Setelah jatuh ditimpa krisis, beban rakyat bakal bertambah: BBM akan naik dalam waktu dekat. Banyak yang cemas dengan rencana kenaikan yang kabarnya sampai 45 persen itu. Terutama sopir angkutan kota, sopir taksi atau kendaraan umum yang kondisinya kini megap-megap.
Berbagai kenaikan memang menimpa mereka: harga suku cadang naik, harga oli naik, ditambah lagi jumlah penumpang menurun. "Sekarang ini saya lebih sering nombok Mas, daripada untung," kata Eko, salah seorang sopir taksi Kosti.
Apakah benar harga BBM harus naik? Menurut Dr. Bachrawi Sanusi, dosen ekonomi Triksakti Jakarta, seharusnya pemerintah tak perlu menaikkan harga BBM. Jika kenaikan itu dipaksakan, "Wah gawat, sulit membayangkan apa akibatnya nanti. Kerusuhan pasti pecah," komentar pengurus lembaga perekonomian PB Nahdlatul Ulama ini.
Berikut pendapat doktor berusia 58 tahun itu kepada Iwan Setiawan dari TEMPO Interaktif yang mewawancarainya pada hari Selasa, 14 April, melalui telepon.
Dalam situasi yang tak menentu akibat krisis, apakah realistis menaikkan harga BBM?
Ketika gejolak ekonomi baru muncul di sekitar bulan Agustus 1997, saya sudah katakan jika pemerintah menaikkan harga BBM, maka nasib rakyat ibarat orang yang sudah jatuh tertimpa tangga. Akhirnya harga BBM tak dinaikkan. Tetapi jika sekarang harga BBM dinaikkan, maka rakyat ibarat sudah jatuh tertimpa reruntuhan gedung bertingkat. Jadi bukannya tertimpa tangga lagi, tapi gedung bertingkat. Mungkin rakyat bisa mati (tertawa).
Alasannya?
Karena kondisi sekarang jauh lebih sulit, dibanding Agustus 1997 lalu. Permasalahan yang dihadapi makin kompleks. Jadi dengan menaikkan harga BBM, pemerintah ingin mencari enaknya saja. Kita lihat saja, kurs rupiah di RAPBN yang tadinya ditetapkan Rp 4.000, lalu direvisi menjadi Rp 5.000. Itu berarti devaluasi 20 persen. Lalu sekarang direvisi lagi menjadi Rp 6.000. Jadi total rupiah terdevaluasi 40 persen dalam anggaran. Wajar jika kemudian pemerintah terpaksa mensubsidi BBM, karena merosotnya nilai rupiah disebabkan oleh pemerintah juga.
Mengapa Anda katakan wajar?
Harga BBM yang dijual ke masyarakat saat ini ditetapkan berdasarkan patokan harga minyak dunia yang tadinya 18 dollar per barel. Tetapi harga minyak mentah di dunia turun menjadi 14,5 dollar per barel. Jadi pemerintah mendapat tambahan laba bersih minyak sebesar 3,5 dollar per barel. Hanya karena nilai rupiah yang merosot terus, akhirnya pemerintah terpaksa mensubsidi BBM. Tetapi sebenarnya yang dilakukan pemerintah itu tidak dapat dikatakan subsidi seperti yang diharuskan dicabut oleh IMF. Karena yang tidak disetujui oleh IMF adalah apabila pemerintah mengambil uang negara untuk mensubsidi BBM.
Maksud Anda?
Artinya subsidi BBM yang tercantum dalam RAPBN sebesar Rp. 7,4 trilyun itu bukan berasal dari kas negara, tetapi dari keuntungan yang didapat dari selisih penurunan harga minyak di pasaran dunia tadi. Dan saya juga sependapat dengan Mentamben Kuntoro, bahwa Pertamina, PLN dan perusahaan gas negara harus dibenahi dulu. Termasuk juga soal kebenaran tentang biaya produksi yang mereka laporkan. Jika biaya produksi dapat ditekan lebih murah karena proses produksi lebih efisien, tentu tidak dibutuhkan lagi subsidi.
Dengan nilai rupiah yang terus merosot, bukankah subsidi sebesar Rp. 7,4 trilyun itu tidak mencukupi lagi untuk mempertahankan harga jual BBM?
Jelas subsidi sebesar Rp. 7,4 trilyun tak lagi cukup untuk mensubsidi BBM dan mempertahankan agar harganya tetap. Masalahnya, harga minyak mentah yang dipatok dalam APBN adalah 18 dollar per barel, sekarang kenyataannya di pasar dunia Cuma 14,5 dollar per barel. Jadi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, yang sebagian BBM itu diimpor dari luar negeri, pemerintah dapat menghemat 3,5 dollar per barel.
Seandainya pemerintah tetap memakai nilai kurs yang Rp 5.000 per dollar, seharusnya subsidi BBM dapat berkurang 19,4 persen, karena penurunan harga minyak yang 3,5 dollar per barel di atas. Tetapi kurs rupiah di APBN lantas direvisi menjadi Rp 6.000 per dollarnya, sehingga rupiah terdevaluasi 20 persen, sedangkan penurunan harga minyak dunia cuma 19,4 persen. Jadi pemerintah harus mensubsidi lagi selisih yang 0,6 persen itu. Artinya pemerintah harus menambah subsidi lagi sebesar 0,6 persen dari Rp 7,4 trilyun.
Kenyataannya kurs rupiah di pasaran berkisar Rp. 7.500 hingga Rp. 8.000 per dollarnya. Jika harga BBM tidak dinaikkan, pemerintah harus menambah lagi besarnya subsidi BBM dong?
Kita jangan dulu berbicara berapa besarnya subsidi BBM yang harus diberikan pemerintah dengan kurs sebesar Rp 7.500 hingga Rp 8.000, sehingga harga minyak dapat bertahan seperti sekarang. Kita harus membahas apa yang ada dalam APBN terlebih dulu. Karena perincian dalam APBN itulah yang menjadi perhitungan pemerintah.
Artinya pemerintah tidak dapat mempertahankan harga BBM, kecuali disubsidi?
Sekarang saya tanya, subsidi BBM itu 'kan akhirnya untuk kepentingan rakyat. Karena jika harga BBM dinaikkan, bagaimanapun juga yang kena akibatnya rakyat kecil. Menurut saya, berapapun harga BBM dinaikkan, para konglomerat itu masih bisa menyesuaikan, karena banyak di antara mereka yang melakukan praktek monopoli. Toh, subsidi itu sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai pengeluaran negara seperti yang dimaksud IMF. Subsidi itu 'kan berasal dari keuntungan menurunnya harga minyak dunia sebesar 3,5 dollar AS per barel tadi.
Jadi subsidi ini tidak membebani negara sebenarnya dan IMF harus mengerti akan hal ini. Seharusnya pemerintah untung, tetapi karena kurs rupiahnya merosot, akhirnya subsidi BBM membengkak. Perlu diingat sekali lagi bahwa merosotnya nilai tukar rupiah ini sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Jadi tidak adil jika rakyat kecil yang harus menanggung beban akibat merosotnya rupiah itu dengan menaikkan harga BBM.
Yang kedua, uang yang seharusnya untuk subsidi BBM itu digunakan untuk apa oleh pemerintah? Jika digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, saya setuju. Tetapi jika uang itu dipakai pemerintah untuk membangun jalan tol, pelabuhan atau bandara udara, saya tidak setuju. Karena yang akan menikmati, toh para konglomerat yang hutangnya banyak itu. Apa manfaatnya jalan tol dan lainnya itu untuk rakyat.
Selain solar dan minyak tanah, subsidi BBM itu sebetulnya digunakan untuk apa saja?
Subsidi itu digunakan untuk mengimpor solar, minyak tanah dan minyak mentah. Yang membuat tekor pemerintah adalah impor solar ini, karena subsidi yang terbesar memang untuk mengimpor solar. Khusus untuk subsidi minyak tanah, seharusnya dikaji lagi. Apakah benar masih perlu disubsidi sebesar sekarang.
Seberapa banyak BBM yang diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri?
Pemerintah mengimpor sekitar 15 persen dari total kebutuhan bahan bakar di dalam negeri.
Seberapa besar pemerintah mengimpor solar?
Kebutuhan solar untuk tahun 1998-1999 ini saja sebesar 141 juta barel, sedangkan kemampuan produksi Pertamina cuma 99 juta barel setahun. Artinya pemerintah terpaksa mengimpor solar sebanyak 42 juta barel, untuk memenuhi kebutuhan solar di dalam negeri. Jadi dapat kita bayangkan berapa besar pemerintah harus mensubsidi impor solar ini.
Mengapa subsidi solar masih dipertahankan, bukankah selama ini yang menikmati cuma sekelompok orang kaya saja. Buktinya 52,31 persen solar terserap untuk transportasi, untuk industri 29,23 persen, dan pembangkit listrik 18,46 persen?
Saya pernah bilang, mengapa dalam mengatasi permasalahan kebutuhan energi, yang diributkan selalu persoalan subsidi. Seharusnya pemerintah mengantisipasi persoalan ini sejak dini. Pemerintah harus berani membuat kebijakan lain untuk mengatasi ketergantungan masyarakat kepada BBM, terutama besarnya kebutuhan solar untuk kendaraan bermotor di dalam negeri.
Di jaman Jenderal M. Yusuf menjabat Menteri Perindustrian, dan saya masih menjadi anggota tim energi, saya pernah mengingatkan pembatasan pemakaian solar. Konyolnya saat itu justru sedang disiapkan diesel-isasi, pemakaian solar digalakkan. Saya menentang ide ini dengan alasan harga solar murah karena subsidi pemerintah. Tetapi peringatan saya tidak dihiraukan. Karena harga solar murah, orang lantas beramai-ramai impor mobil berbahan bakar solar. Jadi kesalahan masalah subsidi BBM ini memang sudah sejak dulu terjadi.
Kebijakan seperti apa yang Anda maksud?
Misalnya dengan mendorong penggunaan sumber energi selain BBM. Bukankah cadangan gas alam Indonesia besar. Seharusnya Menteri Perdagangan dan Perindustrian melarang impor kendaraan berbahan bakar solar atau setidaknya dikenakan pajak impor yang tinggi. Dan sebaliknya mendorong impor mobil berbahan bakar gas.
Khusus untuk industri, secara bertahap kebutuhan akan solar dapat digantikan batubara. Agar langkah ini berhasil, perlu dibuat suatu kebijakan yang isinya mendukung pemakaian sumber energi non-BBM. Misalnya dengan memberikan pajak impor yang murah untuk mobil berbahan bakar gas. Sebaliknya, untuk industri yang menggunakan solar atau BBM, seharusnya dikenai pajak yang tinggi.
Bagaimana dengan subsidi terhadap minyak tanah?
Saya kira pemberian subsidi terhadap minyak tanah perlu dipikirkan kembali. Saat ini dari pengamatan saya, pemakaian minyak tanah untuk tujuan komersial juga tinggi. Lihat saja di restoran-restoran, baik yang besar maupun yang di kaki lima, minyak tanah juga banyak dipakai. Sebagian besar memakai kompor minyak tanah, belum lagi penggunaan lampu yang memakai bahan bakar minyak tanah.
Bukankah minyak tanah sebagian besar digunakan untuk keperluan rumah tangga, bahkan untuk keperluan industri hanya kurang dari satu persen?
Pendapat ini sepuluh tahun yang lalu mungkin benar. Pemakaian minyak tanah saat itu sebagian besar untuk kebutuhan rumah tangga. Listrik ketika itu juga belum menjangkau seluruh kawasan pedesaan. Tujuan dari subsidi minyak tanah adalah untuk rakyat pedesaan yang masih menggunakan lampu minyak tanah untuk penerangan. Ketika itu mereka amat tergantung pada minyak tanah, tetapi sekarang sepertinya tidak lagi.
Masalah ini dapat diatasi pemerintah dengan mengganti kompor minyak tanah dengan kompor berbahan bakar briket. Briket batu bara ini tidak kalah dari minyak tanah, dan harganya jauh lebih murah. Atau dengan cara mengenakan pajak yang lebih tinggi terhadap minyak tanah, jika digunakan untuk tujuan komersial. Jika minyak tanah digunakan untuk keperluan rumah tangga, baru harganya lebih rendah.
Artinya Anda setuju jika harga BBM tidak dinaikkan hingga kondisi ekonomi membaik?
Jelas dong. Sekarang kan IMF bilang bahwa secara makro subsidi BBM tidak boleh karena akan menambah beban pengeluaran negara. Tetapi saya ingin tanya, jika pemerintah mengeluarkan tax holiday, siapa yang diuntungkan? Nggak adil dong jika di satu sisi dilarang mensubsidi BBM yang akan menolong kepentingan rakyat kecil, tetapi di lain pihak pemerintah memberi tax holiday pada para konglomerat. Jelas hal ini hanya akan menguntungkan konglomerat dan orang asing, selain itu tax holiday ini juga mengurangi penerimaan pemerintah. Jadi selain penerimaan dana pemerintah berkurang, rakyat kecil dirugikan.
Bagaimana jika pemerintah tetap menaikkan harga BBM, dengan alasan untuk mengurangi pengeluaran negara?
Pemerintah jangan bicara seperti penjual di Tanah Abang, yang dengan alasan merugi lantas menaikkan harga dagangannya seenaknya sendiri. Untuk urusan BBM ini, pemerintah juga berlaku begitu, dengan alasan rugi terus lantas mencabut subsidi. Tetapi jika mendapat keuntungan lebih sebagai akibat turunnya harga minyak dunia, pemerintah diam- diam saja, nggak pernah mau omong. Padahal keuntungannya berlipat-lipat.
Kenyataannya begini, akibat penurunan harga minyak dunia, pemerintah bisa menghemat pengeluaran sebesar 19,4 persen untuk impor minyak bumi. Karena dari 18 dollar per barel, sekarang turun hanya 14,5 dollar per barel. Jika kurs rupiah berubah dari Rp 5.000 menjadi Rp. 6.000, maka jumlah rupiah yang didapat pemerintah juga bertambah sekitar 20 persen. Bayangkan berapa banyak keuntungan bersih dari selisih harga minyak dan devaluasi kurs rupiah itu saja, dan belum ditambah keuntungan dari laba penjualan minyak.
Apalagi sekarang kurs dollar di pasaran berkisar Rp. 8.500, sedangkan dalam APBN cuma Rp 6.000. Dan terjadi penurunan harga minyak dunia sebesar 3,5 dollar per barel, maka pemerintah mendapat keuntungan rupiah lebih besar. Ditambah hasil ekspor minyak, keuntungan yang didapat juga besar, karena dibayar dengan dollar. Gila! Menurut saya, sepanjang pendapatan yang didapat dari ekspor masih lebih besar dari subsidi yang diberikan untuk mengimpor minyak, harga tak harus dinaikkan. Artinya pemerintah masih mendapat keuntungan.
Jika pemerintah masih untung, mengapa harga BBM akan dinaikkan?
Di sinilah inti masalahnya. Akibat krisis ekonomi yang dipicu oleh macetnya utang swasta di luar negeri, saat ini pemerintah kebingungan untuk mencari alternatif sumber pendapatan lainnya. Tetapi tidak ada sumber pendapatan selain minyak, sehingga pemerintah akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga BBM. Jadi konglomerat yang punya utang di luar negeri, tetapi bebannya rakyat yang menanggung. Kenaikan BBM ini hanya untuk menghisap uang rakyat, untuk mengatasi utang konglomerat.
Di tengah kondisi ketidak pastian seperti ini, dimana harga-harga naik, sementara di lain pihak jumlah pengangguran membengkak, apa akibatnya jika BBM naik?
Wah gawat, sulit membayangkan apa akibatnya nanti. Kerusuhan sosial pasti pecah dimana-mana, bahkan saya khawatir bisa mengarah pada pemberontakan. Karena rakyat sudah nggak tahan lagi menanggung beban.
Tempo, Edisi 07/03 - 18/April/1998