Pemimpin Tak Jadi Seniman

Impiannya sebagai seniman kandas karena ditolak dua kali oleh Akademi Seni Wina (1907-1908), tapi siapa sangka dari penolakan tersebut membawanya ke perjalanan menuju seorang pemimpin. Meski banyak yang memandang sebagai pemimpin kejam pada era perang dunia kedua, namun dibalik kekejaman sebenarnya di dalam dirinya masih jiwa seorang seniman. Tanpa disadari telah terukir melalui kata-kata di setiap pidatonya.

Kita ingin orang-orang menjadi setia dan kamu harus belajar kesetiaan.
Kita ingin orang-orang ini menjadi taat dan kamu harus berlatih ketaatan.
Kita ingin orang-orang ini menjadi cinta damai dan pada saat bersamaan juga berani, dan karena itu kamu harus cinta damai dan berani.
Kita ingin orang-orang ini tumbuh lembut, tetapi kita ingin menjadi keras sehingga mampu menahan kesulitan hidup.
Kamu harus keras pada dirimu sendiri, di masa muda.
Kamu harus belajar untuk keras, untuk berdiri pada kemiskinan tanpa jatuh.
Kita ingin orang-orang ini mencintai kehormatan dan sudah tiba waktumu untuk hidup dengan konsep kehormatan.
Adolf Hitler, 14 September 1935

Aku berkata bahwa mereka bisa diselesaikan.
Tidak ada masalah yang tidak bisa selesai, tetapi diperlukan keyakinan.
Pikirkan keyakinan yang aku miliki delapan belas tahun yang lalu, seorang laki-laki di jalan sepi.
Namun, aku datang untuk kepemimpinan rakyat Jerman.
Hidup keras dalam segala hal, tetapi yang terkeras jika kamu tidak bahagia dan tidak memiliki keyakinan.
Miliki keyakinan.
Tidak ada yang bisa membuat aku mengubah keyakinanku.
Adolf Hitler, 12 September 1936

Tetap kuatkanlah keyakinanmu seperti kamu pada tahun-tahun sebelumnya.
Dalam keyakinan ini, dalam kedekatan, rajut persatuan rakyat kita untuk hari yang berjalan lurus ke depan dalam jalan tersebut dan tidak ada kekuatan di bumi yang akan bisa menghentikannya.
Adolf Hitler, 15 Oktober 1937

Dewa perang telah pergi ke sisi lainnya.
Adolf Hitler, pernyataan untuk Alfred Jodl setelah kalah dalam pertempuran di Stalingrad

Seandainya diterima di Akademi Seni Wina, mungkin tidak akan lahir seorang pemimpin, melainkan seorang seniman. Sejarahpun telah diukir olehnya, meski yang sering dikenang atau diingat adalah kekejamannya.

“Aku, untuk bagianku, mengakui persepsi lain yang mengatakan bahwa manusia harus menghadapi pukulan terakhir untuk orang yang nasib buruknya telah ditakdirkan oleh Tuhan” 
Adolf Hitler


*kutipan-kutipan diambil dari Buku Kata-Kata yang Mengubah Dunia, 2013

Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 3)

Tampaknya pemerintahan Abdurrahman Wahid berupaya mengambil hati rakyat/pengusaha kecil dengan kebijaksanaan menaikkan harga BBM sekitar bulan Oktober 2000. Hasilnya diperkirakan terkumpul dana subsidi Rp800 miliar (saat APBN 2001, sekarang mungkin sudah ratusan triliun, kenapa terus naik ya?, Red), dan konon dana itu diperuntukkan bagi rakyat kurang mampu, pengusaha kecil.koperasi, dan penciptaan lapangan kerja.

Dana dari hasil kenaikan harga BBM (berdasarkan pengamatan penulissaat kenaikan harga BBM di 2001, Red) yang diperkirakan mengurangi subsidi BBM sekitar Rp800 miliar itu, menurut rencana akan disalurkan. Pertama, untuk dana yang sifatnya mendesak berupa dana tunai (cash transfer) yang ditujukan untuk keluarga kurang mampu. Kedua, kompensasi pemberian dana berupa modal usaha bergilir (revolving fund). Ketiga, untuk menciptakan lapangan kerja produktif melalui pemberdayaan masyarakat di desa maupun kawasan kumuh perkotaan.

Tampaknya rencana ini seperti yang diharapkan Theodore WS Schultz, pada waktu memperoleh hadiah nobel 1979, “Most of people in the world are poor, so if we knew the economics of being poor we would know much of economics that really matter,”

Disadari begitu banyak kemiskinan di Indonesia, maka tepat jika sedikit  dana itu ditujukan untuk membantu rakyat yang dianggap kurang mampu atau miskin, walau sayangnya pemanfaatan dana subsidi BBM itu menyimpang sejak masa Orde Baru.

Kebijakan itu sangat bertentangan dengan usul wakil rakyat, karena pada waktu menyetujui kenaikan harga BBM, dana itu bukan disalurkan untuk tiga saluran. Yang pasti, DPRlah pemegang kunci aneka rupa persetujuan, mulai dari berbagai UU hingga kenaikan tarif jasa apalagi persetujuan atau penolakan kenaikan harga BBM.

Kredibilitas wakil rakyat diuji lagi, mampukah mereka mengawasi pemerintah yang menurut penilaian banyak kalangan bahwa hasil kerja kepala negara bernilai rapor merah. Memang jumlah dana, menurut penulis, sangat kecil dibandingkan dengan jangkauan yang sangat luas itu.

Justru kebijakan itu, hanya mengulang permainan kata yang lembut seperti masa Orde Baru. Waktu itu, pada setiap ada kenaikan BBM, yang selalu berdampak negatif bagi rakyat banyak, dinamakan penyesuaian harga. Dengan permainan kata ini diharapkan agar rakyat tidak menuntut tugas pemerintah menurut UUD 1945 atau Pancasila, yakni usaha memakmurkan bangsa (merasa terjebak, tapi memang yang pencari celahlah memanfaatkan UUD 1945, Red).

Jika bicara soal kemakmuran berarti seolah-olah tugas utama pemerintah, yakni meningkatkan/menaikkan daya beli masyarakat dengan mudah tercapai. Kenyataannya selama ini yang terhadi hanya penurunan daya beli masyarakat. Pada 2000 daya beli masyarakat turun 25 persen, terutama lewat kenaikan-kenaikan harga termasuk kenaikan harga BBM dan terpuruknya kurs rupiah yang nyaris Rp20.000 per Dollar AS (masih juga ingin terulang?, Red).

Tampaknya sekarang pemerintah mencoba memikat hati rakyat yang daya belinya terus tersungkur karena tarif angkutan, pos yang naik, dan harga BBM yang segera akan naik dengan dana untuk tiga jalur itu.

Bagi para menteri dan wakil rakyat yang gajinya sudah belasan atau puluhan juta rupiah per bulannya, harga BBM naik menjadi Rp20.000 per liter pun tidak menjadi masalah, karena gaji mereka itu sangat besar. Apalagi jika mereka mendapat jatah BBM gratis dari pemerintah. Terlepas dari itu, yang pasti penulis khawatir dana yang sangat kecil dengan jangkauan sangat luas dan banyak tangan yang mengurusnya itu akan terjadi kebocoran dana di penyalurannya atau mungkin saja muncul KKN-KKN baru.

Di samping itu, biaya penyalurannya juga pasti tidak kecil, dari mana dana biaya itu, apakah menjadi beban APBN dana bantuan itu. Oleh karena itu, jalur pengawasan penyaluran dana tersebut juga harus jelas, sehingga setiap bulan secara transparan bisa diperlihatkan kepada media massa melalui wakil rakyat, berapa jumlah pengeluaran dan pemasukan dana tersebut.

Sebenarnya sangat disayangkan mengapa untuk membantu rakyat kecil harus menggunakan dana yang berasal dari hasil menaikkan harga BBM yang merupakan hasil mencekik lehr kehidupan rakyat kecil. Mengapa bukan berasal dari hasil pajak, dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan lain-lain sehingga dananya bisa sangat besar.

Pedagang non-migas dan penjual jasa tidak mau tahu soal kenaikan harga BBM, diperuntukkan bagi siapa hasilnya, untuk tiga saluran itu atau rakyat kecil. Bagi golongan ekonomi menengah ke atas baik sebagai produsen atau penjual jada profesional seperti pengacara, dan konsultan pasti ikut menaikkan biaya-biayanya sehingga harga jual barang dan jasanya juga ikut naik. Bahkan biasanya kenaikannya itu melampaui kenaikan harga BBM.

Jadi tidak benar kalau subsidi dinilai hanya dinikmati/menguntungkan pengusaha/golongan menengah ke atas. Justru setiap ada kenaikan harga BBM merekalah yang lebih cepat menaikkan harga barang atau tarif jasanya. Sebaliknya yang menderita tetap rakyat kecil terutama yang berpenghasilan tetap, berpenghasilan tak menentu dan juga para pensiunan pegawai negeri/TNI/Polisi.

Oleh karena itu, penulis beranggapan selama jumlah hasil ekspor migas plus hasil penjualan migas khususnya BBM di dalam negeri, tidak rugi secara, perhitungan untung migas masih lebih besar, jadi harga BBM tidak usah dinaikkan (saat itu, Indonesia masih ekspor migas, dan kebutuhan masih tercukupi, tapi setelah 2003 dinyatakan net importir minyak, otomatis belum tentu dapat menyuplai BBM dari dalam negeri, dan harga jadi permainan untuk pengkondisian/penyesuaian, Red).

Kecuali, jika pemerintah sudah berhasil menaikkan daya beli rakyat, misalnya juga kurs Dollar di bawah Rp3.500 per US$ yang otomatis jumlah subsidi BBM sekarang sekitar Rp42 triliun bisa berkurang, bukan hanya hitungan Rp800 miliar, tetapi puluhan triliun rupiah tanpa menaikkan harga BBM.

Juga penulis merasa pemerintah terus melaksanakan kebijakan yang menyimpang selama Orde Baru dan hasil migas yang ratusan triliun itu tidak digunakan untuk pengembangan kembali hasil migas, misalnya membangun kilang-kilang baru, mencari cadangan baru, membeli lapangan-lapangan migas para kontraktor dan fasilitas penyimpanan, penyaluran, serta pengangkutan BBM dan lain-lain.

Juga mengapa dana itu tidak dimanfaatkan, misalnya, untuk pengembangan energi alternatif seperti briket batubara yang bisa menggantikan minyak tanah. Sekiranya, briket batubara tersedia banyak dan mudah diperoleh serta harganya bersaing dan pemerintah mau menaikkan harga minyak tanah, maka rakyat akan bisa segera beralih ke briket batubara. Termasuk alat-alatnya juga banyak dan harganya terjangkau.

Cara menaikkan harga BBM dengan alasan apapun tanpa tersedianya energi pengganti BBM yang lebih murah dan banyak, maka persoalan justru semakin rumit. Akhirnya ketergantungan akan impor BBM terus meningkat dan devisa akan habis tersedot.

Hal ini pasti akan berjalan berkepanjangan selama Indonesia belum mau memanfaatkan seluruh dana migas untuk pengembangan migas dan energi alternatif.

Kalau saja selama Orde baru seluruh dana hasil migas digunakan untuk pengembangan hasil migas yang ketat dan efisien mungkin Indonesia bukan hanya terbebas dari kekurangan BBM, bahkan justru bisa sebagai pengekspor BBM. Perlu diingat apa yang diungkapkan Harold Domar soal Incremental Capital Output Ration (ICOR) yang pada intinya jika mau memperoleh tambahan hasil maka dibutuhkan sejumlah tambahan modal.

Begitu juga dalam migas, jika pemerintah masih mengharapkan hasil dari migas terus bertambah maka modalnya juga harus ditambah. Jangan hanya mengandalkan investor asing selaku kontraktor (tapi, siapa lagi yang punya modal dan berani berisiko? kalaupun pinjaman luar negeri, apakah yakin hutang dapat terbayarkan? atau apakah benar digunakan untuk kegiatan yang sebenarnya?, Red). Layak jika harga minyak mahal dan yang paling banyak menikmati hasilnya yakni para kontraktor migas asing, dimana para pemegang sahamnya hanya puluhan orang untuk memperoleh sekitar 35 persen dari hasil produksi minyak Indonesia. Sisanya untuk bangsa Indonesia yang jumlah penduduknya lebih dari 200 juta orang.


Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.

Ekonomi Setelah Merdeka (Bagian 1)

Mengapa setelah bangsa Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945 dengan adanya pergantian beberapa kali kepala negara dengan corak kebijakannya, khususnya dalam bidang ekonomi bahkan hingga sekarang justru keadaan ekonomi rakyat kecil makin terpuruk, bahkan sebenarnya lahirnya UUD 1945 tidak bisa lepas juga sebagai upaya agar bangsa Indonesia bukan hanya tidak lagi dijajah, juga mungkin termasuk tidak dijajah dalam bidang ekonomi/keuangan yang melibatkan utang luar negeri, tetapi yang penting bagaimana menciptakan agar segenap rakyat Indonesia bisa hidup makmur secara adil dan merata.

Justru setelah Orde Baru runtuh bukan hanya telah begitu banyaknya sumber daya alam terkuras dan makin menipis, terutama yang tidak dapat diperbaharui lagi seperti migas, juga hutang luar negeri pemerintah dan swasta lebih dari US$150 miliar. Walaupun demikian, mengapa investor asing mau menanam modalnya di Indonesia. Masalahnya sejak jaman penjajahan bumi Indonesia terkenal kaya akan aneka sumber daya alamnya yang bisa bermanfaat bagi pengembangan industri dan dunia perdagangan.

Tetapi setelah Orde Baru runtuh segala hasil pengurasan sumber daya alam plus jumlah hutang luar negeri terbesar tidak dimanfaatkan sesuai sasaran yang tepat, bahkan sebagian besar dari berbagai hasil pembangunan serta dana pembangunan banyak yang bocor yang mungkin masuk dalam putaran KKN pada masa reformasi.

Karena pergulatan elit politik makin tajam bahkan melibatkan banyak rakyat kecil yang tidak mempunyai lapangan kerja tetap dan tidak tahu soal politik akibatnya aneka rupa sumber dana yang masuk dalam kantong-kantong pelaku KKN seolah-olah tidak atau kurang mendapat perhatian. Malah yang semakin diperhatikan seperti pengemis yang meminta agar IMF, bank dunia atau lembaga-lembaga keuangan dunia mau segera memberi pinjaman serta segera mencairkannya.

Walaupun, jika saja pemerintah mau segera membersihkan segala kekayaan seluruh pejabat terutama pejabat BUMN yang masih saja aktif sejak masa Orde Baru hingga masa reformasi atau sudah lengser seluruh kekayaan anak beranaknya diusut termasuk juga pejabat sekarang, pasti hasilnya cukup besar. Masalahnya, memang pemerintah ingin mengambil langkah enaknya saja, apalagi terus bertengkar dengan wakil rakyat, bahkan pemerintah tidak segan-segan untuk menaikkan harga BBM.

Tentu saja segala penataan ekonomi selama ini memang sudah salah arah dan seolah-olah sudah salah memanfaatkan teori ekonomi apa yang harus dilaksanakan Indonesia. Masalahnya memang sudah sejak lama para ahli dunia sudah banyak yang menyoroti soal kehidupan perekonomian Indonesia.

Misalnya pada 1930, ketika Prof. JH Boeke berpidato waktu dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Leiden, dia menyatakan antara lain

“Dimana tak terdapat suatu kesatuan…serta hubungan seperti halnya dibanyak negara lain yang kapitalis, bahkan modern…dimana terdapat jurang lebar, tajam dan dalam dalam memecah masyarakat dalam dua bagian, di situlah terdapat berbagai masalah ekonomi dan sosial yang memperlihatkan wajah yang baru sama sekali dan teori ekonomi Barat kehilangan hubungannya dengan kenyataannya, maka berarti hilang pulalah nilainya”.

Adapun maksud dari Prof. Boeke, bahwa perekonomian Indonesia masih berbeda cukup jelas dari negara-negara Barat pada waktu itu, bahkan katanya perekonomian Indonesia berbeda dengan negara berkembang lainnya, dalam banyak sifat-sifat penting. Itu kata Prof. Boeke dahulu, bahkan sekarangpun perekonomian Indonesia sangat berbeda dengan banyak negara berkembang lainnya, walau diakui oleh banyak ahli, bahwa perekonomian Indonesia telah banyak berubah sejak 1930.

Sama halnya perubahan-perubahan yang terjadi banyak negara di dunia, bahkan ilmu ekonomi pun telah berubah setelah muncul sebuah buku yang berjudul The General of Theory of Employment, Interest and Money yang ditulis oleh John Maynard Keynes pada 1936.

Begitu banyaknya perubahan berbagai teori ekonomi di banyak negara, yang pasti setiap negara apalagi negara kuat dan besar pada akhirnya juga selalu ingin merebut suatu kekuatan ekonomi dan moneter seperti halnya Amerika Serikat, walau harus ditunjang dengan cara perang secara besar-besaran untuk menindas banyak negara di dunia.

Jika teori mengejar laba maksimal seperti yang menjadi sasaran kaum kapitalis, kemudian diikuti oleh para ahli dari berbagai negara berkembang seperti di Indonesia, maka akhirnya seperti sekarang ini. Ekonomi sosial bukan, ekonomi kapitalis bukan, ekonomi Pancasila juga bukan, ekonomi kerakyatan juga bukan, yang mungkin adalah ekonomi kepentingan golongan politik/pengusaha tertentu, bahkan nyaris bisa dianggap sebagai ekonomi penuh dengan aneka rupa KKN.

Berapa ratus triliun rupiah sejak awal Orde Baru uang hasil migas disebar dengan alasan untuk membiayai aneka rupa berbagai proyek bagi kemakmuran rakyat, apakah alasan uang migas untuk membangun waduk, jalan, jembatan, pelabuhan, irigasi, dan lain-lain bahkan mungkin devisa migas karena milik BUMN bisa setiap saat untuk menekan kurs Dollar AS, sehingga rupiah tidak ambruk.

Tetapi nyatanya dana migas tidak sepenuhnya untuk mencari lapangan migas baru yang potensialnya besar atau uang migas untuk membangun berbagai kilang migas, karena secara comparative advantage sangat menguntungkan, karena pengalaman bangsa Indonesia lebih dari 100 tahun, tentu dengan syarat harus bersih dari segala rupa KKN, apalagi mark upbiaya. Karena uang migas menyebar lewat terkumpul dalam setiap pendapatan dalam negeri dalam APBN, sehingga hasilnya menjadi tidak menentu, tidak heran Pertamina yang sebagai BUMN sangat besar bisa kalah dengan perusahaan migas swasta yang produksinya bisa mencapai puluhan ribu barrel per hari.

Mungkin karena ekonomi Indonesia yang tidak jelas, sehingga apa saja dikerjakan walau hasilnya, bahkan negatif dan akhirnya sangat merugikan rakyat banyak. Memang tidak sepenuhnya para ahli ekonomi yang duduk sebagai birokrat dan perencana dapat disalahkan, sekiranya imam negara mendikte mereka untuk memanfaatkan sebagian dananya untuk keperluan lain yang berada di luar alur rencana nasional.

Walau para ahli tahu, bahwa untuk membangun perekonomian Indonesia secara historisnya sudah lama diketahui baik dilihat dari sisi geografis, ekonomis, demografis maupun historisnya yang sangat penting bagi ekonomi Indonesia secara makro.

Meningkatnya peran migas baik sebagai sumber dana maupun sebagai bahan energi dan bahan baku bagi berbagai sektor secara efek ganda, maka pertumbuhan GDP/PDB secara sektoral semakin meningkat. Begitu pula jumlah GDP/PDB Indonesia makin meningkat, ini berarti besarnya peran migas baik langsung maupun tidak langsung, sehingga seluruh sektor meningkat berarti pula berakibat terjadinya pergeseran struktur ekonomi yang semula sektor pertanian yang sangat dominan, kemudian struktur ekonomi itu berubah. Ini berarti peran migas dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia juga sangat besar pengaruhnya di berbagai sektor, bidang maupun regional.


Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002