Semangat Berbagi di SDN Manikliyu, Bangli

Tidak banyak orang mengetahui nama Bangli, padahal Bangli merupakan salah satu kabupaten di pulau dengan sebutan pulau Dewata (Bali) yang berada di daerah pegunungan Kintamani. Kita banyak mengenal Kintamani sebagai daerah wisata dengan keindahan Gunung Batur serta Danau Batur. Namun, perlu diingat keindahan akan pemandangan tersebut juga diperlukan putra/putri daerah untuk memeliharanya, selain agar tetap menjadi kawasan parawisata, perlu mempertahankan budaya akan masyarakat setempat.

Ini kali kedua saya mengikuti Kelas Inspirasi Bali (KIB) ditempatkan di SDN Manikliyu, Bangli. Tidak jauh berbeda dengan pertama kali saya mengikuti KIB di SDN 1 Pengotan, Bangli (Baca: Berbagi Pengetahuan dengan Kesederhanaan). Saya memberikan gambaran kepada peserta didik mengenai profesi saya sebagai jurnalis (wartawan). Akan tetapi, agar peserta didik mengerti arti dari kata jurnalis, saya mengubahnya dengan kata “tukang” agar lebih familiar terdengar oleh peserta didik. Dikarenakan dalam bidang jurnalisme dibagi 2 kategori, yaitu jurnalis tulis dan jurnalis foto, maka setelah diubah menjadi tukang tulis dan tukang foto.

Hampir sama seperti sebelumnya, sedikit saya ceritakan apa yang diperlukan untuk menjadi tukang tulis ataupun tukang foto. Sangat mendasar, bahwa untuk menjadi seorang jurnalis hanya perlu 2 bekal utama, yaitu menulis dan membaca, guna mencari informasi yang ingin disebarluaskan kepada orang yang belum tahu agar menjadi tahu. Selain itu, menulis dan membaca juga dapat menjadi bekal untuk berbagai profesi lainnya. Namun yang berbeda, kali ini saya membawakan beberapa contoh foto sebagai tukang foto.

Agar peserta didik dapat merasakan seperti apa menjadi jurnalis, sayapun memberikan tugas kepada mereka untuk menuliskan ingin berprofesi apa kelak dewasa nanti, dan apa harapan dari peserta didik agar cita-cita tersebut dapat dicapai, kemudian dibacakan ke depan kelas agar teman-temannya bisa mengetahui (saling berbagi cerita).

Seakan terlalu mengawang-awang atau mungkin belum ada gambarannya, tapi jangan salah menilai para peserta didik di SDN Manikliyu ini, mungkin agak sedikit berbeda dengan peserta didik yang berada di kota, yang biasanya ingin berprofesi sebagai Dokter, Polisi ataupun TNI. Memang ada beberapa, tapi baru kali ini saya mendengar ingin berprofesi menjadi Atlet Sepak Bola, Juru Masak (Chef), bahkan sudah menentukan ingin menjadi seorang Pengusaha.

Tentu, perjalanan mereka masih panjang, namun cita-cita mereka bisa terwujud dengan usaha dan kerja keras, bukan hanya dari diri mereka sendiri, tetapi lingkungan disekitar mereka merupakan jadi faktor pendukung untuk mendorong semangat mereka untuk menggapai cita-cita yang ingin dicapai.



Cermin Selalu Jujur, Cermin Tak Pernah Bohong

Cermin atau kaca tanpa disadari berada di sekeliling, meski ada kaca yang bening yang tembus pandang tapi masih dapat terlihat bayangan atau refleksi diri yang memantul, bahkan genangan air bisa menjadi fungsi Cermin karena memantulkan refleksi. Cermin mungkin tidak dapat menjawab pertanyaan seperti di bawah ini, 

Mirror, mirror on the wall, who's the biggest fool of all ?

Mirror, mirror on the wall, who’s the realest of them all?

Mirror, mirror on the wall, who's the dumbest of you all?

Mirror, mirror on the wall, who's the naughtiest of them all? 

Namun berbeda, bila menonton salah satu film (legend), ada yang dibuat animasi, ada juga versi non-animasi, Snow White and the Seven Dwarfs. Pasti tidak asing lagi, dimana terdapat naskah dialog yang diucapkan oleh Ratu Ravenna “Magic mirror on the wall, who is the fairest one of all?” 

Cermin pasti akan menjawab “My Queen”. Pertanyaan itu terus ditanyakan Ratu kepada Cermin hingga suatu saat jawabannya mengancam posisi Ratu, “Famed is thy beauty, Majesty. But hold, a lovely maid I see. Rags cannot hide her gentle grace. Alas, she is more fair than thee”.

Lovely maid yang dimaksud Cermin adalah “Over the seven jeweled hills, beyond the seventh fall, in the cottage of the Seven Dwarfs, dwells Snow White, fairest of them all”. Tentu, jawaban Cermin membuat Ratu geram dan takut hingga membuat rencana untuk menyingkirkan Snow White. 

Film tersebut sangat merefleksikan dinamika sifat manusia, saat kebanggaan, keberhasilan ataupun kesenangan dengan antusias dikemukakan, dan sebagai tanda hasil jerih upaya yang telah dilalui atau dicapai, karena Cermin akan merefleksikannya. Begitupun sebaliknya, kegagalan, kesedihan, dan kemarahan akan direfleksikan oleh Cermin dengan apa adanya, tanpa rekayasa.

Melihat banyak sekali pemberitaan di berbagai media dengan saling menuntut, menyalahkan, bahkan menyebarkan gosip atau fakta yang belum terungkap, hingga saat mengklarifikasinya seakan tidak mencerminkan sosok yang mungkin pernah dikenal telah lama, benarkah terjadi perubahan? Coba saja sodorkan Cermin.


Dilema Perpanjangan Kontrak (Lapangan Minyak dan Gas Bumi)

Lisensi suatu blok atau wilayah kerja untuk eksplorasi dan produksi minyak secara umum berlaku antara 25-30 tahun, untuk gas periodenya bisa lebih lama lagi. Jauh sebelum kontrak berakhir (8-10 tahun tergantung lapangan minyak atau gas), kontraktor diizinkan mengajukan perpanjangan kontrak.

Kenapa jauh-jauh hari sudah diperbolehkan mengajukan perpanjangan? Hal ini tentu saja terkait dengan investasi. Kontraktor tidak mau mengambil risiko dengan melakukan investasi besar-besaran pada tahun ke 20-25, tetapi 5 tahun kemudian kontraknya diputus atau tidak dipepanjang.

Dari perspektif bisnis kondisi ini dapat dipahami, sama halnya dengan seorang yang mengontrak rumah, tentu sebelum hari-H kontrak berakhir, diperbolehkan mengajukan perpanjangan kontrak kepada yang punya rumah. Hal ini penting, supaya ada kepastian tidak akan diusir pada saat kontraknya berakhir. Bagi pemiliki rumah juga sebagai jaminan kelangsungan pendapatan, supaya penyewa tidak mendadak keluar. Si empu rumah bisa kehilangan kesempatan bagi penyewa berikutnya.

Dalam konteks lapangan minyak dan gas bumi, timbul pertanyaan: bagi pemerintah, apa semua kontrak yang habis, sebaiknya diperpanjang? jawabnya: tentu tidak, tergantung proposal yang dibawa kontraktor pada waktu mengajukan perpanjangan kontrak.

Cerita sederhananya seperti ini,

Kontraktor akan menghadap pihak yang berwenang (pemerintah) membawa usulan perpanjangan kontrak. Pada prinsipnya kontraktor akan menyatakan: seandainya kontrak tidak diperpanjang, maka kami tidak akan melakukan investasi lagi, baik untuk kegiatan eksplorasi maupun pengembangan. Agar kontrak dipertimbangkan untuk diperpanjang, maka kontraktor akan menunjukkan gambar berikut:

1. Ilustrasi Proposal Perpanjangan Kontrak

Ini adalah “senjata” kontraktor, yaitu rencana profil produksi seandainya kontrak diperpanjang. Kontraktor akan menyatakan: seandainya diberikan perpanjangan kontrak, profil produksi akan menjadi seperti ini, investasi untuk kegiatan eksplorasi dan pengmbangan akan dilanjutkan sehingga sebelum kontrak berakhirpun produksi sudah mulai meningkat. Dari sisi pemerintah tentu juga mempunyai pertimbangan tersendiri, seandainya kontraknya tidak diperpanjang, bagaimana profil produksinya?

2. Ilustrasi untuk Kasus Kontrak tidak Diperpanjang

Untuk tujuan ilustrasi, profil ini disedehanakan dengan asumsi kontrak ini tidak diperpanjang, pada saat perpanjangan operatornya diambil alih kontraktor lain atau oleh NOC. Tentu timbul pertanyaan, apakah profil produksinya tidak menjadi lebih jelek dibanding kontraktor lama mengingat mereka sudah mempunyai pengalaman di wilayah kerja tersebut?

Jawabannya bisa “ya”, bisa “tidak”. Karena kontraktor yang barupun sebenarnya bisa menghasilkan profil produksi lebih baik dengan metoda pendekatan dan teknologi yang dimilikinya, atau dengan menggunakan pengalamannya di wilayah kerja lain.

Contoh yang pernah terjadi

Ketika Pertamina membeli saham BP di Offshore North West Java (ONWJ) pada 2009, menjelang kontraknya berakhir (kontrak akan berakhir pada 2016). Setelah Pertamina menjadi operator menggantikan BP, kinerja lapangan tersebut menjadi lebih baik.

Sekarang kembali ke pertanyaan: bagi pemerintah, lebih baik diperpanjang atau tidak diperpanjang?

Andaikata diperpanjang maka prinsip perpanjangan paling tidak memenuhi kriteria bahwa ketentuan dan persayaratan harus diubah menjadi jauh lebih baik bagi negara. Misal, sebelumnya bagi hasil sebesar 80%:20%, maka pada saat perpanjangan diubah menjadi 90%:10% dan seterusnya. Apabila sebelumnya pada kontrak lama ada berbagai insentif yang akan mengurangi bagian pemerintah, maka pada saat perpanjangan, insentif tersebut tidak berlaku lagi.

Untuk urusan perpanjangan kontrak ini, pemerintah jelas dalam posisi tawar menawar yang lebih baik. Bagi kontraktor, apabila kontraknya tidak diperpanjang, mereka lebih banyak mengalami kerugian. Bisa saja mereka menggunakan dananya untuk investasi di wilayah kerja baik di dalam maupun luar negeri. Namun tentunya hal ini lebih berisiko mengingat secara prospek masih belum jelas. Di samping itu, apabila perpanjangan kontrak disetujui implikasinya luar biasa bagi kontraktor, sebelumnya perkiraan produksi hanya sampai akhir periode kontrak, dengan diberikan perpanjangan maka perkiraaan produksi otomatis bertambah sampai berakhirnya periode perpanjangan tersebut.

Apa kerugian seandainya tidak diperpanjang?

Aktivitas wilayah kerja tersebut cenderung akan menurun selama 8-10 tahun terakhir, hanya menunggu berakhirnya kontrak. Tidak ada kegiatan eksplorasi dan pengembangan, padahal dua aktivitas itu merupakan hal yang sangat penting.

Dalam kondisi tertentu, pemerintah bisa saja mempunyai pertimbangan lain yang lebih strategis, tidak melulu melihat dari aspek profil produksi tersebut (karena ini pada dasarnya hanya membandingkan pengaruh time of value of money, tentu tidak diperpanjang akan memberikan hasil yang kurang baik). Ada pertimbangan lain yang lebih bersifat jangka panjang. Pemerintah dapat mengatakan kepada kontraktor: “Wilayah Kerja ini selanjutnya akan dikelola oleh NOC agar diperoleh pendapatan yang lebih maksimal bagi negara”. Seperti halnya analogi kontrak rumah di atas, tentu tidak ada yang salah kalau si empu rumah mengatakan: “mohon maaf, rumah ini tidak dikontrakkan lagi, mau dipakai sendiri”.

Terkait dengan adanya “kerugian” akibat “lahan nganggur” 8-10 tahun menjelang kontrak berakhir akibat tidak ada lagi investasi kapital oleh IOC. Mengingat hal ini selalu menjadi isu menjelang perpanjangan kontrak, perlu dipertimbangkan untuk memuat semacam klausul “periode transisi” antara NOC dan IOC.

Intinya: NOC sudah mulai bisa masuk sebelum kontrak berakhir, sehingga investasi tetap dapat berjalan. Tentu saja perlu dibuat suatu formula dalam rangka pembagian biaya investasi yang dilakukan secara patungan antara NOC dan IOC, mengingat keduanya akan memperoleh manfaat dari investasi tersebut sebelum kontrak berakhir.

Hal yang penting di sini adalah bahwa dimanapun di belahan dunia ini, merupakan suatu kewajaran untuk memberikan hak istimewa (privilege) kepada NOC. Salah satu caranya adalah memberikan tanggunga jawab mengelola kontrak yang akan berakhir. Namun, tentu NOC dapat memilah sesuai dengan profil risiko, strategi dan portfolio mereka. Untuk proyek yang sangat tinggi risikonya, IOC masih diperlukan dalam bentuk kemitraan dengan NOC. Dalam hal ini keterlibatan NOC tetap ada, namun tidak 100% mengingat pertimbangan-pertimbangan di atas.


Benny Lubiantara, Ekonomi Migas Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas, 2012 

Prospek Pemanfaatan Energi Panas Bumi di Indonesia

Semua negara di dunia yang miskin akan sumber minyak dan gas bumi semakin gelisah. Bahkan Amerika Serikat pun yang nyatanya mampu menghasilkan minyak bumi lebih dari delapan juta barel per hari, selalu khawatir. Amerika Serikat masih tergantung pada impor minyak sekitar jumlah itu. Bahkan jika negara besar di dunia ini tidak mampu mengendalikan pemanfaatan minyak buminya, diperkirakan, negara ini harus mengimpor minyak sekitar 11,5 juta barel per hari pada 1985. Suatu jumlah yang cukup mengerikan, karena akan menganggu pertumbuhan ekonomi serta moneternya, bahkkan mengancam pertumbuhan industrinya. Terutama akan selalu mengancam neraca pembayarannya.

Jika negara besar ini mampu berproduksi 5-6 kali dibandingkan dengan produksi minyak Indonesia (yang sekitar 1,6 juta barel per hari) sudah sejak lama gelisah dan berusaha dengan langkah-langkah kebijaksanaan energinya, tidak heran kalau Indonesia pun harus demikian.

Menghadapi masalah harga minyak internasional yang terus meningkat dan terlalu sering, masalah konsumsi minyak yang terus meningkat, prospek penambahan jumlah produksi serta kekhawatiran bahwa cadangan minyak akan habis, maka usaha mencari sumber-sumber energi di luar minyak dan gas bumi di berbagai negara dunia, terutama yang miskin akan minyak, terus ditingkatkan. Usaha ini diprioritaskan untuk menjaga kemungkinan, jika kelak pengadaan minyak dunia semakin langka dan harganya pun sudah melangit.

Tidak heran kalau kini batubara dimunculkan kembali, tenaga air dikembangkan. Energi surya di teliti terus. Gelombang laut, angin, arus panas dan dingin lautan, tumbuh-tumbuhan (untuk alkohol ataupun methanol, dan sebagainya), energi nuklir mulai dicoba serta dimanfaatkan. Bahkan energi panas bumi yang biasa dikenal dengan istilah energi geothermal mulai digalakkan. Indonesia pun tak ketinggalan dengan usaha pengembangan energi panas bumi.

Panas bumi terutama digunakan untuk menghasilkan tenaga listrik. Misalnya di California utara, panas bumi digunakan untuk menghasilkan 180 megawatt listrik. Diperhitungkan, biayanya akan lebih murah dibandingkan dengan tenaga listrik yang menggunakan bahan bakar dari fosil ataupun nuklir. Pembangkit listrik dengan tenaga panas bumi ini diusahakan oleh suatu kelompok perusahaan, yang dipimpin oleh suatu perusahaan minyak internasional yang terkenal di dunia, yaitu Union Oil Company (kini dikenal dengan Chevron, Red). Perusahaan inilah yang berusaha membor serta menghasilkan dan menjualnya kepada Pacific Gas and Electric.

Tenaga panas bumi di dunia untuk pembangkit listrik pada 1973 telah digunakan di tujuh negara termasuk Selandia Baru, Jepang dan Uni Soviet. Sedangkan pemanfaatan panas bumi sebagai sumber pembangkit tenaga listrik telah digunakan di daerah sekitar Larderello, Italia, pada 1904. Dengan makin langkanya serta mahalnya harga minyak, maka prospek pemanfaatan panas bumi di dunia, termasuk Indonesia akan semakin cerah dan dapat diandalkan dalam usaha diversifikasi energi.

Panas Bumi Bagi Indonesia

Salah satu sektor yang banyak menggunakan bahan bakar minyak, yang perlu diperhatikan, ialah untuk pembangkit tenaga listrik. Apalagi adanya peningkatan usaha pelistrikan desa dalam Pelita III ini. Gerak laju pembangunan nasional yang mencakup pembangunan daerah-daerah, akan merangsang pemanfaatan pembangkit listrik kecil-kecilan non-PLN, yang akan banyak menggunakan bahan bakar minyak.

Pada 1977 jumlah kebutuhan energi Indonesia yang berupa minyak bumi mencapai 21,67 juta ton ekuivalen batubara. Untuk pembangkit listrik PLN sebanyak 5,55%-nya. Dilihat dari sektor perlistrikan itu sendiri, diperkirakan hingga 1988 peranan pemanfaatan minyak bumi masih terbesar. Pada 1979 pemakaian energi berupa minyak masih 78%-nya, sisanya dari tenaga air. Pada 1981 pemakaian energi untuk pembangkit listrik diperkirakan menjadi 79% minyak bumi, 20% tenaga air. Pada 1992, pemanfaatan energi menjadi 25% berupa minyak, tenaga air menjadi 16%, batubara menjadi 54% dan panas bumi menjadi 5%. Pada 1992 jumlah energi yang dibutuhkan untuk pembangkit listrik mencapai jumlah 44.937 (GWH), sedangkan pada 1979 hanya sebesar 5.780 (GWH).*data usaha-usaha diversifikasi energi dalam sektor tenaga listrik

Jelas, usaha diversifikasi energi bagi Indonesia dapat diharapkan dari sektor perlistrikan, terutama pembangkit listrik yang diusahakan PLN.


Khusus pemanfaatan panas bumi di Indonesia, dalam buku Repelita III ditegaskan, antara lain, sumber daya energi panas bumi dalam bentuk konvensional (air panas dan uap) di Indonesia diperkirakan berjumlah 1.500 MW. Dari jumlah itu, 890 MW-nya diperkirakan terdapat di Jawa.

Pemanfaatan panas bumi untuk listrik, direncanakan pada 1981 akan selesai dibangung pusat listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang pertama, yaitu di Kamojang dengan kapasitas sebesar 30 MW. Selanjutnya pada 1984 di daerah pegunungan Dieng dengan kapasitas yang sama. Dengan demikian diharapkan, pada 1984 Indonesia sudah dapat menghasilkan tenaga listrik sebanyak 60 MW yang berasal dari sumber energi panas bumi.

Kebutuhan energi Indonesia pada 1981-1983 yang berasal dari panas bumi masing-masing sebesar 0,007 juta ton ekuivalen batubara. Pada 1984 meningkat menjadi 0,015 juta ton ekuivalen batubara berupa panas bumi.

Dengan pemanfaatan sumber energi panas bumi di Indonesia berarti, pertama, Indonesia telah membuktikan dapat menghasilkan serta memanfaatkannya sebagai sumber energi lain di luar minyak dan gas bumi. Kedua, pemanfaatan panas bumi merupakan bantuan untuk mengimbangi besarnya peningkatan kebutuhan energi dalam negeri. Ketiga, pemanfaatan panas bumi berarti mengurangi beban terhadap peningkatan besarnya kebutuhan bahan minyak di dalam negeri yang masih diharapkan terus menjadi suber devisa utama bagi pembangunan nasional. Keempat, munculnya panas bumi di Indonesia merupakan langkah mengurangi ketergantungan PLN/energi dari bahan bakar minyak. Walau peranan panas bumi sebagai sumber energi secara keseluruhan tak dapat dijadikan harapan yang sangat berarti. Mungkin sangat tergantung pada sumber-sumber panas bumi itu sendiri serta berapa besar potensinya dibandingkan dengan perkiraan kebutuhan energi Indonesia yang semakin meningkat.

Pada 1984, kebutuhan energi Indonesia secara keseluruhan diperkirakan akan mencapai 51,919 juta ton ekuivalen batubara. Dari panas bumi hanya sekitar 0,015 juta ton ekuivalen batubara. Namun demikian, pemanfaatan sumber daya energi panas bumi perlu dikembangkan terus, karena cepat atau lambat kebutuhan Indonesia akan minyak bumi akan lebih besar (seirama dengan perkembangan lajunya hasil pembangunan) dibandingkan dengan kemampuan produksinya sendiri. Contoh mutakhir adalah Amerika Serikat.

Dikhawatirkan, pada waktunya Indonesia bukan lagi menjadi anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) seperti sekarang, tapi menjadi “OPIC” (Organization of Petroleum Importing Countries). Kiranya tak berlebihan, jika sejak pagi-pagi tokoh-tokoh pembangunan yang terutama duduk di pemerintahan, mempropagandakan serta mengingatkan akan adanya gerakan penghematan energi (terutama bahan bakar minyak) serta usaha diversifikasi energi dan sebagainya.

Kenyataannya, bahwa baik dilihat dari perhitungan statistik, matematika ataupun ekonometri serta perhitungan lain, bahwa pada akhirnya minyak bumi yang terkandung di perut bumi ini akan habis juga. Apalagi jika diingat, dengan laju pertumbuhan penduduk, pendapatan, dan pendidikan, bahwa kesemuanya merupakan pendorong utama untuk peningkatan penggunaan energi, terutama berupa bahan bakar minyak.

Sumber Panas Bumi

Usaha pencarian sumber daya panas bumi di Indonesia telah sejak sebelum 1928. Didasarkan atas catatan Direktorat Vulkanologi antara 1926-1928 telah dilakukan pemboran sebanyak 5 buah sumur dengan kumulatif kedalaman 335,2 meter dengan hasul berupa uap berkekuatan 750 MW dengan pipa ukuran 3” bertekanan 2,5 atm, pada sumur no. 3. Setelah penyelidikannya dihentikan pada 1928, baru pada 1964 penyelidikan dimulai lagi. Yang terlibat penyelidikan ialah Lembaga Masalah Ketenagaan/PLN, Direktorat Geologi, ITB serta pihak asing, yaitu Unesco, Eurafrep, USGS/AID, Colombo Plan New Zealand.

Didasarkan atas catatan dari Dit. Vulkanologi, pembentukan sumber daya energi panas bumi di Indonesia rupaynya sangat erat hubungannya dengan proses geologi sejak jaman kuarter. Kegiatan gunung api sepanjang jalur gunung api di Indonesia rupanya telah mendangkalakn atau secara relatif menaikkan sumber panas melalui kegiatan magmanya, yang berupa terobosan-terobosan ke permukaan, yang kemudian membentuk gunung api atau yang menerobos bagian atas kerak bumi. Pendangkalan panas bumi itu memanaskan cadangan air tanah di bawah permukaan di sekitar sumber panas tersebut. Akibatnya, berubah menjadi uap yang bertekanan serta bersuhu tinggi. Tenaga yang kuat inilah yang dimanfaatkan.

Hasil penyelidikan lapangan-lapangan panas bumi yang dianggap prospektif hingga 1979, yaitu Sumatera (Seulawah Agam-Nanggroe Aceh Darussalam; Muaralabuh-Sumbar; Semurup-Lempur; Kerinci-Sumatera Tengah), di Sulawesi Utara (Lahendong-Linow-Minahasa; Tompaso-Tempang-Minahasa; Kotamobagu-Bolaang-Mongondow), di Flores (Ulumbu, Ruteng-Flores Barat), di Jawa (penyelidikan bersama Dit. Geologi, Pertamina dan Genzl yaitu di Jabar: Rawa Danau-Banten; Cisolok-Darajat), di Jateng (Dieng) dan Bali (Tabanan).

Atas dasar penyelidikan serta usaha pemanfaatan, sumber energi panas bumi untuk masa depan cukup cerah, walau tak dapat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi Indonesia secara keseluruhan. Tetapi dilihat dari segi usaha diversifikasi energi, usaha pencarian serta pengusahaan panas bumi untuk waktu mendatang merupakan pertanda satu langkah maju dalam pelaksanaan pembangunan nasional.

Bachrawi Sanusi
Energi ASEAN Suatu Tantangan, 1982
Kompas, 31 Mei 1980

Bersakit-sakit Dahulu, Net Eksportir Minyak Kemudian

Industri Migas di Brazil

Industri migas di Brazil berangkat dari keprihatinan dimana berdasarkan hasil survey di darat (onshore) tahun 1960-an, tidak banyak ditemukan cadangan migas di sana. Menyadari sebagai negara miskin minyak, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang intinya mencari cara supaya minyak digunakan lebih efisien dan sedapat mungkin beralih dari minyak.

Dalam rangka mengurangi pengeluaran untuk impor minyak, pemerintah memutuskan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang diharapkan dapat mengurangi kebutuhan minyak pada pembangkit listrik di masa akan datang, membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan meluncurkan program bahan bakar ethanol terbesar di dunia.

Pajak bahan bakar minyak ditingkatkan untuk mendorong efisiensi energi dan menghindari pemborosan bahan bakar minyak.

Pemerintah pada saat yang sama mendorong Petrobras untuk mempercepat program pemenuhan kebutuhan minyak untuk keperluan domestik. Menyadari tidak ada prospek migas di onshore, Petrobras beralih ke lepas pantai (offshore). Campos Basin ditemukan pada 1974, pengusaan teknologi lepas pantai dimulai dengan lokasi dangkal (shallow water), yang kemudian dilanjutkan dengan laut dalam (deep water).

Pada 1995 terjadi deregulasi untuk sektor migas. Petrobras di privatisasi, hak monopolinya dicabut. Pemerintah mendirikan National Petroleum Agency (ANP) yang bertanggung jawab terhadap urusan penawaran wilayah kerja dan mengatur kegiatan baik hulu dan hilir.

Deregulasi ini bertujuan agar Petrobras terbiasa berkompetisi, meningkatkan transparansi fiskal dan mengundang investor asing di sektor migas. Kegiatan eksplorasi meningkat sehingga terjadi banyak temuan cadangan minyak besar pertengahan tahun 2000-an dari lokasi laut dalam.

Prinsip “bersakit-sakit dahulu” ini berbuah sukses. Padahal 32 tahun yang lalu, produksi minyak di Brazil hanya 200 ribu barel per hari, sementara konsumsi minyak mencapai 1,2 juta barel per hari. Saat ini, Brazil menjadi negara net eksporter minyak dan produksinya akan cenderung terus meningkat dekade ke depan dengan berproduksinya lapangan-lapangan baru dari lokasi laut dalam tersebut.

Pada sistem konsesi di Brazil, IOC yang memperoleh konsesi diwajibkan untuk menginvestasikan 1% dari pendapatan bruto suatu lapangan untuk kegiatan riset dan pengembangan. Dana tersebut dialokasikan masing-masing 50% untuk riset pada perusahaan tersebut dan 50% oleh perguruan tinggi dan institusi riset nasional. TIdaklah mengherankan kalau saat ini Petrobras menjadi salah sati “penguasa” teknologi eksplorasi dan produksi migas di laut dalam.


Benny Lubiantara, Ekonomi Migas Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas, 2012.

Migas dalam Penanaman Modal Asing

Sejak jaman dahulu bumi Indonesia kaya akan beraneka sumber daya alam, baik sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan lain-lain, juga sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui lagi (un-renewable) seperti tambang, baik berupa batubara, minyak dan gas (migas) maupun hasil tambang lainnya.

Untuk menghasilkan sumber daya alam yang aneka rupa itu diperlukan dana atau modal/investasi yang sangat besar, terutama untuk bidang migas. Selain investasi yang sangat besar juga dibutuhkan teknologi yang tinggi, keahlian serta risikonya sangat besar, terutama jika hasil pengeboran tidak ditemukan migas.

Oleh karena Indonesia ingin menjadi bangsa yang adil dan makmur sesuai UUD 1945, maka diperlukan pembangunan di segala sektor dan bidang. Untuk itu dibutuhkan dana yang sangat besar. Salah satu yang diharapkan bisa mendatangkan sumber dana bari pembangunan selain potensi yang sangat kecil dari dana di dalam negeri, juga sangat besar jika Indonesia berhasil ekspor aneka sumber daya alam, termasuk juga keberhasilan Indonesia memperoleh Bantuan Luar Negeri.

Untuk itulah layak jika pada awal Orde Baru keluarlah UU yang berkenaan dengan Penanaman Modal Asing, yakni seperti yang diatur di dalam UU No. 1 tahun 1967, oleh karena sumber daya alam seperti migas juga sejak lama menjadi produk ekspor dunia (perlu diingat Indonesia sudah tidak lagi jadi negara pengekspor migas sejak 2003, terutama minyak, penulis juga sudah mengingatkan migas merupakan sumber daya alam yang un-renewable, sementara kebutuhan dalam negeri lebih tinggi daripada ketersediaan sumber daya alam, Red), maka layak dengan dibukanya peluang bagi modal asing berusaha di Indonesia. Maka semakin banyaklah kontraktor migas asing yang melakukan operasinya di Indonesia, terutama di lepas pantai (offshore) yang berhasil baik (pertanyaannya, apakah pemodal dalam negeri yang pure nasionalis bisa melakukannya? jangan sampai juga melancarkan modal asing namun soul adil dan makmur berdasarkan UUD 1945 hilang, namun hanya dimanfaatkan sekelompok golongan, kemana jiwa merah putih?, Red).

Pengaruh Penanam Modal Asing Terhadap Ekspor

Phyllis Rosandale mengemukakan, bahwa modal asing pegang peranan penting di dalam proses membaiknya realisasi serta prospek hasil ekspor selama tahun 1970-an. Masalahnya kebanyak produk ekspor Indonesia utama periode tahun 1950-an dan periode 1960-an tidak mempunyai kemantapan permintaan terhadap produk Indonesia, juga selalu mengalami penurunan harga di pasaran dunia. Empat dari lima produk tradisional ekspor Indonesia utama, seperti karet, kopi, teh dan lada, pasarannya lambat perkembangnnya, sedangkan pasaran bagi barang ekspor utama ke lima, yakni kopra, justru turun setelah perang dunia kedua.

Sekiranya Indonesia masih tetap mempertahankan komposisi produk ekspornya seperti periode tersebut, maka peluang untuk menghasilkan devisa ekspor menjadi kecil, apapun yang terjadi di sektor penawaran dalam negeri. Satu-satunya cara yang umumnya berlaku bagi negara kecil untuk menghindar dari prospek yang tidak begitu baik dalam perdagangan internasional yakni dengan cara keberanian mengubah komposisi ekspornya, mencakup lebih banyak barang yang mempunyai prospek lebih baik dilihat dari segi perkembangan harga maupun jumlahnya.

Masalahnya, faktor kemajuan sebagian juga karena adanya kebijakan ekonomi yang lebih baik (untuk siapa?, Red), untuk itu Indonesia dianggap telah berhasil melakukan hal tersebut selama sepuluh tahun sejak tahun 1967 (kebijakan ekonominya hanya berefek sepuluh tahun? apakah tidak ada yang bisa lebih visioner?, Red).

Penanaman modal asing sebagai penggerak utama bagi pertumbuhan ekspor barang-barang mineral dan kayu, satu-satunya sektor yang tumbuh karena investasi yang dilakukan pemerintah adalah bidang tambang timah. Perkembangan ekspor minyak bumi, kemudian bertambah dengan ekspor gas bumi LNG dan LPG, kayu, tembaga, nikel serta seluruhnya bersumber karena masuknya modal swasta asing, terutama swasta asing yang berhasil menambang migas selama ini.

Terbesar dari hasil migas yakni berasal dari ekspor, terutama gas bumi, sedangkan minyak bumi dikhawatirkan jumlah produksi minyak dalam negeri tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan BBM di dalam negeri, yang berarti Indonesia akan menjadi negara net importir minyak (sudah 12 tahun lamanya, bahkan sejak penulis selalu melakukan riset sejak tahun 1980-an, selalu mengingatkan tentang supply dan demand, mengingat migas adalah un-renewablemaka tak pantas Indonesia dijuluki “Kaya akan Minyak”, bukan hanya ekspor perlu mengubah komposisi, pengguna migas sepertinya juga perlu, Red).

Ini berarti pula yang selama ini minyak bumi bisa menghasilkan devisa ekspor, maka pada saatnya Indonesia harus mengeluarkan devisa/dana untuk impor BBM. Oleh karena itu, pihak Pertamina terus memberikan insentif baru yang saling menguntungkan terutama bagi kontraktor migas asing. Dengan kata lain, jika produksi migas meningkat, harga migas dunia makin baik, maka hasil ekspor akan meningkat.

Hasil ini secara berantai akan menambah pendapatan dalam negeri dari migas, menambah dana pembangunan di segala sektor/bidang maupun regional, dan pada akhirnya akan menambah pertumbuhan ekonomi Indonesia (mudah-mudah tidak ‘nyasar’ atau ngendondi suatu tempat, penggunaan dari pendapatan dalam negeri, Red). Karena adanya keberhasilan pembangunan di segala sektor/bidang, terutama karena adanya dana pembangunan dari hasil migas, ternayta usaha bidang-bidang lain di luar migas ikut berkembang, sekaligus juga semakin banyaknya para investor asing menanam modalnya untuk usaha non migas.


Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002

Ekonomi Setelah Merdeka (Bagian 2 - Selesai)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia maupun pertumbuhan ekonomi per sektor atau seluruh PDB/GDP Indonesia yang banyak ditunjang oleh peran pemanfaatan uang migas maupun migas sebagai energi atau bahan baku, juga tidak bisa lepas karena harga jual BBM di dalam negeri khususnya jauh lebih murah atau lebih rendah dibandingkan dengan harga BBM di luar negeri. Oleh karena itu di satu pihak semua sektor/lapangan usaha memperoleh bantuan dari negara berupa harga BBM yang jauh lebih rendah sehingga minimal bisa menekan biaya produksi serta bisa meningkatkan daya saing, tetapi sebaliknya semakin jumlah BBM yang dibutuhkan dan harganya di bawah biaya produksi BBM per liternya, berarti jumlah subsidi BBM makin lama makin membengkak.

Besar kecilnya jumlah subsidi BBM bukan karena tergantung harga jual BBM-nya rendah, tetapi yang sangat menentukan karena semakin besarnya jumlah subsidi BBM, yakni pertama, jumlah kebutuhan BBM terus meningkat. Kedua, meningkatnya harga minyak dunia makin mahal dan dalam harga/nilai Dollar AS. Ketiga, jika kurs rupiah makin merosot tajam terutama terhadap Dollar AS. Akibatnya terpaksa pemerintah bersama DPR setuju menaikkan harga BBM, walau seharusnya pemerintah berkewajiban agar daya beli masyarakat harus terus ditingkatkan dan merupakan salah satu tugas serta tanggung jawab pemerintah, bukan sebaliknya justru kenaikan harga BBM maka daya beli rakyat kecil, khususnya semakin turun tajam.

Secara riil pendapatan rakyat kecil khususnya terus merosot, dengan kata lain daya beli hasil pendapatan rakyat kecil makin kurus atau menyusut tajam (rakyat sebenarnya, bukan rakyat yang selalu gonta-ganti kendaraan pribadi atau gonta-ganti status online dengan gadget bukan buatan dalam negeri pula, Red).

Kalau saja pemerintah mampu menurunkan kurs Dollar AS, katakan saja dari Rp9.000 per US$ bisa menjadi antara Rp3.000 sampai Rp4.000 pasti subsidi BBM tidak membengkak dan harga BBM tidak perlu naik (tapi kan, nanti ‘kue’ dari selisih nilai/harga gakebagian, suara rakyat mana yang sedang diwakilkan?, Red). Kalaupun harga minyak dunia katakan saja turun 20 persen secara Dollar AS, tetapi jika kurs rupiah turun lebih dari 40 persen terhadap US$ berarti secara rupiah harga BBM lagi-lagi pemerintah seperti tidak punya usaha positif dan selalu mengambil enaknya saja menjual sumber daya alam berupa warisan migas yang usianya sudah lebih 100 tahun, yakni dengan seenaknya saja menaikkan harga BBM.

Walau ada alasan bahwa uang subsidi BBM katanya untuk mengentas kemiskinan, nampaknya kebijakan ini sangat tidak tepat, yang pasti dikhawatirkan justru yang muncul kebocoran dana subsidi BBM yang merugikan rakyat banyak.

Dengan kata lain, sebenarnya adanya subsidi BBM untuk membantu merangsang produksi sektor non migas bisa meningkat tajam. Perhatikan saja adanya perubahan struktur ekonomi Indonesia juga harus diingat bahwa subsidi BBM seperti minyak tanah sebenarnya sejak lama mempunyai latar belakang yang baik terhadap lingkungan hidup, terutama bagi keamanan rakyat banyak, untuk itu agar rakyat tidak menebang pohon sebagai bahan bakar (namun yang terjadi sekarang ditebang untuk buka lahan perkebunan dengan kamuflase kebakaran hutan karena ada titik api dari bawah tanah, padahal hutan Indonesia salah satu paru-paru dunia, Red). Karena penebangan pohon secara seenaknya saja akibat minyak tanah mahal atau tak terjangkau untuk dibeli oleh rakyat kevil sehingga muncul penebangan pohon-pohon secara liar, akibatnya banyak daerah yang tanahnya longsor dan banjir ketika hujan (penulis pun mengetahui banjir akan tiba karena hutan tidak dilindungi, Red).

Banyak Oknum

Oleh karena itu, sudah sejak lama minyak tanah, khususnya selalu diberi subsidi, tetapi niat upaya baik pemerintah terutama pada masa ekonomi yang tak menentu akhirnya makin banyak oknum pengusaha yang nakal, karena harga minyak tanah yang sangat murah makan bukan hanya BBM, khususnya minyak tanah, solar dan lain-lain diseludupkan ke luar negeri tetapi minyak tanah juga dicampur dengan premium atau solar, sehingga merugikan konsumen BBM karena mesin kendaraannya rusak berat.

Untuk itu pengawasan dari pihak Pertamina harus diperketat kalau perlu bekerjasama dengan dunia pers (lah, mereka juga di’lindungi’ atau di’legal’kan, Red) dan rakyat setempat di mana BBM dijual, juga dengan catatan mereka itu mau bekerja keras tanpa adanya harapan munculnya KKN.

Yang pasti karena adanya subsidi BBM, maka secara tidak kentara sebenarnya pertumbuhan ekonomi di berbagai lapangan usaha terus meningkat. Misalnya saja, harga jual gas bumi untuk pembuatan pupuk urea khususnya sangat murah, ini banyak membantu para petani terutama sebagai penghasil tanaman padi, pada gilirannya GDP/PDB di sektor pertanian bisa terus meningkat, karena antara lain adanya pupuk urea itu, produksi padi meningkat, juga contoh lain karena harga BBM bersubsidi maka memungkinkan banyak yang butuh kendaraan bermotor, sehingga produksi kendaraan bermotor dan industri lainnya juga ikut meningkat, akhirnya struktur ekonomi yang semula sektor pertanian yang sangat dominan kemudian menyebar dan struktur pertanian makin kecil (pertanda baguskah? Sebelum era mesin masuk, perkembangan di Indonesia sangat bagus, tapi begitu market/pasar jenuh, lupa akan kebutuhan migas semakin meningkat sementara produk fosil sewaktu-waktu akan habis, dan tidak mempersiapkan subtitusi lainnya, Red). Dengan kata lain karena peran migas terutama dalam perekonomian Indonesia sangat besar.

Walau secara teori ada yang menilai bahwa peran migas hanya sekitar kurang dari satu persen, katakan saja untuk menghasilkan jasa hotel. Tetapi bagaimana kalau listriknya pada karena tidak ada BBM-nya, apa arti hotel itu? Justru sebaliknya kerugiannya sangat besar. Begitu juga mobil kalau secara teori katakan saja peran BBM hanya sekitar 10-15 persen, tetapi apakah mobil itu bisa berfungsi dan menghasilkan sekiranya tidak ada BBM? Dengan kata lain peran Migas dalam perekonomian bukan hanya dapat dilihat dari hasil nilai mata uangnya, juga harus dilihat atau diperhitungkan dari pemanfaatannya, apakah sebagai energi atau bahan baku industri? Selain itu juga harus dilihat dari keberadaan atau kecukupan BBM.

Ekonomi dunia akan lumpuh sekiranya OPEC menghentikan produksi atau ekspor minyaknya. Sebagai gambaran dalam tabel 1 akan terlihat perkembangan jumlah pertumbuhan konsumsi dan subsidi BBM dari tahun 1985/86 hingga tahun 1993/94

Tabel 1
Pertumbuhan Konsumsi dan Jumlah Subsidi BBM
1985/86-1993/94
Tahun Anggaran
Konsumsi BBM/Jutaan
KL Subsidi/Miliar Rp.
1985/86
24,45
374,2
1986/87
24,51
*)
1987/88
26,38
401,8
1988/89
27,84
133,1
1989/90
29,70
705,9
1990/91
33,84
3.301,0
1991/92
36,24
1.209,7
1992/93
39,03
691,8
1993/94
41,38
**)
Note:       *) Tidak ada subsidi, tetapi ada Laba Bersih Minyak (LBM), karena harga jual   per liter lebih tinggi dibandingkan biaya produksi per liter. Sehingga terdapat LBM sebesar Rp825 miliar, **) begitu juga pada tahun 1993/94 terdapat LBM Rp1.040,7 miliar.
Sumber: Diolah dari Data dan Informasi Minyak, Gas dan Panas Bumi edisi ke 2, Ditjen Migas, 1995

Oleh karena harga minyak dunia terus naik da kurs rupiah anjlok menjadi nyaris Rp10.000 per US$ pada 2000, maka layak walau harga BBM dinaikkan tetapi jumlah subsidi BBM mencapai puluhan triliun rupiah, bahkan nyaris jumlah subsidi BBM mencapai Rp60 triliun. Masalah utama karena pemerintah tidak berhasil mengupayakan perbaikan ekonomi secara profesional sehingga kurs rupiah terus merosot tajam, akibatnya walaupun harga minyak dunia tidak naik, bahkan turun (harga dengan nilai US$nya), tetapi sekiranya presentase ambruknya kurs rupiah terhadap Dollar AS khususnya jauh lebih besar, maka mau tidak mau jumlah subsidi BBM makin membengkak.

Ketidakberhasilan Pemerintah Perbaiki Perekonomian

Nampaknya DPR kurang jeli yang seolah-olah selalu setuju saja setiap usulan pemerintah untuk menaikkan harga BBM atau menaikkan tarif jasa apapun. Seharusnya yang dinilai DPR terutama yang berkaitan ketidakberhasilan pemerintah melaksanakan ekonomi dan moneter yang baik, yang sangat bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat banyak umumnya, rakyat kecil khususnya.

Malah di satu pihak pemerintah tidak berhasil mengerem ambruknya kurs rupiah, malah anggaran atau APBN yang terus rugi atau defisit di atas Rp50 triliun masih dibiarkan, tanpa adanya usaha memperkecil jumlah anggaran belanja. Defisit anggaran yang tiap tahun terus membengkak juga bisa sebagai salah satu sebab sehingga kurs rupiah terutama terhadap US$ terus ambruk, seharusnya segala rupa pengeluaran atau anggaran belanja negara harus mampu diperas sesuai dengan kemampuan pendapatan dalam negeri khususnya.

Sebenarnya negara-negara maju atau industri yang menjadi pengendali utama IMF atau Bank Dunia sudah lebih dari 100 tahun mereka mendapat subsidi harga minyak secara tidak kentara terutama subsidi harga minyak dunia dari OPEC.

Misalnya dengan cara memaksa atau meminta kepada OPEC atau produsen minyak yang termasuk nermasuk negara berkembang tetapi bukan anggota OPEC agar mereka mau bersedia menambah produksinya. Ini berarti pasaran minyak dunia akan mampu memenuhi jumlah demand (permintaan minyak dunia bahkan kalau dapat berlebihan, akhirnya harga minyak turun. Ini berarti sangat menguntungkan negara-negara besar yang industri.

Bukankah hal ini bisa diartikan selama ini keberhasilan negara maju atau industri karena keberhasilan perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia milik negara maju atau industri selaku konsumen/pengimpor minyak yang sudah sejak lama selalu berhasil memainkan harga minyak dunia semurah mungkin lewat melebihnya produksi minyak dunia terutama dari OPEC dibandingkan jumlah kebutuhan atau permintaan minyak dunia. Dimana terbesar kebutuhan minyak dunia diminta oleh negera-negara industri terutama yang termasuk dalam kelompok OECD.

Oleh karena itu, dalam pasaran global juga masih layak jika negara penghasil minyak seperti Indonesia bisa melakukan kebijakan memberi subsidi BBM, apalagi jika diingat daya beli masyarakat pada umumnya sangat rendah. Oleh karena Indonesia semakin tergantung dari hutang luar negeri, maka layaklah jika segala kebijakan ekonomi, moneter, fiskal atau swastanisasi BUMN, bahkan perubahan politik atau perubahan UUD 1945 akhirnya bisa dikendalikan bahkan didikte atau dipaksa sesuai pemintaan pihak asing.

Kamuflase GDP/PDB

Ini berarti seperti yang pernah penulis utarakan pada 1997 di beberapa media massa kalau Indonesia masih terus tergantung dengan IMF khususnya, maka akhirnya Indonesia bisa dipermainkan seperti ikan lumba-lumba (eh, namaku lagi, Red) atau binatang sirkus (nah, tempatku kerja, Red). Segalanya serba diatur oleh pihak asing, malah dikhawatirkan kelak jumlah GDP/PDB Indonesia yang makin besar bisa terbesar adalah milik para investor luar negeri atau investor asing (ternyata bukan GDP/PDB rakyat Indonesia sendiri, Red).

Oleh karena itu, tidak heran hingga kini para ahli lebih senang mengukur GDP/PDB bukan GNP/Pendapatan Nasional Bruto (PNB). Karena GNP/PNB Indonesia dikhawatirkan makin lama makin kecil karena sebagian besar dari hasil GDP/PDB harus diserahkan ke pihak asing yang telah banyak berhasil memperoleh untung besar apalagi sudah sejak lama masa Orde Baru mereka telah ditunjang oleh berbagai fasilitas seperti adanya subsidi BBM (jadi selama ini subsidi BBM bukan untuk rakyat?, Red), subsidi tarif listrik dan aneka fasilitas-fasilitas lainnya.

Oleh karena itu sangat tepat sekiranya harga BBM atau tarif listrik/telkom/angkutan boleh naik tetapi hanya kepada perusahaan/investor asing yang labanya sangat besar. Walau nampaknya pemerintah tidak akan melaksanakannya, karena khawatir Indonesia akan kehilangan investor asing. Ini berarti yang menikmati segala rupa subsidi BBM khususnya terutama para pengusaha yang sepenuhnya atau sebagian modalnya milik asing.

Karena selalu muncul rasa takut larinya para investor asing ke negara lain, yang berarti akan terjadi lenyapnya berbagai lapangan kerja dan khawatit pengangguran makin melonjak jumlahnya, maka akhirnya segala rupa kenaikan harga maupun tarif yang tidak selektif, akhirnya yang sangat menderita yakni rakyat banyak.

Mungkin apa yang penulis anggap bahwa subsidi BBM sama saja dengan negara-negara industri pengimpor minyak yang berusaha agar OPEC menambah kuota produksinya dengan maksud agar jumlah penawaran lebih besar dari jumlah permintaan minyak dunia. Akibatnya harga minyak dunia turun, semakin harga minyak dunia anjlok berarti sangat menguntungkan negara-negara industri pengimpor minyak yang berarti sama saja mereka diberi subsidi harga oleh OPEC.

Apa Itu Subsidi?

Untuk itu penulis mengambil definisi subsidi menurut Eric L Kohler (1979). Subsidy : A great of financial aid, usually by a govermental body, to some other person or institution for general purposes.

Kalau definisi itu, penulis kaitkan dengan subsidi BBM, mungkin subsidi bisa diartikan sebagai a great of financial/prices of oil aid, usually by oil exporting/producer countries, to some other person or importing countries for general purpose.

Jadi, berarti sejak 100 tahun lebih jauh sebelum OPEC dibentuk telah terjadi subsidi harga minyak dari negara-negara penghasil minyak secara global lewat upaya perusahaan minyak negara-negara industri yang sudah jelas semakin menguntungkan para pengusaha non migas di negara-negara industri pengimpor minyak.

Penulis beranggapan subsidi sebagai upaya membantu secara finansial berupa harga yang murah, begitu pula upaya menurunkan harga minyak dunia dengan cara menekan OPEC agar menambah kuota produksinya juga bisa diartikan sebagai subsidi tidak kentara secara global. Ini berarti pengaruh permainan istilah ekonomi yang akhirnya menguntungkan negara-negara industri, sama saja seperti istilah bantuan luar negeri yang sebenarnya hutang.

Karena kalau bantuan bisa diartikan bantuan itu tidak perlu dikembalikan lagi bisa berarti hibah, tetapi dengan menggunakan istilah bantuan luar negeri ternyata setiap tahun Indonesia harus membayar cicilan serta bunga hutang luar negeri, walau memang ada bantuan berupa diberi peluang mendapat pinjaman, diberi fasilitas bunga sangat rendah, juga pengembaliannya puluhan tahun (makanya selalu defisit tabungan pemerintah notabene APBN, Red).

Memang ini bantuan, tetapi pokoknya adalah hutang, oleh karena itu penulisselalu mengkritik pemerintah lewat media massa setiap RAPBN diajukan ke DPR. Masalahnya di pos pendapatan ada kata bantuan luar negeri, tidak ada istilah hutang, tetapi di dalam pengeluaran rutin ada pembayaran cicilan serta bunga hutang luar negeri, bukankah seharusnya istilah bantuan luar negeri diganti dengan istilah hutang atau pinjaman luar negeri (sekarang malah lebih canggih lagi dinamakan obligasi, Red).


Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002

Kenaikan BBM Layak Dibatalkan

Oleh
Bachrawi Sanusi,
Lektor Kepala Fakultas Ekonomi;
Anggota Pusat Kajian Energi
dan
Sumber Daya Mineral
Universitas Trisakti

*Penulis meninggal pada tanggal 16 Februari 2005, dan ini merupakan tulisan almarhum terakhir yang dikirim ke Kompas diterbitkan pada 18 Februari 2005.

SEJAK tahun 1970, saat sebagai salah satu anggota Tim Energi/BBM Departemen Pertambangan dan Energi dan tahun 1980-an juga sebagai Sekretaris Tim Repelita Ditjen Migas Pertamina, penulis selalu tidak setuju jika pemerintah merencanakan penyesuaian (istilah menaikkan) harga BBM.

Alasannya, karena daya beli rakyat banyak-yang diukur dari tingkat GDP (produk domestik bruto) per kapita-amat rendah. Selain itu, GDP per kapita Indonesia tidak merata, karena yang hidup di bawah garis kemiskinan masih amat banyak, dan kini mencapai sekitar 36 juta.

Ditambah lagi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) selalu memicu kenaikan berbagai barang komoditas dan tarif jasa. Buktinya harga BBM baru direncanakan akan naik, harga sembako sudah naik. Jika harga BBM jadi dinaikkan, mungkin harga-harga sembako yang sudah dinaikkan pasti akan naik lagi. Belum lagi kaum spekulan mulai banyak menimbun BBM.

SEJAK Orde Baru, realisasi pendapatan dalam negeri dari migas selalu jauh lebih besar dibanding jumlah subsidi BBM. Misalnya realisasi APBN tahun 2001, jumlah subsidi BBM sekitar Rp68,40 triliun, suatu jumlah tertinggi dari tahun-tahun anggaran sebelumnya. Tetapi pendapatan dalam negeri dari pajak migas sebesar Rp23,1 triliun lebih, dari penerimaan sumber daya alam minyak bumi Rp59,95 triliun, dan dari gas bumi sebesar Rp22,09 triliun. Jumlah seluruh sumbangan migas sekitar Rp105,14 triliun. Belum lagi bagian laba dari BUMN, yakni Pertamina.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan tidak membatalkan Undang Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 setelah PT Pertamina yang kian diperkecil usahanya, termasuk keuangannya yang kian sulit, selang beberapa hari sebelum keputusan MK telah berhasil menaikkan harga LPG sebesar 41,6 persen dari Rp3.000/kg menjadi Rp4.250/kg. Juga PT Pertamina berhasil pula menaikkan harga Pertamax menjadi Rp3.331 dan Pertamax Plus menjadi Rp3.495/liter.

Dari harga baru itu PT Pertamina mendapat keuntungan masing-masing Rp100/liter. Sedangkan marjin SPBU untuk Pertamax Rp147 dan Pertamax Super Rp157 (Kompas, 20/12).

Oleh karena itu, penulis mengharapkan pemerintah perlu mengeluarkan Keppres agar seorang pengusaha SPBU dan pangkalan minyak tanah se-Indonesia perlu dibatasi kepemilikan SPBU-nya maupun pangkalan minyak tanahnya. Misalnya setiap pengusaha swasta maksimal hanya menguasai dua SPBU, dan/atau dua pangkalan minyak tanah untuk seluruh Indonesia. Jika sudah ada yang memiliki jumlah SPBU dan/atau pangkalan minyak tanah oleh satu perusahaan swasta, kelebihannya supaya dijual kepada badan usaha milik daerah atau koperasi daerah, swasta daerah. Agar pengawasan harga dan penyalurannya bisa beralih ke pemerintahan daerah, apalagi sudah otonom.

Dengan keputusan MK yang tidak membatalkan UU Migas secara keseluruhan, seperti UU Ketenagalistrikan, tetapi MK hanya memutuskan adanya tiga pasal yang harus diamendemen karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Ketiga pasal yang perlu diamandemen itu yakni Pasal 12 Ayat (3) karena ada kata "diberi wewenang" yang dinilai MK bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 22 Ayat (1) mengenai badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam ngeri. Pasal 22 Ayat (1) Kata "paling banyak" dinilai MK bertentangan dengan UUD 1945. Pencabutan Pasal 28 Ayat (2) menyebutkan, harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Dan Ayat (3) menjelaskan, pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.

MK menilai Pasal 28 Ayat (2) dan Ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 karena dalam penetapan harga BBM dan gas tidak diserahkan mekanisme pasar, tetapi melalui kewenangan pemerintah (Kompas, 22/12). Hal ini mungkin akan rancu, karena arti minyak dan gas bumi bisa berarti Pertamax, pelumas, LPG, dan lainnya, bukan lagi wewenang Pertamina.

Dampak lebih jauhnya, apakah masih ada kontraktor migas asing yang mau menanam investasinya, terutama dalam hal mendirikan SPBU-SPBU se-Indonesia, karena harga Migas se-Indonesia sama dan ditentukan pemerintah.

Dalam melakukan penyelesaian amandemen suatu UU dari pengalaman akan memakan waktu lama. Mungkin sejak MK memutuskan tiga pasal yang harus diamendemen jika saja UU tidak melarang bahwa amandemen yang dibuat pemeritah, sebelum diajukan ke DPR, terlebih dahulu diajukan ke MK. Masalahnya, kalau tidak demikian, akibatnya sudah lama di DPR, amandemennya juga ditolak MK.

SELAMA ini harga jual BBM ditetapkan oleh pemerintah. Pertamina seperti kuli membuat/pengadaan BBM, penyalurannya, dan lain-lain. Sayang setelah Orde Reformasi, tiap kenaikan harga BBM sepertinya PT Pertamina yang menetapkan harga BBM, layak kebencian rakyat kepada PT Pertamina kian meningkat. Selayaknya pengumuman kenaikan harga BBM oleh menteri terkait.

Tampaknya dalam upaya menaikkan harga BBM sepertinya pemerintah mempunyai dukungan para ahli, yang mengatakan subsidi BBM kebanyakan dinikmati oleh golongan ekonomi menengah ke atas. Selayaknya pemerintah mengkaji, bukankah golongan ekonomi menengah ke atas (terutama pengusaha/pedagang) penyumbang pajak terbesar. Dengan subsidi BBM mereka, misalnya bisa memperkuat daya saing hasil produknya di pasaran global. Banyak menyerap tenaga kerja dan bahan baku dari dalam negeri, dan lain-lain, yang efek gandanya positif.

Jika pemerintah menaikkan harga setinggi mungkin, melebihi harga BBM di negara maju yang pendapatan per kapitanya amat tinggi, tidak masalah bagi mereka, karena segala kenaikan BBM khususnya akan menambah biaya (cost) dan untung (profit)-nya yang biasanya melebihi persentase kenaikan harga BBM.

Amerika Serikat yang usaha migasnya diusahakan pihak swasta, GDP-nya mencapai sekitar 11 triliun dollar AS tahun 2003. Jumlah penduduknya sekitar 290,3 juta pada Juli 2003. Sebagai negara terkuat. Konsumsi minyaknya sekitar 21 juta barrel lebih per hari. Produksi minyak mentahnya kian menurun menjadi kurang dari delapan juta barrel/hari. Cadangan minyaknya sekitar 22,7 miliar barrel awal tahun 2004. Persediaan (stock) minyaknya 1,57 miliar barrel (2 April 2004).

Produksi gas bumi, batubara, dan energi lainnya, juga cadangannya amat banyak, ternyata sejak harga minyak dunia akibat perang Oktober 1973 di Timur Tengah melonjak belasan hingga puluhan dollar AS per barrel, Pemerintah AS hingga sekarang terus memberi subsidi harga BBM, terutama bensin, solar, dan lain-lain jenisnya dengan pajak BBM yang sangat rendah. Ini berarti Pemerintah AS menjalankan kebijakan biar rugi di pajak BBM asal pajak non-BBM melonjak tinggi, industrinya maju pesat, ekonomi keuangannya berjalan baik.

Harga satu liter bensin di AS yang Termasuk Pajak (TP) dan Tidak Termasuk Pajak (TTP)-nya, harganya selalu jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara industri utama di dunia. Misalnya harga satu liter bensin per dollar AS pada bulan April 2004. Di Perancis 1,258 (Termasuk Pajak/TP) dan 0,344 (Tak Termasuk Pajak/TTP); di Jerman 1,359 (TP) dan 0,385 (TTP); Itali 1,319 (TP) dan 0,427 (TTP); Spanyol 1,023 (TP) dan 0,406 (TTP); Inggris 1,384 (TP) dan 0,348 (TTP); Jepang 1,050 (TP) dan 0,497 (TTP); Kanada 0,589 (TP) dan 0,364 (TTP); dan di AS hanya 0,473 (TP) dan 0,370 (TTP). (MOMR IEA/OECD, 12 Mei 2004).

Secara tidak kentara berbagai produk AS di pasaran global akan mampu bersaing karena biaya produksinya tidak diberatkan dengan harga BBM yang mahal. Oleh karena itu layak dalam keadaan musibah akibat gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara yang sangat parah, rakyat se-Indonesia akan semakin sedih dan menderita dalam ekonomi sekira pemerintah, tentu setelah ada persetujuan dari DPR, terpaksa menaikkan harga BBM.

Oleh karena itu, layaklah jika rencana kenaikan harga BBM dibatalkan. Apalagi jika sumbangan migas dalam APBN 2005 diperkirakan masih jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah subsidi BBM-nya. Jika dibatalkan, agar segera diumumkan.

Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 5 - Selesai)

Industri Penjegal Solar Rakyat

Jauh sebelum pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan harga jual bahan bakar minyak (BBM) solar yang berbeda antara yang dikonsumsi masyarakat dengan industri, sudah diduga akan terjadi kekisruhan, karena konsumen utama solar adalah sektor industri. Kalangan industri termasuk penghasil devisa sudah terlalu lama menikmati aneka subsidi, serta aneka fasilitas.

Mulai dari subsidi BBM, subsidi tarif listrik, aneka fasilitas perpajakan, kemudian perkreditan, perizinan dan lain-lain. maka sudah selayaknya jika sektor industri dikenakan harga BBM tanpa subsidi sama sekali. Hanya saja, pengawasannya harus benar-benar ketat, agar solar untuk rakyat tidak disedot sektor industri (sudah lama diingatkan, tapi pernahkah transparan bahwa benar solar untuk rakyat tidak jatuh ke sektor industri, atau selisih harga yang cukup menggiurkan yang menjadikan solar untuk rakyat selalu langka, malah bisa di atas harga subsidi? Masih butuhkah subsidi BBM?, Red). Harga dan alokasi solar untuk swasta harus dijaga.

Masalahnya daya beli masyarakat semakin terpuruk, karena ketidakmampuan pemerintah menjalankan perintah UUD 1945 untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Makmur berarti peningkatan daya beli dan taraf hidup bangsa. Justru karena ketidakberhasilan serta ketidakmampuan pemerintah mempertahankan kurs rupiah, maka rakyat lagi yang harus menanggung kegagalan pemerintah mengelola ekonomi dan moneter.

Kalau saja kurs rupiah makin kuat, defisit bisa diperkecil. Asalkan juga segala rupa anggaran belanja yang tidak penting harus diciutkan. Oleh karena itu, tidak layak jika harga BBM bagi rakyat yang semakin miskin ini harus disamakan dengan harga BBM di luar negeri yang pendapatan per kapita penduduknya sudah di atas seribu, bahkan ada yang lebih dari sepuluh ribu Dollar AS (tapi ini yang selalu dijadikan ‘kebanggaan’ bahwa pendapatan per kapita Indonesia sudah membaik atau semakin meningkat, namun pendapatan siapa? rakyat yang mana?, Red).

Oleh karena itu, wakil rakyat jangan asal setuju saja setiap ada usul kenaikan harga BBM, apalagi untuk rakyat. Justru yang perlu diawasi serta dinilai adalah ketidakmampuan dan ketidakberhasilan pemerintah untuk memperkuat kurs rupiah (yah, selama masih dapat ‘kue’ dari selisih harga subsidi sih sepertinya manut-manut aja tuh wakil rakyat, Red). Setiap tahun anggaran defisit pasti akan meningkat terus. Selain itu sumber pendapatan dikhawatirkan juga merosot, juga pinjaman luar negeri sebagai penutup defisit sejak masa Orde Lama.

Subsidi Dirampas

Keadaan ekonomi seperti sekarang bisa jadi hanya akan memperoleh jumlah objek pajaknya (kalau lancar sih, seharusnya rakyat menikmati hasil pajak berupa fasilitas publik seperti transportasi, pendidikan, lingkungan, kesehatan dan lain-lainnya, Red). Kalaupun ada mungkin masih banyak kebocoran (penulis pun sudah menduga, Red), jangankan kejujuran membayar pajak, karena hasil laba dari jual beli valas tidak dibayar, solar milik rakyat yang harganya tidak dinaikkan masih saja dirampas oleh para konglomerat.

Coba baca berita utama Harian Kompas 15 Mei 2001 berjudul “Konglomerat Beli Solar Bersubsidi”. Bukankah keserakahan sejak masa Orde Baru yang dilakukan para pengusaha masih berjalan mulus (semulus-mulusnya hingga sekarang, Red). Tentu saja tidak heran, jika stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) selalu kehabisan solar, karena mungkin di tengah jalan tanki solar untuk SPBU belok ke berbagai pabrik/industri (meski katanya, sekarang sudah pakai GPS untuk mengawasi, bukankah selama suatu peralatan buatan manusia dapat dimanipulasi, jangankan buatan manusia, yang benar-benar alami saja dapat dimanipulasi, Red). Tidak mungkin pabrik/industri besar membeli solar antri di setiap SPBU hanya untuk membeli beberapa liter. Jelas ini permainan yang sebenarnya sejak lama terjadi.

Masalah ini merupakan hasil temuan tim terpadu penanggulangan masalah penyalahgunaan pada penyediaan dan pelayanan BBM. Temuan ini sangat berharga dan harus terus ditindaklanjuti secara cepat dan tepat (oleh siapa? yang seharusnya mengamankan saja malah jadi pelaku penyalahgunaan, lalu siapa yang harus menindaklanjuti?, Red).

Untuk itulah penulis pernah mengutarakan melalui media massa bahwa dengan adanya dua harga berbeda untuk BBM, maka bukan hanya ada pengumpul BBM untuk diseludupkan ke luar negeri. Juga yang paling sulit adalah adanya pengumpul atau pembeli dari sektor industri yang membelokkan minyak subsidinya (termasuk kalau terdapat rencana harga BBM subsidi akan naik, dirancanglah manuver demonstrasi seakan kenaikan harga memberatkan rakyat, jadi masih perlukah subsidi BBM?, Red). Itulah yang dikhawatirkan dan ternyata memang demikian.

Untuk itulah langkah yang perlu segera diambil, tindaklanjuti temuan itu hingga diangkat ke pengadilan dengan hukuman berat. Tindak tegas aparat manapun termasuk aparat Pertamina jika diketahui ikut melakukan perbuatan tercela itu (siapa yang berani? selama ‘dalangnya’ yang menyuruh dan punya kekuatan/kuasa lebih kuat, Red). Disamping itu, mungkin pengawasan ketat perlu dilaksanakan. Mungkin Pertamina perlu menata kembali penyaluran BBM khususnya solar, apalagi hingga kini Indonesia masih terpaksa mengimpor solar (malah sudah impor semua-semuanya, Indonesia memang tidak kaya akan minyak, tapi kenapa tidak ada kilang untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM? lagi-lagi, nanti tidak dapat jatah ‘kue’, Red).

Pada bulan Agustus 2000 (sebagai gambaran dari penulis, Red) penjualan solar nasional mencapai jumlah 1,9 juta kl. Impor solar pada bulan yang sama sebanyak 2,8 juta barel atau sekitar 440 ribu kl. Sedangkan jumlah produksi solar dari Pertamina sebesar 8,45 juta barel atau hanya sebesar 1,345 juta kl. Kekurangannya jelas harus ditutup dari impor yang dibayar dalam Dollar AS.

Dengan itu pasti mendekati kebenaran, maka layak pula nama-nama pabrik/industri ditegur, mengapa tidak mengambil jatah solarnya pada bulan Mei 2001. Untuk itu pula perlu dipertanyakan darimana mereka membeli solar.

Yang pasti segala pelanggaran akan terus berjalan sekiranya tidak ada tindakan sanksi yang tegas dan hukuman yang cepat dan berat. Termasuk juga kepada aparat yang mengurus penyaluran BBM, termasuk backing-nya, juga termasuk para pengawasnya jika ada yang tidak jujur.

Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.