Berawal dari surat elektronik (email) yang saya baca di suatu mailist pada awal bulan Mei 2013, surat itu berisikan ajakan untuk menjadi pengajar di suatu sekolah dalam kurun waktu 1 hari. Saya sempat penasaran, bukan karena sekolah yang akan diajar nanti berada di sebuah pulau yang cukup dikenal di seluruh mancanegara, yaitu pulau yang disebut Pulau Dewata (Bali), namun saya bertanya dalam diri sendiri.
“Apakah mungkin seseorang yang tidak memiliki pengalaman mengajar bisa menjadi guru di sekolah?”
Akhirnya, saya membuka
websiteyang tertera dalam surat itu,
www.kelasinspirasi.org, pada halaman pertama terdapat penjelasan singkat mengenai tujuan akan Kelas Inspirasi (KI) dan beberapa kegiatan KI bersama Indonesia Mengajar (IM) yang pernah dilakukan sejak 2012. Saat itu juga, saya mengetahui anak murid yang diajarkan adalah tingkat Sekolah Dasar (SD). Sesaat, pertanyaan saya masih belum dapat terjawab, karena setiap anak murid yang dihadapi pastinya memiliki tingkat emosional yang sulit diterka, dibandingkan mengajar tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) ataupun Sekolah Menengah Atas (SMA), yang mana bentuk kepribadiannya sudah terfokus.
Saya mulai merasakan tantangan yang akan dihadapi nanti. Padahal, saya sama sekali tidak punya latar belakang mengajar. Sebab, mengajar tingkat SD, bagi saya, merupakan beban yang cukup berat untuk menyampaikan suatu pesan kepada mereka. Mengingat kita sebagai orang yang sudah memiliki perkerjaan, mungkin sesuai dengan cita-cita atau ada juga yang belum tentu sesuai, pastinya melewati masa-masa SD dan beberapa belum tentu dapat mengingatnya lagi.
Efek Berkelanjutan
“Apa rasanya menjadi seorang pengajar, tapi bukan profesi seorang guru?”
 |
pintu gerbang SDN 1 Pengotan |
Sebenarnya, saya sempat ragu apakah bisa mengajar anak murid SD, tapi apabila tidak mencobanya maka tidak akan tahu rasanya menjadi guru. Ternyata, memang tidak mudah. Saya diberi kesempatan merasakan pengalaman menjadi guru dalam 1 hari, pada tanggal 11 Juni 2013 di Sekolah Dasar Negeri 1 Pengotan, Bangli, Bali, melalui kegiatan Kelas Inspirasi (KI). Seminggu sebelum hari mengajar tiba, saya bersama relawan KI yang datang dari berbagai daerah maupun yang berada di Bali, berkumpul di kantor bupati Bangli untuk melakukan
briefing. Membahas apa saja yang perlu dipersiapkan dalam mengajar nanti.
Adapun materi yang akan disampaikan berbagi cerita dan pengalaman kerja yang sedang saya jalani, meski terlihat mudah tapi yang akan diajarkan saya adalah anak-anak berumur 6 tahun hingga 12 tahun. Tentunya tidak akan sama penyampaian saya terhadap orang-orang dewasa.
Meluangkan 1 hari untuk mengajar di sekolah? Apa salahnya berbagi informasi atau pengetahuan kepada mereka, anak-anak penerus bangsa ini. Kelak, mereka mungkin bisa meneruskan cita-cita kita yang belum tercapai, kemudian dilanjutkan oleh mereka sehingga terjadi efek keberlanjutan dalam hal berbagi.
Tak perlu harus saya yang merasakan hasilnya, setidaknya ada yang bisa meneruskan dan berguna bagi kalangan banyak. Tak harus juga langsung untuk masyarakat luas, bisa dimulai dari ruang lingkup keluarganya, kelak nanti mereka memiliki keluarga sendiri dapat “menularkan” rasa berbagi ini.
Tema mengajar adalah menceritakan profesi apa yang sedang dijalani dari masing-masing relawan KI untuk memberikan gambaran kepada anak murid. Berangsur-angsur, pertanyaan awal saya sedikit terjawab. Tapi, timbul pertanyaan selanjutnya.
“Bagaimana cara saya mengajarkannya atau menyampaikannya?”
Saya mendapatkan tugas mengajar di SDN 1 Pengotan, meski sudah melakukan briefing, tetapi untuk teknik atau gaya mengajar merupakan kreativitas masing-masing relawan KI. Sebab, masing-masing profesi tidak akan sama, saya hanya punya waktu 1 minggu untuk memikirkan bagaimana memecahkan pertanyaan itu. Waktu yang sangat singkat agar bisa menjadi seorang guru.
Berdasarkan informasi dari ibu Kepala Sekolah, I.A. Astiti biasa dipanggil Dayu, ada beberapa anak murid kelas, terutama kelas 1, tidak melalui proses Taman Kanak-Kanak (TK). Tentu, diumur 6-7 tahun tidak mungkin menggunakan cara yang sama dalam mengajar, sementara dalam 1 hari itu, saya harus mengajar bergiliran dari kelas 1 hingga kelas 6, diberi waktu 35 menit setiap kelasnya. Dengan profesi saya sebagai jurnalis, kemudian apa yang harus saya sampaikan atau berbagi kepada mereka? Belum lagi, desa Bangli jauh dari hiruk pikuknya kota, sehingga tidak bisa disamakan cara mengajar di lingkungan kota dengan desa.
Jujur dan Berprestasi
Tak perlu membandingkan fasilitas yang ada di sekolah tersebut, dan harapan harus mendapatkan nilai bagus. Saya teringat, Bupati Bangli I Made Gianyar mengatakan, dua hal yang paling penting dalam menerapkan pendidikan, yaitu jujur dan berprestasi. Sehingga beliau menekankan proses mengajarnya.
“Untuk apa mendapatkan nilai bagus misalkan 9 atau 10, tapi didapatkan dengan cara mencontek atau curang, itukan tidak jujur. Lebih baik, mendapatkan nilai hanya 6 atau 7, tapi dari hasil kerja keras. Karena saya ingin dalam dunia pendidikan tidak hanya sekedar naik kelas atau lulus, tapi anak murid bisa mempersiapkan bekal ilmu untuk dirinya. Sebab, tidak guna juga pintar tapi tidak mau kerja keras,” I Made Gianyar
 |
sebelum memulai kegiatan belajar mengajar, dilakukan berdoa bersama |
Berangkat dari ucapan pak Gianyar, yang juga menjadi relawan KI dalam kelompok SDN 1 Pengotan, perangkat sederhana saya siapkan. Tentunya tidak jauh-jauh dari tulisan saya sendiri, yang memang saya kliping, sehingga tidak perlu memerlukan perangkat yang “berbau” teknologi. Sebab, selama bentuk visualnya jelas, nantinya dapat dijelaskan dengan memberikan contoh-contoh lainnya.
Menulis dan Membaca
Walaupun saya tahu, topik dalam tulisan tersebut masih terlalu jauh untuk setingkat SD, tapi di sini saya tekankan, bahwa untuk menjadi seorang jurnalis hanya perlu 2 bekal utama, yaitu menulis dan membaca, guna mencari informasi yang ingin disebarluaskan kepada orang yang belum tahu agar menjadi tahu. Selain itu, menulis dan membaca juga dapat menjadi bekal untuk berbagai profesi lainnya.
Meski, sudah menyiapkan perangkat mengajar, tetap saja menghadapi anak murid ini menjadi masalah tersendiri, yaitu grogi. Bahasa yang saya gunakan tidak berbelit-belit agar mereka mengerti. Intinya, ketahui dahulu apa yang mereka ketahui, sehingga saya menugaskan anak murid, layaknya seperti guru, untuk menuliskan kegiatan apa saja yang mereka lakukan dari pagi hari hingga siang hari. Kemudian, hasil tulisan mereka bacakan di depan kelas. Ini yang saya sebut, berbagi informasi atau pengetahuan, karena belum tentu antar teman satu dengan teman yang lainnya melakukan kegiatan yang sama.
 |
di sela jam istirahat, Bupati I Made Gianyar berbincang sejenak bersama relawan KI |
Saya tersentuh, ketika anak murid kelas 3 menceritakan sepulang sekolah membantu orangtuanya di kebun sayur hingga malam hari, dan menjualnya ke pasar, kemudian hasil jualannya digunakan untuk membayar sekolahnya. Sungguh, suatu kerja keras sebagai seorang anak yang berusaha agar tidak putus sekolah karena tidak ada biaya, sebab dirinya menginginkan cita-citanya terwujud.
Rasa ingin tahu yang sangat besar ada dalam diri mereka, hingga terdapat beberapa murid membacakan kliping hasil tulisan yang sudah dimuat di media dimana saya pernah bekerja, dihadapan teman-temannya. Meski mereka belum mengerti isi dari tulisan tersebut, tapi semangat keingintahuannya sudah ada. Cara seperti ini, saya terapkan disemua kelas, kecuali kelas 1, dengan begitu mereka bisa mengungkapkan mau jadi apa kelak sudah dewasa nanti.
Mengajar dengan berbagi informasi atau pengetahuan dapat dilakukan dengan sesederhana mungkin, banyak perangkat mengajar yang bisa digunakan dari sekeliling sekolahan, rumah maupun areal dimanapun kita sedang berada. Suatu pengetahuan dapat kita pahami tentunya dimulai dengan membacanya, ketika ingin hasil membaca mendapatkan pengembangan dari pendapat diri sendiri, mulailah untuk menulis. Sehingga, mereka yang belum mengetahui informasi tersebut, menjadi tahu karena membacanya.
Melalui KI, mungkin masih banyak yang belum dapat saya sampaikan kepada anak murid, tapi dengan kehadiran para relawan KI mudah-mudahan mereka bisa mendapatkan pengetahuan baru dari berbagai daerah, serta pengalaman yang mungkin tidak bisa didapatkan setiap waktu. KI, selain menginspirasi anak-anak penerus bangsa, ternyata mampu juga menginspirasi saya dalam hal berbagi.