga air memungkinkan munculnya industri-industri seperti halnya industri alumina atau aluminium dan lain-lainnya.

Kebijaksanaan Energi

Pada GBHN 1983 dikemukakan, pertama, pengembangan dan pemanfaatan energi didasarkan pada kebijaksanaan energi yang menyerluruh dan terpadu dengan memperhitungkan peningkatan kebutuhan baik untuk ekspor maupun untuk pemakaian dalam negeri, serta kemampuan penyediaan energi secara strategis dalam jangka panjang. Kedua, minyak bumi merupakan sumber utama pemakaian energi di dalam negeri. penggunaannya terus meningkat, sedang jumlah persediaan terbatas. Berhubung dengan itu, dilanjutkan dan ditingkatkan langkah-langkah penghematan penggunaan minyak bumi serta pengembangan sumber-sumber energi lainnya, seperti batubara, tenaga air, panas bumi, tenaga angin, tenaga nuklir, tenaga sinar matahari, tenaga biomassa, gambut dan sebagainya. Ketiga, dst. Keempat, penggunaan tenaga listrik ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kota dan desa, untuk mendorong kegiatan ekonomi, khususnya industri. Sehubungan dengan itu perlu ditingkatkan sarana penyediaan listrik serta ditingkatkan pula pemanfaatan dan pengelolaannya, agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dengan mutu pelayanan yang baik serta harga yang terjangkau oleh masyarakat, dst.

Dari gambaran itu, bisa ditarik kesimpulan bahwa minyak bumi perlu dihemat, yang mungkin dapat diandalkan sebagai bahan komoditi ekspor (fakta, bahwa saat ini sudah menjadi net importir minyak, Red), dan juga untuk dimanfaatkan pada mesin-mesin terutama alat angkutan sulit menggunakan energi lain. Oleh karena itu, perlu dikembangkan pemanfaatan energi lain. Walaupun dalam GBHN 1983, dalam hal energi tidak terlihat adanya pemanfaatan energi gas bumi yang semakin ramai digunakan di negara-negara maju, tetapi nyatanya memang pemanfaatan gas bumi di Indonesia mulai terasa penting sejak awal 1964, gas bumi dimanfaatkan untuk pabrik pupuk PUSRI di Sumatera Selatan.

Bahkan untuk jangka panjang pemanfaatan gas bumi yang cadangannya sangat besar bisa diharapkan dapat menunjang pengadaan sumber bahan baku dan energi baik bagi industri atau pengganti bahan bakar minyak. Apakah gas bumi yang disalurkan lewat pipa maupun dalam bentuk lainnya, seperti LPG, LNG maupun CNG. Selain itu, lewat listrik, maka pemanfaatan gas bumi, batubara, tenaga air, panas bumi, energi sinar matahari dan lain-lain, bisa menunjang pembangunan industri antar daerah, dengan membangun pembangkit listrik menggunakan energi tersebut.


Bachrawi Sanusi, Perspektif Daerah dalam Pembangunan Nasional, 1987.

Pembangunan Daerah Dilihat dari Potensi Energi (Bagian 2)

Apa yang tertera dalam GBHN 1983 khusus untuk Pembangunan Daerah, antara lain dikemukakan, pembangunan daerah dan pembangunan sektoral perlu selalu dilaksanakan dengan selaras, sehingga pembangunan sektoral yang berlangsung di daerah-daerah, benar-benar sesuai dengan potensi dan prioritas daerah. Dan keseluruhan pembangunan daerah juga benar-benar merupakan satu kesatuan, demi terbinanya Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan di dalam mewujudkan tujuan nasional.

Bahkan sejak Pelita ke II Pembangunan Daerah telah dimulai dilaksanakan. Ini berarti kesadaran akan terjadinya ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar daerah bisa semakin meluas dan jauh. Oleh karena itu, diusahakan adanya keserasian laju pembangunan antar daerah, hingga dapat dihindarkan hasil-hasil yang negatif antar daerah.

Adalah wajar jika tujuan pembangunan yang sedang dilakukan mencakup sasaran seperti, pertama, dalam usaha meratakan pembangunan di seluruh daerah, sekaligus menghindari terjadinya jurang perbedaan tingkat pembangunan antar daerah yang semakin dalam. Kedua, pengarahan dalam kegiatan pembangunan daerah sesuai dengan kemampuan aspirasi dan potensi maupun bagi kepentingan daerah sendiri. Ketiga, mengembangkan hubungan ekonomi antar daerah yang saling menguntungkan agar terjalin ikatan-ikatan ekonomi nasional  yang kokoh, dan keempat, membina daerah-daerah minus, daerah perbatasan dan tanah-tanah kritis dengan program-program khusus.

Mungkin untuk daerah-daerah yang kaya akan energi yang tak dapat diperbaharui seperti, daerah-daerah minyak dan gas bumi (migas) agar sejak pagi sudah direncanakan pelaksanaan pembangunan daerahnya dalam menghadapi, jika kelak migas atau energi di daerah-daerah itu sudah habis semuanya. Apalagi, kalau daerah itu akan ditambah atau diganti dengan bangkitnya berbagai industri yang merupakan penambah pendapatan daerah-daerah migas yang tidak semu lagi.

Perencanaan Daerah Direnungkan

Oleh karena itu, perencanaan pembangunan daerah untuk Nasional harus benar-benar terpadu. Agar kelak tidak tercipta kepincangan kemakmuran antar daerah. Mungkin pengalaman dari beberapa negara maju, seperti halnya Inggris yang pernah mengalami persoalan-persoalan yang bersifat fungsional, masalah-masalah daerah perkotaan yang ditimbulkan oleh pertambahan penduduk yang cepat, urbanisasi bertambah, traf hidup yang semakin meningkat dan mobilitas perorangan, masalah-masalah daerah-daerah industri dan pedesaan yang mengalami kemunduran yang disebabkan karena kemerosotan ekonomi sehingga muncul perencanaan daerah ini perlu direnungkan.

Di Inggris, ketidakmerataan secara jelas dengan menarik suatu garis dari Humber sampai Exe, dan dibandingkan bangsa terbagi itu dengan daerah-daerah makmur di sebelah timur dan selatan dan daerah-daerah industri dan pedesaan yang mengalami kemunduran di sebelah barat dan utara. Dalam bukunya yang klasik, Britain and the British Seas, Mackinder menamakan kedua daerah itu sebagai Metropolitans England dan Industrial England.

Bagi Indonesia mungkin jauh lebih berat, bukan saja penduduk yang terlanjur padat di daerah-daerah tertentu, juga negara kepulauan yang biaya angkutan akan habis ditelan di lautan, dan lain-lain.

Walaupun demikian, pembangunan daerah dan nasional harus berjalan terus. Kiranya tidak berlebihan kalau penulis melihat energi Indonesia baik potensi maupun pemanfaatannya dikaitkan dengan pembangunan daerah jangka panjang. Walau harus diakui bahwa energi seperti migas, batu bara, tenaga air, panas bumi atau energi lain yang bisa diperbaharui merupakan jenis-jenis yang saling bersaing. Jika harga bahan bakar minyak mahal, gas bumi ikut mahal, maka usaha menggunakan energi lain semakin dikembangkan. Sebaliknya, kalau harga migas murah, maka energi lain akan terpukul. Oleh karena itu, pemerintah harus melaksanakan kebijaksanaan terutama dalam usaha diversifikasi energi.

Secara kebijaksanaan memang bisa demikian, tetapi jika harga bahan bakar minyak semakin murah, mungkin akan berakhir yang kurang menguntungkan bagi perkembangan energi di luar migas. Oleh sebab itu, sejak pagi perlu adanya keterpaduan antara penghasil energi dan konsumen energi. Di samping itu, harus diingat pula daya beli masyarakat, adalah tidak wajar jika penghasil tenaga listrik untuk konsumen apalagi industri harus membayar listrik yang mahal. Masalahnya listrik itu menggunakan energi primer yang mahal, padahal yang murah masih ada dan berlimpah.

Energi Bagi Negara Industri

Pengalaman yang jelas dengan bangkitnya negara industri raksasa, kesemuanya itu bangkit dengan lancar karena energi yang melimpah dan murah, yaitu minyak bumi, terutama dari negara-negara yang tergabung dalam OPEC. Kenaikan harga minyak pada 1970-an hingga 1980-an telah menimbulkan berbagai kelesuan ekonomi di berbagai negara dunia, terutama negara-negara industri, karena minyak bumi dari OPEC semakin langka dan mahal. Tetapi sebagai akibat harga minyak OPEC sangat mahal, berbagai negara industri bukan saja berhasil menghemat penggunaan minyak bumi lewat terciptanya berbagai peralatan atau mesin-mesin yang hemat bahan bakar minyak, namun mereka juga berhasil membangun pabrik-pabrik penghasil energi lain. Di samping itu, negara-negara maju mampu pula menghasilkan minyak sendiri, seperti minyak dari Laut Utara, ditambah lagi munculnya minyak dari Non-OPEC.

Dengan prospek harga minyak dunia turun, sebenarnya bisa membangkrutkan kembali industri, bukan saja di negara maju, juga di negara-negara berkembang yang berusaha menjadi negara industri setelah lepas landas.

Kiranya tak berlebihan kalau penulis beranggapan bahwa untuk menjadi Indonesia sebagai negara industri, maka pengadaan energi yang melimpah apalagi murah untuk jangka panjang perlu ada. Mungkin contoh, Amerika Serikat pada 1973 masih sebagai terbesar penghasil minyak di dunia masih mengimpor minyak jutaan barel per hari. Bagi Indonesia hal demikian bisa terjadi (bahkan sudah terjadi alias menjadi net importir minyak, Red). Dengan kata lain, agar dapat menjamin kelangsungan dari lepas landas, maka perkembangan industri di berbagai daerah harus ditunjang oleh pengadaan energi yang cukup apalagi melimpah ruah.

Bachrawi Sanusi, Perspektif Daerah dalam Pembangunan Nasional, 1987.