Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 1)

Dalam menghadapi ekonomi migas sekarang banyak tantangan yang harus diperhatikan, antara lain yang berkaitan dengan jumlah kebutuhan akan BBM (Bahan Bakar Minyak) di dalam negeri yang terus meningkat, harga jual dan kurs Rupiah serta subsidi BBM, keuntungan para kontraktor migas asing, penerimaan negara dari migas serta yang berkenaan dengan upaya meningkatkan produksi migas yang semakin menurun, sedangkan kebutuhan BBM dalam negeri terus meningkat.

Bagaimanapun juga hasil migas secara riil harus bertambah, minimal pertambahan rata-ratanya harus jauh lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan penggunaan minyak dalam negeri. Untuk itulah, karena Indonesia semakin kekurangan dana, dan hutang luar negeri tinggi, maka jalan yang lebih baik dalam menghasilkan migas hanya dengan kerjasama yang baik dengan para kontraktor migas asing.

Merekalah yang mempunyai dana/investasi yang dibutuhkan, mereka pulalah yang mampu memanfaatkan tenaga ahli dunia perminyakan. Di samping itu, mereka berani menanggung risiko yang sangat besar dalam kegiatan usaha migas(pertanyaannya, apakah investor dalam negeri tidak mampu? memiliki kendaraan pribadi hingga jet yang notabene bukan buatan dalam negeri malah bisa kebeli, atau memang tidak ada yang berani?, Red).

Untuk itu perkembangan paket-paket insentif perlu terus diperbaiki, sehingga para kontraktor asing merasakan insentif yang diberikan Indonesia saling menguntungkan kedua belah pihak.

Seberapa jauh mereka berminat beroperasi migas di Indonesia tentu akhirnya sangat ditentukan dengan keadaan pasar minyak dunia serta tinggi rendahnya harga minyak dunia. Untuk itu pula, perlu dikaji kembali mengenai prospek permintaan dan penawaran minyak bumi dunia (perlu diingat, dunia melihat Indonesia karena kekayaan alamnya yang terbentang dari Sabang hingga Marauke, namun masih bingung mau diolah seperti apa, sehingga bisa jadi kesempatan bagi dunia mengambil alih dengan berbagai dalih, kemana karya anak bangsa ini?, Red). Dengan kajian itu, diharapkan akan mendorong investor asing melakukan operasi di berbagai negara penghasil minyak, seperti di Indonesia, sekiranya memang prospek harga minyak dunia semakin membaik.

Sebaliknya, jika prospek harga minyak dunia suram, berarti pula akan terjadi kemerosotan upaya mencari minyak bumi dunia, sehingga produksi minyak dunia juga turun (lagi, permainan supply dan demand, Red).

Harga, Subsidi dan Kebutuhan BBM Dalam Negeri
(penulis mengkaji dari APBN 2001, sebagai salah satu contoh dan gambaran dibandingkan dengan APBN tahun-tahun lainnya, Red)

Dalam upayanya merevisi APBN 2001, pemerintah sudah memutuskan untuk menaikkan harga BBM sebesar 30 persen IMF menyetujuinya. Menurut rakyat kecil, kenaikan harga BBM merupakan kesalahan pemerintah serta ketidakmampuan pemerintah menekan kurs Dollar AS khususnya. Kebijakan menaikkan harga BBM tidak sesuai dengan UUD 1945 yang mengatur agar bangsa Indonesia bisa menjadi masyarakat yang makmur, daya belinya terus meningkat, bukan sebaliknya malah daya beli masyarakat semakin ambruk (sebenarnya daya beli meningkat, tapi untuk produk yang bukan produksi dalam negeri atau hasil karya anak bangsa alias produk impor, dan bangga memanfaatkan momen tersebut, Red).

Pada 2000 daya beli rakyat Indonesia turun sekitar 25 persen. Turunnya daya beli terutama sebagai akibat semakin ambruknya kurs Rupiah terhadap Dollar AS yang nyaris mencapai Rp12.000 per US$ (apakah tidak kapok? dimana kurs Rupiah 2013 telah menembus Rp12.000 per US$, apakah ingin diibaratkan seekor keledai yang mengulangi kesalahan yang sama?, Red).

Akibat segala serta tarif secara nilai rupiah terus melonjak juga. Seharusnya pemerintah menanggulangi defisit anggaran 2001 yang dari Rp41,6 triliun menjadi Rp66,8 triliun (itu baru 2001, bagaimana kabar defisit anggaran 2013 dan 2014 serta tahun-tahun berikutnya?, Red), jangan cepat-cepat menaikkan harga BBM dahulu. Karena kenaikan BBM pasti akan diikuti dengan kenaikan aneka rupa dan tarif. Pada gilirannya inflasi naik, daya beli rakyat merosot dan defisit anggatan makin membengkak (sudah terlambatkah? mengingat biaya produksi pengolahan BBM juga semakin membengkak, mengakibatkan subsidinya habis dan belum tentu rakyat menikmatinya, rakyat yang mana?, Red).

Apalagi, di samping kenaikan harga BBM itu juga pajak penghasilan naik dari 10 persen menjadi 12,5 persen dan tarif listrik naik 20 persen. Ini merupakan kebijakan pemerintah yang salah (kayak pemalak aja ya, demi ‘kesehatan’ APBN, Red).

Langkah yang perlu diambil, yakni menciutkan besarnya anggaran belanja negara. Misalnya, agar gaji presiden, wakil rakyat hingga pejabat kelas bawah harus dikembalikan seperti gaji pada masa Orde Baru (kan, gaji dibesarkan dengan alasan hindari korupsi, tapi sepertinya tidak ngaruh, gaji diciutkan nanti alasan tidak ada anggaran, akhirnya minta sampingan sana-sini, memang kalau sudah dimanja dengan gaji ‘aman’ malah makin tidak puas, Red).

Pola hidup sederhana harus dihidupkan kembali. Juga anggaran pembangunan non-fisik yang selama ini diperkirakan sebagai gudang munculnya proyek-proyek fiktif, serta anggaran pejabat/aparat birokrat berjalan-jalan antar daerah atau antar negara harus dihentikan.

Jumlah penggunaan BBM di dalam negeri harus mampu diturunkan agar subsidi BBM semakin kecil. Untuk itu, mungkin perlu kebijakan pengaturan lalu lintas untuk kendaraan-kendaraan pribadi. Misalnya, pada tanggal kalender ganjil, seluruh mobil pribadi bernomor polisi ujungnya genap tidak boleh digunakan. Sebaliknya pada tanggal genap, seluruh mobil pribadi bernomor polisi ujungnya ganjil tidak boleh digunakan (wah, penulisbahkan sudah punya ide seperti ini di 2001, tapi lagi-lagi pengawasan menerbitkan nomor polisi kendaraan yang perlu diawasi, kalau tidak tetap saja punya kendaraan pribadi sebanyak-banyaknya atau bisnis plat nomor polisi makin marak, Red).

Hal ini akan mengakibatkan jumlah penjualan BBM akan merosot dan faktor lingkungan hidup, karena pencemaran pembakaran BBM diharapkan semakin baik. Di samping itu, pemerintah daerah tidak perlu menggunakan sistem three in onepada jam-jam tertentu di jalan-jalan yang dianggap sangat ramai. Karena jumlah kendaraan pribadi tiap harinya bisa turun sekitar 30 persen.

Sampai Kapan Pemerintah Harus Memberi Subsidi BBM

Jawabnya tentu hanya sederhana, antara lain pertama, sekiranya biaya produksi BBM lebih rendah dibandingkan dengan harga jualnya, sehingga muncul laba bersih minyak, bukan subsidi (karena kalau subsidi, yang rugi siapa yang mengambil untung siapa, itulah sebabnya kilang pengolahan minyak tidak ada kemajuan, berdalih kebutuhan yang semakin meningkat (demand) tapi segi supply terabaikan, yang mudah ya impor, akankah seperti itu terus-terusan?, Red).

Kedua, sepanjang pemerintah masih terikat dengan UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat (2) dan ayat (3). Ini berarti harga jual BBM di dalam negeri harus disesuaikan dengan daya beli masyarakat (dan menutup mata hingga telinga, ketika harga BBM subsidi di Indonesia bagian timur bisa 3-4 kali lipat dari harga BBM subsidi yang ditetapkan, sementara yang menikmati harga subsidi yang sebenarnya semakin beramai-ramai membakar BBM subsidi, Red).

Ketiga, pemerintah berhasil menaikkan daya beli masyarakat. Pendapatan per kapita yang merata makin tinggi, sehingga penghapusan subsidi BBM tidak menjadi masalah (beranikah? mana yang berdalih bahwa pendapatan per kapita Indonesia semakin meningkat, daya beli masyarakat dikatakan semakin membaik, sudah seharusnya dongsubsidi BBM dihilangkan? atau masih ada ‘tekanan’ bagi yang mau cicipi ‘kue’ subsidi?, Red).

Justru sekarang pemerintah Indonesia, baru gagal dalam ekonomi dan moneter, sehingga kurs Dollar AS khususnya semakin kuat, sedangkan kurs Rupiah makin terpuruk. Semua kegagalan pemerintah harus dibayar dengan pengorbanan rakyat banyak dengan cara menaikkan harga BBM yang berakibat segala barang dan jasa ikut-ikutan naik (pada saat itu, di 2000-2001, sekarang dilema deh, imbas dari kebijakan terdahulu mengakibatkan multiplier effect yang berkelanjutan hingga sekarang dan mau sampai kapan?, Red). Harus disadari meningkatnya daya beli atau taraf hidup rakyat banyak, ditambah dengan adanya kemajuan dalam pembangunan nasional maka kebutuhan BBM di dalam negeri pasti meningkat.

Sejalan dengan laju roda pembangunan di segala sektor, bidang maupun regional sejak mulai dilaksanakannya tahun pertama Repelita I (1969/70) ternyata kebutuhan BBM (avgas, avtur, premium, minyak tanah, solar, minyak diesel dan minyak bakar) terus meningkat tajam. Sebagai gambaran dalam tabel 1 tampak pertumbuhan jumlah kebutuhan BBM di dalam negeri sebagai berikut,

Tabel 1
Pertumbuhan Kebutuhan BBM dalam Negeri
1984/1985 – 1998/1999
(dalam jutaan kiloliter)
Tahun
Jumlah
Tahun
Jumlah
1984/1985
25,8
1991/1992
36,9
1985/1986
24,9
1992/1993
39,8
1986/1987
25,1
1993/1994
42,1
1987/1988
26,8
1994/1995*
43,7
1988/1989
28,2
1995/1996*
47,9
1989/1990
30,5
1996/1997*
50,5
1990/1991
34,8
1997/1998*
50,9


1998/1999*
53,5
                        *perkiraan
                                Sumber: diolah dari Buku Data Pertamina, 1994

Dari tabel 1, tampak jelas betapa besarnya jumlah kebutuhan BBM di dalam negeri. Adapun pemakai utama BBM di dalam negeri, yakni sektor rumah tangga, listrik PLN dan non-PLN, sektor angkutan serta sektor industri.

Dalam tabel 2 tampak pertumbuhan jumlah kebutuhan BBM di dalam negeri di beberapa sektor sebagai berikut,

Tabel 2
Perkiraan Kebutuhan BBM di Beberapa Sektor
1994/1995 – 1998/1999
(dalam jutaan kiloliter)
Sektor
1994/95
1995/96
1996/97
1997/98
1998/99
Industri
11,6
10,9
12,3
13,8
15,3
Angkutan
18,3
19,8
21,6
23,4
25,5
PLN & Non
10,3
11,1
12,3
11,1
11,9
Rumah Tangga
9,6
9,1
8,7
8,5
8,5
Jumlah
49,8
50,9
54,9
56,8
61,2
            Sumber: diolah dari Buku Repelita VI, Departemen Pertambangan dan Energi, 1994/1995 – 1998/1999

Jika diperhatikan dari tabel 1, jumlah kebutuhan BBM di dalam negeri sesuai dengan perhitungan pihak produsen, yakni Pertamina. Sebaliknya, dalam tabel 15 dihitung angka perkiraan kebutuhan BBM per sektor agak lebih besar jumlahnya (data tidak sinkron?, Red). Hal ini memungkinkan terjadinya defisit jumlah kebutuhan BBM di dalam negeri yang untuk pemenuhannya sesuai kebutuhan berarti harus ada impor BBM (memang selalu over kuota kan? atau memang itu yang diinginkan terjadi?, Red). Untuk itu diupayakan beberapa sektor agar lebih banyak lagi memanfaatkan gas bumi, batubara dan lainnya (sudah diingatkan berkali-kali loh, Red).

Besarnya jumlah BBM yang dibutuhkan serta semakin mahalnya harga minyak mentah dan bahan-bahan bakunya, maka pemerintah dan DPR yang memegang kunci kenaikan harga BBM. Jika harga jual BBM lebih rendah dibandingkan dengan biaya produksi, maka pemerintah terpaksa harus memberi subsidi BBM. Sebaliknya, sekiranya harga jual BBM lebih tinggi dibandingkan dengan biaya produksinya, berarti pemerintah untung, karena tidak ada subsidi namun yang ada adalah laba bersih minyak (LBM) (hati-hati, ada yang ‘sadar’ dengan gunakan ‘celah’ agar kedapatan ‘kue’, Red).

Sebagai gambaran singkat dalam tabel 3 dirinci, bagaimana menghitung biaya pokok yang dilakukan pihak Pertamina, apakah ada subsidi BBM atau sebaliknya ada LBM.

Tabel 3
Perhitungan Biaya Pokok BBM Tahun 1991/1992
Keterangan
Rp / liter
US$ / liter
A.    Biaya Penyediaan Minyak
1.      Minyak Mentah Prorata

1.1. Pertamina
3,53
0,0018
1.2. Kontraktor
4,32
0,0022
2.      Minyak Mentah Inkind

2.1. Pertamina
19,32
0,0093
2.2. Kontraktor
184,17
0,0936
3.      Minyak Mentah Impor
82,19
0,0417
4.      Produk Impor
27,35
0,0139
5.      Jumlah Biaya Pembelian Minyak
320,88
0,1629
6.      Jumlah Perubahan Persediaan
5,5
0,0028
7.      Nilai Surplus BBM/Non BBM
(73,37)
(0,0372)
8.      Jumlah Biaya Penyediaan Minyak
253,06
0,1285
B.     Biaya Operasi
1.      Biaya Pengolahan
22,97
0,0117
2.      Biaya Distribusi
10,72
0,0054
3.      Biaya Angkutan Laut
20,99
0,0017
4.      Biaya Biaya Umum Kantor Pusat
(0,47)
(0,0020)
5.      Biaya Bunga
1,38
0,0007
6.      Biaya Penyusutan
7,74
0,0039
7.      Jumlah Biaya Operasi
63,33
0,0322
C.    Biaya Pokok BBM (A+B)
316,90
0,1607
D.    Penjualan Bersih BBM
(273,34)
(0,1388)
E.     Subsidi BBM
43,05
0,0219
F.     Volume Penjualan BBM (jutaan kiloliter)
36,24

Kurs 1 US$ = Rp1.969,92
            Sumber: diolah dari Buku Data Pertamina, 1994

Itulah sekedar gambaran yang berkaitan dengan jumlah kebutuhan BBM dan subsidinya. Adapun faktor penentu utama besar kecilnya biaya produksi BBM, yakni kurs Rupiah terhadap Dollar AS, harga minyak mentah dan produk, serta jumlah kebutuhan BBM. Di samping faktor efisiensi dalam pengolahan dan lain-lain (permasalahannya, kurs Rupiah sudah tidak lagi di kisaran Rp2.000 seperti era 90-an, lalu kenapa Rupiah lemah sekali bisa menembus Rp12.000 per Dollar AS?, Red)

Semakin terpuruknya kurs Rupiah terhadap Dollar AS, walaupun harga minyak mentah dunia tidak naik, maka biaya produksi BBM secara rupiah makin tinggi. Akhirnya jumlah subsidi BBM makin membengkak seperti tahun anggaran 2001 (dan sepertinya masih terus berlanjut, selama yang membagikan ‘kue’ belum rata, Red).

Ini merupakan kesalahan pemerintah, karena tidak mampu bahkan gagal mengendalikan ekonomi serta moneter. Akhirnya yang dikorbankan adalah rakyat banyak. Sangat disayangkan wakil rakyat yang terpilih setuju akan kenaikan harga BBM, dengan alasan dana subsidi untuk kepentingan lain. Seharusnya wakil rakyat jangan setuju saja, tetapi harus mampu menilai hasil kerja pemerintah yang gagal dalam hal ekonomi dan moneter.


Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.