Mendengar nama Bangli mungkin masih terasa asing bagi masyarakat Indonesia, apalagi bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar. Padahal, Bangli sudah masuk dalam kabupaten andalan provinsi Bali, terutama tempat wisatanya yang dikenal Kintamani. Terkadang, kita sebagai pengunjung pulau Dewata memang hanya terfokus dengan tujuan tempat wisata, tapi pernahkah terpikir bagaimana perkembangan masyarakat di sekitarnya? Tentu untuk mengelola suatu tempat wisata memerlukan tenaga kerja atau sumber daya manusia (SDM), lalu siapa lagi yang mengawasi selain putra daerahnya sendiri?
Sehingga diperlukan yang namanya benih-benih generasi penerus, agar masyarakat kabupaten Bangli tidak hanya dikenal sebagai tempat wisatanya, namun karya putra daerahnya bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat sekitarnya maupun pendatang. Saya sempat terenyuh dengan apa yang diungkapkan Bupati Bangli I Made Gianyar, sewaktu beliau memberikan gambaran kondisi pendidikan di daerah yang sedang dipimpinnya.
 |
Bupati Bangli I Made Gianyar |
“Kita terapkan pendidikan di Bangli jujur dan berprestasi, dua hal itu yang paling penting. Di 2012, Bangli memang belum mendapatkan nilai yang bagus di bidang pendidikan, karena kami meminta para pejabat dan guru, murid jangan dikasihkan hanya soal-soal, tapi tekankan proses mengajarnya. Sehingga, untuk apa mendapatkan nilai bagus misalkan 9 atau 10, tapi didapatkan dengan cara mencontek atau curang, itukan tidak jujur. Lebih baik, mendapatkan nilai hanya 6 atau 7, tapi dari hasil kerja keras. Karena dengan menerapkan kejujuran terlebih dahulu, prestasi pasti akan mengikutinya, memang tidak dapat diraih secara bersamaan, hal ini perlu kerja keras bersama-sama mulai dari para guru dan orangtua murid, serta saya sebagai kepala daerah yang harus ikut memperhatikan masa depan anak murid di daerah yang saya pimpin. Sering sekali terjadi, orangtua murid turut campur karena anaknya tidak naik kelas, kemudian yang disalahkan, diintimidasi atau yang dicari adalah gurunya. Hingga saya katakan, kalau ada murid yang tidak lulus atau naik kelas, jangan cari gurunya, adukan ke saya (bupati). Karena saya ingin dalam dunia pendidikan tidak hanya sekedar naik kelas atau lulus, tapi anak murid bisa mempersiapkan bekal ilmu untuk dirinya. Sebab, tidak guna juga pintar tapi tidak mau kerja keras, oleh karena itu bagi anak murid telah membuktikan prestasinya kita apresiasikan melalui dukungan beasiswa, agar terus giat belajar” -I Made Gianyar-
Hal tersebut diungkapkan pada pertemuan saya pertama kali dengan beliau di acara briefing Kelas Inspirasi Bali, 1 Juni 2013, dan itupun telah mengetuk hati kecil saya. Mengingat, apabila membandingkan kondisi cara mengajar di kota-kota besar dengan kota-kota kecil, seperti Bangli ini, bahkan bisa dikatakan masih bersuasana pedesaan, tentunya tidak bisa disamakan. Apalagi, bila dibandingkan dengan sekolah yang berada di ibukota DKI Jakarta, sangat jauh perkembangannya. Tidak hanya dari masalah lambannya perkembangan teknologi, sehingga untuk mendapatkan informasi atau pengetahuan lebih memerlukan waktu yang lebih lama.
Budaya yang Beda
Namun, anak murid setingkat SD di Bangli hampir mayoritas belum pernah keluar dari daerahnya, bahkan ke kota Denpasar yang masih dalam satu provinsi belum mereka jelajahi. Apabila dibandingkan dengan anak murid SD di kota-kota besar lainnya, mungkin mereka sudah merasakan bepergian ke luar kota lainnya, bahkan ada yang ke luar negeri. Memang, ada beberapa budaya yang tidak bisa disamakan, tetapi dengan mengetahui hal yang tidak formal saja dapat dibayangkan betapa jauhnya kesenjangan yang terjadi di negeri ini.
Saya mengetahui hal itu, ketika saya mendapatkan tugas mengajar di SDN 1 Pengotan, meski hanya sehari menjadi seorang guru, tapi dari sinilah saya mendapatkan pengalaman dan pengetahuan tambahan. Padahal, saya juga bukan seorang guru, saya diberi kesempatan dalam satu hari itu melalui program Kelas Inpirasi bersama Indonesia Mengajar menjadi relawan. Hati kecil saya mengatakan agar mengikuti program tersebut, karena ingin melihat perkembangan pendidikan yang lebih nyata di lapangan.
Total murid SDN 1 Pengotan dari kelas 1 hingga kelas 6 berjumlah 144 murid. Melihat dari jumlah murid, tentunya fasilitas yang tersedia tidak dapat disamakan dengan sekolah-sekolah yang berlomba-lomba menjadi unggulan, dan terkadang mencoba mencari simpati masyarakat agar sekolah dapat dikembangkan, bahkan kadang menuntut perbaikan kualitas. Saya banyak belajar dari Kepala Sekolah SDN 1 Pengotan I. A. Astiti, biasa dipanggil Dayu, karena kerja kerasnya dalam mengajar murid-muridnya, yang beliau terapkan hanya satu, mengajak atau membangkitkan kemauan anak muridnya untuk belajar.
Sebab, hanya dengan kemauan yang mampu meraih cita-cita sesuai dengan harapan. Bahkan dalam mengajar, beliau hampir jarang mau menggunakan peralatan elektronik. Dayu lebih senang mengajar anak muridnya keluar kelas kemudian melakukan metode yang sangat konvensional, yaitu belajar menulis dan membaca menggunakan lidi atau sebatang kayu kecil, kemudian diguratnya ke tanah membentuk huruf-huruf menjadi sebuah kata. Hal itu, beliau lakukan pada anak kelas 1 dan 2, karena anak murid di tingkatan tersebut masih ingin bermain-main. Apalagi, mayoritas mereka tidak merasakan masa-masa TK.
Harus dengan Kemauan
Namun, terkadang kemauan sang anak sering sekali bertolak belakang dengan orangtuanya. Dayu menceritakan, ada orangtua murid yang datang ke beliau agar anaknya tidak perlu melanjutkan sekolah. Mendengar permintaan orangtua murid itu, Dayu tidak mau tinggal diam, dan berkata
“Ibu/Bapak, anak yang pintar saja masih mau sekolah, kenapa harus berhenti sekolah kalau anaknya berkeinginan bersekolah?”. Terkadang masalah biaya sering jadi alasan, tapi Dayu mengatakan, hal itu bisa diatasi dengan melakukan komunikasi atau pembicaraan. Beliau tetap menekankan untuk urusan sekolah atau mendapatkan ilmu harus dari kemauan.

Bukan hanya kemauan dari anak murid, tapi harus juga datang dari kemauan para guru yang akan mengajar. Dayu mengatakan, setiap guru juga harus membekali dirinya cara mengajar, tidak hanya sekedar gelar atau profesi sebagai guru, tetapi cara penyampaian guru tersebut kepada anak murid agar terjadi transfer ilmu pengetahuan. Dayu juga mengakui, masih banyak guru-guru yang jauh dari kompetensinya untuk mengajar. Namun, menurut dia, hal ini terjadi karena sering adanya perubahan-perubahan kurikulum yang terlalu cepat, padahal sampai ke lapangan belum tentu bisa diterapkan.
“Saya saja, masih belum punya bayangan kurikulum yang baru nanti seperti apa. Saya heran kenapa yang di pusat sana dengan mudahnya mengubah kurikulum, tapi apakah mereka pernah melihat kenyataan ke bawah-bawahnya sini seperti apa? Kenapa kurikulum harus diubah secara total, kenapa tidak perbaiki saja yang tidak bagus. Inikan memakan waktu, dan kasihan para guru yang dituntut harus mengikuti cara yang sama, belum lagi murid yang ketumpuan bebannya,” ujar Dayu.
Memang dilematis, di satu sisi sebagai orangtua menginginkan pendidikan terbaik untuk anak tercintanya, tapi apakah kemampuan guru bisa mengimbangi keinginan dari orangtua? Apakah dengan menyerahkan anak ke sekolah menjadi tanggung jawab keseluruhan para guru? Sampai manakah peran guru dan orangtua murid? Yang jelas, meski saya bukan seorang guru, tapi saya menjalani hidup di sekitar mereka. Apa salahnya berbagi pengetahuan kepada mereka yang membutuhkan, tak perlu dengan fasilitas canggih dan modern, hanya dengan menceritakan dari kegiatan yang pernah kita lakukan atau memanfaatkan alat peraga yang berada di sekeliling kita.
Mereka adalah anak-anak penerus negeri ini, kalau bukan mereka siapa lagi? Tak perlu kita berharap akan merasakan hasil dari mereka, biar mereka teruskan cita-cita kita yang belum tercapai, kemudian nantinya akan diteruskan lagi kepada generasi berikutnya sehingga terbentuklah efek berkelanjutan.