Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 4)

Pada tanggal 2 Oktober 2000 pemerintah sudah menyampaikan rencana anggaran pendapatan dan negara (RAPBN) 2001 kepada DPR RI, walau dalam keadaan daya beli rakyat kecil terus terjepit dan ekonomi rakyat kecil semakin terjepit dan ekonomi rakyat kecil semakin terpuruk, akibat tekanan ganda negatif kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Setelah itu ada revisi-revisi RAPBN 2001 yang terakhir revisi RAPBN pada bulan Mei 2001 yang masih perlu dikaji DPR untuk disetujui.

Banyaknya revisi karena kegagalan pemerintah yang tidak mampu menahan ambruknya kurs rupiah yang sudah mendekati Rp12.000 per US$. Banyaknya protes kenaikan harga BBM seolah-olah tidak membuat pemerintah yang didukung persetujuan DPR goyah.

Sekarang suara wakil rakyat sangat menentukan. Bukan berarti seperti di masa Orde Baru. Sekarang wakil rakyat harus ingat pada rakyat. Mereka dipilih sebagai wakil rakyat, bukan musuh rakyat atau pengkhianat rakyat, yang selalu menyetujui usul pemerintah menaikkan harga BBM khususnya. Apalagi pada tahun anggaran 2001 pemerintah merencanakan harga BBM yang semula naik hanya 20 persen, kemudian direvisi akan naik 30 persen dan hal itu disetujui IMF.

Ini mencerminkan tekad pemerintah sejak Orde Baru selalu menggantungkan kehidupan ekonomi dan moneter Indonesia terutama dari warisan milik rakyat dan hutang luar negeri. Warisan yang berasal dari pengurasan sumber daya alam (SDA) yang tidak henti-hentinya, terutama hasil migas yang cadangannya tidak dapat diperbaharui lagi (un-renewable) dan hasil hutan khususnya. SDA (hutan) yang renewable ini bisa terus diperbaharui jika reboisasi berjalan baik dan lancar, misalnya tebang satu tanam tiga pohon atau lebih. Akan tetapi, uang reboisasi digunakan salah seperti masa Orde Baru (pantas banjir melulu, Red), maka hutanpun akhirnya bisa menjadi SDA yang un-renewable bahkan bisa segera musnah terbakar karena tinggal ilalang kering.

Bangsa Indonesia bukannya menjadi bangsa terkuat di ASEAN, apalagi di Asia atau di dunia. Bahkan dapat dikatakan, kini bangsa Indonesia sebagai bangsa yang boleh bangga karena penduduk dunia, terutama di negara-negara yang tergabung dalam CGI, IMF maupun Bank Dunia termasuk bangsa yang terbanyak hutang luar negerinya, tanpa hasil yang baik bagi rakyat secara merata.

Pemerintah atau wakil rakyat mungkin bangga dengan terus meningkatkan jumlah nominal RAPBN 2001 dari hanya Rp197,03 triliun lebih pada tahun APBN 2000 menjadi Rp295,11 triliun lebih pada RAPBN 2001 (sebelum ada dua kali revisi/waktu diajukan pada bulan Oktober 2000) atau naik sekitar Rp98,12 triliun atau naik sekitar 50 persen dibandingkan APBN 2000 (sebelum ada revisi-revisi yang juga tidak akan menyelesaikan masalah sepanjang pemerintah tak mampu membangkitkan kembali kurs rupiah) (wah, RAPBN sekarang yang sudah mencapai Rp1.800 triliun lebih, bagaimana kalau dibandingkan dengan aset seorang penemu software yang mencapai Rp1.000 triliun? seorang individu bisa memiliki aset sebesar itu, sementara negara berwarga 200 juta masih megap-megap untuk mengimbangi pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatan, dan bangga punya anggaran sebesar itu?, Red).

Menguras Hasil Warisan

Kebanggaan karena membesarnya nilai nominal RAPBN 2001 sebanyak itu, bukan hanya karena pemerintah terus memaksakan diri menguras hasil warisan, juga berupaya memperoleh hutang negeri dan harapan dari sedekah berupa hibah terutama dari luar negeri (mental mengemis?, Red).

Pemerintah dan wakil rakyat seharusnya semakin sadar dan bisa menilai harga diri, karena sekarang segala rupa kebijakan pemerintah secara tidak kentara, termasuk upaya menghapus seluruh subsidi BBM dalam kurun waktu tertentu harus dikendalikan luar negeri.

Subsidi tak kentara di luar BBM yang ratusan triliun rupiah yang dinikmati segelintir pengusaha, seperti bantuan pemerintah dalam memberikan pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terus bermasalah, bantuan bunga kredit, bantuan dalam rekapitulasi, bantuan penalangan hutang-hutang perusahaan/perbankan swasta, pengunduran pelunasan pembayaran hutang para bankir maupun perusahaan konglomerat, penilaian aset perusahaan yang bermasalah BLBI atau lainnya yang terlalu rendah, dan banyak lagi berbagai fasilitas keuangan yang seharusnya sebagai peningkatan pendapatan keuangan negara malah menjadi beban negara.

Akibat negatifnya, rakyat kecilah yang selalu terkena getahnya, karena semua harga dan tarif serba naik gara-gara harga BBM dinaikkan. Harus diperhatikan baik-baik oleh pemerintah maupun wakil rakyat, adanya subsidi BBM memang akan merugikan pihak pengusaha asing, karena harga BBM murah berarti daya saing aneka rupa barang ekspor Indonesia bisa makin kuat. Layak jika IMF paling keras mengingatkan soal upaya penghapusan subsidi BBM.

Akan tetapi, lembaga keuangan dunia seperti IMF tidak memperdulikan Amerika Serikat yang akan melepas persediaan minyaknya (stok minyaknya) sebanyak 30 juta barel. Bukankah hal ini berarti bahwa pemerintahan Amerika Serikat secara tak kentara telah melakukan subsidi harga terutama bagi kaum industriawan kelompok OECD.

Bahkan OPEC dipaksa untuk menambah produksi agar harga minyak dunia terus merosot dan yang untung dalam harga lagi-lagi negara industri. Oleh karena itu, dalam kebijakan upaya menghapus subsidi BBM harus dilihat dari kepentingan nasional bukan kepentingan asing, kecuali memang pemerintah makin takut kehilangan sumber dana hutang luar negerinya, yang selalu menjadi penutup defisit anggaran sebesar apapun.

Walaupun warisan dan hutang luar negeri masih terus sebagai sumber penunjang APBN 2000 dan RAPBN 2001, tetapi nyatanya defisit anggaran semakin membengkak. Pendapatan negara dan hibah dalam APBN 2000 hanya Rp157,897 triliun, sedangkan belanja negara Rp197,030 triliun yang berarti defisit sekitar Rp44,1 triliun.

Dalam RAPBN 2001 (waktu diajukan ke DPR dan belum ada revisi-revisi) jumlah pendapatan negara dan hibah naik menjadi Rp242,997 triliun, sedangkan anggaran belanja negara juga naik menjadi Rp295,113 triliun (belanja apa aja ya?, Red). Jumlah defisit RAPBN 2001 sekitar Rp52,1 triliun (jadi ingat pribahasa, besar pasak daripada tiang, Red).

Dilihat dari besarnya angka nominal APBN 2000 dan RAPBN 2001, layak jika wakil rakyat mempertegas lagi bahwa nilai rapor pemerintah juga meningkat dengan warna merah tebal. Hal ini bukan saja karena pemerintah semakin menguras hasil warisan tanpa modal, juga karena terus menggelembungkan (mark-up) hutang luar negeri sedangkan potensi untuk mengembalikannya secara riil (dengan dolar AS) semakin merosot.

Sudah Bangkrut

APBN 2000 maupun RAPBN 2001 menyerupai suatu income statement atau daftar rugi/laba suatu perusahaan swasta khususnya. Kalau saja, pemerintah adalah perusahaan swasta maka defisit anggaran yang semakin membengkak bisa disetarakan dengan kerugian perusahaan yang semakin besar.

Ini berarti pemerintah bisa dinilai sudah bangkrut. Jika perusahaan swasta yang terus rugi sangat besar dan tidak menghasilkan pajak bagi negara maupun hanya kerugian bagi para pemegang saham khususnya, maka perusahaan itu layak harus dibubarkan (hmm, kalau negara apa bisa dibubarkan? yang ada calon dijajah lagi, dan sepertinya banyak yang minat tuh, atau memang sudah dijajah secara tak kentara?, Red).

Bagi pemerintah yang APBN-nya terus menerus defisit sudah jelas akibat negatifnya akan terus membebankan kemiskinan bagi rakyat banyak khususnya, apalagi ditambah lagi rakyat kecil dicekik dengan kenaikan harga BBM. Tetapi, masih ada yang mengatakan harga BBM di Indonesia terlalu murah dibandingkan harga-harga BBM di banyak negara lain.

Jika dilihat dari akal-akalan pemerintah membandingkan harga BBM di Indonesia termurah dibandingkan dengan negara-negara perbandingannya. Tampaknya, pemerintah dalam hal perbandingan harga BBM itu seolah-olah berlagak lupa, karena tidak membandingkan dengan pendapatan per kapita yang merata antara Indonesia dengan negara-negara pembanding itu. Pemerintah jangan terus-terusan berupaya membutakan mata rakyat atau membodohi rakyat dengan kemiskinan. Kibarkan lagi hidup sederhana dan hemat, terutama bagi kaum yang kaya.

KKN harus ditumpas dengan cara hukuman berat seperti yang dilaksanakan di China. Termasuk hidupkan tim pengusut kekayaan para pejabat BUMN/perbankan milik negara yang sejak Orde Baru berkuasa yang masih aktif dan pensiun.

Semakin besar pemerintah tergantung dengan pinjaman luar negeri (apalagi sekarang ada yang namanya obligasi, surat hutang negara, bantuan lembaga keuangan dan lain sebagainya, agar tidak langsung disebut pinjaman atau hutang luar negeri, tetap saja harus dibayar berikut bunganya, Red), terutama dari IMF, maka seperti yang penulisutarakan pada 1997 di berbagai media massa, bahwa Indonesia seperti ikan lumba-lumba (nah, itu dia namaku, hehehe, Red) yang diperintah atau dipermainkan pawangnya karena ikan itu lapar dan selalu diberi beberapa ekor ikan kecil setiap atraksinya berakhir.

Ketergantungan Hutang Luar Negeri

Penulis sangat prihatin, karena dalam RAPBN 2001 ternyata pemerintah terus tergantung dari hutang luar negeri termasuk dari warisan. Sebagai gambaran pada APBN 2000 pendapatan negara dan hibah berjumlah Rp152,9 triliun berasal dari penerimaan dalam negeri terutama dari pengurasan warisan berupa SDA sebesar Rp40,08 triliun, khusus dari migas sebesar Rp33,2 triliun lebih (sebelum revisi-revisi).

Dari hutang luar negeri berupa penarikan pinjaman luar negeri (bruto) Rp27,3 triliun lebih, dikurangi cicilan pokok hutang luar negeri Rp8,6 triliun berarti netto Rp18,7 triliun. Ini berarti gali lubangnya jauh lebih dalam dibandingkan menutup lubangnya.

Hutang luar negeri makin bertambah dan bunganya juga makin membengkak, apalagi kalau kurs rupiah terus ambruk. Tampaknya, pemerintah tidak berupaya agar jumlah RAPBN dikurangi atau diperkecil (seperti tadi yang sudah dibilang, bangga dengan semakin besar nominalnya, Red), terutama untuk anggaran belanjanya malah terus bertambah (dan berdalih penyerapan anggaran makin membaik, tapi yang merasakan anggarannya siapa?, Red).

Dalam RAPBN 2001 (sebelum adanya revisi) jumlah penerimaan dalam negeri naik menjadi Rp242,99 triliun lebih diantaranya berasal dari hasil pengurasan warisan SDA sebesar Rp53,17 triliun termasuk dari migas sekitar Rp49,5 triliun lebih.

Sedangkan dari hutang luar negeri diharapkan naik menjadi Rp35,99 triliun lebih bruto minus cicilan pokok hutang luar negeri Rp15,876 triliun maka nettonya sekitar Rp20,1 triliun lebih. Lagi-lagi gali lubangnya jauh lebih dalam dibandingkan menutup lubangnya.

Jumlah hutang inipun masih belum jelas jika masalah Atambua dan kasus diberbagai daerah lainnya terus berkepanjangan (apa perlu dipecah juga? kemana semboyan Bhinneka Tunggal Ika? asal jangan sampai dijawab, itu kantoko komputer, Red). Hal ini tentu akan berakibat buruk terhadap hasil ekspor migas maupun non-migas (penulis tidak sempat merasakan saat Indonesia dinyatakan net importir minyak, mudah-mudahan tidak juga menjadi net importir gas, Red), yang akhirnya akan memukul pendapatan dari pajak.

Apalagi jika diingat, harapan pendapatan dari pajak untuk RAPBN 2001 sekitar Rp173,44 triliun atau lebih 71 persen dari jumlah seluruh pendapatan dalam negeri/pendapatan negara (apakah akan menjadi harapan baru menangguk pendapatan negara dari pajak semuanya? lah, yang bayar pajak siapa yang merasakan hasil pajak siapa? ditambah situasi yang tidak kondusif untuk berbisnis, siapa yang mau investasi?, Red).

Juga harus dicatat bahwa pengaruh pengurangan subsidi BBM dengan cara menaikkan harga BBM bukan hanya dikhawatirkan berdampak ganda negatif terhadap ekonomi rakyat kecil, juga berdampak ganda negatif laba perusahaan kecil hingga perusahaan yang sangat besar, dan akhirnya besarnya pajak tidak tercapai karena subjek dan objek pajaknya akan menurun.

Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.


Pemimpin Tak Jadi Seniman

Impiannya sebagai seniman kandas karena ditolak dua kali oleh Akademi Seni Wina (1907-1908), tapi siapa sangka dari penolakan tersebut membawanya ke perjalanan menuju seorang pemimpin. Meski banyak yang memandang sebagai pemimpin kejam pada era perang dunia kedua, namun dibalik kekejaman sebenarnya di dalam dirinya masih jiwa seorang seniman. Tanpa disadari telah terukir melalui kata-kata di setiap pidatonya.

Kita ingin orang-orang menjadi setia dan kamu harus belajar kesetiaan.
Kita ingin orang-orang ini menjadi taat dan kamu harus berlatih ketaatan.
Kita ingin orang-orang ini menjadi cinta damai dan pada saat bersamaan juga berani, dan karena itu kamu harus cinta damai dan berani.
Kita ingin orang-orang ini tumbuh lembut, tetapi kita ingin menjadi keras sehingga mampu menahan kesulitan hidup.
Kamu harus keras pada dirimu sendiri, di masa muda.
Kamu harus belajar untuk keras, untuk berdiri pada kemiskinan tanpa jatuh.
Kita ingin orang-orang ini mencintai kehormatan dan sudah tiba waktumu untuk hidup dengan konsep kehormatan.
Adolf Hitler, 14 September 1935

Aku berkata bahwa mereka bisa diselesaikan.
Tidak ada masalah yang tidak bisa selesai, tetapi diperlukan keyakinan.
Pikirkan keyakinan yang aku miliki delapan belas tahun yang lalu, seorang laki-laki di jalan sepi.
Namun, aku datang untuk kepemimpinan rakyat Jerman.
Hidup keras dalam segala hal, tetapi yang terkeras jika kamu tidak bahagia dan tidak memiliki keyakinan.
Miliki keyakinan.
Tidak ada yang bisa membuat aku mengubah keyakinanku.
Adolf Hitler, 12 September 1936

Tetap kuatkanlah keyakinanmu seperti kamu pada tahun-tahun sebelumnya.
Dalam keyakinan ini, dalam kedekatan, rajut persatuan rakyat kita untuk hari yang berjalan lurus ke depan dalam jalan tersebut dan tidak ada kekuatan di bumi yang akan bisa menghentikannya.
Adolf Hitler, 15 Oktober 1937

Dewa perang telah pergi ke sisi lainnya.
Adolf Hitler, pernyataan untuk Alfred Jodl setelah kalah dalam pertempuran di Stalingrad

Seandainya diterima di Akademi Seni Wina, mungkin tidak akan lahir seorang pemimpin, melainkan seorang seniman. Sejarahpun telah diukir olehnya, meski yang sering dikenang atau diingat adalah kekejamannya.

“Aku, untuk bagianku, mengakui persepsi lain yang mengatakan bahwa manusia harus menghadapi pukulan terakhir untuk orang yang nasib buruknya telah ditakdirkan oleh Tuhan” 
Adolf Hitler


*kutipan-kutipan diambil dari Buku Kata-Kata yang Mengubah Dunia, 2013

Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 3)

Tampaknya pemerintahan Abdurrahman Wahid berupaya mengambil hati rakyat/pengusaha kecil dengan kebijaksanaan menaikkan harga BBM sekitar bulan Oktober 2000. Hasilnya diperkirakan terkumpul dana subsidi Rp800 miliar (saat APBN 2001, sekarang mungkin sudah ratusan triliun, kenapa terus naik ya?, Red), dan konon dana itu diperuntukkan bagi rakyat kurang mampu, pengusaha kecil.koperasi, dan penciptaan lapangan kerja.

Dana dari hasil kenaikan harga BBM (berdasarkan pengamatan penulissaat kenaikan harga BBM di 2001, Red) yang diperkirakan mengurangi subsidi BBM sekitar Rp800 miliar itu, menurut rencana akan disalurkan. Pertama, untuk dana yang sifatnya mendesak berupa dana tunai (cash transfer) yang ditujukan untuk keluarga kurang mampu. Kedua, kompensasi pemberian dana berupa modal usaha bergilir (revolving fund). Ketiga, untuk menciptakan lapangan kerja produktif melalui pemberdayaan masyarakat di desa maupun kawasan kumuh perkotaan.

Tampaknya rencana ini seperti yang diharapkan Theodore WS Schultz, pada waktu memperoleh hadiah nobel 1979, “Most of people in the world are poor, so if we knew the economics of being poor we would know much of economics that really matter,”

Disadari begitu banyak kemiskinan di Indonesia, maka tepat jika sedikit  dana itu ditujukan untuk membantu rakyat yang dianggap kurang mampu atau miskin, walau sayangnya pemanfaatan dana subsidi BBM itu menyimpang sejak masa Orde Baru.

Kebijakan itu sangat bertentangan dengan usul wakil rakyat, karena pada waktu menyetujui kenaikan harga BBM, dana itu bukan disalurkan untuk tiga saluran. Yang pasti, DPRlah pemegang kunci aneka rupa persetujuan, mulai dari berbagai UU hingga kenaikan tarif jasa apalagi persetujuan atau penolakan kenaikan harga BBM.

Kredibilitas wakil rakyat diuji lagi, mampukah mereka mengawasi pemerintah yang menurut penilaian banyak kalangan bahwa hasil kerja kepala negara bernilai rapor merah. Memang jumlah dana, menurut penulis, sangat kecil dibandingkan dengan jangkauan yang sangat luas itu.

Justru kebijakan itu, hanya mengulang permainan kata yang lembut seperti masa Orde Baru. Waktu itu, pada setiap ada kenaikan BBM, yang selalu berdampak negatif bagi rakyat banyak, dinamakan penyesuaian harga. Dengan permainan kata ini diharapkan agar rakyat tidak menuntut tugas pemerintah menurut UUD 1945 atau Pancasila, yakni usaha memakmurkan bangsa (merasa terjebak, tapi memang yang pencari celahlah memanfaatkan UUD 1945, Red).

Jika bicara soal kemakmuran berarti seolah-olah tugas utama pemerintah, yakni meningkatkan/menaikkan daya beli masyarakat dengan mudah tercapai. Kenyataannya selama ini yang terhadi hanya penurunan daya beli masyarakat. Pada 2000 daya beli masyarakat turun 25 persen, terutama lewat kenaikan-kenaikan harga termasuk kenaikan harga BBM dan terpuruknya kurs rupiah yang nyaris Rp20.000 per Dollar AS (masih juga ingin terulang?, Red).

Tampaknya sekarang pemerintah mencoba memikat hati rakyat yang daya belinya terus tersungkur karena tarif angkutan, pos yang naik, dan harga BBM yang segera akan naik dengan dana untuk tiga jalur itu.

Bagi para menteri dan wakil rakyat yang gajinya sudah belasan atau puluhan juta rupiah per bulannya, harga BBM naik menjadi Rp20.000 per liter pun tidak menjadi masalah, karena gaji mereka itu sangat besar. Apalagi jika mereka mendapat jatah BBM gratis dari pemerintah. Terlepas dari itu, yang pasti penulis khawatir dana yang sangat kecil dengan jangkauan sangat luas dan banyak tangan yang mengurusnya itu akan terjadi kebocoran dana di penyalurannya atau mungkin saja muncul KKN-KKN baru.

Di samping itu, biaya penyalurannya juga pasti tidak kecil, dari mana dana biaya itu, apakah menjadi beban APBN dana bantuan itu. Oleh karena itu, jalur pengawasan penyaluran dana tersebut juga harus jelas, sehingga setiap bulan secara transparan bisa diperlihatkan kepada media massa melalui wakil rakyat, berapa jumlah pengeluaran dan pemasukan dana tersebut.

Sebenarnya sangat disayangkan mengapa untuk membantu rakyat kecil harus menggunakan dana yang berasal dari hasil menaikkan harga BBM yang merupakan hasil mencekik lehr kehidupan rakyat kecil. Mengapa bukan berasal dari hasil pajak, dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan lain-lain sehingga dananya bisa sangat besar.

Pedagang non-migas dan penjual jasa tidak mau tahu soal kenaikan harga BBM, diperuntukkan bagi siapa hasilnya, untuk tiga saluran itu atau rakyat kecil. Bagi golongan ekonomi menengah ke atas baik sebagai produsen atau penjual jada profesional seperti pengacara, dan konsultan pasti ikut menaikkan biaya-biayanya sehingga harga jual barang dan jasanya juga ikut naik. Bahkan biasanya kenaikannya itu melampaui kenaikan harga BBM.

Jadi tidak benar kalau subsidi dinilai hanya dinikmati/menguntungkan pengusaha/golongan menengah ke atas. Justru setiap ada kenaikan harga BBM merekalah yang lebih cepat menaikkan harga barang atau tarif jasanya. Sebaliknya yang menderita tetap rakyat kecil terutama yang berpenghasilan tetap, berpenghasilan tak menentu dan juga para pensiunan pegawai negeri/TNI/Polisi.

Oleh karena itu, penulis beranggapan selama jumlah hasil ekspor migas plus hasil penjualan migas khususnya BBM di dalam negeri, tidak rugi secara, perhitungan untung migas masih lebih besar, jadi harga BBM tidak usah dinaikkan (saat itu, Indonesia masih ekspor migas, dan kebutuhan masih tercukupi, tapi setelah 2003 dinyatakan net importir minyak, otomatis belum tentu dapat menyuplai BBM dari dalam negeri, dan harga jadi permainan untuk pengkondisian/penyesuaian, Red).

Kecuali, jika pemerintah sudah berhasil menaikkan daya beli rakyat, misalnya juga kurs Dollar di bawah Rp3.500 per US$ yang otomatis jumlah subsidi BBM sekarang sekitar Rp42 triliun bisa berkurang, bukan hanya hitungan Rp800 miliar, tetapi puluhan triliun rupiah tanpa menaikkan harga BBM.

Juga penulis merasa pemerintah terus melaksanakan kebijakan yang menyimpang selama Orde Baru dan hasil migas yang ratusan triliun itu tidak digunakan untuk pengembangan kembali hasil migas, misalnya membangun kilang-kilang baru, mencari cadangan baru, membeli lapangan-lapangan migas para kontraktor dan fasilitas penyimpanan, penyaluran, serta pengangkutan BBM dan lain-lain.

Juga mengapa dana itu tidak dimanfaatkan, misalnya, untuk pengembangan energi alternatif seperti briket batubara yang bisa menggantikan minyak tanah. Sekiranya, briket batubara tersedia banyak dan mudah diperoleh serta harganya bersaing dan pemerintah mau menaikkan harga minyak tanah, maka rakyat akan bisa segera beralih ke briket batubara. Termasuk alat-alatnya juga banyak dan harganya terjangkau.

Cara menaikkan harga BBM dengan alasan apapun tanpa tersedianya energi pengganti BBM yang lebih murah dan banyak, maka persoalan justru semakin rumit. Akhirnya ketergantungan akan impor BBM terus meningkat dan devisa akan habis tersedot.

Hal ini pasti akan berjalan berkepanjangan selama Indonesia belum mau memanfaatkan seluruh dana migas untuk pengembangan migas dan energi alternatif.

Kalau saja selama Orde baru seluruh dana hasil migas digunakan untuk pengembangan hasil migas yang ketat dan efisien mungkin Indonesia bukan hanya terbebas dari kekurangan BBM, bahkan justru bisa sebagai pengekspor BBM. Perlu diingat apa yang diungkapkan Harold Domar soal Incremental Capital Output Ration (ICOR) yang pada intinya jika mau memperoleh tambahan hasil maka dibutuhkan sejumlah tambahan modal.

Begitu juga dalam migas, jika pemerintah masih mengharapkan hasil dari migas terus bertambah maka modalnya juga harus ditambah. Jangan hanya mengandalkan investor asing selaku kontraktor (tapi, siapa lagi yang punya modal dan berani berisiko? kalaupun pinjaman luar negeri, apakah yakin hutang dapat terbayarkan? atau apakah benar digunakan untuk kegiatan yang sebenarnya?, Red). Layak jika harga minyak mahal dan yang paling banyak menikmati hasilnya yakni para kontraktor migas asing, dimana para pemegang sahamnya hanya puluhan orang untuk memperoleh sekitar 35 persen dari hasil produksi minyak Indonesia. Sisanya untuk bangsa Indonesia yang jumlah penduduknya lebih dari 200 juta orang.


Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.