Migas dalam Penanaman Modal Asing

Sejak jaman dahulu bumi Indonesia kaya akan beraneka sumber daya alam, baik sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan lain-lain, juga sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui lagi (un-renewable) seperti tambang, baik berupa batubara, minyak dan gas (migas) maupun hasil tambang lainnya.

Untuk menghasilkan sumber daya alam yang aneka rupa itu diperlukan dana atau modal/investasi yang sangat besar, terutama untuk bidang migas. Selain investasi yang sangat besar juga dibutuhkan teknologi yang tinggi, keahlian serta risikonya sangat besar, terutama jika hasil pengeboran tidak ditemukan migas.

Oleh karena Indonesia ingin menjadi bangsa yang adil dan makmur sesuai UUD 1945, maka diperlukan pembangunan di segala sektor dan bidang. Untuk itu dibutuhkan dana yang sangat besar. Salah satu yang diharapkan bisa mendatangkan sumber dana bari pembangunan selain potensi yang sangat kecil dari dana di dalam negeri, juga sangat besar jika Indonesia berhasil ekspor aneka sumber daya alam, termasuk juga keberhasilan Indonesia memperoleh Bantuan Luar Negeri.

Untuk itulah layak jika pada awal Orde Baru keluarlah UU yang berkenaan dengan Penanaman Modal Asing, yakni seperti yang diatur di dalam UU No. 1 tahun 1967, oleh karena sumber daya alam seperti migas juga sejak lama menjadi produk ekspor dunia (perlu diingat Indonesia sudah tidak lagi jadi negara pengekspor migas sejak 2003, terutama minyak, penulis juga sudah mengingatkan migas merupakan sumber daya alam yang un-renewable, sementara kebutuhan dalam negeri lebih tinggi daripada ketersediaan sumber daya alam, Red), maka layak dengan dibukanya peluang bagi modal asing berusaha di Indonesia. Maka semakin banyaklah kontraktor migas asing yang melakukan operasinya di Indonesia, terutama di lepas pantai (offshore) yang berhasil baik (pertanyaannya, apakah pemodal dalam negeri yang pure nasionalis bisa melakukannya? jangan sampai juga melancarkan modal asing namun soul adil dan makmur berdasarkan UUD 1945 hilang, namun hanya dimanfaatkan sekelompok golongan, kemana jiwa merah putih?, Red).

Pengaruh Penanam Modal Asing Terhadap Ekspor

Phyllis Rosandale mengemukakan, bahwa modal asing pegang peranan penting di dalam proses membaiknya realisasi serta prospek hasil ekspor selama tahun 1970-an. Masalahnya kebanyak produk ekspor Indonesia utama periode tahun 1950-an dan periode 1960-an tidak mempunyai kemantapan permintaan terhadap produk Indonesia, juga selalu mengalami penurunan harga di pasaran dunia. Empat dari lima produk tradisional ekspor Indonesia utama, seperti karet, kopi, teh dan lada, pasarannya lambat perkembangnnya, sedangkan pasaran bagi barang ekspor utama ke lima, yakni kopra, justru turun setelah perang dunia kedua.

Sekiranya Indonesia masih tetap mempertahankan komposisi produk ekspornya seperti periode tersebut, maka peluang untuk menghasilkan devisa ekspor menjadi kecil, apapun yang terjadi di sektor penawaran dalam negeri. Satu-satunya cara yang umumnya berlaku bagi negara kecil untuk menghindar dari prospek yang tidak begitu baik dalam perdagangan internasional yakni dengan cara keberanian mengubah komposisi ekspornya, mencakup lebih banyak barang yang mempunyai prospek lebih baik dilihat dari segi perkembangan harga maupun jumlahnya.

Masalahnya, faktor kemajuan sebagian juga karena adanya kebijakan ekonomi yang lebih baik (untuk siapa?, Red), untuk itu Indonesia dianggap telah berhasil melakukan hal tersebut selama sepuluh tahun sejak tahun 1967 (kebijakan ekonominya hanya berefek sepuluh tahun? apakah tidak ada yang bisa lebih visioner?, Red).

Penanaman modal asing sebagai penggerak utama bagi pertumbuhan ekspor barang-barang mineral dan kayu, satu-satunya sektor yang tumbuh karena investasi yang dilakukan pemerintah adalah bidang tambang timah. Perkembangan ekspor minyak bumi, kemudian bertambah dengan ekspor gas bumi LNG dan LPG, kayu, tembaga, nikel serta seluruhnya bersumber karena masuknya modal swasta asing, terutama swasta asing yang berhasil menambang migas selama ini.

Terbesar dari hasil migas yakni berasal dari ekspor, terutama gas bumi, sedangkan minyak bumi dikhawatirkan jumlah produksi minyak dalam negeri tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan BBM di dalam negeri, yang berarti Indonesia akan menjadi negara net importir minyak (sudah 12 tahun lamanya, bahkan sejak penulis selalu melakukan riset sejak tahun 1980-an, selalu mengingatkan tentang supply dan demand, mengingat migas adalah un-renewablemaka tak pantas Indonesia dijuluki “Kaya akan Minyak”, bukan hanya ekspor perlu mengubah komposisi, pengguna migas sepertinya juga perlu, Red).

Ini berarti pula yang selama ini minyak bumi bisa menghasilkan devisa ekspor, maka pada saatnya Indonesia harus mengeluarkan devisa/dana untuk impor BBM. Oleh karena itu, pihak Pertamina terus memberikan insentif baru yang saling menguntungkan terutama bagi kontraktor migas asing. Dengan kata lain, jika produksi migas meningkat, harga migas dunia makin baik, maka hasil ekspor akan meningkat.

Hasil ini secara berantai akan menambah pendapatan dalam negeri dari migas, menambah dana pembangunan di segala sektor/bidang maupun regional, dan pada akhirnya akan menambah pertumbuhan ekonomi Indonesia (mudah-mudah tidak ‘nyasar’ atau ngendondi suatu tempat, penggunaan dari pendapatan dalam negeri, Red). Karena adanya keberhasilan pembangunan di segala sektor/bidang, terutama karena adanya dana pembangunan dari hasil migas, ternayta usaha bidang-bidang lain di luar migas ikut berkembang, sekaligus juga semakin banyaknya para investor asing menanam modalnya untuk usaha non migas.


Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002

Ekonomi Setelah Merdeka (Bagian 2 - Selesai)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia maupun pertumbuhan ekonomi per sektor atau seluruh PDB/GDP Indonesia yang banyak ditunjang oleh peran pemanfaatan uang migas maupun migas sebagai energi atau bahan baku, juga tidak bisa lepas karena harga jual BBM di dalam negeri khususnya jauh lebih murah atau lebih rendah dibandingkan dengan harga BBM di luar negeri. Oleh karena itu di satu pihak semua sektor/lapangan usaha memperoleh bantuan dari negara berupa harga BBM yang jauh lebih rendah sehingga minimal bisa menekan biaya produksi serta bisa meningkatkan daya saing, tetapi sebaliknya semakin jumlah BBM yang dibutuhkan dan harganya di bawah biaya produksi BBM per liternya, berarti jumlah subsidi BBM makin lama makin membengkak.

Besar kecilnya jumlah subsidi BBM bukan karena tergantung harga jual BBM-nya rendah, tetapi yang sangat menentukan karena semakin besarnya jumlah subsidi BBM, yakni pertama, jumlah kebutuhan BBM terus meningkat. Kedua, meningkatnya harga minyak dunia makin mahal dan dalam harga/nilai Dollar AS. Ketiga, jika kurs rupiah makin merosot tajam terutama terhadap Dollar AS. Akibatnya terpaksa pemerintah bersama DPR setuju menaikkan harga BBM, walau seharusnya pemerintah berkewajiban agar daya beli masyarakat harus terus ditingkatkan dan merupakan salah satu tugas serta tanggung jawab pemerintah, bukan sebaliknya justru kenaikan harga BBM maka daya beli rakyat kecil, khususnya semakin turun tajam.

Secara riil pendapatan rakyat kecil khususnya terus merosot, dengan kata lain daya beli hasil pendapatan rakyat kecil makin kurus atau menyusut tajam (rakyat sebenarnya, bukan rakyat yang selalu gonta-ganti kendaraan pribadi atau gonta-ganti status online dengan gadget bukan buatan dalam negeri pula, Red).

Kalau saja pemerintah mampu menurunkan kurs Dollar AS, katakan saja dari Rp9.000 per US$ bisa menjadi antara Rp3.000 sampai Rp4.000 pasti subsidi BBM tidak membengkak dan harga BBM tidak perlu naik (tapi kan, nanti ‘kue’ dari selisih nilai/harga gakebagian, suara rakyat mana yang sedang diwakilkan?, Red). Kalaupun harga minyak dunia katakan saja turun 20 persen secara Dollar AS, tetapi jika kurs rupiah turun lebih dari 40 persen terhadap US$ berarti secara rupiah harga BBM lagi-lagi pemerintah seperti tidak punya usaha positif dan selalu mengambil enaknya saja menjual sumber daya alam berupa warisan migas yang usianya sudah lebih 100 tahun, yakni dengan seenaknya saja menaikkan harga BBM.

Walau ada alasan bahwa uang subsidi BBM katanya untuk mengentas kemiskinan, nampaknya kebijakan ini sangat tidak tepat, yang pasti dikhawatirkan justru yang muncul kebocoran dana subsidi BBM yang merugikan rakyat banyak.

Dengan kata lain, sebenarnya adanya subsidi BBM untuk membantu merangsang produksi sektor non migas bisa meningkat tajam. Perhatikan saja adanya perubahan struktur ekonomi Indonesia juga harus diingat bahwa subsidi BBM seperti minyak tanah sebenarnya sejak lama mempunyai latar belakang yang baik terhadap lingkungan hidup, terutama bagi keamanan rakyat banyak, untuk itu agar rakyat tidak menebang pohon sebagai bahan bakar (namun yang terjadi sekarang ditebang untuk buka lahan perkebunan dengan kamuflase kebakaran hutan karena ada titik api dari bawah tanah, padahal hutan Indonesia salah satu paru-paru dunia, Red). Karena penebangan pohon secara seenaknya saja akibat minyak tanah mahal atau tak terjangkau untuk dibeli oleh rakyat kevil sehingga muncul penebangan pohon-pohon secara liar, akibatnya banyak daerah yang tanahnya longsor dan banjir ketika hujan (penulis pun mengetahui banjir akan tiba karena hutan tidak dilindungi, Red).

Banyak Oknum

Oleh karena itu, sudah sejak lama minyak tanah, khususnya selalu diberi subsidi, tetapi niat upaya baik pemerintah terutama pada masa ekonomi yang tak menentu akhirnya makin banyak oknum pengusaha yang nakal, karena harga minyak tanah yang sangat murah makan bukan hanya BBM, khususnya minyak tanah, solar dan lain-lain diseludupkan ke luar negeri tetapi minyak tanah juga dicampur dengan premium atau solar, sehingga merugikan konsumen BBM karena mesin kendaraannya rusak berat.

Untuk itu pengawasan dari pihak Pertamina harus diperketat kalau perlu bekerjasama dengan dunia pers (lah, mereka juga di’lindungi’ atau di’legal’kan, Red) dan rakyat setempat di mana BBM dijual, juga dengan catatan mereka itu mau bekerja keras tanpa adanya harapan munculnya KKN.

Yang pasti karena adanya subsidi BBM, maka secara tidak kentara sebenarnya pertumbuhan ekonomi di berbagai lapangan usaha terus meningkat. Misalnya saja, harga jual gas bumi untuk pembuatan pupuk urea khususnya sangat murah, ini banyak membantu para petani terutama sebagai penghasil tanaman padi, pada gilirannya GDP/PDB di sektor pertanian bisa terus meningkat, karena antara lain adanya pupuk urea itu, produksi padi meningkat, juga contoh lain karena harga BBM bersubsidi maka memungkinkan banyak yang butuh kendaraan bermotor, sehingga produksi kendaraan bermotor dan industri lainnya juga ikut meningkat, akhirnya struktur ekonomi yang semula sektor pertanian yang sangat dominan kemudian menyebar dan struktur pertanian makin kecil (pertanda baguskah? Sebelum era mesin masuk, perkembangan di Indonesia sangat bagus, tapi begitu market/pasar jenuh, lupa akan kebutuhan migas semakin meningkat sementara produk fosil sewaktu-waktu akan habis, dan tidak mempersiapkan subtitusi lainnya, Red). Dengan kata lain karena peran migas terutama dalam perekonomian Indonesia sangat besar.

Walau secara teori ada yang menilai bahwa peran migas hanya sekitar kurang dari satu persen, katakan saja untuk menghasilkan jasa hotel. Tetapi bagaimana kalau listriknya pada karena tidak ada BBM-nya, apa arti hotel itu? Justru sebaliknya kerugiannya sangat besar. Begitu juga mobil kalau secara teori katakan saja peran BBM hanya sekitar 10-15 persen, tetapi apakah mobil itu bisa berfungsi dan menghasilkan sekiranya tidak ada BBM? Dengan kata lain peran Migas dalam perekonomian bukan hanya dapat dilihat dari hasil nilai mata uangnya, juga harus dilihat atau diperhitungkan dari pemanfaatannya, apakah sebagai energi atau bahan baku industri? Selain itu juga harus dilihat dari keberadaan atau kecukupan BBM.

Ekonomi dunia akan lumpuh sekiranya OPEC menghentikan produksi atau ekspor minyaknya. Sebagai gambaran dalam tabel 1 akan terlihat perkembangan jumlah pertumbuhan konsumsi dan subsidi BBM dari tahun 1985/86 hingga tahun 1993/94

Tabel 1
Pertumbuhan Konsumsi dan Jumlah Subsidi BBM
1985/86-1993/94
Tahun Anggaran
Konsumsi BBM/Jutaan
KL Subsidi/Miliar Rp.
1985/86
24,45
374,2
1986/87
24,51
*)
1987/88
26,38
401,8
1988/89
27,84
133,1
1989/90
29,70
705,9
1990/91
33,84
3.301,0
1991/92
36,24
1.209,7
1992/93
39,03
691,8
1993/94
41,38
**)
Note:       *) Tidak ada subsidi, tetapi ada Laba Bersih Minyak (LBM), karena harga jual   per liter lebih tinggi dibandingkan biaya produksi per liter. Sehingga terdapat LBM sebesar Rp825 miliar, **) begitu juga pada tahun 1993/94 terdapat LBM Rp1.040,7 miliar.
Sumber: Diolah dari Data dan Informasi Minyak, Gas dan Panas Bumi edisi ke 2, Ditjen Migas, 1995

Oleh karena harga minyak dunia terus naik da kurs rupiah anjlok menjadi nyaris Rp10.000 per US$ pada 2000, maka layak walau harga BBM dinaikkan tetapi jumlah subsidi BBM mencapai puluhan triliun rupiah, bahkan nyaris jumlah subsidi BBM mencapai Rp60 triliun. Masalah utama karena pemerintah tidak berhasil mengupayakan perbaikan ekonomi secara profesional sehingga kurs rupiah terus merosot tajam, akibatnya walaupun harga minyak dunia tidak naik, bahkan turun (harga dengan nilai US$nya), tetapi sekiranya presentase ambruknya kurs rupiah terhadap Dollar AS khususnya jauh lebih besar, maka mau tidak mau jumlah subsidi BBM makin membengkak.

Ketidakberhasilan Pemerintah Perbaiki Perekonomian

Nampaknya DPR kurang jeli yang seolah-olah selalu setuju saja setiap usulan pemerintah untuk menaikkan harga BBM atau menaikkan tarif jasa apapun. Seharusnya yang dinilai DPR terutama yang berkaitan ketidakberhasilan pemerintah melaksanakan ekonomi dan moneter yang baik, yang sangat bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat banyak umumnya, rakyat kecil khususnya.

Malah di satu pihak pemerintah tidak berhasil mengerem ambruknya kurs rupiah, malah anggaran atau APBN yang terus rugi atau defisit di atas Rp50 triliun masih dibiarkan, tanpa adanya usaha memperkecil jumlah anggaran belanja. Defisit anggaran yang tiap tahun terus membengkak juga bisa sebagai salah satu sebab sehingga kurs rupiah terutama terhadap US$ terus ambruk, seharusnya segala rupa pengeluaran atau anggaran belanja negara harus mampu diperas sesuai dengan kemampuan pendapatan dalam negeri khususnya.

Sebenarnya negara-negara maju atau industri yang menjadi pengendali utama IMF atau Bank Dunia sudah lebih dari 100 tahun mereka mendapat subsidi harga minyak secara tidak kentara terutama subsidi harga minyak dunia dari OPEC.

Misalnya dengan cara memaksa atau meminta kepada OPEC atau produsen minyak yang termasuk nermasuk negara berkembang tetapi bukan anggota OPEC agar mereka mau bersedia menambah produksinya. Ini berarti pasaran minyak dunia akan mampu memenuhi jumlah demand (permintaan minyak dunia bahkan kalau dapat berlebihan, akhirnya harga minyak turun. Ini berarti sangat menguntungkan negara-negara besar yang industri.

Bukankah hal ini bisa diartikan selama ini keberhasilan negara maju atau industri karena keberhasilan perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia milik negara maju atau industri selaku konsumen/pengimpor minyak yang sudah sejak lama selalu berhasil memainkan harga minyak dunia semurah mungkin lewat melebihnya produksi minyak dunia terutama dari OPEC dibandingkan jumlah kebutuhan atau permintaan minyak dunia. Dimana terbesar kebutuhan minyak dunia diminta oleh negera-negara industri terutama yang termasuk dalam kelompok OECD.

Oleh karena itu, dalam pasaran global juga masih layak jika negara penghasil minyak seperti Indonesia bisa melakukan kebijakan memberi subsidi BBM, apalagi jika diingat daya beli masyarakat pada umumnya sangat rendah. Oleh karena Indonesia semakin tergantung dari hutang luar negeri, maka layaklah jika segala kebijakan ekonomi, moneter, fiskal atau swastanisasi BUMN, bahkan perubahan politik atau perubahan UUD 1945 akhirnya bisa dikendalikan bahkan didikte atau dipaksa sesuai pemintaan pihak asing.

Kamuflase GDP/PDB

Ini berarti seperti yang pernah penulis utarakan pada 1997 di beberapa media massa kalau Indonesia masih terus tergantung dengan IMF khususnya, maka akhirnya Indonesia bisa dipermainkan seperti ikan lumba-lumba (eh, namaku lagi, Red) atau binatang sirkus (nah, tempatku kerja, Red). Segalanya serba diatur oleh pihak asing, malah dikhawatirkan kelak jumlah GDP/PDB Indonesia yang makin besar bisa terbesar adalah milik para investor luar negeri atau investor asing (ternyata bukan GDP/PDB rakyat Indonesia sendiri, Red).

Oleh karena itu, tidak heran hingga kini para ahli lebih senang mengukur GDP/PDB bukan GNP/Pendapatan Nasional Bruto (PNB). Karena GNP/PNB Indonesia dikhawatirkan makin lama makin kecil karena sebagian besar dari hasil GDP/PDB harus diserahkan ke pihak asing yang telah banyak berhasil memperoleh untung besar apalagi sudah sejak lama masa Orde Baru mereka telah ditunjang oleh berbagai fasilitas seperti adanya subsidi BBM (jadi selama ini subsidi BBM bukan untuk rakyat?, Red), subsidi tarif listrik dan aneka fasilitas-fasilitas lainnya.

Oleh karena itu sangat tepat sekiranya harga BBM atau tarif listrik/telkom/angkutan boleh naik tetapi hanya kepada perusahaan/investor asing yang labanya sangat besar. Walau nampaknya pemerintah tidak akan melaksanakannya, karena khawatir Indonesia akan kehilangan investor asing. Ini berarti yang menikmati segala rupa subsidi BBM khususnya terutama para pengusaha yang sepenuhnya atau sebagian modalnya milik asing.

Karena selalu muncul rasa takut larinya para investor asing ke negara lain, yang berarti akan terjadi lenyapnya berbagai lapangan kerja dan khawatit pengangguran makin melonjak jumlahnya, maka akhirnya segala rupa kenaikan harga maupun tarif yang tidak selektif, akhirnya yang sangat menderita yakni rakyat banyak.

Mungkin apa yang penulis anggap bahwa subsidi BBM sama saja dengan negara-negara industri pengimpor minyak yang berusaha agar OPEC menambah kuota produksinya dengan maksud agar jumlah penawaran lebih besar dari jumlah permintaan minyak dunia. Akibatnya harga minyak dunia turun, semakin harga minyak dunia anjlok berarti sangat menguntungkan negara-negara industri pengimpor minyak yang berarti sama saja mereka diberi subsidi harga oleh OPEC.

Apa Itu Subsidi?

Untuk itu penulis mengambil definisi subsidi menurut Eric L Kohler (1979). Subsidy : A great of financial aid, usually by a govermental body, to some other person or institution for general purposes.

Kalau definisi itu, penulis kaitkan dengan subsidi BBM, mungkin subsidi bisa diartikan sebagai a great of financial/prices of oil aid, usually by oil exporting/producer countries, to some other person or importing countries for general purpose.

Jadi, berarti sejak 100 tahun lebih jauh sebelum OPEC dibentuk telah terjadi subsidi harga minyak dari negara-negara penghasil minyak secara global lewat upaya perusahaan minyak negara-negara industri yang sudah jelas semakin menguntungkan para pengusaha non migas di negara-negara industri pengimpor minyak.

Penulis beranggapan subsidi sebagai upaya membantu secara finansial berupa harga yang murah, begitu pula upaya menurunkan harga minyak dunia dengan cara menekan OPEC agar menambah kuota produksinya juga bisa diartikan sebagai subsidi tidak kentara secara global. Ini berarti pengaruh permainan istilah ekonomi yang akhirnya menguntungkan negara-negara industri, sama saja seperti istilah bantuan luar negeri yang sebenarnya hutang.

Karena kalau bantuan bisa diartikan bantuan itu tidak perlu dikembalikan lagi bisa berarti hibah, tetapi dengan menggunakan istilah bantuan luar negeri ternyata setiap tahun Indonesia harus membayar cicilan serta bunga hutang luar negeri, walau memang ada bantuan berupa diberi peluang mendapat pinjaman, diberi fasilitas bunga sangat rendah, juga pengembaliannya puluhan tahun (makanya selalu defisit tabungan pemerintah notabene APBN, Red).

Memang ini bantuan, tetapi pokoknya adalah hutang, oleh karena itu penulisselalu mengkritik pemerintah lewat media massa setiap RAPBN diajukan ke DPR. Masalahnya di pos pendapatan ada kata bantuan luar negeri, tidak ada istilah hutang, tetapi di dalam pengeluaran rutin ada pembayaran cicilan serta bunga hutang luar negeri, bukankah seharusnya istilah bantuan luar negeri diganti dengan istilah hutang atau pinjaman luar negeri (sekarang malah lebih canggih lagi dinamakan obligasi, Red).


Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002

Kenaikan BBM Layak Dibatalkan

Oleh
Bachrawi Sanusi,
Lektor Kepala Fakultas Ekonomi;
Anggota Pusat Kajian Energi
dan
Sumber Daya Mineral
Universitas Trisakti

*Penulis meninggal pada tanggal 16 Februari 2005, dan ini merupakan tulisan almarhum terakhir yang dikirim ke Kompas diterbitkan pada 18 Februari 2005.

SEJAK tahun 1970, saat sebagai salah satu anggota Tim Energi/BBM Departemen Pertambangan dan Energi dan tahun 1980-an juga sebagai Sekretaris Tim Repelita Ditjen Migas Pertamina, penulis selalu tidak setuju jika pemerintah merencanakan penyesuaian (istilah menaikkan) harga BBM.

Alasannya, karena daya beli rakyat banyak-yang diukur dari tingkat GDP (produk domestik bruto) per kapita-amat rendah. Selain itu, GDP per kapita Indonesia tidak merata, karena yang hidup di bawah garis kemiskinan masih amat banyak, dan kini mencapai sekitar 36 juta.

Ditambah lagi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) selalu memicu kenaikan berbagai barang komoditas dan tarif jasa. Buktinya harga BBM baru direncanakan akan naik, harga sembako sudah naik. Jika harga BBM jadi dinaikkan, mungkin harga-harga sembako yang sudah dinaikkan pasti akan naik lagi. Belum lagi kaum spekulan mulai banyak menimbun BBM.

SEJAK Orde Baru, realisasi pendapatan dalam negeri dari migas selalu jauh lebih besar dibanding jumlah subsidi BBM. Misalnya realisasi APBN tahun 2001, jumlah subsidi BBM sekitar Rp68,40 triliun, suatu jumlah tertinggi dari tahun-tahun anggaran sebelumnya. Tetapi pendapatan dalam negeri dari pajak migas sebesar Rp23,1 triliun lebih, dari penerimaan sumber daya alam minyak bumi Rp59,95 triliun, dan dari gas bumi sebesar Rp22,09 triliun. Jumlah seluruh sumbangan migas sekitar Rp105,14 triliun. Belum lagi bagian laba dari BUMN, yakni Pertamina.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan tidak membatalkan Undang Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 setelah PT Pertamina yang kian diperkecil usahanya, termasuk keuangannya yang kian sulit, selang beberapa hari sebelum keputusan MK telah berhasil menaikkan harga LPG sebesar 41,6 persen dari Rp3.000/kg menjadi Rp4.250/kg. Juga PT Pertamina berhasil pula menaikkan harga Pertamax menjadi Rp3.331 dan Pertamax Plus menjadi Rp3.495/liter.

Dari harga baru itu PT Pertamina mendapat keuntungan masing-masing Rp100/liter. Sedangkan marjin SPBU untuk Pertamax Rp147 dan Pertamax Super Rp157 (Kompas, 20/12).

Oleh karena itu, penulis mengharapkan pemerintah perlu mengeluarkan Keppres agar seorang pengusaha SPBU dan pangkalan minyak tanah se-Indonesia perlu dibatasi kepemilikan SPBU-nya maupun pangkalan minyak tanahnya. Misalnya setiap pengusaha swasta maksimal hanya menguasai dua SPBU, dan/atau dua pangkalan minyak tanah untuk seluruh Indonesia. Jika sudah ada yang memiliki jumlah SPBU dan/atau pangkalan minyak tanah oleh satu perusahaan swasta, kelebihannya supaya dijual kepada badan usaha milik daerah atau koperasi daerah, swasta daerah. Agar pengawasan harga dan penyalurannya bisa beralih ke pemerintahan daerah, apalagi sudah otonom.

Dengan keputusan MK yang tidak membatalkan UU Migas secara keseluruhan, seperti UU Ketenagalistrikan, tetapi MK hanya memutuskan adanya tiga pasal yang harus diamendemen karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Ketiga pasal yang perlu diamandemen itu yakni Pasal 12 Ayat (3) karena ada kata "diberi wewenang" yang dinilai MK bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 22 Ayat (1) mengenai badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam ngeri. Pasal 22 Ayat (1) Kata "paling banyak" dinilai MK bertentangan dengan UUD 1945. Pencabutan Pasal 28 Ayat (2) menyebutkan, harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Dan Ayat (3) menjelaskan, pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.

MK menilai Pasal 28 Ayat (2) dan Ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 karena dalam penetapan harga BBM dan gas tidak diserahkan mekanisme pasar, tetapi melalui kewenangan pemerintah (Kompas, 22/12). Hal ini mungkin akan rancu, karena arti minyak dan gas bumi bisa berarti Pertamax, pelumas, LPG, dan lainnya, bukan lagi wewenang Pertamina.

Dampak lebih jauhnya, apakah masih ada kontraktor migas asing yang mau menanam investasinya, terutama dalam hal mendirikan SPBU-SPBU se-Indonesia, karena harga Migas se-Indonesia sama dan ditentukan pemerintah.

Dalam melakukan penyelesaian amandemen suatu UU dari pengalaman akan memakan waktu lama. Mungkin sejak MK memutuskan tiga pasal yang harus diamendemen jika saja UU tidak melarang bahwa amandemen yang dibuat pemeritah, sebelum diajukan ke DPR, terlebih dahulu diajukan ke MK. Masalahnya, kalau tidak demikian, akibatnya sudah lama di DPR, amandemennya juga ditolak MK.

SELAMA ini harga jual BBM ditetapkan oleh pemerintah. Pertamina seperti kuli membuat/pengadaan BBM, penyalurannya, dan lain-lain. Sayang setelah Orde Reformasi, tiap kenaikan harga BBM sepertinya PT Pertamina yang menetapkan harga BBM, layak kebencian rakyat kepada PT Pertamina kian meningkat. Selayaknya pengumuman kenaikan harga BBM oleh menteri terkait.

Tampaknya dalam upaya menaikkan harga BBM sepertinya pemerintah mempunyai dukungan para ahli, yang mengatakan subsidi BBM kebanyakan dinikmati oleh golongan ekonomi menengah ke atas. Selayaknya pemerintah mengkaji, bukankah golongan ekonomi menengah ke atas (terutama pengusaha/pedagang) penyumbang pajak terbesar. Dengan subsidi BBM mereka, misalnya bisa memperkuat daya saing hasil produknya di pasaran global. Banyak menyerap tenaga kerja dan bahan baku dari dalam negeri, dan lain-lain, yang efek gandanya positif.

Jika pemerintah menaikkan harga setinggi mungkin, melebihi harga BBM di negara maju yang pendapatan per kapitanya amat tinggi, tidak masalah bagi mereka, karena segala kenaikan BBM khususnya akan menambah biaya (cost) dan untung (profit)-nya yang biasanya melebihi persentase kenaikan harga BBM.

Amerika Serikat yang usaha migasnya diusahakan pihak swasta, GDP-nya mencapai sekitar 11 triliun dollar AS tahun 2003. Jumlah penduduknya sekitar 290,3 juta pada Juli 2003. Sebagai negara terkuat. Konsumsi minyaknya sekitar 21 juta barrel lebih per hari. Produksi minyak mentahnya kian menurun menjadi kurang dari delapan juta barrel/hari. Cadangan minyaknya sekitar 22,7 miliar barrel awal tahun 2004. Persediaan (stock) minyaknya 1,57 miliar barrel (2 April 2004).

Produksi gas bumi, batubara, dan energi lainnya, juga cadangannya amat banyak, ternyata sejak harga minyak dunia akibat perang Oktober 1973 di Timur Tengah melonjak belasan hingga puluhan dollar AS per barrel, Pemerintah AS hingga sekarang terus memberi subsidi harga BBM, terutama bensin, solar, dan lain-lain jenisnya dengan pajak BBM yang sangat rendah. Ini berarti Pemerintah AS menjalankan kebijakan biar rugi di pajak BBM asal pajak non-BBM melonjak tinggi, industrinya maju pesat, ekonomi keuangannya berjalan baik.

Harga satu liter bensin di AS yang Termasuk Pajak (TP) dan Tidak Termasuk Pajak (TTP)-nya, harganya selalu jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara industri utama di dunia. Misalnya harga satu liter bensin per dollar AS pada bulan April 2004. Di Perancis 1,258 (Termasuk Pajak/TP) dan 0,344 (Tak Termasuk Pajak/TTP); di Jerman 1,359 (TP) dan 0,385 (TTP); Itali 1,319 (TP) dan 0,427 (TTP); Spanyol 1,023 (TP) dan 0,406 (TTP); Inggris 1,384 (TP) dan 0,348 (TTP); Jepang 1,050 (TP) dan 0,497 (TTP); Kanada 0,589 (TP) dan 0,364 (TTP); dan di AS hanya 0,473 (TP) dan 0,370 (TTP). (MOMR IEA/OECD, 12 Mei 2004).

Secara tidak kentara berbagai produk AS di pasaran global akan mampu bersaing karena biaya produksinya tidak diberatkan dengan harga BBM yang mahal. Oleh karena itu layak dalam keadaan musibah akibat gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara yang sangat parah, rakyat se-Indonesia akan semakin sedih dan menderita dalam ekonomi sekira pemerintah, tentu setelah ada persetujuan dari DPR, terpaksa menaikkan harga BBM.

Oleh karena itu, layaklah jika rencana kenaikan harga BBM dibatalkan. Apalagi jika sumbangan migas dalam APBN 2005 diperkirakan masih jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah subsidi BBM-nya. Jika dibatalkan, agar segera diumumkan.

Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 5 - Selesai)

Industri Penjegal Solar Rakyat

Jauh sebelum pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan harga jual bahan bakar minyak (BBM) solar yang berbeda antara yang dikonsumsi masyarakat dengan industri, sudah diduga akan terjadi kekisruhan, karena konsumen utama solar adalah sektor industri. Kalangan industri termasuk penghasil devisa sudah terlalu lama menikmati aneka subsidi, serta aneka fasilitas.

Mulai dari subsidi BBM, subsidi tarif listrik, aneka fasilitas perpajakan, kemudian perkreditan, perizinan dan lain-lain. maka sudah selayaknya jika sektor industri dikenakan harga BBM tanpa subsidi sama sekali. Hanya saja, pengawasannya harus benar-benar ketat, agar solar untuk rakyat tidak disedot sektor industri (sudah lama diingatkan, tapi pernahkah transparan bahwa benar solar untuk rakyat tidak jatuh ke sektor industri, atau selisih harga yang cukup menggiurkan yang menjadikan solar untuk rakyat selalu langka, malah bisa di atas harga subsidi? Masih butuhkah subsidi BBM?, Red). Harga dan alokasi solar untuk swasta harus dijaga.

Masalahnya daya beli masyarakat semakin terpuruk, karena ketidakmampuan pemerintah menjalankan perintah UUD 1945 untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Makmur berarti peningkatan daya beli dan taraf hidup bangsa. Justru karena ketidakberhasilan serta ketidakmampuan pemerintah mempertahankan kurs rupiah, maka rakyat lagi yang harus menanggung kegagalan pemerintah mengelola ekonomi dan moneter.

Kalau saja kurs rupiah makin kuat, defisit bisa diperkecil. Asalkan juga segala rupa anggaran belanja yang tidak penting harus diciutkan. Oleh karena itu, tidak layak jika harga BBM bagi rakyat yang semakin miskin ini harus disamakan dengan harga BBM di luar negeri yang pendapatan per kapita penduduknya sudah di atas seribu, bahkan ada yang lebih dari sepuluh ribu Dollar AS (tapi ini yang selalu dijadikan ‘kebanggaan’ bahwa pendapatan per kapita Indonesia sudah membaik atau semakin meningkat, namun pendapatan siapa? rakyat yang mana?, Red).

Oleh karena itu, wakil rakyat jangan asal setuju saja setiap ada usul kenaikan harga BBM, apalagi untuk rakyat. Justru yang perlu diawasi serta dinilai adalah ketidakmampuan dan ketidakberhasilan pemerintah untuk memperkuat kurs rupiah (yah, selama masih dapat ‘kue’ dari selisih harga subsidi sih sepertinya manut-manut aja tuh wakil rakyat, Red). Setiap tahun anggaran defisit pasti akan meningkat terus. Selain itu sumber pendapatan dikhawatirkan juga merosot, juga pinjaman luar negeri sebagai penutup defisit sejak masa Orde Lama.

Subsidi Dirampas

Keadaan ekonomi seperti sekarang bisa jadi hanya akan memperoleh jumlah objek pajaknya (kalau lancar sih, seharusnya rakyat menikmati hasil pajak berupa fasilitas publik seperti transportasi, pendidikan, lingkungan, kesehatan dan lain-lainnya, Red). Kalaupun ada mungkin masih banyak kebocoran (penulis pun sudah menduga, Red), jangankan kejujuran membayar pajak, karena hasil laba dari jual beli valas tidak dibayar, solar milik rakyat yang harganya tidak dinaikkan masih saja dirampas oleh para konglomerat.

Coba baca berita utama Harian Kompas 15 Mei 2001 berjudul “Konglomerat Beli Solar Bersubsidi”. Bukankah keserakahan sejak masa Orde Baru yang dilakukan para pengusaha masih berjalan mulus (semulus-mulusnya hingga sekarang, Red). Tentu saja tidak heran, jika stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) selalu kehabisan solar, karena mungkin di tengah jalan tanki solar untuk SPBU belok ke berbagai pabrik/industri (meski katanya, sekarang sudah pakai GPS untuk mengawasi, bukankah selama suatu peralatan buatan manusia dapat dimanipulasi, jangankan buatan manusia, yang benar-benar alami saja dapat dimanipulasi, Red). Tidak mungkin pabrik/industri besar membeli solar antri di setiap SPBU hanya untuk membeli beberapa liter. Jelas ini permainan yang sebenarnya sejak lama terjadi.

Masalah ini merupakan hasil temuan tim terpadu penanggulangan masalah penyalahgunaan pada penyediaan dan pelayanan BBM. Temuan ini sangat berharga dan harus terus ditindaklanjuti secara cepat dan tepat (oleh siapa? yang seharusnya mengamankan saja malah jadi pelaku penyalahgunaan, lalu siapa yang harus menindaklanjuti?, Red).

Untuk itulah penulis pernah mengutarakan melalui media massa bahwa dengan adanya dua harga berbeda untuk BBM, maka bukan hanya ada pengumpul BBM untuk diseludupkan ke luar negeri. Juga yang paling sulit adalah adanya pengumpul atau pembeli dari sektor industri yang membelokkan minyak subsidinya (termasuk kalau terdapat rencana harga BBM subsidi akan naik, dirancanglah manuver demonstrasi seakan kenaikan harga memberatkan rakyat, jadi masih perlukah subsidi BBM?, Red). Itulah yang dikhawatirkan dan ternyata memang demikian.

Untuk itulah langkah yang perlu segera diambil, tindaklanjuti temuan itu hingga diangkat ke pengadilan dengan hukuman berat. Tindak tegas aparat manapun termasuk aparat Pertamina jika diketahui ikut melakukan perbuatan tercela itu (siapa yang berani? selama ‘dalangnya’ yang menyuruh dan punya kekuatan/kuasa lebih kuat, Red). Disamping itu, mungkin pengawasan ketat perlu dilaksanakan. Mungkin Pertamina perlu menata kembali penyaluran BBM khususnya solar, apalagi hingga kini Indonesia masih terpaksa mengimpor solar (malah sudah impor semua-semuanya, Indonesia memang tidak kaya akan minyak, tapi kenapa tidak ada kilang untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM? lagi-lagi, nanti tidak dapat jatah ‘kue’, Red).

Pada bulan Agustus 2000 (sebagai gambaran dari penulis, Red) penjualan solar nasional mencapai jumlah 1,9 juta kl. Impor solar pada bulan yang sama sebanyak 2,8 juta barel atau sekitar 440 ribu kl. Sedangkan jumlah produksi solar dari Pertamina sebesar 8,45 juta barel atau hanya sebesar 1,345 juta kl. Kekurangannya jelas harus ditutup dari impor yang dibayar dalam Dollar AS.

Dengan itu pasti mendekati kebenaran, maka layak pula nama-nama pabrik/industri ditegur, mengapa tidak mengambil jatah solarnya pada bulan Mei 2001. Untuk itu pula perlu dipertanyakan darimana mereka membeli solar.

Yang pasti segala pelanggaran akan terus berjalan sekiranya tidak ada tindakan sanksi yang tegas dan hukuman yang cepat dan berat. Termasuk juga kepada aparat yang mengurus penyaluran BBM, termasuk backing-nya, juga termasuk para pengawasnya jika ada yang tidak jujur.

Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.

Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 4)

Pada tanggal 2 Oktober 2000 pemerintah sudah menyampaikan rencana anggaran pendapatan dan negara (RAPBN) 2001 kepada DPR RI, walau dalam keadaan daya beli rakyat kecil terus terjepit dan ekonomi rakyat kecil semakin terjepit dan ekonomi rakyat kecil semakin terpuruk, akibat tekanan ganda negatif kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Setelah itu ada revisi-revisi RAPBN 2001 yang terakhir revisi RAPBN pada bulan Mei 2001 yang masih perlu dikaji DPR untuk disetujui.

Banyaknya revisi karena kegagalan pemerintah yang tidak mampu menahan ambruknya kurs rupiah yang sudah mendekati Rp12.000 per US$. Banyaknya protes kenaikan harga BBM seolah-olah tidak membuat pemerintah yang didukung persetujuan DPR goyah.

Sekarang suara wakil rakyat sangat menentukan. Bukan berarti seperti di masa Orde Baru. Sekarang wakil rakyat harus ingat pada rakyat. Mereka dipilih sebagai wakil rakyat, bukan musuh rakyat atau pengkhianat rakyat, yang selalu menyetujui usul pemerintah menaikkan harga BBM khususnya. Apalagi pada tahun anggaran 2001 pemerintah merencanakan harga BBM yang semula naik hanya 20 persen, kemudian direvisi akan naik 30 persen dan hal itu disetujui IMF.

Ini mencerminkan tekad pemerintah sejak Orde Baru selalu menggantungkan kehidupan ekonomi dan moneter Indonesia terutama dari warisan milik rakyat dan hutang luar negeri. Warisan yang berasal dari pengurasan sumber daya alam (SDA) yang tidak henti-hentinya, terutama hasil migas yang cadangannya tidak dapat diperbaharui lagi (un-renewable) dan hasil hutan khususnya. SDA (hutan) yang renewable ini bisa terus diperbaharui jika reboisasi berjalan baik dan lancar, misalnya tebang satu tanam tiga pohon atau lebih. Akan tetapi, uang reboisasi digunakan salah seperti masa Orde Baru (pantas banjir melulu, Red), maka hutanpun akhirnya bisa menjadi SDA yang un-renewable bahkan bisa segera musnah terbakar karena tinggal ilalang kering.

Bangsa Indonesia bukannya menjadi bangsa terkuat di ASEAN, apalagi di Asia atau di dunia. Bahkan dapat dikatakan, kini bangsa Indonesia sebagai bangsa yang boleh bangga karena penduduk dunia, terutama di negara-negara yang tergabung dalam CGI, IMF maupun Bank Dunia termasuk bangsa yang terbanyak hutang luar negerinya, tanpa hasil yang baik bagi rakyat secara merata.

Pemerintah atau wakil rakyat mungkin bangga dengan terus meningkatkan jumlah nominal RAPBN 2001 dari hanya Rp197,03 triliun lebih pada tahun APBN 2000 menjadi Rp295,11 triliun lebih pada RAPBN 2001 (sebelum ada dua kali revisi/waktu diajukan pada bulan Oktober 2000) atau naik sekitar Rp98,12 triliun atau naik sekitar 50 persen dibandingkan APBN 2000 (sebelum ada revisi-revisi yang juga tidak akan menyelesaikan masalah sepanjang pemerintah tak mampu membangkitkan kembali kurs rupiah) (wah, RAPBN sekarang yang sudah mencapai Rp1.800 triliun lebih, bagaimana kalau dibandingkan dengan aset seorang penemu software yang mencapai Rp1.000 triliun? seorang individu bisa memiliki aset sebesar itu, sementara negara berwarga 200 juta masih megap-megap untuk mengimbangi pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatan, dan bangga punya anggaran sebesar itu?, Red).

Menguras Hasil Warisan

Kebanggaan karena membesarnya nilai nominal RAPBN 2001 sebanyak itu, bukan hanya karena pemerintah terus memaksakan diri menguras hasil warisan, juga berupaya memperoleh hutang negeri dan harapan dari sedekah berupa hibah terutama dari luar negeri (mental mengemis?, Red).

Pemerintah dan wakil rakyat seharusnya semakin sadar dan bisa menilai harga diri, karena sekarang segala rupa kebijakan pemerintah secara tidak kentara, termasuk upaya menghapus seluruh subsidi BBM dalam kurun waktu tertentu harus dikendalikan luar negeri.

Subsidi tak kentara di luar BBM yang ratusan triliun rupiah yang dinikmati segelintir pengusaha, seperti bantuan pemerintah dalam memberikan pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terus bermasalah, bantuan bunga kredit, bantuan dalam rekapitulasi, bantuan penalangan hutang-hutang perusahaan/perbankan swasta, pengunduran pelunasan pembayaran hutang para bankir maupun perusahaan konglomerat, penilaian aset perusahaan yang bermasalah BLBI atau lainnya yang terlalu rendah, dan banyak lagi berbagai fasilitas keuangan yang seharusnya sebagai peningkatan pendapatan keuangan negara malah menjadi beban negara.

Akibat negatifnya, rakyat kecilah yang selalu terkena getahnya, karena semua harga dan tarif serba naik gara-gara harga BBM dinaikkan. Harus diperhatikan baik-baik oleh pemerintah maupun wakil rakyat, adanya subsidi BBM memang akan merugikan pihak pengusaha asing, karena harga BBM murah berarti daya saing aneka rupa barang ekspor Indonesia bisa makin kuat. Layak jika IMF paling keras mengingatkan soal upaya penghapusan subsidi BBM.

Akan tetapi, lembaga keuangan dunia seperti IMF tidak memperdulikan Amerika Serikat yang akan melepas persediaan minyaknya (stok minyaknya) sebanyak 30 juta barel. Bukankah hal ini berarti bahwa pemerintahan Amerika Serikat secara tak kentara telah melakukan subsidi harga terutama bagi kaum industriawan kelompok OECD.

Bahkan OPEC dipaksa untuk menambah produksi agar harga minyak dunia terus merosot dan yang untung dalam harga lagi-lagi negara industri. Oleh karena itu, dalam kebijakan upaya menghapus subsidi BBM harus dilihat dari kepentingan nasional bukan kepentingan asing, kecuali memang pemerintah makin takut kehilangan sumber dana hutang luar negerinya, yang selalu menjadi penutup defisit anggaran sebesar apapun.

Walaupun warisan dan hutang luar negeri masih terus sebagai sumber penunjang APBN 2000 dan RAPBN 2001, tetapi nyatanya defisit anggaran semakin membengkak. Pendapatan negara dan hibah dalam APBN 2000 hanya Rp157,897 triliun, sedangkan belanja negara Rp197,030 triliun yang berarti defisit sekitar Rp44,1 triliun.

Dalam RAPBN 2001 (waktu diajukan ke DPR dan belum ada revisi-revisi) jumlah pendapatan negara dan hibah naik menjadi Rp242,997 triliun, sedangkan anggaran belanja negara juga naik menjadi Rp295,113 triliun (belanja apa aja ya?, Red). Jumlah defisit RAPBN 2001 sekitar Rp52,1 triliun (jadi ingat pribahasa, besar pasak daripada tiang, Red).

Dilihat dari besarnya angka nominal APBN 2000 dan RAPBN 2001, layak jika wakil rakyat mempertegas lagi bahwa nilai rapor pemerintah juga meningkat dengan warna merah tebal. Hal ini bukan saja karena pemerintah semakin menguras hasil warisan tanpa modal, juga karena terus menggelembungkan (mark-up) hutang luar negeri sedangkan potensi untuk mengembalikannya secara riil (dengan dolar AS) semakin merosot.

Sudah Bangkrut

APBN 2000 maupun RAPBN 2001 menyerupai suatu income statement atau daftar rugi/laba suatu perusahaan swasta khususnya. Kalau saja, pemerintah adalah perusahaan swasta maka defisit anggaran yang semakin membengkak bisa disetarakan dengan kerugian perusahaan yang semakin besar.

Ini berarti pemerintah bisa dinilai sudah bangkrut. Jika perusahaan swasta yang terus rugi sangat besar dan tidak menghasilkan pajak bagi negara maupun hanya kerugian bagi para pemegang saham khususnya, maka perusahaan itu layak harus dibubarkan (hmm, kalau negara apa bisa dibubarkan? yang ada calon dijajah lagi, dan sepertinya banyak yang minat tuh, atau memang sudah dijajah secara tak kentara?, Red).

Bagi pemerintah yang APBN-nya terus menerus defisit sudah jelas akibat negatifnya akan terus membebankan kemiskinan bagi rakyat banyak khususnya, apalagi ditambah lagi rakyat kecil dicekik dengan kenaikan harga BBM. Tetapi, masih ada yang mengatakan harga BBM di Indonesia terlalu murah dibandingkan harga-harga BBM di banyak negara lain.

Jika dilihat dari akal-akalan pemerintah membandingkan harga BBM di Indonesia termurah dibandingkan dengan negara-negara perbandingannya. Tampaknya, pemerintah dalam hal perbandingan harga BBM itu seolah-olah berlagak lupa, karena tidak membandingkan dengan pendapatan per kapita yang merata antara Indonesia dengan negara-negara pembanding itu. Pemerintah jangan terus-terusan berupaya membutakan mata rakyat atau membodohi rakyat dengan kemiskinan. Kibarkan lagi hidup sederhana dan hemat, terutama bagi kaum yang kaya.

KKN harus ditumpas dengan cara hukuman berat seperti yang dilaksanakan di China. Termasuk hidupkan tim pengusut kekayaan para pejabat BUMN/perbankan milik negara yang sejak Orde Baru berkuasa yang masih aktif dan pensiun.

Semakin besar pemerintah tergantung dengan pinjaman luar negeri (apalagi sekarang ada yang namanya obligasi, surat hutang negara, bantuan lembaga keuangan dan lain sebagainya, agar tidak langsung disebut pinjaman atau hutang luar negeri, tetap saja harus dibayar berikut bunganya, Red), terutama dari IMF, maka seperti yang penulisutarakan pada 1997 di berbagai media massa, bahwa Indonesia seperti ikan lumba-lumba (nah, itu dia namaku, hehehe, Red) yang diperintah atau dipermainkan pawangnya karena ikan itu lapar dan selalu diberi beberapa ekor ikan kecil setiap atraksinya berakhir.

Ketergantungan Hutang Luar Negeri

Penulis sangat prihatin, karena dalam RAPBN 2001 ternyata pemerintah terus tergantung dari hutang luar negeri termasuk dari warisan. Sebagai gambaran pada APBN 2000 pendapatan negara dan hibah berjumlah Rp152,9 triliun berasal dari penerimaan dalam negeri terutama dari pengurasan warisan berupa SDA sebesar Rp40,08 triliun, khusus dari migas sebesar Rp33,2 triliun lebih (sebelum revisi-revisi).

Dari hutang luar negeri berupa penarikan pinjaman luar negeri (bruto) Rp27,3 triliun lebih, dikurangi cicilan pokok hutang luar negeri Rp8,6 triliun berarti netto Rp18,7 triliun. Ini berarti gali lubangnya jauh lebih dalam dibandingkan menutup lubangnya.

Hutang luar negeri makin bertambah dan bunganya juga makin membengkak, apalagi kalau kurs rupiah terus ambruk. Tampaknya, pemerintah tidak berupaya agar jumlah RAPBN dikurangi atau diperkecil (seperti tadi yang sudah dibilang, bangga dengan semakin besar nominalnya, Red), terutama untuk anggaran belanjanya malah terus bertambah (dan berdalih penyerapan anggaran makin membaik, tapi yang merasakan anggarannya siapa?, Red).

Dalam RAPBN 2001 (sebelum adanya revisi) jumlah penerimaan dalam negeri naik menjadi Rp242,99 triliun lebih diantaranya berasal dari hasil pengurasan warisan SDA sebesar Rp53,17 triliun termasuk dari migas sekitar Rp49,5 triliun lebih.

Sedangkan dari hutang luar negeri diharapkan naik menjadi Rp35,99 triliun lebih bruto minus cicilan pokok hutang luar negeri Rp15,876 triliun maka nettonya sekitar Rp20,1 triliun lebih. Lagi-lagi gali lubangnya jauh lebih dalam dibandingkan menutup lubangnya.

Jumlah hutang inipun masih belum jelas jika masalah Atambua dan kasus diberbagai daerah lainnya terus berkepanjangan (apa perlu dipecah juga? kemana semboyan Bhinneka Tunggal Ika? asal jangan sampai dijawab, itu kantoko komputer, Red). Hal ini tentu akan berakibat buruk terhadap hasil ekspor migas maupun non-migas (penulis tidak sempat merasakan saat Indonesia dinyatakan net importir minyak, mudah-mudahan tidak juga menjadi net importir gas, Red), yang akhirnya akan memukul pendapatan dari pajak.

Apalagi jika diingat, harapan pendapatan dari pajak untuk RAPBN 2001 sekitar Rp173,44 triliun atau lebih 71 persen dari jumlah seluruh pendapatan dalam negeri/pendapatan negara (apakah akan menjadi harapan baru menangguk pendapatan negara dari pajak semuanya? lah, yang bayar pajak siapa yang merasakan hasil pajak siapa? ditambah situasi yang tidak kondusif untuk berbisnis, siapa yang mau investasi?, Red).

Juga harus dicatat bahwa pengaruh pengurangan subsidi BBM dengan cara menaikkan harga BBM bukan hanya dikhawatirkan berdampak ganda negatif terhadap ekonomi rakyat kecil, juga berdampak ganda negatif laba perusahaan kecil hingga perusahaan yang sangat besar, dan akhirnya besarnya pajak tidak tercapai karena subjek dan objek pajaknya akan menurun.

Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.