Pemerintah Nekat Menaikkan Harga BBM


"Pemerintah nekat". Itulah ungkapan yang keluar dari mulut ahli energi Dr. Bachrawi Sanusi saat diwawancarai Purwani Diyah Prabandari dari TEMPO Interaktif, Jumat, 8 Mei. Menurut Bachrawi, pemerintah sudah tahu social cost-nya. Juga sudah tahu bahwa sebenarnya pemerintah masih bisa memberikan subsidi BBM dalam negeri dengan keuntungan ekspor migas. Toh itu tidak dijalankan. Menurut staf pengajar di Universitas Trisakti ini, beban pemerintah cukup berat. Untuk itu harus ada pemasukan untuk menanggulangi permasalahan keuangan di sektor lainnya. Berikut petikan wawancara itu.

Bagaimana dengan kenaikan harga BBM sekarang?
Direktur BI Syahril Sabirin pernah mengatakan bahwa kenaikan harga BBM itu tak akan berdampak pada suku bunga. Tetapi ternyata memang tidak ada jalan lain. Suku bunga SBI sangat tinggi sekarang. Malah beberapa jam sebelum Mentamben mengumumkan, saya mengatakan bahwa kenaikan harga BBM akan menyebabkan biaya sosial yang lebih mahal. Kenaikan harga BBM ini bisa dikatakan jauh lebih murah dibanding harga dampak sosialnya.

Mengapa pemerintah bersikeras menaikkan harga BBM dalam situasi sulit seperti sekarang?
Menurut saya, pemerintah nekat betul. Saya pernah katakan bahwa keadaan ekonomi masyarakat kita itu sudah seperti balon yang ditiup penuh. Jadi kalau ditiup lagi dengan kenaikan BBM, pecahlah balon ini. Betul juga. Medan sudah meledak. Padang juga. Banyak kota yang sudah meledak. Gubernur BI mengatakan bahwa kenaikan suku bunga SBI ini bukan karena kenaikan harga BBM, tetapi karena alasan non ekonomi. Dia menuduh karena adanya unjuk rasa. Ini sama saja dengan Orde Lama. Situasi politik dan ekonomi yang merosot, yang disalahkan justru mahasiswa. Ini tidak benar.

Bagaimana dengan sekarang?
Mustinya sama. Jangan mencari-cari kambing hitam. Jangan meniru Orde Lama, membunuh sesama orang Indonesia.

Ada apa di balik kenaikan harga BBM yang dilakukan pada saat yang kurang tepat ini?
Saya memang menyayangkan kenapa pemerintah tergesa-gesa. Pada tahun 1992-1993, memang ada subsidi Rp 30 per liter. Dan pada tahun 1993, pemerintah menaikkan harga BBM. Kemudian pada 1993-1994 ada gejala bahwa pemerintah tetap minta kenaikan harga, meskipun ada subsidi. Namun menurut saya, selama ini tidak ada subsidi.
Minyak dan gas bumi juga merupakan satu kelompok, jangan dipisah-pisahkan hitungannya. Umpamanya ekspor minyak, baik minyak mentah atau hasil olahan, ditambah lagi dengan gas bumi. Itu merupakan keuntungan bersih dari pemerintah. Pemerintah juga salah menaruhnya di penerimaan, yang seharusnya di pendapatan dalam negeri dari sektor migas. Dalam UUD 1945 tidak ada istilah penerimaan. Yang ada adalah anggaran pendapatan dan belanja negara.

Bedanya?
Kalau Anda gajinya Rp 2 juta, itu berarti pendapatan. Tetapi kalau Anda pinjam juga di tempat kerja Anda Rp 1 juta, penerimaan Anda menjadi Rp 3 juta. Sama juga dengan APBN. Kalau ada penerimaan dalam negeri, sebenarnya itu pendapatan dalam negeri. Tetapi, kalau ada pinjaman luar negeri, itu semuanya disebut penerimaan. Yang pasti, pendapatan dalam negeri jauh lebih besar daripada ruginya. Saya tidak mau bilang subsidi. Rugi dari penjualan BBM di dalam negeri itu yang selama ini dibilang subsidi.

Kenapa Anda tidak bilang itu subsidi?
Karena kalau pemerintah beli beras Rp 1.000, menjual Rp 750, itu baru namanya subsidi. Kenapa subsidi? Karena uang Rp 250 itu bukan dari hasil beras, tetapi uang dari pajak atau juga dari ekspor migas, dll. Tetapi kalau misalnya minyak tanah dijual Rp 350, biaya produksinya Rp 700, itu bukan subsidi. Karena yang Rp 350 diambil dari keuntungan ekspor migas.

Tetapi, apakah keuntungan ekspor migas itu mencukupi untuk menalangi harga minyak dalam negeri ?
Jelas. Dengan revisi APBN pertama, pendapatan minyak kita Rp 24 trilyun lebih. Pendapatan gas bumi, Rp 10,5 trilyun. Jadi, pendapatan minyak sekitar Rp 34, 5 trilyun.
Dengan adanya kebijaksaan revisi APBN kedua dan nilai dollar menjadi Rp 6.000/dollar AS, berarti rupiah turun 20 persen. Kalau dihitung dari dollar ke rupiah, pendapatannya makin besar. Seharusnya tambah 20 persen dari 34,5 trilyun. Tetapi, karena minyak mentahnya turun dari 17 dollar AS/barel menjadi 14,7, tambahnya bukan 20 persen, melainkan 20 persen dikurangi 14,7 persen, menjadi 5,3 persen.
Berarti dalam revisi kedua, menurut penghitungan saya, dari Rp 24 trilyun pendapatan ekspor minyak, menjadi Rp 25,28 trilyun. Kemudian gas bumi, Rp 10 trilyun menjadi 11 trilyun. Jadi setelah revisi kedua, jumlah pendapatan dari keuntungan ekspor migas adalah Rp 36,36 trilyun, dengan kurs Rp 6.000 dan dengan harga minyak dunia yang sudah turun. Kalau harga BBM tidak dinaikkan, menurut pemerintah, kita perlu subsidi Rp 16 trilyun.
Anda bandingkan, untung Rp 36 trilyun dari ekspor dan rugi Rp 16 trilyun kalau dijual di dalam negeri.

Dan apakah itu sudah diperhitungkan ongkos produksi BBM yang seharusnya lebih efisien?
Jangan bicara soal efisiensi. Pertamina maupun PLN tidak efisien. Uang banyak dihabiskan untuk tunjangan anggota keluarga karyawan. Sudah berapa banyak uang yang diberikan untuk mereka-mereka. Jadi sebaiknya semua pegawai dianggap bujangan, dan ini yang membuat efisiensi. Menurut saya, kalau harga BBM naik, yang jadi imam kenaikan selalu BUMN. Padahal dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, itu untuk kemakmuran rakyat. Tetapi ternyata setiap ada kenaikan harga barang atau jasa, bukan menambah kemakmuran rakyat, tetapi mengurangi kemakmuran rakyat. Belum lagi semua jenis fasilitas dan biaya lain seperti biaya siluman.

Mengapa pemerintah tetap menaikkan harga?
Masalahnya, beban pemerintah berat. Hal ini karena pemerintah mengeluarkan pengeluaran rutin, pembangunan, juga ada pengeluaran yang makin besar yaitu cicilan dan bunga utang luar negeri.

Apakah keuntungan ekspor itu dimungkinkan untuk menalangi utang luar negeri tersebut?
Jelas. Dalam APBN begitu. Susunan penerimaan di sisi kiri adalah pendapatan dalam negeri dari migas dan non-migas, ditambah pinjaman dan bantuan luar negeri. Di sisi kanan adalah pengeluaran rutin. Yaitu anggaran pengeluaran belanja barang, belanja pegawai dan termasuk juga cicilan utang luar negeri plus bunga. Dan juga berbagai subsidi serta pengeluaran pembangunan.
Umpama uang tadi kurang, itu berarti tidak bisa menutupi utang yang sekarang dengan kurs Rp 6.000. Tanpa ada tambahan utang pun, cicilan itu telah berubah dari Rp 37,8 trilyun menjadi Rp 45,4 trilyun. Ditambah lagi kalau BBM disubsidi. Besarnya Rp 7 trilyun ditambah Rp 16 trilyun. Pemerintah tidak punya jalan lain.
Maka dari itu saya menyayangkan mengapa Mentamben mau melibatkan diri dalam perkara soal subsidi. Sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, dia punya posisi secara teknik. Itu yang harus dia tahu. Mentamben hanya mencari minyak, tambang dan energi. Juga kemudian menghasilkan tambang dan energi lewat eksplorasi, produksi dan pengolahan. Dia bertanggung jawab dari segi volume, bukan dari segi value. Jadi, dia bertanggung jawab atas pengadaan energi atau listrik, BBM untuk dalam negeri, juga upaya meningkatkan ekspor. Sementara, harga ekspor tergantung pasar luar negeri. Dari segi harga BBM, subsidinya mau dihapus atau tidak, itu tergantung Menteri Keuangan dan Bappenas.

Jadi, siapa yang harus bertanggung jawab?
Yang bertanggung jawab atas krisis ekonomi sekarang ini ada tiga pihak. Pihak yang pertama adalah Bappenas. Bappenas jangan hanya merancang jalan saja, tetapi juga berfungsi menjadi lembaga evaluasi. Jadi ubah nama Bappenas menjadi Badan Perencaaan dan Evaluasi Pembangunan Nasional.

Siapa yang kedua?
DPR dan MPR. Tahu-tahu negara kita sudah hancur, tanpa mereka berbuat apa-apa. Dengan kenaikan harga BBM, mereka langsung panggil Mentamben. Jangan panggil dia. Mentamben hanya tahu tanggung jawab terhadap pengadaan BBM, bahan tambang, mengekspor, eksplorasi, dan masalah semacam itu. Tetapi soal harga, uang subsidi buat apa, itu bukan urusan dia. Itu urusan Menteri Keuangan dan Bappenas. Merekalah yang menyediakan uang. Mungkin Mentamben dapat tekanan atau instruksi dari Bappenas untuk menaikkan harga.

Yang ketiga?
Lembaga-lembaga pengawasan, mulai dari BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal, dll. Sekarang sedang trend bicara korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk itulah peran mereka sangat diperlukan. Cukup satu saja pengawasnya, BPK. Yang lain dibubarkan saja. Suatu sekolah, kalau terlalu banyak pintu, muridnya pada kabur.

Apa yang bertanggung jawab bukan pemimpin tertinggi?
Saya tidak mau jawab itu. Kalau masalah itu, tanya ke MPR. Maka dari itu, saya menyayangkan mahasiswa yang hanya menuntut reformasi. Harga BBM dinaikkan, itu reformasi. Ekonomi direformasi dalam rangka menyehatkan perbankan dan dunia usaha. Jadi, tuntutan semacam itu tidak tepat. Tuntutlah mereka yang banyak bicara waktu pemilu.

Jadi, kenaikan harga BBM ini tidak rasional?
Ya. Maka dari itu saya bilang, tiga pihak itulah yang harus bertanggung jawab.


Tempo, Edisi 10/03 - 9/Mei/1998

Sudah Jatuh, Tertimpa Reruntuhan Gedung Bertingkat


Setelah jatuh ditimpa krisis, beban rakyat bakal bertambah: BBM akan naik dalam waktu dekat. Banyak yang cemas dengan rencana kenaikan yang kabarnya sampai 45 persen itu. Terutama sopir angkutan kota, sopir taksi atau kendaraan umum yang kondisinya kini megap-megap.
Berbagai kenaikan memang menimpa mereka: harga suku cadang naik, harga oli naik, ditambah lagi jumlah penumpang menurun. "Sekarang ini saya lebih sering nombok Mas, daripada untung," kata Eko, salah seorang sopir taksi Kosti.
Apakah benar harga BBM harus naik? Menurut Dr. Bachrawi Sanusi, dosen ekonomi Triksakti Jakarta, seharusnya pemerintah tak perlu menaikkan harga BBM. Jika kenaikan itu dipaksakan, "Wah gawat, sulit membayangkan apa akibatnya nanti. Kerusuhan pasti pecah," komentar pengurus lembaga perekonomian PB Nahdlatul Ulama ini.
Berikut pendapat doktor berusia 58 tahun itu kepada Iwan Setiawan dari TEMPO Interaktif yang mewawancarainya pada hari Selasa, 14 April, melalui telepon.

Dalam situasi yang tak menentu akibat krisis, apakah realistis menaikkan harga BBM?
Ketika gejolak ekonomi baru muncul di sekitar bulan Agustus 1997, saya sudah katakan jika pemerintah menaikkan harga BBM, maka nasib rakyat ibarat orang yang sudah jatuh tertimpa tangga. Akhirnya harga BBM tak dinaikkan. Tetapi jika sekarang harga BBM dinaikkan, maka rakyat ibarat sudah jatuh tertimpa reruntuhan gedung bertingkat. Jadi bukannya tertimpa tangga lagi, tapi gedung bertingkat. Mungkin rakyat bisa mati (tertawa).

Alasannya?
Karena kondisi sekarang jauh lebih sulit, dibanding Agustus 1997 lalu. Permasalahan yang dihadapi makin kompleks. Jadi dengan menaikkan harga BBM, pemerintah ingin mencari enaknya saja. Kita lihat saja, kurs rupiah di RAPBN yang tadinya ditetapkan Rp 4.000, lalu direvisi menjadi Rp 5.000. Itu berarti devaluasi 20 persen. Lalu sekarang direvisi lagi menjadi Rp 6.000. Jadi total rupiah terdevaluasi 40 persen dalam anggaran. Wajar jika kemudian pemerintah terpaksa mensubsidi BBM, karena merosotnya nilai rupiah disebabkan oleh pemerintah juga.

Mengapa Anda katakan wajar?
Harga BBM yang dijual ke masyarakat saat ini ditetapkan berdasarkan patokan harga minyak dunia yang tadinya 18 dollar per barel. Tetapi harga minyak mentah di dunia turun menjadi 14,5 dollar per barel. Jadi pemerintah mendapat tambahan laba bersih minyak sebesar 3,5 dollar per barel. Hanya karena nilai rupiah yang merosot terus, akhirnya pemerintah terpaksa mensubsidi BBM. Tetapi sebenarnya yang dilakukan pemerintah itu tidak dapat dikatakan subsidi seperti yang diharuskan dicabut oleh IMF. Karena yang tidak disetujui oleh IMF adalah apabila pemerintah mengambil uang negara untuk mensubsidi BBM.

Maksud Anda?
Artinya subsidi BBM yang tercantum dalam RAPBN sebesar Rp. 7,4 trilyun itu bukan berasal dari kas negara, tetapi dari keuntungan yang didapat dari selisih penurunan harga minyak di pasaran dunia tadi. Dan saya juga sependapat dengan Mentamben Kuntoro, bahwa Pertamina, PLN dan perusahaan gas negara harus dibenahi dulu. Termasuk juga soal kebenaran tentang biaya produksi yang mereka laporkan. Jika biaya produksi dapat ditekan lebih murah karena proses produksi lebih efisien, tentu tidak dibutuhkan lagi subsidi.

Dengan nilai rupiah yang terus merosot, bukankah subsidi sebesar Rp. 7,4 trilyun itu tidak mencukupi lagi untuk mempertahankan harga jual BBM?
Jelas subsidi sebesar Rp. 7,4 trilyun tak lagi cukup untuk mensubsidi BBM dan mempertahankan agar harganya tetap. Masalahnya, harga minyak mentah yang dipatok dalam APBN adalah 18 dollar per barel, sekarang kenyataannya di pasar dunia Cuma 14,5 dollar per barel. Jadi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, yang sebagian BBM itu diimpor dari luar negeri, pemerintah dapat menghemat 3,5 dollar per barel.
Seandainya pemerintah tetap memakai nilai kurs yang Rp 5.000 per dollar, seharusnya subsidi BBM dapat berkurang 19,4 persen, karena penurunan harga minyak yang 3,5 dollar per barel di atas. Tetapi kurs rupiah di APBN lantas direvisi menjadi Rp 6.000 per dollarnya, sehingga rupiah terdevaluasi 20 persen, sedangkan penurunan harga minyak dunia cuma 19,4 persen. Jadi pemerintah harus mensubsidi lagi selisih yang 0,6 persen itu. Artinya pemerintah harus menambah subsidi lagi sebesar 0,6 persen dari Rp 7,4 trilyun.

Kenyataannya kurs rupiah di pasaran berkisar Rp. 7.500 hingga Rp. 8.000 per dollarnya. Jika harga BBM tidak dinaikkan, pemerintah harus menambah lagi besarnya subsidi BBM dong?
Kita jangan dulu berbicara berapa besarnya subsidi BBM yang harus diberikan pemerintah dengan kurs sebesar Rp 7.500 hingga Rp 8.000, sehingga harga minyak dapat bertahan seperti sekarang. Kita harus membahas apa yang ada dalam APBN terlebih dulu. Karena perincian dalam APBN itulah yang menjadi perhitungan pemerintah.

Artinya pemerintah tidak dapat mempertahankan harga BBM, kecuali disubsidi?
Sekarang saya tanya, subsidi BBM itu 'kan akhirnya untuk kepentingan rakyat. Karena jika harga BBM dinaikkan, bagaimanapun juga yang kena akibatnya rakyat kecil. Menurut saya, berapapun harga BBM dinaikkan, para konglomerat itu masih bisa menyesuaikan, karena banyak di antara mereka yang melakukan praktek monopoli. Toh, subsidi itu sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai pengeluaran negara seperti yang dimaksud IMF. Subsidi itu 'kan berasal dari keuntungan menurunnya harga minyak dunia sebesar 3,5 dollar AS per barel tadi.
Jadi subsidi ini tidak membebani negara sebenarnya dan IMF harus mengerti akan hal ini. Seharusnya pemerintah untung, tetapi karena kurs rupiahnya merosot, akhirnya subsidi BBM membengkak. Perlu diingat sekali lagi bahwa merosotnya nilai tukar rupiah ini sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Jadi tidak adil jika rakyat kecil yang harus menanggung beban akibat merosotnya rupiah itu dengan menaikkan harga BBM.
Yang kedua, uang yang seharusnya untuk subsidi BBM itu digunakan untuk apa oleh pemerintah? Jika digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, saya setuju. Tetapi jika uang itu dipakai pemerintah untuk membangun jalan tol, pelabuhan atau bandara udara, saya tidak setuju. Karena yang akan menikmati, toh para konglomerat yang hutangnya banyak itu. Apa manfaatnya jalan tol dan lainnya itu untuk rakyat.

Selain solar dan minyak tanah, subsidi BBM itu sebetulnya digunakan untuk apa saja?
Subsidi itu digunakan untuk mengimpor solar, minyak tanah dan minyak mentah. Yang membuat tekor pemerintah adalah impor solar ini, karena subsidi yang terbesar memang untuk mengimpor solar. Khusus untuk subsidi minyak tanah, seharusnya dikaji lagi. Apakah benar masih perlu disubsidi sebesar sekarang.

Seberapa banyak BBM yang diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri?
Pemerintah mengimpor sekitar 15 persen dari total kebutuhan bahan bakar di dalam negeri.

Seberapa besar pemerintah mengimpor solar?
Kebutuhan solar untuk tahun 1998-1999 ini saja sebesar 141 juta barel, sedangkan kemampuan produksi Pertamina cuma 99 juta barel setahun. Artinya pemerintah terpaksa mengimpor solar sebanyak 42 juta barel, untuk memenuhi kebutuhan solar di dalam negeri. Jadi dapat kita bayangkan berapa besar pemerintah harus mensubsidi impor solar ini.

Mengapa subsidi solar masih dipertahankan, bukankah selama ini yang menikmati cuma sekelompok orang kaya saja. Buktinya 52,31 persen solar terserap untuk transportasi, untuk industri 29,23 persen, dan pembangkit listrik 18,46 persen?
Saya pernah bilang, mengapa dalam mengatasi permasalahan kebutuhan energi, yang diributkan selalu persoalan subsidi. Seharusnya pemerintah mengantisipasi persoalan ini sejak dini. Pemerintah harus berani membuat kebijakan lain untuk mengatasi ketergantungan masyarakat kepada BBM, terutama besarnya kebutuhan solar untuk kendaraan bermotor di dalam negeri.
Di jaman Jenderal M. Yusuf menjabat Menteri Perindustrian, dan saya masih menjadi anggota tim energi, saya pernah mengingatkan pembatasan pemakaian solar. Konyolnya saat itu justru sedang disiapkan diesel-isasi, pemakaian solar digalakkan. Saya menentang ide ini dengan alasan harga solar murah karena subsidi pemerintah. Tetapi peringatan saya tidak dihiraukan. Karena harga solar murah, orang lantas beramai-ramai impor mobil berbahan bakar solar. Jadi kesalahan masalah subsidi BBM ini memang sudah sejak dulu terjadi.

Kebijakan seperti apa yang Anda maksud?
Misalnya dengan mendorong penggunaan sumber energi selain BBM. Bukankah cadangan gas alam Indonesia besar. Seharusnya Menteri Perdagangan dan Perindustrian melarang impor kendaraan berbahan bakar solar atau setidaknya dikenakan pajak impor yang tinggi. Dan sebaliknya mendorong impor mobil berbahan bakar gas.
Khusus untuk industri, secara bertahap kebutuhan akan solar dapat digantikan batubara. Agar langkah ini berhasil, perlu dibuat suatu kebijakan yang isinya mendukung pemakaian sumber energi non-BBM. Misalnya dengan memberikan pajak impor yang murah untuk mobil berbahan bakar gas. Sebaliknya, untuk industri yang menggunakan solar atau BBM, seharusnya dikenai pajak yang tinggi.

Bagaimana dengan subsidi terhadap minyak tanah?
Saya kira pemberian subsidi terhadap minyak tanah perlu dipikirkan kembali. Saat ini dari pengamatan saya, pemakaian minyak tanah untuk tujuan komersial juga tinggi. Lihat saja di restoran-restoran, baik yang besar maupun yang di kaki lima, minyak tanah juga banyak dipakai. Sebagian besar memakai kompor minyak tanah, belum lagi penggunaan lampu yang memakai bahan bakar minyak tanah.

Bukankah minyak tanah sebagian besar digunakan untuk keperluan rumah tangga, bahkan untuk keperluan industri hanya kurang dari satu persen?
Pendapat ini sepuluh tahun yang lalu mungkin benar. Pemakaian minyak tanah saat itu sebagian besar untuk kebutuhan rumah tangga. Listrik ketika itu juga belum menjangkau seluruh kawasan pedesaan. Tujuan dari subsidi minyak tanah adalah untuk rakyat pedesaan yang masih menggunakan lampu minyak tanah untuk penerangan. Ketika itu mereka amat tergantung pada minyak tanah, tetapi sekarang sepertinya tidak lagi.
Masalah ini dapat diatasi pemerintah dengan mengganti kompor minyak tanah dengan kompor berbahan bakar briket. Briket batu bara ini tidak kalah dari minyak tanah, dan harganya jauh lebih murah. Atau dengan cara mengenakan pajak yang lebih tinggi terhadap minyak tanah, jika digunakan untuk tujuan komersial. Jika minyak tanah digunakan untuk keperluan rumah tangga, baru harganya lebih rendah.

Artinya Anda setuju jika harga BBM tidak dinaikkan hingga kondisi ekonomi membaik?
Jelas dong. Sekarang kan IMF bilang bahwa secara makro subsidi BBM tidak boleh karena akan menambah beban pengeluaran negara. Tetapi saya ingin tanya, jika pemerintah mengeluarkan tax holiday, siapa yang diuntungkan? Nggak adil dong jika di satu sisi dilarang mensubsidi BBM yang akan menolong kepentingan rakyat kecil, tetapi di lain pihak pemerintah memberi tax holiday pada para konglomerat. Jelas hal ini hanya akan menguntungkan konglomerat dan orang asing, selain itu tax holiday ini juga mengurangi penerimaan pemerintah. Jadi selain penerimaan dana pemerintah berkurang, rakyat kecil dirugikan.

Bagaimana jika pemerintah tetap menaikkan harga BBM, dengan alasan untuk mengurangi pengeluaran negara?
Pemerintah jangan bicara seperti penjual di Tanah Abang, yang dengan alasan merugi lantas menaikkan harga dagangannya seenaknya sendiri. Untuk urusan BBM ini, pemerintah juga berlaku begitu, dengan alasan rugi terus lantas mencabut subsidi. Tetapi jika mendapat keuntungan lebih sebagai akibat turunnya harga minyak dunia, pemerintah diam- diam saja, nggak pernah mau omong. Padahal keuntungannya berlipat-lipat.
Kenyataannya begini, akibat penurunan harga minyak dunia, pemerintah bisa menghemat pengeluaran sebesar 19,4 persen untuk impor minyak bumi. Karena dari 18 dollar per barel, sekarang turun hanya 14,5 dollar per barel. Jika kurs rupiah berubah dari Rp 5.000 menjadi Rp. 6.000, maka jumlah rupiah yang didapat pemerintah juga bertambah sekitar 20 persen. Bayangkan berapa banyak keuntungan bersih dari selisih harga minyak dan devaluasi kurs rupiah itu saja, dan belum ditambah keuntungan dari laba penjualan minyak.
Apalagi sekarang kurs dollar di pasaran berkisar Rp. 8.500, sedangkan dalam APBN cuma Rp 6.000. Dan terjadi penurunan harga minyak dunia sebesar 3,5 dollar per barel, maka pemerintah mendapat keuntungan rupiah lebih besar. Ditambah hasil ekspor minyak, keuntungan yang didapat juga besar, karena dibayar dengan dollar. Gila! Menurut saya, sepanjang pendapatan yang didapat dari ekspor masih lebih besar dari subsidi yang diberikan untuk mengimpor minyak, harga tak harus dinaikkan. Artinya pemerintah masih mendapat keuntungan.

Jika pemerintah masih untung, mengapa harga BBM akan dinaikkan?
Di sinilah inti masalahnya. Akibat krisis ekonomi yang dipicu oleh macetnya utang swasta di luar negeri, saat ini pemerintah kebingungan untuk mencari alternatif sumber pendapatan lainnya. Tetapi tidak ada sumber pendapatan selain minyak, sehingga pemerintah akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga BBM. Jadi konglomerat yang punya utang di luar negeri, tetapi bebannya rakyat yang menanggung. Kenaikan BBM ini hanya untuk menghisap uang rakyat, untuk mengatasi utang konglomerat.

Di tengah kondisi ketidak pastian seperti ini, dimana harga-harga naik, sementara di lain pihak jumlah pengangguran membengkak, apa akibatnya jika BBM naik?
Wah gawat, sulit membayangkan apa akibatnya nanti. Kerusuhan sosial pasti pecah dimana-mana, bahkan saya khawatir bisa mengarah pada pemberontakan. Karena rakyat sudah nggak tahan lagi menanggung beban.

Tempo, Edisi 07/03 - 18/April/1998

Prediksi Gempa

Gempa Haicheng, China, berkekuatan M=7,5 terjadi pada 4 Februari 1975. Ini merupakan satu-satunya peristiwa gempa di dunia yang sukses terprediksi.

Kegiatan prediksi tsb sudah dilakukan sejak awal pertengahan Desember 1974 dan Cina sukses mengevakuasi penduduk kota Haicheng beberapa jam sebelum gempa bumi.

Hasilnya, 90% bangunan kota hancur akibat gempa ini, tetapi penduduk kota telah dievakuasi sebelum kejadian. Hampir 90.000 orang penduduk terselamatkan.

Tapi, itu ternyata hanya menjadi kenangan indah, karena, meski dilakukan dengan metode yang sama dan didukung dengan teknologi yang lebih canggih, nyatanya sederet peristiwa gempa besar merusak dan mematikan terus mendera China dengan ratusan hingga ribuan korban tewas terus berjatuhan hingga sekarang.

Jepang juga menjadi negara paling getol dalam kajian prediksi gempa tetapi ternyata gempa-gempa besar terus terjadi tanpa mau memberi tahu dan tanpa permisi.

Bahkan gempa dahsyat yang memicu tsunami Tohuku 2011 yang menelan korban puluhan ribu orang, menjadi catatan penting bahwa prediksi yang mereka lakukan ternyata meleset.

Amerika serikat tidak kalah hebat dalam riset prediksi gempa. Mega proyek prediksi di sesar besar San Andras untuk mnjawab kapan "The Big One" terjadi, ternyata juga tak memberi hasil memuaskan.

Jalur sesar San Andreas ini terus dimonitor dinamikanya dengan GPS. Alat pengukur regangan strainmeter dan tiltmeter juga dipasang di beberapa lokasi jalur sesar. Monitoring gas radon dan perubahan suhu juga dilakukan, tetapi tetap saja belum ada hasil seperti yang diharapkan. Banyak ahli gempa yang "lempar handuk" dengn riset prediksinya.

Itulah kisah 3 negara jawara riset prediksi gempa dengan menggunakan pengukuran yang paling akurat, precursor gempa, dan pengamatan tingkahlaku binatang.

Konon hingga kini hanya china yang masih bersemangat meneruskan riset prediksi gempa.

Jepang dan USA kini lebih tertarik mengalokasikan anggaran dana untuk mitigasi gempa, seperti penguatan struktur bangunan dan masyarakat di kawasan berisiko.

Meski demikian kajian prediksi tetap dilakukan tetapi bukan lagi menjadi prioritas mereka.

Hingga saat ini, tdk ada satupun lembaga resmi dan pakar yang kredibel dan diakui mampu memprediksi gempa.

Sehingga prediksi gempa hanya sukses sekali saja yaitu saat terjadinya peristiwa gempa Haicheng, China 1975.

Pakar gempa sedunia kini pun sepakat bahwa gempa memang belum dapat diprediksi dengan akurat kapan dimana dan berapa magnitudonya.

Untuk itu, kepada masyarakat dihimbau, terkait informasi gempa, pastikan diperoleh dari sumber-sumber yang kredibel dan resmi. Ada alamat kantornya, ada nomor telfon yang dapat dihubungi dan ada nama petugas yang bertanggungjawab. Ini penting agar informasi yang dikeluarkan dapat direspon balik oleh publik, sehingga lembaga tersebut dapat dihubungi untuk dimintai penjelasan lebih lanjut.

Saat ini banyak lembaga resmi penyedia informasi gempa seperti BMKG, USGS (Amerika Serikat), JMA (Jepang), GFZ (Jerman), EMSC (Mediterania), Geoscope, CEA (China), dan lain-lain.

Saya percaya siapapun dapat dengan mudah membuat tulisan semacam informasi gempa dan prediksi gempa "karangan" selanjutnya diunggah di media sosial.

Jika mereka tidak menyebutkan lembaga, alamat, nomor kontak lembaga dan nama petugas  yang dapat dihubungi, bahkan tidak menjelaskan metoda ilmiah ataupun data  yg digunakan utk memprediksi,  maka sebenarnya mereka tidak bertanggung jawab. Ibarat seorang anak setelah melempar petasan kemudian lari dan bersembunyi.

Masyarakat dihimbau untuk tidak terpancing dengan informasi "bodong" atau hoax. Mohon tetap percaya pada akal sehat kita.*

Jakarta, 22 Agustus 2018
Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG
Dr. DARYONO, M.Si
http://www.bmkg.go.id