SIAPA pun yang memerintah di Indonesia harus menghadapi krisis produksi bahan bakar minyak yang terus menurun, beban impor minyak dan subsidi bahan bakar minyak yang mencapai Rp 63 triliun per tahun. Revolusi politik energi nasional adalah jawaban dengan cara memanfaatkan deposit gas bumi dan batu bara Indonesia yang lebih murah dan tersedia melimpah hingga sekurangnya dua abad mendatang.
Pengamat perminyakan Bachrawi Sanusi mengakui produksi minyak Indonesia mengalami krisis karena tidak mampu memasok kebutuhan dalam negeri hingga Indonesia harus jadi importir dalam empat tahun terakhir. Untuk saat ini kelangsungan industri minyak masih sangat dibutuhkan sebab belum ada alternatif pengganti.
"Produksi minyak kita turun pada kisaran satu juta barrel per hari, sementara kebutuhan mencapai 1,3 juta barrel per hari. Produksi yang minim itu pun belum dikurangi dengan bagian dari Kontraktor Bagi Hasil asing yang menjadi rekanan Pertamina," kata Bachrawi. "Kondisi ini merupakan blunder kebijakan tahun 1980-an karena kita tidak melakukan konservasi dan diversifikasi energi."
Situasi makin parah tatkala pemerintah bersama DPR justru melemahkan posisi penerimaan negara dari minyak dan gas bumi dengan pembentukan BP-Migas. Praktis, kegiatan ekspor migas yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung devisa kini tidak mampu mendongkrak kurs rupiah. Seharusnya pemerintah memperbaiki UU Nomor 8 Tahun 1971 dan bukan membuat aturan baru yang sama sekali memangkas kewenangan Pertamina sebagai BUMN
DALAM tatanan global pun Indonesia sebagai anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak OPEC terbukti kerap kali menderita kerugian akibat kebijakan organisasi itu. Bachrawi mengatakan OPEC senantiasa menjatah kuota secara merata tanpa menggunakan hitungan pendapatan per kapita. Kebijakan itu sangat menguntungkan Arab Saudi dan Kuwait yang berpenduduk sedikit. Negara berpenduduk besar seperti Indonesia sebaliknya sangat dirugikan.
Dalam perkembangan zaman, terlihat betapa kontribusi produk seluruh anggota OPEC tidak signifikan karena hanya mencapai 30 persen dari keseluruhan produksi minyak dunia. Sementara itu, Malaysia dan Brunei sebagai negara produsen minyak mampu menata kebijakan migas secara mandiri tanpa terlibat sebagai anggota OPEC.
Tumpulnya OPEC semakin tampak dalam gonjang-ganjing kenaikan harga minyak belakangan ini. Meski menambah produksi, mereka tidak dapat menekan harga dengan membanjiri pasar dengan pasokan minyak.
Pasalnya, cadangan minyak negara industri maju anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) dapat digunakan selama 80 hari tanpa pasokan baru dari negara produsen minyak. Dengan kemampuan tersebut, mereka dapat mengatur permainan harga di pasar internasional. Sementara di dalam negeri, para kontraktor bagi hasil Pertamina juga dapat menjadi spekulan karena keleluasaan yang diberikan UU Migas yang baru.
Fluktuasi harga minyak mentah pun, menurut Bachrawi, dapat melampaui angka 50 dollar AS per barrel. Para spekulan dan negara industri maju memiliki kekuatan dominan dalam memengaruhi pasar melampaui posisi negara produsen.
Sejarah telah mencatat sebelum Perang Arab Israel 1973 harga minyak berada di bawah 2,5 dolar AS per barrel. Namun, sesudah pecah perang harga melambung tinggi hingga sepuluh kali lipat dan terus berkisar di atas belasan dan puluhan dollar per barrel.
Harga jual tinggi menjadi berkah bagi negara tertentu, seperti Inggris dan Norwegia, karena memungkinkan mereka melakukan eksplorasi di laut dalam yang sebelumnya tergolong tidak ekonomis saat kisaran harga jual di bawah 2,5 dollar AS per barrel. Kala itu biaya produksi minyak laut dalam mencapai 5 dollar AS per barrel.
Perlahan tetapi pasti, negara industri maju menjadi penentu fluktuasi harga. Bahkan, kini di saat negara produsen mulai mengalami penurunan produksi seperti Indonesia, mereka masih memiliki cadangan melimpah dan menjadi penentu harga.
Lingkaran setan ini akan semakin membelit Indonesia, yang semula bertindak sebagai produsen kini harus beralih fungsi menjadi konsumen. Pertambahan subsidi demi subsidi terus menggelayuti keuangan negara akibat kebijakan sektor energi yang salah sasaran.
KEBIJAKAN energi memang salah kaprah sejak semula. Pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan murahnya harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia justru mendorong konsumsi tetap, bahkan meningkat. Akibatnya, masyarakat tidak memiliki sensitivitas terhadap kelangsungan pasokan sumber energi yang tak dapat diperbaharui tersebut.
"Pertumbuhan kendaraan bermotor semakin tidak terkendali. Kemacetan lalu lintas pun terjadi sehingga menghambat aktivitas perekonomian," kata Faisal. "Strategi harga seharusnya sudah mengacu pada harga dunia secara bertahap dan diimbangi penyediaan bahan bakar pengganti secara massal, terutama di sektor transportasi. Di pihak lain, pemerintah harus menyediakan sarana transportasi publik yang sangat memadai."
Krisis energi jadi semakin parah dengan adanya kebijakan pemerintah dan DPR dalam undang-undang migas yang justru semakin memperburuk krisis sektor energi. Kurtubi, pengamat pertambangan dari Pertamina, menyatakan kebijakan tersebut menambah jalur birokrasi dalam penjualan minyak dan menguntungkan pihak ketiga: para perantara. Di saat sama BUMN seperti Pertamina lumpuh dan tidak mampu jadi faktor penentu kebijakan migas karena peran tersebut beralih ke BP-Migas dan para perantara perdagangan minyak.
Kebijakan ini rawan terhadap praktik KKN dan sangat menguntungkan pihak ketiga. Mereka dengan leluasa dapat "menggoreng" harga komoditas dalam pasar komoditas berjangka dan pelbagai instrumen spekulasi lain.
Lebih parah lagi adalah penarikan pajak bagi investor pada tahap eksplorasi. Di saat mereka belum memperoleh hasil, praktis pelbagai pungutan sudah membebani. Kebijakan ini sungguh tidak logis. Proses investasi pun mekar dari penanganan satu atap menjadi tiga atap. Bahkan hubungan yang semula berbentuk bisnis ke bisnis kini berubah menjadi bisnis ke pemerintah.
Dampak dari kebijakan ini sangat terasa. Menurut Kurtubi, pada tahun 1998 masih ada 18 kontrak baru di bidang migas, tetapi dalam kurun 1999-2003 hanya terjadi satu atau dua kontrak baru.
Situasi memang terlihat membaik pada tahun 2004 dengan tercatatnya 17 kontrak baru. Namun, perlu diingat, belum ada realisasi kontrak tersebut sama sekali. Bahkan kondisi terburuk adalah anomali bisnis sektor minyak. Biaya dalam bentuk dollar AS untuk administrasi dan pengelolaan minyak dan gas terus meningkat, tetapi hasilnya terus menurun.
Lembaga terkait bisnis ini semakin membesar menambah tenaga kerja dan tidak efisien, sementara hasil produksi terus meluncur deras ke arah merugi. Rangkaian kesalahan kebijakan ini semakin terlihat jelas dengan tidak adanya peraturan pelaksana sebagai penjabaran UU Migas tersebut.
Kurtubi menambahkan, bahkan jika produksi minyak kita dalam keadaan normal, kapasitas kilang kita tidak mampu memenuhi kebutuhan harian dalam negeri. Kapasitas seluruh kilang Indonesia hanya mampu mencukupi 75-80 persen kebutuhan.
Harga melambung, produksi menyusut, inefisiensi kelembagaan, dan regulasi, serta kapasitas produksi di bawah kebutuhan merupakan cermin industri minyak nasional. Minyak bumi bukan lagi primadona negeri ini, bahkan justru menjadi beban. Pemerintah tampak tidak memiliki acuan kebijakan energi pascaminyak. Patutlah kita berkaca pada pemerintah Thailand: betapa mereka mampu mengatur pertumbuhan perekonomian meski 40 persen anggaran negara tersedot untuk sektor energi.
JALAN keluar utama krisis ini, menurut Faisal Basri, seharusnya dengan menggeser ke sumber yang lebih murah dan tersedia melimpah seperti gas dan batu bara. Sebagai bukti keberhasilan kebijakan perubahan pemanfaatan energi adalah pemerintah Tiongkok. Mereka mengonversi pemakaian minyak dan batu bara dengan gas.
Gas bumi lebih murah dan ramah lingkungan serta meningkatkan kemampuan kompetisi industri mereka. Produk industri di Tiongkok yang menggunakan gas sebagai bahan baku tentu memiliki harga jual lebih murah daripada produk industri di Indonesia yang menggunakan minyak bumi sebagai bahan bakar. Keadaan semakin ironis mengingat sebagian pasokan gas Tiongkok justru berasal dari Indonesia.
Pergeseran energi akan memangkas subsidi Rp 63 triliun sehingga kita dapat berkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur, peningkatan indeks pembangunan manusia, dan indeks kesehatan, terutama di sektor pertanian, perkebunan, dan kelautan yang langsung menyentuh bagian terbesar rakyat Indonesia.
Sementara Kurtubi mengatakan pergeseran energi tersebut harus jadi program nasional, tetapi subsidi bagi masyarakat terkecil untuk minyak tanah hendaknya tetap dipertahankan. Potensi minyak Indonesia sebetulnya masih luas, malah dapat jadi cadangan untuk pemasukan negara di masa mendatang.
Langkah ini sangat mendesak mengingat negara industri seperti Amerika Serikat dan China telah melakukan pergeseran energi sejak dini. "Jangan selalu membandingkan keadaan dengan masa lalu yang konon lebih enak. Bandingkanlah Indonesia dengan negara lain saat ini demi memacu perbaikan keadaan," kata Faisal Basri.
Persoalan kita tidak hanya lilitan utang luar negeri yang membebani 7 persen keuangan negara. Janganlah melupakan beban akibat utang dalam negeri yang mencapai 12 persen dari anggaran. Tak ketinggalan tentu, perburuan aset-aset para konglomerat hitam.
Pemerintah harus mencari sektor ekonomi yang menjadi persinggungan aktivitas pertanian, UKM, masyarakat desa, nelayan, dan sektor informal. Sektor ini langsung menghasilkan perputaran uang untuk bagian terbesar masyarakat kita.
Iklim investasi dan service delivery menjadi tantangan bagi pemerintah yang harus diatasi demi mencapai pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini, menurut Faisal Basri, adalah langkah konkret yang lebih berarti bila dibandingkan dengan retorika pemberantasan KKN.
"Yang terpenting adalah menciptakan masa depan. Jangan kita selalu terpaku pada masa lalu saja. Pemerintahan baru harus menjelaskan visi dan menjabarkan dalam 100 hari pertama sebagai indikator perbaikan Indonesia," kata Faisal.
Kompas (25 September 2004)