Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 3)

Tampaknya pemerintahan Abdurrahman Wahid berupaya mengambil hati rakyat/pengusaha kecil dengan kebijaksanaan menaikkan harga BBM sekitar bulan Oktober 2000. Hasilnya diperkirakan terkumpul dana subsidi Rp800 miliar (saat APBN 2001, sekarang mungkin sudah ratusan triliun, kenapa terus naik ya?, Red), dan konon dana itu diperuntukkan bagi rakyat kurang mampu, pengusaha kecil.koperasi, dan penciptaan lapangan kerja.

Dana dari hasil kenaikan harga BBM (berdasarkan pengamatan penulissaat kenaikan harga BBM di 2001, Red) yang diperkirakan mengurangi subsidi BBM sekitar Rp800 miliar itu, menurut rencana akan disalurkan. Pertama, untuk dana yang sifatnya mendesak berupa dana tunai (cash transfer) yang ditujukan untuk keluarga kurang mampu. Kedua, kompensasi pemberian dana berupa modal usaha bergilir (revolving fund). Ketiga, untuk menciptakan lapangan kerja produktif melalui pemberdayaan masyarakat di desa maupun kawasan kumuh perkotaan.

Tampaknya rencana ini seperti yang diharapkan Theodore WS Schultz, pada waktu memperoleh hadiah nobel 1979, “Most of people in the world are poor, so if we knew the economics of being poor we would know much of economics that really matter,”

Disadari begitu banyak kemiskinan di Indonesia, maka tepat jika sedikit  dana itu ditujukan untuk membantu rakyat yang dianggap kurang mampu atau miskin, walau sayangnya pemanfaatan dana subsidi BBM itu menyimpang sejak masa Orde Baru.

Kebijakan itu sangat bertentangan dengan usul wakil rakyat, karena pada waktu menyetujui kenaikan harga BBM, dana itu bukan disalurkan untuk tiga saluran. Yang pasti, DPRlah pemegang kunci aneka rupa persetujuan, mulai dari berbagai UU hingga kenaikan tarif jasa apalagi persetujuan atau penolakan kenaikan harga BBM.

Kredibilitas wakil rakyat diuji lagi, mampukah mereka mengawasi pemerintah yang menurut penilaian banyak kalangan bahwa hasil kerja kepala negara bernilai rapor merah. Memang jumlah dana, menurut penulis, sangat kecil dibandingkan dengan jangkauan yang sangat luas itu.

Justru kebijakan itu, hanya mengulang permainan kata yang lembut seperti masa Orde Baru. Waktu itu, pada setiap ada kenaikan BBM, yang selalu berdampak negatif bagi rakyat banyak, dinamakan penyesuaian harga. Dengan permainan kata ini diharapkan agar rakyat tidak menuntut tugas pemerintah menurut UUD 1945 atau Pancasila, yakni usaha memakmurkan bangsa (merasa terjebak, tapi memang yang pencari celahlah memanfaatkan UUD 1945, Red).

Jika bicara soal kemakmuran berarti seolah-olah tugas utama pemerintah, yakni meningkatkan/menaikkan daya beli masyarakat dengan mudah tercapai. Kenyataannya selama ini yang terhadi hanya penurunan daya beli masyarakat. Pada 2000 daya beli masyarakat turun 25 persen, terutama lewat kenaikan-kenaikan harga termasuk kenaikan harga BBM dan terpuruknya kurs rupiah yang nyaris Rp20.000 per Dollar AS (masih juga ingin terulang?, Red).

Tampaknya sekarang pemerintah mencoba memikat hati rakyat yang daya belinya terus tersungkur karena tarif angkutan, pos yang naik, dan harga BBM yang segera akan naik dengan dana untuk tiga jalur itu.

Bagi para menteri dan wakil rakyat yang gajinya sudah belasan atau puluhan juta rupiah per bulannya, harga BBM naik menjadi Rp20.000 per liter pun tidak menjadi masalah, karena gaji mereka itu sangat besar. Apalagi jika mereka mendapat jatah BBM gratis dari pemerintah. Terlepas dari itu, yang pasti penulis khawatir dana yang sangat kecil dengan jangkauan sangat luas dan banyak tangan yang mengurusnya itu akan terjadi kebocoran dana di penyalurannya atau mungkin saja muncul KKN-KKN baru.

Di samping itu, biaya penyalurannya juga pasti tidak kecil, dari mana dana biaya itu, apakah menjadi beban APBN dana bantuan itu. Oleh karena itu, jalur pengawasan penyaluran dana tersebut juga harus jelas, sehingga setiap bulan secara transparan bisa diperlihatkan kepada media massa melalui wakil rakyat, berapa jumlah pengeluaran dan pemasukan dana tersebut.

Sebenarnya sangat disayangkan mengapa untuk membantu rakyat kecil harus menggunakan dana yang berasal dari hasil menaikkan harga BBM yang merupakan hasil mencekik lehr kehidupan rakyat kecil. Mengapa bukan berasal dari hasil pajak, dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan lain-lain sehingga dananya bisa sangat besar.

Pedagang non-migas dan penjual jasa tidak mau tahu soal kenaikan harga BBM, diperuntukkan bagi siapa hasilnya, untuk tiga saluran itu atau rakyat kecil. Bagi golongan ekonomi menengah ke atas baik sebagai produsen atau penjual jada profesional seperti pengacara, dan konsultan pasti ikut menaikkan biaya-biayanya sehingga harga jual barang dan jasanya juga ikut naik. Bahkan biasanya kenaikannya itu melampaui kenaikan harga BBM.

Jadi tidak benar kalau subsidi dinilai hanya dinikmati/menguntungkan pengusaha/golongan menengah ke atas. Justru setiap ada kenaikan harga BBM merekalah yang lebih cepat menaikkan harga barang atau tarif jasanya. Sebaliknya yang menderita tetap rakyat kecil terutama yang berpenghasilan tetap, berpenghasilan tak menentu dan juga para pensiunan pegawai negeri/TNI/Polisi.

Oleh karena itu, penulis beranggapan selama jumlah hasil ekspor migas plus hasil penjualan migas khususnya BBM di dalam negeri, tidak rugi secara, perhitungan untung migas masih lebih besar, jadi harga BBM tidak usah dinaikkan (saat itu, Indonesia masih ekspor migas, dan kebutuhan masih tercukupi, tapi setelah 2003 dinyatakan net importir minyak, otomatis belum tentu dapat menyuplai BBM dari dalam negeri, dan harga jadi permainan untuk pengkondisian/penyesuaian, Red).

Kecuali, jika pemerintah sudah berhasil menaikkan daya beli rakyat, misalnya juga kurs Dollar di bawah Rp3.500 per US$ yang otomatis jumlah subsidi BBM sekarang sekitar Rp42 triliun bisa berkurang, bukan hanya hitungan Rp800 miliar, tetapi puluhan triliun rupiah tanpa menaikkan harga BBM.

Juga penulis merasa pemerintah terus melaksanakan kebijakan yang menyimpang selama Orde Baru dan hasil migas yang ratusan triliun itu tidak digunakan untuk pengembangan kembali hasil migas, misalnya membangun kilang-kilang baru, mencari cadangan baru, membeli lapangan-lapangan migas para kontraktor dan fasilitas penyimpanan, penyaluran, serta pengangkutan BBM dan lain-lain.

Juga mengapa dana itu tidak dimanfaatkan, misalnya, untuk pengembangan energi alternatif seperti briket batubara yang bisa menggantikan minyak tanah. Sekiranya, briket batubara tersedia banyak dan mudah diperoleh serta harganya bersaing dan pemerintah mau menaikkan harga minyak tanah, maka rakyat akan bisa segera beralih ke briket batubara. Termasuk alat-alatnya juga banyak dan harganya terjangkau.

Cara menaikkan harga BBM dengan alasan apapun tanpa tersedianya energi pengganti BBM yang lebih murah dan banyak, maka persoalan justru semakin rumit. Akhirnya ketergantungan akan impor BBM terus meningkat dan devisa akan habis tersedot.

Hal ini pasti akan berjalan berkepanjangan selama Indonesia belum mau memanfaatkan seluruh dana migas untuk pengembangan migas dan energi alternatif.

Kalau saja selama Orde baru seluruh dana hasil migas digunakan untuk pengembangan hasil migas yang ketat dan efisien mungkin Indonesia bukan hanya terbebas dari kekurangan BBM, bahkan justru bisa sebagai pengekspor BBM. Perlu diingat apa yang diungkapkan Harold Domar soal Incremental Capital Output Ration (ICOR) yang pada intinya jika mau memperoleh tambahan hasil maka dibutuhkan sejumlah tambahan modal.

Begitu juga dalam migas, jika pemerintah masih mengharapkan hasil dari migas terus bertambah maka modalnya juga harus ditambah. Jangan hanya mengandalkan investor asing selaku kontraktor (tapi, siapa lagi yang punya modal dan berani berisiko? kalaupun pinjaman luar negeri, apakah yakin hutang dapat terbayarkan? atau apakah benar digunakan untuk kegiatan yang sebenarnya?, Red). Layak jika harga minyak mahal dan yang paling banyak menikmati hasilnya yakni para kontraktor migas asing, dimana para pemegang sahamnya hanya puluhan orang untuk memperoleh sekitar 35 persen dari hasil produksi minyak Indonesia. Sisanya untuk bangsa Indonesia yang jumlah penduduknya lebih dari 200 juta orang.


Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.