Produsen Lokal Harus Manfaatkan Pasar Domestik

Pentingnya penguatan pasar dalam negeri, karena melalui konsumsi domestik yang tinggi Indonesia terselamatkan dari krisis yang terjadi di Amerika dan Eropa. Oleh karena itu, konsumsi domestik harus terus diarahkan kepada produk-produk dalam negeri. Dampaknya tentu akan sangat positif terhadap perekonomian Indonesia dan kesejahteraan masyarakat. 

Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengajak, para produsen produk dalam negeri dan produk kuliner Indonesia untuk lebih menggali potensi pasar dalam negeri. Dia mengatakan, jika bukan produsen Indonesia yang memanfaatkan pasar dalam negeri, maka pengusaha asing yang akan memanfaatkannya. Karena menurut Bayu, banyak pengusaha luar yang sangat sadar dengan potensi pasar domestik Indonesia. 

“Masa potensi besar yang ada di depan mata harus diisi orang lain,” katanya melalui keterangan tertulis yang diterima Neraca, Kamis (28/6/2012). 
 
Hal ini disampaikannya pada saat membuka Pameran Pangan Nusa dan Pameran Produk Dalam Negeri di Lapangan Merdeka Medan, Sumatera Utara. Dengan mengusung tema Diversifikasi Pangan Nasional dan Peningkatan Transaksi Domestik melalui Misi Dagang Lokal, kedua pameran ini diharapkan dapat lebih mengenalkan keanekaragaman produk dalam negeri dan produk kuliner Indonesia kepada masyarakat, sehingga produk Indonesia mampu menjadi tuan rumah yang baik di pasar dalam negeri. 

Potensi Pasar, Bayu mengatakan, banyak kalangan produsen di tanah air yang terkesan lupa dengan besarnya potensi pasar dalam negeri. Apalagi jika dilihat dari kemampuan dan daya beli masyarakat di berbagai daerah terhadap sejumlah kebutuhan rumah tangga. Dia mencontohkan, keberadaan potensi pasar dan daya beli masyarakat Kota Medan yang jumlah penduduknya sekitar tiga juta jiwa dengan pendapatan per kapita US$5.000 per tahun. 

Dari sejumlah perkiraan yang dilakukan, warga Kota Medan menghabiskan dana mencapai Rp100 triliun per tahun untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. 

“Indonesia yang jumlah penduduknya mencapai 240 juta jiwa adalah pasar yang besar. Ditambah lagi dengan meningkatnya jumlah masyarakat kelas menengah yang mencerminkan peningkatan daya beli masyarakat, potensi pasar domestik jelas tidak boleh diabaikan,” ujarnya. 

Pada tahun 2011 lalu, konsumsi rumah tangga menyumbang 54,6% atau sebesar Rp 7.427,1 triliun ke Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap perekonomian Indonesia pada tahun tersebut mencapai Rp 4.053,4 triliun. Bayu menyatakan harapannya agar ke depan produk dalam negeri dan produk kuliner Indonesia dapat bersaing dan dikenal luas di pasar internasional. 

”Tapi sebelum melangkah ke pasar internasional, produk Indonesia tentunya harus dapat taklukan pasar dalam negeri,” pungkasnya.

(anovianti muharti)

Masih Banyak Pekerjaan Rumah di Sektor Industri dan Perdagangan

Indonesia Belum Saatnya Ikut Perdagangan Bebas Asia Pasifik 

Perdagangan bebas mustahil dihindari karena selain diyakini bisa meningkatkan ekspor juga mendorong peningkatan daya saing. Namun, dengan keterbukaan pasar itu harus diimbangi dengan konektivitas perdagangan dalam negeri. Sehingga tawaran kepada Indonesia untuk bergabung dalam kerjasama Trans-Pacific Partnership (TPP) yang berakar pada kerja sama ekonomi Asia Pasifik sebaiknya diacuhkan. 

Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahjana Wirakusumah mengatakan, belum waktunya Indonesia bergabung dalam kerjasama TPP. Indonesia sudah menjalin banyak kerja sama regional dan telah menjalin FTA (Free Trade Agreement) dengan 6 negara dari 9 negara yang melakukan negosiasi TPP. 

“Dikhawatirkan akan terjadi kesulitan bagi bea cukai dalam melaksanakan tugas kepabeanannya karena banyaknya peraturan FTA yang harus dipelajari,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima Neraca, Senin (18/6/2012). 

Selain itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik, Natsir Mansyur menjelaskan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Indonesia, antara lain memperbaiki infrastruktur, menyelesaikan masalah logistik nasional, dan menciptakan iklim usaha yang kondusif. 

“Indonesia masih mengekspor produk mentah dan belum dapat mengekspor produk yang bernilai tambah tinggi,” jelasnya. 

Perlu Perhitungan 

Sementara, Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Iman Pambagyo menekankan, pentingnya memperhitungkan dan mengukur ongkos penyesuaian (adjustment cost) yang harus dilakukan Indonesia dalam memenuhi komitmen dalam negosiasi TPP. 

“TPP bukan hanya berkisar tentang penurunan tarif, Intellectual Property Rights (IPR), dan perjanjian perdagangan saja tetapi juga menyangkut koherensi regulasi,” ujarnya. 

Memang ada beberapa keuntungan dari terbuka akses pasar ke Amerika Serikat dan negara-negara yang melakukan negosiasi TPP. Cakupan TPP adalah sektor pertanian, tekstil dan pakaian jadi, Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), jasa dan investasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), lingkungan hidup, dan ketenagakerjaan. Dalam TPP, Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk membangun aturan main yang baru dalam bidang perdagangan dan investasi barang dan jasa. 

Tetapi, menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Anwar Nasution, Indonesia perlu meningkatkan keunggulan kompetitif untuk produk ekspor Indonesia. Indonesia perlu mempersiapkan kebijakan-kebijakan terkait yang ditujukan untuk memberikan insentif produsen dan konsumen dan meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas Usaha Kecil Menengah (UKM) sangat diperlukan selain juga memperluas akses pasar ekspor bagi UKM. 

Persiapan Matang 

Beberapa hal yang dikhawatirkan kehilangan pangsa pasar ekspor apabila Indonesia tidak bergabung dengan TPP. Tetapi, yang lebih pentingnya adalah melakukan kajian yang mendalam tentang seberapa besar kemungkinan dampak positif dan negatif apabila Indonesia turut serta dalam TPP ataupun tidak. 

“Indonesia harus memperhitungkan apa yang seharusnya disiapkan jika Indonesia memutuskan untuk bergabung,” terangnya. 

Diakui oleh Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BPPKP) Bachrul Chairi, bahwa keikutsertaan Indonesia dalam TPP mungkin saja membawa dampak yang positif bagi Indonesia, namun Indonesia masih harus meneliti secara menyeluruh terhadap sektor-sektor yang terkait. Indonesia juga perlu untuk memperhatikan pandangan negara-negara ASEAN lainnya terkait dengan TPP. 

“Jika negara-negara ASEAN ikut serta dalam TPP dan Indonesia tidak, maka kemungkinan besar pangsa pasar ekspor sulit dipertahankan. Untuk itu, Indonesia harus mempunyai strategi yang baik dalam hal keikutsertaan dalam TPP,” ujarnya. 

Bahkan jauh sebelumnya, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan Indonesia belum siap untuk masuk ke dalam TPP. Menurut dia industrialisasi di negara lain sudah maju 100-200 tahun daripada Indonesia, maka perlu dipersiapkan infrastruktur, industri serta pihak-pihak yang terkait untuk menghadapi perdagangan tersebut. 

“Ya, kita tolak. Kita juga harus lihat kesiapan industri kita apakah siap buat berkompetisi dengan negara lain. Dalam perdagangan bebas harus diikuti dan ditopang dengan keadilan dan keseimbangan. Kalau nggak ada dan tidak buahkan keuntungan untuk Indonesia, kita akan ambil sikap yang sesuai,” terangnya. 

Saat ini sudah ada empat negara ASEAN yang masuk ke TPP yaitu Brunei, Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Sejumlah negara Asia yang sudah siap bergabung dalam TPP adalah Jepang, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sedangkan dari Pasifik ada Kanada, AS, Meksiko, New Zealand, dan Australia.

(anovianti muharti)

sumber: Harian Ekonomi Neraca

Kadin Desak Pemerintah Basmi Produk Impor Ilegal

Asing Jadikan Indonesia Pasar Barang Palsu

Kian maraknya produk ilegal di tengah-tengah masyarakat akan merugikan produsen nasional dan membahayakan pasar domestik yang semestinya dijaga. Karena itu, pemerintah harus lebih proaktif dalam melakukan pengawasan terhadap peredaran barang impor ilegal serta memperketat masuknya produk ilegal itu melalui sejumlah pintu masuk yang ada. 

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Natsir Mansyur mengatakan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Bea Cukai perlu meningkatkan pengawasan impor ilegal, karena Indonesia merupakan pasar besar di Asia bahkan di dunia. 

“Oleh karena itu, Kemendag dan Bea Cukai perlu tegas dalam menjaga pasar domestik, karena Kemendag dan Bea Cukai adalah pintu terdepan agar industri dalam negeri ini bisa bertahan,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima Neraca, Selasa (8/5/2012). 

Menurut Natsir, pengawasan kedua institusi tersebut masih perlu ditingkatkan karena masih banyak barang impor ilegal di pasaran. Selama ini, masih beredar banyak produk impor yang masuk ke Indonesia yang tidak memiliki standarisasi, “Kalau pun berstandar label standarnya palsu terutama produk dari China. Proses hukum bagi importir yang melakukan impor ilegal tidak menimbulkan efek jera, buktinya dari hari ke hari permasalahan impor ilegal ini bertambah dan akan bertambah terus,” lanjutnya. 

Tinjau Jalur Hijau 

Berkaitan dengan hal itu, Natsir mengingatkan agar kebijakan Kemendag terhadap impor ilegal ini masih perlu ditingkatkan dan kebijakan bea cukai terhadap barang impor yg melalui jalur hijau perlu ditinjau kembali. 

“Importir jangan berlindung dengan mendapat prioritas jalur hijau, salah satu efek yang ditimbulkan jual barang impor sudah termasuk pajak, sedangkan produk dalam negeri masih ditambah pajak, misalnya harga barang impor yang mengunakan sistem borongan Rp100 sudah termasuk pajak, sedangkan produksi dalam negeri Rp100 belum masuk pajak, sehingga harganya jadi Rp110,” terang Natsir

Natsir juga mengatakan, Kadin dari jauh hari sudah menyampaikan permasalahan ini kepada Kemendag pada saat revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 39/2010, yang sekarang sudah menjadi Permendag No.27/2012, untuk menghindari masalah impor ilegal. Namun, sangat disesalkan Kemendag terlalu kendor dengan hanya memasukan referensi bank yang tidak mengikat. 

“Importir perlu menggunakan bank garansi sebagai jaminan kepada pemerintah. Kalau jaminan bank garansi di bea cukai untuk jaminan bea masuk. Jika importirnya tidak bayar bea masuk maka jaminannya dicairkan. Tapi, kalau kepada Kemendag, impor ilegal apa jaminannya yang bisa dicairkan kalau importirnya bermasalah,” paparnya.

Bank garansi ini, lanjut Natsir, memang menimbulkan biaya. Tapi biaya tersebut terhitung sangat kecil jika dibandingkan dengan permasalahan yang ditimbulkan. Oleh karena itu, bank garansi bisa menjadi salah satu tools (alat) kebijakan untuk mengurangi permasalahan tersebut untuk menjaga pasar domestik. 

“Kadin tetap berjuang untuk menjaga pasar domestik, meningkatkan daya saing, menggunakan produksi dalam negeri dengan tidak menyalahi ketentuan WTO,” pungkasnya.

(anovianti muharti)

sumber: Harian Ekonomi Neraca