Pemerintah Nekat Menaikkan Harga BBM


"Pemerintah nekat". Itulah ungkapan yang keluar dari mulut ahli energi Dr. Bachrawi Sanusi saat diwawancarai Purwani Diyah Prabandari dari TEMPO Interaktif, Jumat, 8 Mei. Menurut Bachrawi, pemerintah sudah tahu social cost-nya. Juga sudah tahu bahwa sebenarnya pemerintah masih bisa memberikan subsidi BBM dalam negeri dengan keuntungan ekspor migas. Toh itu tidak dijalankan. Menurut staf pengajar di Universitas Trisakti ini, beban pemerintah cukup berat. Untuk itu harus ada pemasukan untuk menanggulangi permasalahan keuangan di sektor lainnya. Berikut petikan wawancara itu.

Bagaimana dengan kenaikan harga BBM sekarang?
Direktur BI Syahril Sabirin pernah mengatakan bahwa kenaikan harga BBM itu tak akan berdampak pada suku bunga. Tetapi ternyata memang tidak ada jalan lain. Suku bunga SBI sangat tinggi sekarang. Malah beberapa jam sebelum Mentamben mengumumkan, saya mengatakan bahwa kenaikan harga BBM akan menyebabkan biaya sosial yang lebih mahal. Kenaikan harga BBM ini bisa dikatakan jauh lebih murah dibanding harga dampak sosialnya.

Mengapa pemerintah bersikeras menaikkan harga BBM dalam situasi sulit seperti sekarang?
Menurut saya, pemerintah nekat betul. Saya pernah katakan bahwa keadaan ekonomi masyarakat kita itu sudah seperti balon yang ditiup penuh. Jadi kalau ditiup lagi dengan kenaikan BBM, pecahlah balon ini. Betul juga. Medan sudah meledak. Padang juga. Banyak kota yang sudah meledak. Gubernur BI mengatakan bahwa kenaikan suku bunga SBI ini bukan karena kenaikan harga BBM, tetapi karena alasan non ekonomi. Dia menuduh karena adanya unjuk rasa. Ini sama saja dengan Orde Lama. Situasi politik dan ekonomi yang merosot, yang disalahkan justru mahasiswa. Ini tidak benar.

Bagaimana dengan sekarang?
Mustinya sama. Jangan mencari-cari kambing hitam. Jangan meniru Orde Lama, membunuh sesama orang Indonesia.

Ada apa di balik kenaikan harga BBM yang dilakukan pada saat yang kurang tepat ini?
Saya memang menyayangkan kenapa pemerintah tergesa-gesa. Pada tahun 1992-1993, memang ada subsidi Rp 30 per liter. Dan pada tahun 1993, pemerintah menaikkan harga BBM. Kemudian pada 1993-1994 ada gejala bahwa pemerintah tetap minta kenaikan harga, meskipun ada subsidi. Namun menurut saya, selama ini tidak ada subsidi.
Minyak dan gas bumi juga merupakan satu kelompok, jangan dipisah-pisahkan hitungannya. Umpamanya ekspor minyak, baik minyak mentah atau hasil olahan, ditambah lagi dengan gas bumi. Itu merupakan keuntungan bersih dari pemerintah. Pemerintah juga salah menaruhnya di penerimaan, yang seharusnya di pendapatan dalam negeri dari sektor migas. Dalam UUD 1945 tidak ada istilah penerimaan. Yang ada adalah anggaran pendapatan dan belanja negara.

Bedanya?
Kalau Anda gajinya Rp 2 juta, itu berarti pendapatan. Tetapi kalau Anda pinjam juga di tempat kerja Anda Rp 1 juta, penerimaan Anda menjadi Rp 3 juta. Sama juga dengan APBN. Kalau ada penerimaan dalam negeri, sebenarnya itu pendapatan dalam negeri. Tetapi, kalau ada pinjaman luar negeri, itu semuanya disebut penerimaan. Yang pasti, pendapatan dalam negeri jauh lebih besar daripada ruginya. Saya tidak mau bilang subsidi. Rugi dari penjualan BBM di dalam negeri itu yang selama ini dibilang subsidi.

Kenapa Anda tidak bilang itu subsidi?
Karena kalau pemerintah beli beras Rp 1.000, menjual Rp 750, itu baru namanya subsidi. Kenapa subsidi? Karena uang Rp 250 itu bukan dari hasil beras, tetapi uang dari pajak atau juga dari ekspor migas, dll. Tetapi kalau misalnya minyak tanah dijual Rp 350, biaya produksinya Rp 700, itu bukan subsidi. Karena yang Rp 350 diambil dari keuntungan ekspor migas.

Tetapi, apakah keuntungan ekspor migas itu mencukupi untuk menalangi harga minyak dalam negeri ?
Jelas. Dengan revisi APBN pertama, pendapatan minyak kita Rp 24 trilyun lebih. Pendapatan gas bumi, Rp 10,5 trilyun. Jadi, pendapatan minyak sekitar Rp 34, 5 trilyun.
Dengan adanya kebijaksaan revisi APBN kedua dan nilai dollar menjadi Rp 6.000/dollar AS, berarti rupiah turun 20 persen. Kalau dihitung dari dollar ke rupiah, pendapatannya makin besar. Seharusnya tambah 20 persen dari 34,5 trilyun. Tetapi, karena minyak mentahnya turun dari 17 dollar AS/barel menjadi 14,7, tambahnya bukan 20 persen, melainkan 20 persen dikurangi 14,7 persen, menjadi 5,3 persen.
Berarti dalam revisi kedua, menurut penghitungan saya, dari Rp 24 trilyun pendapatan ekspor minyak, menjadi Rp 25,28 trilyun. Kemudian gas bumi, Rp 10 trilyun menjadi 11 trilyun. Jadi setelah revisi kedua, jumlah pendapatan dari keuntungan ekspor migas adalah Rp 36,36 trilyun, dengan kurs Rp 6.000 dan dengan harga minyak dunia yang sudah turun. Kalau harga BBM tidak dinaikkan, menurut pemerintah, kita perlu subsidi Rp 16 trilyun.
Anda bandingkan, untung Rp 36 trilyun dari ekspor dan rugi Rp 16 trilyun kalau dijual di dalam negeri.

Dan apakah itu sudah diperhitungkan ongkos produksi BBM yang seharusnya lebih efisien?
Jangan bicara soal efisiensi. Pertamina maupun PLN tidak efisien. Uang banyak dihabiskan untuk tunjangan anggota keluarga karyawan. Sudah berapa banyak uang yang diberikan untuk mereka-mereka. Jadi sebaiknya semua pegawai dianggap bujangan, dan ini yang membuat efisiensi. Menurut saya, kalau harga BBM naik, yang jadi imam kenaikan selalu BUMN. Padahal dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, itu untuk kemakmuran rakyat. Tetapi ternyata setiap ada kenaikan harga barang atau jasa, bukan menambah kemakmuran rakyat, tetapi mengurangi kemakmuran rakyat. Belum lagi semua jenis fasilitas dan biaya lain seperti biaya siluman.

Mengapa pemerintah tetap menaikkan harga?
Masalahnya, beban pemerintah berat. Hal ini karena pemerintah mengeluarkan pengeluaran rutin, pembangunan, juga ada pengeluaran yang makin besar yaitu cicilan dan bunga utang luar negeri.

Apakah keuntungan ekspor itu dimungkinkan untuk menalangi utang luar negeri tersebut?
Jelas. Dalam APBN begitu. Susunan penerimaan di sisi kiri adalah pendapatan dalam negeri dari migas dan non-migas, ditambah pinjaman dan bantuan luar negeri. Di sisi kanan adalah pengeluaran rutin. Yaitu anggaran pengeluaran belanja barang, belanja pegawai dan termasuk juga cicilan utang luar negeri plus bunga. Dan juga berbagai subsidi serta pengeluaran pembangunan.
Umpama uang tadi kurang, itu berarti tidak bisa menutupi utang yang sekarang dengan kurs Rp 6.000. Tanpa ada tambahan utang pun, cicilan itu telah berubah dari Rp 37,8 trilyun menjadi Rp 45,4 trilyun. Ditambah lagi kalau BBM disubsidi. Besarnya Rp 7 trilyun ditambah Rp 16 trilyun. Pemerintah tidak punya jalan lain.
Maka dari itu saya menyayangkan mengapa Mentamben mau melibatkan diri dalam perkara soal subsidi. Sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, dia punya posisi secara teknik. Itu yang harus dia tahu. Mentamben hanya mencari minyak, tambang dan energi. Juga kemudian menghasilkan tambang dan energi lewat eksplorasi, produksi dan pengolahan. Dia bertanggung jawab dari segi volume, bukan dari segi value. Jadi, dia bertanggung jawab atas pengadaan energi atau listrik, BBM untuk dalam negeri, juga upaya meningkatkan ekspor. Sementara, harga ekspor tergantung pasar luar negeri. Dari segi harga BBM, subsidinya mau dihapus atau tidak, itu tergantung Menteri Keuangan dan Bappenas.

Jadi, siapa yang harus bertanggung jawab?
Yang bertanggung jawab atas krisis ekonomi sekarang ini ada tiga pihak. Pihak yang pertama adalah Bappenas. Bappenas jangan hanya merancang jalan saja, tetapi juga berfungsi menjadi lembaga evaluasi. Jadi ubah nama Bappenas menjadi Badan Perencaaan dan Evaluasi Pembangunan Nasional.

Siapa yang kedua?
DPR dan MPR. Tahu-tahu negara kita sudah hancur, tanpa mereka berbuat apa-apa. Dengan kenaikan harga BBM, mereka langsung panggil Mentamben. Jangan panggil dia. Mentamben hanya tahu tanggung jawab terhadap pengadaan BBM, bahan tambang, mengekspor, eksplorasi, dan masalah semacam itu. Tetapi soal harga, uang subsidi buat apa, itu bukan urusan dia. Itu urusan Menteri Keuangan dan Bappenas. Merekalah yang menyediakan uang. Mungkin Mentamben dapat tekanan atau instruksi dari Bappenas untuk menaikkan harga.

Yang ketiga?
Lembaga-lembaga pengawasan, mulai dari BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal, dll. Sekarang sedang trend bicara korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk itulah peran mereka sangat diperlukan. Cukup satu saja pengawasnya, BPK. Yang lain dibubarkan saja. Suatu sekolah, kalau terlalu banyak pintu, muridnya pada kabur.

Apa yang bertanggung jawab bukan pemimpin tertinggi?
Saya tidak mau jawab itu. Kalau masalah itu, tanya ke MPR. Maka dari itu, saya menyayangkan mahasiswa yang hanya menuntut reformasi. Harga BBM dinaikkan, itu reformasi. Ekonomi direformasi dalam rangka menyehatkan perbankan dan dunia usaha. Jadi, tuntutan semacam itu tidak tepat. Tuntutlah mereka yang banyak bicara waktu pemilu.

Jadi, kenaikan harga BBM ini tidak rasional?
Ya. Maka dari itu saya bilang, tiga pihak itulah yang harus bertanggung jawab.


Tempo, Edisi 10/03 - 9/Mei/1998