Pertamina Dilanda Badai RUU Migas 1999

Dengan dikeluarkannya UU No. 8 Tahun 1971 tentang berdirinya Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), maka Pertamina menjadi satu-satunya BUMN yang mengusahakan bidang migas secara nasional. Di tangan Pertamina-lah potensi ekonomi migas harus dikembangkan sehingga memperoleh hasil yang semaksimal mungkin untuk keberhasilan pembangunan nasional terutama selama periode Orde Baru.

Salah satu kunci keberhasilan Pertamina yakni mampu menarik puluhan kontraktor minyak asing untuk melakukan pencarian serta menghasilkan migas, terutama di lepas pantai. Peningkatan produksi migas berarti pula ekspor migas semakin besar (perlu diingat, Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak, sejak 2003 telah menjadi negara pengimpor minyak, Red), pendapatan dalam negeri dari migas terus meningkat, pemenuhan kebutuhan dalam negeri akan migas sebagai energi juga meningkat (dan sudah terjadi kelebihan demand dibandingkan supply, Red), yang pada gilirannya GDP Indonesia juga meningkat.

Bahkan dana dari hasil potensi ekonomi migas selama masa Orde Baru berdampak nyata terhadap perubahan dalam struktur ekonomi. Pada mulanya sektor pertanian yang dominan dalam GDP, namun dengan adanya dana dari hasil potensi migas bagi pembangunan nasional, maka sektor-sektor non migas khususnya sektor indsutri meningkat tajam, juga sektor-sektor lainnya. Dengan kata lain, sektor pertanian telah menurun dan industri bangkit.

Hal ini dikarenakan dari Repelita I (1969/70-1973/74) hingga tahun kedua Repelita IV (1984/1985-1985/86) pendapatan dalam negeri dari migas jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil dari non migas. Hasil inilah sebagai sumber dana pembiayaan pembangunan yang sangat diandalkan terutama untuk pengembangan sektor-sektor atau bidang di luar migas atau non migas (yang kemudian terlanjur di’manja’ dengan pemasukan besar dari hasil migas, dan lupa bila migas merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan akan habis bila dikelola tidak semestinya, Red).

Jumlah produksi minyak mentah Indonesia yang pada 1968 hanya 219,9 juta barel terus melonjak menjadi 589,2 juta barel pada akhir Repelita II (1978/79) dan pada tahun kedua Repelita VI (1995/1996) jumlah produksi mentah Indonesia mencapai 588,5 juta barel.

Begitu juga produksi gas bumi Indonesia yang pada 1968 hanya 116 miliar kaki kubik, terus melonjak menjadi 3.040,6 miliar kaki kubik pada tahun kedua Repelita VI (1995/1996).

Dengan adanya peningkatan produksi migas dari tahun ke tahun, berakibat hasil ekspor migas dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Apalagi sejak terjadinya Perang Oktober 1973 di Timur Tengah, ketika harga minyak melonjak tajam dari hanya sekitar US$2 per barel menjadi di atas US$30 per barel (rejeki nomplok tuh, tapi ‘keuntungan’ selisihnya dikemanakan ya?, Red).

Sebagai gambaran, hasil ekspor minyak mentah dan produk hasil kilang pada 1968/1969 hanya senilai US$327 juta dan non migas US$585 juta. Dengan adanya peningkatan produksi migas serta harga minyak dunia makin baik, maka pada tahun ketiga Repelita III (1981/1982) jumlah nilai ekspor migas mencapai puncaknya dengan nilai US$18.824 juta (wow, tapi memang saat itu nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS masih sekitar Rp2000an, lagi-lagi nilai tukar menjadi salah satu variabel perhitungan untuk pemasukan negara, Red) dan nilai ekspor non migas hanya US$4.170 juta.

Begitu pula pendapatan dalam negeri dari migas yang pada tahun pertama Repelita I (1969/1970) hanya senilai Rp65,8 miliar dan dari non migas Rp117,9 miliar, maka pada tahun kedua Repelita IV (1985/1986) pendapatan dalam negeri dari migas terus melonjak menjadi Rp11.144,4 miliar dan dari non migas senilai Rp8.108,4 miliar (terjadi pergeseran penerimaan negara yang tadinya non migas menjadi migas, lagi, lupa kalau migas dikelola tidak semestinya maka akan habis begitu saja, boleh berbangga pernah merasakan jaya atau kaya karena migas telah memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan, tapi bila supply tidak ada, apa mau dikata? ibarat mancing di laut mati, Red).

Dengan memanfaatkan dana migas untuk pembangunan nasional khususnya untuk non migas, maka pada tahun keempat Repelita VI (1997/98) pendapatan dalam negeri dari migas mencapai nilai Rp35.357 miliar dan dari non migas mencapai nilai sangat tertinggi, yakni Rp72.826,8 miliar.

Itulah antara lain keberhasilan Pertamina mengelola potensi ekonomi migas Indonesia. Hanya sayangnya pada 1999 Pertamina dilanda badai dengan diajukan RUU Migas pada 1999 (kemudian menjadi UU Migas 22/2001, Red) oleh pemerintah atau Menteri Pertambangan dan Energi ke DPR (sekarang giliran mau revisi UU Migas di situasi genting setelah pembubaran BP Migas malah main tunggu-tungguan, tak ada inisiatif seperti yang dilakukan pemerintah dulu, apa dulu ada inisiatif karena ada maksud dan tujuan tertentu?, Red).

RUU Migas 1999 itu antara lain menghapus UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina, yang berarti Pertamina harus dibubarkan. Tentu saja RUU itu ditolak melalui DPR-RI dan berbagai media massa, karena jika Pertamina dibubarkan, maka akan berakibat hilangnya sejumlah aset Pertamina yang nilainya tak terhingga, hilangnya peluang usaha Pertamina yang beralih ke tangan keluarga istana dan kawan-kawan dan lenyapnya bukti KKN di Pertamina. Bahagialah mereka yang sudah berhasil merampas hasil kerja keras Pertamina selama masa Orde Baru itu. Untung saja akhirnya RUU Migas 1999 dikembalikan oleh DPR kepada pemerintah, ini berarti Pertamina tidak jadi dibubarkan.

Badai RUU Migas 1999

Walaupun setelah pemilu 7 Juni 1999 masa jabatan wakil rakyat sudah berakhir, tetapi tampaknya ada gejala-gejala RUU Migas akan dipaksakan untuk disetujui. Walau begitu banyak ahli bahkan para pengamat dan juga para mantan pejabat-pejabat Pertamina kontra terhadap RUU Migas 1999 itu.

Fraksi PDI-P dan PPP termasuk yang tidak bersedia membahas apalagi menyetujui RUU Migas 1999 itu dalam kurun waktu menjelang pemilu (tapi pada akhirnya disetujui juga, dan fraksi yang menang saat itu PDI-P, sehingga yang menandatangani UU saat itu, kepala negara dari fraksi yang menang, Red). Lain halnya dengan fraksi Karya Pembangunan, sebagian besar sebagai pemilik suara terbesar karena anggotanya adalah wakil rakyat dari pemerintahan Orde Baru. Walaupun demikian banyak anggapan seharusnya sebelum wakil rakyat hasil pemilu Juni 1999 dinyatakan sah (sepertinya sejarah terulang kembali, bagaimana nasib revisi UU Migas kini?, Red), apalagi ternyata PDI-P yang menang suara, segala persetujuan apa saja, termasuk RUU Migas 1999, tak perlu disetujui. Tetapi tunggu sampai suara wakil rakyat hasil pemilu Juni 1999 disahkan.

Sekiranya RUU Migas 1999 disetujui oleh DPR, maka sesuai isi RUU Migas 1999 Bab X pasal 45 ayat (1a-1c) UU No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara berikut segala perubahannya, terakhir dengan UU No. 10 Tahun 1974, semuanya tidak berlaku lagi. Di samping itu ditetapkan pula bahwa segala peraturan pelaksanaan No. 44 Prp. 1960, UU No. 8 Tahun 1971, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan UU ini.

Ini sebagai pertanda bahwa RUU Migas sepertinya memang dibuat secara mendadak. Untung saja RUU Migas dikembalikan lagi oleh DPR kepada pemerintah, yang berarti UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina tidak dicabut, berarti pula Pertamina tidak dibubarkan dan tidak diganti dengan yang lainnya. Kebijakan yang dibuat secara mendadak ini diperkirakan mengandung aneka kepentingan.

Yang pasti, jika Pertamina bubar, maka bahagialah kelompok yang telah berhasil mengeruk dana serta lapangan usaha Pertamina. Juga para pelaku KKN di Pertamina bisa bebas, karena semakin sulit menemukan data soal KKN di Pertamina selama masa Orde Baru. Inilah yang dinamakan badai RUU Migas 1999.

Berbagai media massa pada hari Rabu, tanggal 24 Oktober 2001, memberitakan mengenai RUU Migas yang disahkan oleh DPR-RI. Begitu berita itu dimuat di koran-koran banyak orang yang bertemu penulis yang seolah-olah mengingatkan kepada penulis bahwa keberatan penulis agar RUU Migas ditolak DPR, ternyata disetujui oleh DPR-RI. Apalagi mereka tahu, bahwa karena keberatan penulislah maka DPR Orde Baru mengembalikan RUU Migas ke pemerintah.

Penulis pernah menelpon pak Hamzah Haz di rumahnya, dan pak Hamzah meminta agar penulis menghubungi pak Zarkasih Nur mengenai RUU Migas itu. Karena pak Hamzah Haz bukan sebagai anggota DPR dan bukan pula ketua/wakil ketua/ketua fraksi di DPR. Bahkan pak Purnomo yang masih menjabat sebagai wakil gubernur Lehamnas menelpon penulis di rumah agar penulis memberitahukan Mentamben.

Penulis yang juga dikenal sebagai orang yang selalu menolak setiap usulan kenaikan harga BBM, jika pendapatan per kapita rakyat secara merata tidak naik setara dengan kenaikan harga BBM. Karena soal UU Migas itu, penulis hanya menjawab singkat dengan kalimat sebagai berikut “DPR saja yang gajinya dibayar oleh negara begitu tinggi setuju, apalagi saya yang tak pernah dibayar”.

Bahkan pada waktu pemerintah mengusulkan harga BBM naik 30 persen terdapat suatu tim di kalangan DPR yang meminta agar harga BBM naik 100 persen. Tampaknya mereka merasa puas dengan jawaban tersebut. Karena mereka tahu, penulisbukan pegawai/pensiunan Pertamina, bukan pula konsultan Pertamina atau konsultan pemerintah. Mereka tahu, penulisadalah kolumnis/pengamat, dosen dan penulis buku.

Mengenai RUU Migas, penulis mempunyai dua kepentingan utama menolak RUU Migas versi 1999. Pertama, untuk kepentingan orang banyak terutama yang berpenghasilan tetap atau kecil apalagi yang penghasilan tidak menentu. Khususnya kalau pengadaan BBM di dalam negeri makin kacau dan harganya makin tidak terjangkau rakyat banyak. Pertamina masih sesuai UU No. 8 Tahun 1971, tetapi banyak yang mempermainkan pengadaan BBM dan harganya, apalagi kalau Pertamina dibubarkan versi RUU Migas Orde Baru. Kedua, untuk kepentingan keuangan negara agar tidak semakin dirugikan. Pada gilirannya untuk menyehatkan kembali ekonomi moneter Indonesia secara keseluruhan.

Sebagai contoh, kalau Anda masih mempunyai surat kabar Sinar Harapantanggal 29 Maret 1973 (dua puluh delapan tahun yang lalu, terhitung pengamatan penulis pada 2001), sebelum Perang Oktober 1973 di Timur Tengah yang melonjakkan harga minyak dunia. Pada tanggal itu, tulisan penulis dimuat dengan judul Produsen Minyak dan Krisis Moneter Internasional. Dalam tulisan itu, antara lain penulis utarakan kalau OPEC mengekspor minyak ke AS bayarannya harus berupa Dollar AS, kalau ke Jepang dengan Yen dan kalau ke Eropa dengan Deustsche Mark (belum menggunakan Euro, Red). Setelah penulis keluarkan artikel itu, beberapa waktu kemudian muncul SDR (special drawing right), karena SDR nilainya masih terus dimonopoli Dollar AS, maka naiknya nilai Yen tak punya arti yang besar untuk meredam kenaikan Dollar AS itu. Bahkan satu mata uang Eropa masih lumayan meredam bangkrutnya Dollar AS dan melonjaknya Yen.

Begitu juga belasan tahun yang lalu melalui media massa, penulismeminta agar OPEC menentukan harga patokan seperti sekarang yang kemudian disesuaikan dengan jumlah permintaan minyak dunia. Bukan sebaliknya, kalau harga minyak dunia turun yang dimainkan oleh negara industri/pengimpor, lalu OPEC melakukan pemangkasan kuota produksi. Penulissejak lama mengharapkan agar OPEC harus sebagai seller’s market bukan buyer’s market seperti puluhan tahun yang lalu.

Ketika harga minyak hanya di bawah US$2 per barel. Seharunsnya kalau menggunakan teori supply dan demand sejak puluhan tahun yang lalu pasti harga minyak sudah belasan bahkan puluhan US$ per barelnya, seperti sekarang. Ini berarti selama puluhan tahun negara-negara penghasil minyak, yang kemudian menjadi OPEC terus memberi subsidi harga minyak tidak kentara kepada negara-negara industri/besar. bahan renungan mengapa pemberian subsidi BBM di dalam negeri justru dianggap baik oleh para teknokrat.

Begitu pula pada 1985, tulisan penulis dimuat di OPEC Bulletin mengenai tiga wilayah migas Riau, Aceh dan Kalimantan Timur agar dijadikan pusat-pusat pembangunan dan harus diberikan alokasi devisa yang cukup. Nyatanya sekarang muncul kebijakan otonomi daerah.

Juga belasan tahun yang lalu secara pribadi penulis sampaikan sebuah memo kepada Bapak Dirjen Migas agar dalam kontrak bagi hasil ditambah dengan kalimat, kalau ditemukan hanya gas bumi maka kontraktor juga harus memenuhi kebutuhan gas bumi di dalam negeri seperti minyak (domestic market obligation/DMO) dengan harga hanya beberapa sen US$ per sejuta BTU. Waktu itu Bapak Dirjen hanya memberikan catatan pada memo penulissimpan saja”, itu belasan tahun lalu pada waktu pemerintah atau Pertamina mempunyai kekuatan terhadap kontraktor.

Kalau sekarang mungkin hanya akan menimbulkan ketidakpercayaan kontraktor terhadap Indonesia, apalagi ditambah dengan masalah pajak. Layak diperhatikan keluhan IPA (Indonesian Petroleum Association) itu.

UU Migas Suatu Harapan

Disahkannya RUU Migas menjadi UU minimal telah menunjukkan hasil kerja DPR itu cukup menggembirakan karena 80 persen dari apa yang dikhawatirkan sudah masuk dalam RUU Migas yang dibahan DPR dan pemerintah hingga disahkan menjadi UU.

Apalagi, akhirnya Pertamina tidak dibubarkan dan hanya berubah menjadi Persero. Hal ini sesuai dengan jawaban penulis pada waktu ada ahli dari Pertamina bertanya pada acara Oil & Gas Associatiates Forum di Jakarta, tanggal 30 September 1999. Pertanyaannya mengenai bagaimana menambah modal Pertamina agar diharapkan bisa semakin besar. Waktu itu penulismenjawab “Sekiranya Pertamina tidak dibubarkan dan menjadi Persero tentu penambahan modalnya dengan menjual saham”.

Tampaknya apa yang penulis utarakan dua tahun yang lalu menjadi kenyataan. Yang penting Pertamina tidak dibubarkan. Untuk itu Pertamina harus ramping, serta mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensinya. Dengan kata lain kekhawatiran penulis mengenai pembubaran Pertamina tidak menjadi kenyataan, malah diharapkan agar Pertamina bisa bekerja serta berkembang lebih sehat lagi.

Juga kekhawatiran penulis mengenai pengadaan atau pendistribusian BBM di dalam negeri, kalau dikelola dengan badan-badan lain dikhawatirkan sangat merugikan rakyat banyak. Tampaknya masalah ini terjawab, karena dalam RUU Migas yang disahkan itu, Pertamina masih diberi tugas, selain dua tahu untuk hulu dan yang terberat yakni tugas hilir empat tahun.

Tugas pengadaan atau pendistribusian BBM ke seluruh pelosok tanah air merupakan tugas terberat Pertamina selama ini. Bahkan hingga tugas inilah yang selalu mengkambinghitamkan Pertamina dalam berbagai kesalahan sehingga tidak sedikit yang menghendaki agar Pertamina dibubarkan. Oleh sebab itu, sekarang perlu diketahui dengan jelas siapa saja yang menyedot atau menyimpan BBM sehingga harganya melonjak. Walaupun demikian, minimal mungkin masa empat tahun itu diharapkan masih bisa diperpanjang demi kepentingan rakyat banyak.

Walaupun demikian, kekhawatiran apakah Pertamina masih bisa bekerja seperti tugas Pertamina sesuai UU No. 8 Tahun 1971 itu masih tetap ada. Karena sejak berlakunya UU Migas, Pertamina menjadi perusahaan yang harus memperoleh laba. Dalam pelaksanaannya hal itu bukan hanya sangat sulit, juga sangat merugikan rakyat banyak dan juga keuangan negara.

Contoh sangat sederhana perjanjian membangun gedung migas. Ternyata dalam praktek atau kenyataannya hingga kini bukan hanya gedung migas yang tak bisa diharapkan sudah berdiri dan berjalan, malah gedung migas yang lama akan digantikan dengan gedung migas mewahpun sudah tidak bisa diharapkan. Apalagi dalam pelaksanaan UU Migas nantinya yang mungkin banyak merugikan rakyat banyak dan kemungkinan besar para kontraktor migas asing bukan hanya tidak ada yang mau melakukan usahanya di Indonesia, mungkin juga mereka akan memutuskan hubungan kerja. Dan akhirnya merugikan keuangan negara.

Pada mulanya justru timbul kekhawatiran UU Migas akan menguntungkan kontraktor asing karena kuasa pertambangan serta pengawasan bukan lagi ditangani oleh Pertamina. Ternyata setelah muncul soal DMO dan perpajakan dalam RUU Migas/UU Migas kontraktor ikut mengeluh. Di samping itu muncul pula kekhawatiran kalau Pertamina bubar maka jeka KKN di Pertamina selama Orde baru hilang. Tetapi karena Pertamina tidak bubar, soal KKN itu menjadi urusan Pertamina dan pemerintah yang harus benar-benar dituntaskan.

Sebenarnya beberapa minggu yang lalu penulis sudah menyampaikan catatan kepada ketua komisi VIII DPR-RI (waktu itu masih ditangani komisi VIII, sekarang komisi VII, Red) mengenai RUU Migas melalui sekretarisnya antara lain berisi sebagai berikut,

Sejak awal hingga sekarang saya tetap menolak RUU Migas. DPR Orde Baru berhasil mengembalikan/menolak membahas RUU Migas, antara lain sesudah saya jelaskan di DPR-RI, bahwa RUU Migas merupakan pelindung para pelaku KKN di Pertamina. Untuk itu mereka terus mengupayakan agar Pertamina bubar. Sekarang saja ketika Pertamina masih ada, BBM sering lenyap, apalagi nanti juga banyak yang turut campur tangan. Alasan lain penolakan RUU Migas adalah untuk mencegah agar aset Pertamina tidak habis karena jika RUU Migas disetujui akan muncul beberapa bahan usaha. Jadi RUU Migas jelas bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3 yang menyatakan bahwa Pertamina hanya BUMN, bukan swasta. RUU Migas merupakan hasil produk para tokoh KKN Orde Baru. Oleh karena itu, jika Pertamina bubar maka jejak pelaku KKN di Pertamina akan lenyap. Kuasa pertambangan juga dipegang pemerintah/badan pasti fungsi pemerintah menjadi dualisme, sebagai pembuat/pelaku kebijaksanaan dan sebagai pengusaha. Dikhawatirkan hal itu akan mempermudah kontraktor memperpanjang kontraknya untuk wilayah-wilayah komersial. Kalau kuasa pertambangan dipegang Pertamina pasti kontrak yang berakhir dan komersial tidak akan diperpanjang. Baru-baru ini sudah ada pelecehan terhadap DPR soal RUU Migas. Misalnya, walaupun RUU Migas belum disetujui tetapi soal kontrak untuk 8 wilayah migas bukan lagi oleh Pertamina tetapi oleh Ditjen Migas/pemerintah.

Penulis juga merasa seharusnya sebelum RUU Migas dipermasalahkan dan menjadi UU, terlebih dahulu harus ada RUU Energi Nasional. Karena segalanya mungkin sudah terlanjur, maka apa yang sudah ada, yakni UU Migas harus dilaksanakan sebaik mungkin.

Oleh karena RUU Migas baru saja disahkan menjadi UU, maka sulit bagi penulis untuk menilai kebaikannya. Karena kebaikannya baru bisa dinilai secara tepat dan baik sekiranya UU itu sudah berjalan lama. Tetapi minimal munculnya ketentuan pajak dan DMO untuk gas bumi dalam UU Migas itu ada baiknya guna menambah keuangan negara dan menjamin pengadaan energi serta bahan baku dari gas bumi dalam negeri.

Tetapi dilihat dari ruginya, karena pasal 33 ayat 2 dan 3 diberlakukan juga di luar Pertamina yang berarti bertentangan dengan UUD 1945 serta memperkecil ruang lingkup kerja Pertamina. Juga dalam hal pengadaan serta pendistribusian BBM pasti tidak semulus ketika tugas Pertamina sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1971. Dengan berubahnya Pertamina menjadi Persero diharapkan dewan komisarisnya tidak perlu dilakukan oleh para menteri, cukup para pejabat di bawah menteri, kalau perlu juga ada dari para ahli/pengamat termasuk untuk unsur anggota Badan Hukum Milik Negara.

Karena RUU Migas sudah menjadi UU, maka layak yang berkepentingan harus melaksanakannya secara baik. Minimal sebagai jawaban bagi mereka yang khawatir RUU menjadi UU Migas.

Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.