Seiring sedang berlangsungnya proses program vaksinasi Covid-19 Nasional, yang telah dimulai sejak tanggal 13 Januari 2021. Wacana vaksin mandiri (berbayar) menjadi kegundahan pro dan kontra dari masyarakat dan juga para tenaga kesehatan dan relawan Covid-19 saat ini.
Betapa tidak? dari berbagai komentar muncul beberapa isu ini dikaitkan antara lain isu komersial dan bisnis, berbicara keadilan, dan ada juga beranggapan merusak tatanan program vaksinasi yang berjalan saat ini, dan tentunya juga ada berpendapat, ini merupakan upaya akselerasi percepatan dari program vaksinasi Covid-19 di Indonesia.
Apakah vaksin mandiri ini merupakan strategi jitu yang diambil pemerintah? atau sebuah kekeliruan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap program vaksinasi Covid-19 secara Nasional.
Partisipasi Masyarakat Untuk di Vaksin
Hasil program vaksinasi tentunya diharapkan efektif terbentuknya herd immunity (kekebalan kelompok/komunal), dan berdampak terhadap produktifitas sosial dan ekonomi kedepan. Saat ini, ketika efikasi vaksin sudah terpenuhi dan diikuti kehalalan vaksin sudah dijamin.
Kunci keberhasilan kedepan harus menitik beratkan peningkatkan partisipasi masyarakat untuk di vaksinasi (vaccination rate) untuk tercapainya kekebalan kelompok yang diharapkan. Disini sebenarnya tantangan terbesar, perlu kita ketahui apa sebenarnya yang menjadi masalah terhadap penerimaan vaksin dan penolakan/anti vaksin dari masyarakat.
Merujuk hasil survei persepsi penerimaan vaksin di seluruh Provinsi di Indonesia yang dilaksanakan kerjasama WHO, ITAGI, UNICEF dan KEMENKES RI yang dirilis November 2020 yang lalu, melaporkan alasan penolakan vaksin COVID-19 paling umum adalah terkait dengan keamanan vaksin (30%); keraguan terhadap efektifitas vaksin (22%); ketidakpercayaan terhadap vaksin (13%); kekhawatiran adanya efek samping seperti demam dan nyeri (12%); dan alasan keagamaan (8%). Jika dilihat dari kesediaan responden membayar yang menerima divaksin hanya (35%) di antaranya mau membayar; sekitar (38%) tidak mau membayar untuk memperoleh vaksin, sedangkan (27%) sisanya masih ragu.
Dilihat dari data ini sangat menarik, bahwa proporsi masyarakat untuk membayar dan tidak mau membayar untuk menerima vaksin tidak jauh berbeda.
Keinginan masyarakat untuk menerima vaksin dengan mengeluarkan uang secara mandiri merupakan peluang untuk menjangkau dan meningkatkan cakupan partisipasi masyarakat untuk di vaksin kedepan.
Disisi lain, vaksinasi memang merupakan tanggung jawab pemerintah tetapi keinginan dan kesadaran masyarakat dengan mengeluarkan uang secara pribadi untuk melindungi dirinya, keluarganya dan membantu pemerintah dalam mengakselerasikan capaian cakupan vaksinasi perlu diapresiasi sebagai bentuk solidaritas bersama kita bisa keluar dari pandemi ini.
Tantangan Vaksinasi Mandiri
Tantangan utama adalah persepsi masyarakat yang berbeda, mulai dari anggapan vaksin berbayar lebih baik dari pada yang gratis atau sebaliknya. Pendekatan vaksin mandiri yang seolah-olah lebih mementingkan pendekatan ekonomi dibandingkan kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat. Selanjutnya, ada juga anggapan ketika vaksin mandiri disediakan, kepercayaan masyarakat terhadap vaksin akan menurun.Sebenarnya, sudut pandang yang berbeda saja melihat ini. Padahal yang perlu dipahami masyarakat adalah ketika orang mau mengeluarkan uang untuk vaksinasi, artinya adalah tidak hanya vaksinasi tersebut dapat melindungi dirinya, tanpa sadar atau tidak langsung sebenarnya orang tersebut melindungi keluarganya dan kita sebagai masyarakat umum yang masih menunggu vaksin secara gratis dari pemerintah.
Ini sebenarnya, efek domino yang diharapkan dalam mengakselerasi capaian cakupan vaksinasi agar tercapai herd immunity, dan kita bisa keluar dari pandemi yang panjang ini. Jadi, ketika kita menunggu jatah vaksin gratis dari pemerintah, sedangkan orang telah melakukan vaksinasi mandiri dengan mengeluarkan uangnya secara pribadi atau ditanggung/dibebankan oleh badan usaha/badan hukum. Bukan berarti keadilan tidak berpihak kepada kita, justru vaksinasi yang dilakukan secara mandiri telah menolong kita dan bangsa ini. Ini sebenarnya arti solidaritas bersama, bergotong royong dengan kapasitas masing-masing untuk kepentingan orang banyak.
Tantangan berikutnya adalah ketersedian dan distribusi vaksin, ini bagian penting yang tidak bisa dipisahkan. Bagaimanapun ketersedian dan alokasi vaksin yang terbatas ini juga akan menghambat proses distribusi vaksin. Vaksin mandiri seharusnya bisa melibatkan pihak swasta dalam distriubusi jaringan rantai dingin dan penyediaan vaksin secara proporsional untuk menjangkau daerah-daerah yang masih terbatas kapasitas penyimpanannya.
Yang perlu menjadi catatan penting adalah meskipun melibatkan pihak swasta, kontrol itu tetap berada dibawah pemerintah. Ini sebagai jaminan bahwa vaksin mandiri tidak sepenuhnya lepas dari kontrol pemerintah, untuk antisipasi mafia vaksin dan vaksin palsu yang dikwatirkan masyarakat kedepan.
KIE Menjadi Kunci
Strategi dan upaya pengendalian dan pencegahan yang dilakukan merupakan sebuah ikhtiar bangsa ini bisa keluar dari Pandemi ini. Vaksin mandiri telah diputuskan dilarang diperjualbelikan, semuanya dibebankan pada badan usaha/badan hukum. Artinya secara prinsip seolah-olah ini juga gratis diterima oleh individu dibawah badan usaha/badan hukum tersebut. Kekhawatiran masyarakat tidak terlepas dari buruknya model komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selama ini.
Persepsi, anggapan dan pandangan yang berbeda tidak luput dari KIE yang diterima oleh masyarakat. KIE menjadi kunci dan juga sebagai penangkal hoak yang beredar selama ini. Model KIE yang perlu disusun dan dijelaskan secara utuh kepada masyarakat, dan apa manfaat dari strategi yang diambil oleh pemerintah saat ini.
Gerakan masif bersama secara nasional perlu digalakan dalam upaya meningkatkan cakupan vaksinasi kedepan, apakah nanti itu berbayar atau tidak? Apakah vaksin mandiri sebagai strategi jitu apa keliru yang diambil pemerintah? Inilah sebuah ikhtiar yang akan buktikan kedepan dengan berbagai sudut padang yang berbeda ini diputuskan.
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas; Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi, Provinsi Sumatera Barat