Gambaran Ekonomi dari Migas (Bagian 1)

Hingga kini bahkan hingga sepuluh tahun lagi atau mungkin saja lebih dari itu peranan dari minyak dan gas bumi (migas) dilihat dari kepentingan perekonomian Indonesia masih tetap besar. Walaupun pada saatnya Indonesia akan terpaksa menjadi negara net importir minyak (Indonesia jadi net importir pada 2003, bahkan setahun sebelumnya penulis sudah memperkirakan kondisi tersebut, Red), karena jumlah hasil produksi minyak mentah Indonesia, khususnya, lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kebutuhannya.

Tetapi peran Migas dalam roda perekonomian Indonesia akan tetap besar, hanya saja harus diimpor dan semakin banyak membutuhkan devisa untuk mengimpornya, masalahnya segala bahan baku atau energi pembangkit listrik atau mesin-mesin industri masih menggunakan BBM.

Tetapi sekiranya Indonesia mampu membangun beberapa kilang minyak bumi terutama untuk tujuan ekspor berarti masih cukup berperan bagi perekonomian Indonesia, terutama karena adanya nilai tambah dengan cara mengolah minyak mentah impor yang hasil produksinya juga bisa untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri sebagai penggerak industri dan ekonomi yang semakin meningkat (namun, kenapa selama 20 tahun tidak ada pembangunan kilang baru? apakah benar, karena masih didoktrin ‘Indonesia kaya akan minyak’ sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam mengatasi kebutuhan minyak dalam negeri? atau sengaja, karena ‘kue’ di sektor ini sangat ‘manis’ sehingga menggiurkan beberapa pihak sehingga rakyat tidak perlu mengetahui bahwa dari minyak mentah dapat menjadi beberapa produk yang memiliki nilai tambah?, Red).

Mudah-mudahan saja Indonesia tidak terlalu cepat menjadi negara net importir minyak bumi dan masih tetap menjadi negara penghasil dan pengekspor minyak mentah dari hasil produksi, masalahnya yang harus disadari bahwa jauh hari sebelum Indonesia merdeka, minyak dan gas bumi Indonesia telah banyak dikuras untuk membiayai pembangunan negara-negara penjajah. Walau sifatnya terselubung atau tidak nampang (undisguised), tetapi setelah anggota-anggota OPEC bangkit dari berbagai belenggu serta tipu daya negara maju lewat perusahaan minyak raksasanya, maka mulailah terasa bahwa minyak dan gas bumi sebenarnya milik siapa.

Jauh sebelum OPEC terbentuk pada bulan September 1960, negara maju atau industri bisa berpesta pora dengan harga minyak yang sangat murah karena minyak dikuras secara berlebihan, pengadaan atau penawaran minyak dunia boleh dianggap melimpah sedangkan permintaannya sedikit, sudah pasti harga minyak pada waktu OPEC belum dibentuk di Baghdad, maka mudah sekali produksi serta harga minyak OPEC dipermainkan oleh perusahaan-perusahaan minyak raksasa milik negara-negara industri/besar yang juga sebagai pengimpor minyak terbesar di dunia (apakah perlu belajar dari perusahaan minyak raksasa milik negara maju? Meski pengimpor minyak, tapi bisa menghasilkan hasil produk selain minyak dari pengolahan minyak yang memiliki nilai tambah, Red).

Oleh karena itu, pada waktu OPEC OPEC belum terbentuk, nampaknya kalau negara maju/industri, terutama negara pengimpor minyak menghendaki agar minyak dunia murah atau turun, maka pasti mereka berupaya lewat perusahaan-perusahaan minyak raksasanya untuk memompa produksi minyak di berbagai negara anggota OPEC khususnya, tentu saja produksi minyak dunia dalam sekejap saja pasaran dunia banjir minyak. Harga minyak pasti merosot tajam dan pada gilirannya pajak serta royalti negara penghasil minyak juga semakin kecil.

Harus diingat bahwa setelah Perang Dunia II berakhir, maka begitu banyak negara-negara yang dijajah kemudian merdeka, mereka mulai bangkit membangun bangsa dan negaranya. Mereka mencoba menumbuhkan serta menjalankan roda-roda perekonomian mereka agar bisa hidup jauh lebih baik dibandingkan pada waktu mereka masih dijajah, bahkan mereka terus berupaya membangun terutama bagi mereka yang kaya akan sumber daya alamnya seperti migas, emas dan hasil tambang lainnya. Termasuk juga mereka kaya akan aneka sumber daya alam lainnya, seperti hasil hutan, perkebunan, pertanian dan lain-lain.

Karena bagaimanapun mereka terus berupaya agar mereka bisa juga hidup setaraf/setingkat dengan kehidupan bangsa-bangsa di negara maju yang umumnya sebagai penjajah yang berhasil menguras aneka rupa sumber daya alam negara yang dijajah. Layaklah, jika negara-negara berkembang mulai memanfaatkan aneka rupa sumber daya alamnya untuk membiayai pembangunan di segala sektor, bidang dan regional, seperti halnya yang terjadi di Indonesia selama ini terutama sejak adanya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) tahun pertama 1969/70 pada masa Orde Baru.

Walau pada tahun pertama Repelita I itu harga minyak dunia masih sekitar US$2 per barel. Baru setelah harga minyak dunia melonjak sejak perang Oktober 1973 di Timur Tengah, maka Indonesia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang terjadi dan sangat menguntungkan bagi Indonesia yang sedang butuh banyak dana untuk pelaksanaan Pelita I dan seterusnya. Karena harga minyak dunia terus melonjak untuk itulah pemanfaatan sumber daya alam seperti hasil migas semakin ditingkatkan dan dikuras, hanya sayangnya dana dari hasil migas seolah-olah tidak diinventasikan kembali dalam usaha migas, terutama untuk dana pembangunan kilang-kilang minyak bumi khususnya untuk tujuan ekspor.

Oleh karena dengan alasan Indonesia masih kekurangan dana untuk pembangunan nasionalnya, sedangkan sumber daya alam seperti migas masih berada di perut bumi, maka layak akhirnya dalam awal Orde Baru terbukalah peluang besar bagi investor asing untuk mencari serta menghasilkan migas terutama dengan cara sistem Production Sharing Contract/PSC (kontrak bagi hasil).

Sejak awal Pelita I mulai nampak betapa besarnya peranan migas dalam perekonomian Indonesia, baik dilihat dari hasil jumlah serta jenis-jenis minyaknya, juga yang terpenting berupa hasil devisa dari ekspor migas yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia.

Masalahnya di satu pihak peran migas bisa sebagai pemenuh kebutuhan yang sangat penting, artinya bagi kebutuhan bahan bakar atau energi di dalam energi, terutama untuk menghidupkan roda perekonomian di sektor industri, sektor angkutan serta di sektor perdagangan maupun perhotelan dan lain-lain, juga migas sebagai bahan baku di sektor industri terutama di bidang industri petrokimia dalam negeri, maupun sebagai sumber yang sangat besar perannya dilihat dari devisa ekspor maupun dari pendapatan dalam negeri yang selalu terdapat dalam setiap APBN.

Tidak mengherankan kalau dunia migas selalu banyak orang ingin tahu. Seperti OPEC, hampir setiap orang dari berbagai keahlian seperti ingin tahu saja terhadap kebijakan yang akan atau dijalankan OPEC. Bahkan banyak tokoh dunia yang berusaha agar OPEC segera hancur atau bubar, jika OPEC hancur yang tinggal hanya perusahaan Super Multi nasionalnya yang bisa merajalela dan terus menekan harga minyak dunia (apakah perang jadi ‘solusi’nya?, Red).

Kepentingan Ekonomi

Sejak 1893 hingga 1982, jumlah kumulatif produksi minyak mentah Indonesia telah mencapai sekitar 10,4 miliar barel (De Goyler and Mac Naughton: 1982 dan OPEC, Annual Statistical Buletin 1982), ini membuktikan bahwa usi pencarian serta menghasilkan minyak di Indonesia telah lebih dari 100 tahun, walau nyatanya minyak terus mengalis dan belum habis-habisnya juga.

Pada 1982 cadangan terbukti minyak mentah Indonesia sekitar 9,6 miliar barel dari jumlah cadangan minyak bumi Indonesia sebanyak itu hanya sekitar 1,39 persen dari jumlah cadangan minyak dunia atau hanya sekitar 2,1 persen dari cadangan minyak OPEC pada tahun yang sama (nah, siapa yang bilang ‘Indonesia kaya akan minyak’ kemudian didoktrin seperti itu? dari dulu memang cuman ada sekitar 1-2 persen cadangan minyaknya dari cadangan minyak dunia, Red).

Sebagai catatan bahwa minyak mentah Indonesia yang berasal dari Kalimantan sebelum pecah Perang Dunia I ternyata telah digunakan di dalam industri petrokimia di Eropa, yakni untuk menghasilkan nitro toluene (wah, salah satu bahan baku dinamit/bahan peledak, Red), dengan demikian berarti bahwa sudah sejak lama ternyata minyak bumi Indonesia di samping digunakan sebagai bahan bakar atau energi, juga digunakan di dalam upaya pengembangan industri petrokimia Eropa.

Di samping minyak mentah juga, Indonesia mampu menghasilkan gas bumi, pada 1972 cadangan gas bumi Indonesia yang terbukti sebesar 155,8 triliun meter kubik, sedangkan produksi kotornya hanya 4.147 juta meter kubik, preoduksi bersihnya (netto) hanya sebesar 1.234 juta meter kubik atau berarti sebanyak 2.913 juta meter kubik yang tidak dimanfaatkan, tetapi hanya dibakar percuma (sering yang disebut dengan istilah flare/flaring, Red), dengan kata lain lebih dari 70 persen produksi gas bumi kotornya pada mulanya hanya dibakar percuma (kenapa tidak terpikir untuk bangun pipa gas? Kalau alasannya belum ada teknologi yang memadai, haruskah menunggu hingga 30 tahun kemudian? Atau memang lebih gampang diekspor saja? Supaya pembagian ‘kue’nya jelas, Red).

Baru setelah adanya pengaruh yang sangat besar, karena harga minyak dunia begitu mahal di pasaran dunia, karena akibat terjadinya perang Oktober 1973 di Timur Tengah, maka pemanfaatan gas bumi di dunia semakin meningkat jumlahnya. Ini berarti upaya pencarian besar-besaran lapangan/ladang gas bumi di dunia semakin banyak pula. Begitu pula upaya menghasilkan serta memanfaatkan gas bumi di Indonesia, terutama yang unassociated gasnya bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk tujuan ekspor berupa LNG khususnya.

Ternyata pihak Jepanglah yang berhasil merangkul Pertamina untuk bekerja sama dalam upaya memenuhi kebutuhan energi Jepang, baik sebagai pengganti atau upaya diversifikasi pemanfaatan energi di Jepang, di samping upaya Jepang memanfaatkan energi bersih seperti gas bumi. Karenanya, Jepanglah sebagai pengimpor terbesar LNG Indonesia, ini berarti suatu peluang bagi Indonesia untuk membiayai pembangunan nasional khususnya pembangunan ekonominya yang ditunjang dengan semakin banyaknya devisa ekspor LNG dan LPG.

Peran gas bumi bagi perekonomian Indonesia semakin meningkat karena gas bumi bukan hanya sebagai komoditas ekspor yang menghasilkan devisa, serta pendapatan dalam negeri dari gas bumi, juga yang terpenting gas bumi sebagai bahan baku untuk pengembangan industri petrokimia khususnya yang berkenaan dengan pupuk urea.

Pupuk urea merupakan penunjang utama bangkitnya Indonesia sebagai penghasil beras yang cukup baik, ini berarti berkat keberhasilan Indonesia memanfaatkan gas bumi sebagai bahan baku pembuat pupuk, khususnya pupuk urea yang sangat dibutuhkan dalam produk pertanian pangan, terutama padi. Layaklah akhirnya Indonesia mampu swasembada beras yang justru masalah kekurangan pangan khususnya, beras sebagai suatu penghalang besar yang ikut menjatuhkan pemerintahan Orde Lama (dan kemudian hanya terfokus sebagai bahan baku pupuk, apakah tidak pernah terpikir, saat itu, gas sebagai energi seperti yang dilakukan Jepang?, Red).

Pengembangan produksi dan pemanfaatan gas bumi Indonesia yang semakin meningkat pesat terbukti dengan keadaan pada 1982 dimana jumlah produksi gas bumi Indonesia terus meningkat menjadi 31.490 juta meter kubik. Produksi netto sebesar 19.640 juta meter kubik, yang digunakan re-injeksi sumur-sumur minyak sebanyak 6.589 juta meter kubik dan yang dibakar sebanyak 5.261 juta meter kubik. Dari gambaran pemanfaatan gas bumi untuk di re-injeksi sumur-sumur minyak ini, berarti peran gas bumi juga untuk meningkatkan produksi minyak bumi, sekaligus sebagai sumber devisa dan penghasil BBM.

Pada gilirannya, baik langsung maupun tidak langsung, gas bumi yang digunakan untuk menghasilkan minyak dari sumur-sumur minyak yang membutuhkan bantuan tekanan dari gas bumi agar minyak bumi bisa dihasilkan lagi, berarti akan menghasilkan produksi dan sekaligus menambah peranna bagi perekonomian Indonesia.

Dari gambaran 1982, membuktikan bahwa jumlah gas bumi yang dibakar percuma hanya sebesar 16,71 persennya dari produksi kotor gas bumi Indonesia, oleh karena itulah untuk mengurangi jumlah gas bumi yang dibakar percuma itu supaya terus diupayakan peningkatan pemanfaatan gas bumi semakin semaksimal mungkin. Masalahnya, dilihat dari cadangan gas bumi terbukti pada 1982 saja diperkirakan besarnya cadangan gas bumi Indonesia sekitar 838,3 triliun meter kubik, layak jika jumlah itu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Terjadinya peningkatan penemuan-penemuan cadangan baru baik minyak maupun gas bumi, karena semakin banyaknya usaha-usaha pencarian minyak bumi Indonesia bauk yang dilakukan Pertamina sendiri maupun hasil kerjasama antara Pertamina dan pada kontraktor migas asing khususnya yang melakukan operasi di Indonesia.

Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002.

Hujan Buatan, Energi dan Pertanian

Dikhawatirkan pada 2000 (penulis menulis pada 1980, Red) Indonesia diperkirakan akan kekurangan air. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin padat akan menyerang pangan, tanah, sawah, air dan berbagai rupa kebutuhan hidup. Pangan telah diimpor. Energi terutama bahan bakar minyak akan diimpor (dan memang sudah terjadi, padahal sudah diingatkan, Red). Yang lebih parah lagi kalau air juga harus diimpor (sepertinya penulis menyinggung air kemasan yang tidak perlu dimasak dan penulispernah mengatakan “apa perlu harga air lebih mahal dari minyak, padahal mengurasnya sama-sama dari perut bumi”, Red).

Yang menjadi tanda tanya penulis, apakah bangsa Indonesia telah bertekad bulat untuk menjadi negara industri tanpa memperhatikan sektor pertanian. Bagaimana dengan usaha pengembangan pertanian terutama untuk hasil pangan dan bahan-bahan ekspor? Masalah negara maju atau industri dewasa ini, terutama menghadapi masalah energi, perlu dijadikan pengalaman (eh, selama ini jadi pengalaman atau habis manis sepah dibuang?, Red).

Jika sekarang Indonesia masih harus mengimpor beras lebih dari Rp1 miliar, bagaimana selanjutnya? Apakah perlu ditinjau kembali sistem perencanaan pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Terutama dalam masalah prioritas utama dalam jumlah dana yang dibutuhkan. Prioritas pertanian harus didasarkan hasil yang nyata.

Selagi Indonesia masih mampu mengekspor minyak dan gas alam, seharusnya Indonesia tak perlu berambisi untuk menjadi negara industri seperti yang pernah dialami di berbagai negara industri. Masalahnya yaitu mereka berusaha menghilangkan ketergantungan energi impor, terutama berupa minyak dan gas alam. Batubara dibangkitkan, juga tenaga nuklir yang kesemuanya penuh mengandung risiko pencemaran lingkungan hidup.

Apa artinya kelak jika Indonesia telah menjadi negara penghasil mesin-mesin, tetapi entah harus digerakkan dengan apa? Bahan bakar terancam akan habis. Pencemaran lingkungan hidup semakin hebat. Apa artinya pendapatan nasional atau per kapita tertinggi dunia, tetapi setiap nafas selalu dihantui kematian karena udara kotor. Masalah sekarang bagaimana kalau kelak Indonesia menjadi negara utama di dunia yang mampu menjadi negara pengekspor beras, gula, kopra, ikan asin, dan sebagainya. Semuanya merupakan bahan ekspor yang dapat diperbaharui.

Hujan Buatan

Dua pokok masalah mungkin dapat dijadikan hantu bagi bangsa Indonesia. Pertama, hasil pertanian termasuk masalah air, keduamasalah energi. Mungkin bangsa Indonesia akan bergembira kalau menteri Ristek Habibie dapat menjamin dalam beberapa tahun lagi Indonesia menjadi negara pengekspor beras, Indonesia akan menjadi negara agraris semi modern (dengan memperhitungkan tenaga manusia yang semakin banyak dan bukan dibunuh dengan tenaga mesin yang masih harus diimpor). Karena pertanian juga merupakan sumber penghasil energi (baca tulisan di Kompas, Minggu 8 Juni 1980, Kapan Kendaraan Bermotor di Indonesia Pakai Alkohol).

Dalam kaitannya dengan pertanian dan energi, penulis tertarik dengan suatu berita yang dimuat di harian Kompas. Pada halaman satu tertulis berita yang berjudul Hujan Buatan 1 m3 = Rp1. Dikemukakan oleh pejabat Dirut Perum Otorita Jatiluhur Ir. Muhammad Ulama, bahwa percobaan hujan buatan yang diadakan beberapa bulan yang lalu telah berhasil memasukkan air sebanyak 100 juta m3 untuk waduk Jatiluhur. Karena biaya pembuatan hujan itu hanya Rp100 juta, berarti untuk menghasilkan air hujan sebanyak satu meter kubik hanya satu rupiah. Dalam hal pelaksanaan hujan buatan tentu tak terlepas jasa Ir. M Subagio yang telah memperoleh dukungan penuh dari Prof. Habibie.

Bahkan beberapa minggu lalu, kelompok Ir. M Subagio telah berhasil menurunkan hujan buatannya untuk daerah pertanian di Lombok. Dengan kata lain, prospek pengembangan hujan buatan, bukan saja sangat penting artinya sektor pertanian, juga sangat penting bagi pengadaan air untuk pembangkit tenaga listrik atau energi (ibarat sekali mengayuh dayung dua tiga pulau terlampaui, efisien dan efektif, tapi kenapa malah ga pernah digunakan lagi atau dikembangkan ya?, Red).

Indonesia telah berusaha untuk melaksanakan diversifikasi energi, yaitu secara berangsur akan mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar minyak. Di antara energi yang akan dikembangkan yaitu batubara, panas bumi, kayu, energi surya, gas alam, mineral radioaktif dan yang lebih penting lagi yaitu tenaga air.

Dengan air segala kehidupan akan terjamin hidup panjang. Tentu air yang sehat, air yang terhindar dari segala rupa pencemaran. Musim panas yang terlalu panjang akan mengancam hasil pertanian akan menjadi kering. Pembangkitan tenaga listrik dengan tenaga air akan mati. Industri-industri kecil yang mengharapkan air juga terancam. Bahkan sumber energi panas bumi pun jika kehabisan air tak akan berarti sama sekali. Oleh karena itu, masuk akallah kalau proyek hujan buatan perlu dikembangkan, karena banyak kaitannya dengan pertanian dan energi.

Apalah arti waduk-waduk raksasa seperti Jatiluhur jika tak ada airnya. Oleh karena itu, pembuatan waduk-waduk perlu dilengkapi dengan usaha pelaksanaan pembuatan hujan. Terutama untuk masa musim kemarau yang terlalu panjang dan sangat kritis bagi segala kehidupan. Air sangat penting bagi segala kehidupan.

Air dan Energi

Pada waktu kereta api mulai dipakai, air sebagai sumber tenaga penggerak roda telah digunakan. Munculnya kereta api listrik, terutama listrik yang dibangkitkan dengan tenaga air, peranan air juga sangat penting. Beberapa tahun yang lalu terutama di Jakarta, sering terjadi mati listrik secara bergiliran (dan masih aja tuh hingga jaman teknologi digital laku bak kacang goreng, Red), karena tenaga listrik dari Jatiluhur sangat kritis. Musim kemarau yang panjang, air untuk pembangkit listrik sangat kritis. Lagi-lagi masalah air. Bahkan dalam Pelita III ini, terutama untuk kepentingan energi, tenaga air telah diperhitungkan (apa sekarang masih diperhitungkan? Selama bahan bakar minyak disubsidi sepertinya lebih enak menikmati jatah ‘kue’ yang sudah disediakan dibandingkan memerlukan umpan/kail untuk mendapatkan ikan, Red).

Tenaga air merupakan salah satu sumber energi untuk pembangkit listrik. Secara teoritis potensi tenaga air di seluruh Indonesia diperkirakan 31 ribu MW. Sedangkan pada 1977 kapasitas terpasang pusat listrik tenaga air (PLTA) baru mencapai 450 MW. Potensi tenaga air di dekat pusat-pusat konsumen seperti Pulau Jawa yang belum dimanfaatkan sekitar 2.000 MW. Sebelum 2000 diperkirakan seluruh potensi untuk P. Jawa itu telah dapat dimanfaatkan sekitar 4.000 MW. Suatu jumlah yang cukup besar untuk menggantikan bahan bakar minyak yang masih banyak digunakan. Walau tentu dengan catatan, bagaimana pengelolaan air itu. Bagaimana kalau musim kemarau yang panjang. Tentu jawabannya yang masuk akal, yaitu membangun waduk-waduk dan juga persiapan untuk pembuatan hujan.

Dilihat dari jumlah kebutuhan energi Indonesia pada 1980 ini, diperkirakan akan mencapai jumlah 34,176 juta ton ekuivalen batubara. Dari jumlah kebutuhan ini akan ditutup dari tenaga air sekitar 0,51 juta ton ekuivalen batubara. Pada 1984, kebutuhan energi bagi Indonesia akan mencapai 51,919 juta ton ekuivalen batubara. Dari jumlah ini akan dipenuhi dari tenaga air sekitar 1.084 ton ekuivalen batubara.

Dilihat dari pembangkitan tenaga listrik, ternyata peranan tenaga listrik, ternyata peranan tenaga air masih cukup besar. pada 1979 (untuk P. Jawa) kebutuhan energi untuk pembangkitan tenaga listrik mencapai jumlah 5.780 GWH. Secara prosentase penggunaan energi berupa tenaga air sebanyak 28 persennya dan sisanya minyak bumi. Pada 1980, ini kebutuhan energi sebanyak 7.005 GWH, dimana peranan tenaga air sebesar 25 persennya dan sisanya bahan bakar minyak. Pada 1985, kebutuhan energinya sebanyak 17.096 GWH, dimana penggunaan energinya dari tenaga air mencapai 29 persen, minyak 37 persen, panas bumi 1 persen dan batubara 33 persen.

Walau secara prosentase hingga 2000 pemakaian energi untuk pembangkitan tenaga listrik yang berasal dari tenaga air semakin kecil, tetapi secara jumlah energi yang dibangkitkan dari tenaga air semakin besar. hal ini mencerminkan bahwa potensi atau pemanfaatan tenaga air mungkin hanya sebesar itu (khusus P. Jawa).

Jumlah energi yang dibangkitkan dari tenaga air pada 1979 hanya 1.951 GWH, 1985 menjadi 4.920 GWH, pada 1993 menjadi 7.469 GWH hingga 2000 (khusus P. Jawa). Untuk di luar P. Jawa nampaknya direncanakan pemanfaatan tenaga air untuk listrik lebih besar lagi. Apabila pada 1978/79 sumber tenaga berupa minyak 88 persen dan tenaga air 12 persen, sedangkan pada 1990/91 dirubah menjadi minyak 53 persen, tenaga air meningkat menjadi 33,5 persen dan batubara hanya sekitar 13,5 persen. Dengan kata lain tenaga air masih memegang peranan terutama untuk pembangkitan tenaga listrik.

Jatiluhur dan Air

Waduk Jatiluhur berfungsi serbaguna. Pertama, berupa penyediaan air untuk air minum dan penggelontoran bagi DKI Jakarta dengan mas 14m3 per detik. Kedua, penyediaan air irigasi, untuk mengairi sawah seluas 260 ribu hektar sepanjang tahun. Ketiga, penyediaan tenaga listrik sekitar 810 juta kWh per tahun untuk DKI Jakarta dan Jawa Barat. Keempat, untuk pengendalian banjir. Kelima, pengembangan perikanan dan keenam untuk pengembangan kepariwisataan.

Air yang masuk ke waduk Jatiluhur sangat dipengaruhi dengan keadaan air yang berasal dari sungar Citarum yang luasnya sekitar 4.500 km2. Pada 1972 misalnya, merupakan tahun kering, air masuk sangat kurang sekali, sehingga pada bulan September dan Oktober berada di bawah garis terendah. Yang idealnya kalau air waduk di antara dua garis teratas. Jika terjadi tahun kering, maka terpaksa fungsi waduk Jatiluhur yang serbaguna itu menjadi kurang sempurna, karena air untuk irigasi hanya diberikan sebesar 90 persen dari kebutuhan.

Dilakukan pemberhentian produksi listrik bila permukaan air di bawah lubang pengambilan dari pipa pesat. Untuk itu, perlu dicarikan jalan keluar yaitu usaha pelaksanaan pembuatan hujan. Dari tanggal 1-16 November 1979 telah dilakukan percobaan hujan buatan yang ketiga di Das Citarum. Oktober mendatang (1980, Red) akan dilakukan kembali.

Jatiluhur dan Hujan Buatan

Hujan buatan pada bulan November 1979 itu di AM (waduk Juanda) ternyata telah menambah air sebanyak 118 juta m3, betapa besar manfaatnya jumlah itu bagi pembangkitan tenaga listrik dan pengairan. Didasarkan perhitungan, jika untuk menghasilkan 1 kWh listrik di PLTA Juanda dibutuhkan sekitar 5 m3, berarti dengan tambahan air hujan buatan sebanyak itu akan menghasilkan listrik sebesar 23,6 x 106kWh. Kalau tarif listrik hanya Rp20 per kWh, berarti dari hasil hujan buatan sebanyak itu akan menghasilkan nilai listrik seharga Rp472 juta.

Sedangkan bagi pengairan sudah jelas bermanfaat sekali. Dengan didasarkan perhitungan kebutuhan air untuk padi 10 ribu m3/ha/musim, maka dengan hasil air hujan buatan sebanyak 118 juta m3 dapat mengairi sawah seluas 11.800 ha/musim. Kalau setiap ha dapat menghasilkan 4 ton @ Rp125.000, maka dengan hasil hujan buatan sebanyak itu akan mendatangkan hasil dari padi sebesar Rp5.900 juta. Dengan kata lain, jika dihitung secara orang awam, kalau untuk menghasilkan hujan buatan Rp1 per m3, berarti dengan mengeluarkan biaya sebanyak Rp118 juta akan menghasilkan tenaga listrik dan juga padi yang banyak. Seperti, pada perhitungan tersebut di atas, Rp472 juta dari listrik dan hasil sawah sebesar Rp5.900 juta.

Dengan demikian berarti prospek hujan buatan bukan saja sangat penting artinya bagi pertanian termasuk kebutuhan air minum, tetapi juga pelaksanaan kebijaksaaan pemerintah dalam usaha diversifikasi energi. Terutama tenaga air untuk pembangkitan tenaga listrik. Tenaga air untuk pembangkitan tenaga listrik sudah pasti jauh lebih murah dibandingkan dengan bahan bakar minyak. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan kenaikan tarif listrik yang cukup memusingkan pikiran konsumen, seharusnya masyarakat dijelaskan. Khususnya di DKI Jakarta, apakah listriknya bahan bakar minyak, atau berapa besarnya tenaga listrik dari tenaga air Jatiluhur?

Apakah dengan tenaga air tarifnya harus naik setinggi itu? Yang pasti rencana perluasan produksi pemanfaatan tenaga listrik, terutama untuk masuk desa, kunci utamanya yaitu daya beli konsumen secara keseluruhan. Hal ini banyak dikaitannya dengan tingginya tarif dan besarnya pendapatan konsumen atau masyarakat itu sendiri, terutama dari kelompok rumah tangga (non-komersial). Apalagi jika diukur dengan garis kemiskinan.


Bachrawi Sanusi, Energi ASEAN Suatu Tantangan, 1982; Kompas, 3 Juli 1980.

Antara Migas, IGGI dan Cadangan Devisa

Kelompok antar pemerintah bagi Indonesia (Intergovernmental Group on Indonesia/IGGI) adalah sebuah kelompok internasional yang didirikan pada 1967, diprakarsai oleh Amerika Serikat untuk mengkoordinasikan dana bantuan multilateral kepada Indonesia. Anggota IGGI adalah Bank Pembangunan Asia, Dana Moneter Internasional, UNDP, Bank Dunia, Australia, Belgia, Britania Raya, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Selandia Baru, Swiss dan Amerika Serikat.

IGGI mengadakan pertemuan pertamanya pada 20 Februari 1967 di Amsterdam. Indonesia saat itu diwakili Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dari 1967 hingga 1974, IGGI mengadakan dua kali pertemuan setiap tahunnya, namun sejak 1975, pertemuan hanya diadakan sekali dalam setahun karena perkembangan ekonomi Indonesia yang membaik. Bantuan awal IGGI adalah dalam penyusunan program rencana lima tahun Indonesia, Repelita I (1969-1973) dan pendanaan 60 persen darinya.

Pada Maret 1992, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa dana bantuan IGGI akan ditolak jika organisasi tersebut masih diketuai Belanda. IGGI kemudianpun digantikan Consultative Group on Indonesia (CGI). Keputusan ini juga terjadi setelah Ketua IGGI, Jan Pronk, mengecam tindakan Indonesia terhadap pembunuhan para pengunjuk rasa di Timor Timur pada 1991 (Pembantaian Santa Cruz/Insiden Dili).

Wajar Penggunaan Pinjaman Sebaik Mungkin

Semua instansi pemerintah dan lembaga yang berwewenang diminta agar memanfaatkan semaksimal mungkin pinjaman yang diperoleh dari IGGI, demikian pula bantuan lainnya serta dana murni rupiah. Karena itu, langkah-langkah untuk melancarkan pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai dari pinjaman itu, perlu lebih ditingkatkan lagi. “Jangan sampai kita meminjam tapi pelaksanaannya terlambat karena tindakan kita,” ujar Presiden Soeharto yang disampaikan dalam sidang Kabinet Terbatas bidang Ekuin di Bina Graha (Kompas, 7 Juni 1984).

Suatu harapan yang sangat bijaksana, apalagi datangnya dari harapan Presiden yang selalu memikirkan usaha serta keberhasilan pembangunan Indonesia dari berbagai bidang. Apalagi jika sumber pembiayaan pembangunan yang berupa investasi itu berasal dari luar negeri. Terutama yang menyangkut pinjaman luar negeri, baik pinjaman pemerintah maupun pinjaman perusahaan pemerintah. Baik pinjaman yang berasal dari IGGI maupun yang di luar IGGI.

Walaupun hingga kini, bangsa Indonesia masih bisa berbangga karena masih dipercaya oleh negara-negara yang memberikan pinjaman (ngarep malahan, Red). Tetapi di balik itu, apapun namanya pinjaman, baik pinjaman sifatnya lunak, apalagi yang cukup berat, akhirnya juga secara berangsur-angsur pinjaman itu harus dikembalikan bersamaan dengan bunganya, bersamaan dengan semakin meningkatnya kebutuhan investasi dalam negeri demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang diharapkan (intinya, dikembalikan ya, namanya juga pinjaman, tapi hasil pinjamannya apa? Lalu siapa yang harus mengembalikan pinjamannya?, Red). Tentu akan lain lagi kalau investasi itu berasal dari hasil Indonesia sendiri.

Hasil dari dalam negeri sendiri yang merupakan hasil dari ekspor yang melimpah ruah. Seperti halnya negara-negara OPEC kaya minyak yang sekarang terancam suram, karena ikut meramaikan perang antara Irak dan Iran di Teluk Parsi (dan sekarangpun Indonesia tidak ikut meramaikan perang, nasib ekspornya sudah suram, Red).

Mungkin pinjaman dari luar negeri dari manapun asalnya semakin terasa penting bagi Indonesia. Apalagi, jika diingat belakangan ini hasil ekspor dari minyak bumi Indonesia mengalami penurunan yang cukup memprihatikan. Bukan saja sebagai akibat umum keadaan dunia yang dinamakan resesi yang berkepanjangan, tetapi yang lebih dekat lagi karena sejak bulan Maret 1982 OPEC melaksanakan kebijaksanaan penurunan tingkat produksinya hanya pada batas 17,5 juta barel per hari (bph). Walau kemampuan produksinya bisa mencapai 32,2 juta bph (PIW-April 16, 1984).

Dalam hubungannya dengan penekanan produksi minyak OPEC itu memang di satu pihak diharapkan ekspor minyak OPEC anjlok sehingga akan mempengaruhi jumlah minyak yang dipasarkan di dunia. Akibatnya, diharapkan minimal bisa mempertahankan tingkat harga minyak OPEC. Di lain pihak secara teoritis mungkin timbul pertanyaan bagaimana dengan biaya produksi yang dikeluarkan OPEC. Apakah biayanya sama antara produksi 17,5 juta bph dan 32,2 juta bph? Terutama yang menyangkut biaya-biaya pemeliharaan dan juga biaya-biaya untuk tenaga kerja di negara-negara OPEC. Tetapi yang penting memang pasaran minyak dunia banjir. Kalau harga mau bertahan peranan OPEC sejak 1982 itu masih belum mampu mempertahankan harga minyaknya yang sudah mencapai US$34 per barel. Malah setahun kemudian, yaitu sejak Maret 1983 harga minyak OPEC diturunkan menjadi US$29 per barel (hmm, asyik ya bisa menaikkan dan menurunkan harga minyak, Red).

Rupanya kebijaksanaan OPEC dalam usaha menekan produksi hingga 17,5 juta bph masih belum mampu untuk menguasai pasaran minyak di dunia. Masalahnya minyak dari non OPEC semakin berkembang pesat (jadi selama ini adalah persaingan antar negara yang tergabung OPEC dan non OPEC? Mengingat negara non OPEC pada dasarnya bisa memproduksi minyak dan gas bumi sendiri, tapi belum mencukupi kebutuhan domestiknya, sehingga masih perlu impor, Red).

Sebagai gambaran penulis mengambil misal tingkat produksi OPEC tertinggi sejak sebelumnya, yaitu terjadi pada 1977 yang mencapai 11.413.025 ribu barel. Produksi minyak dunia seluruhnya pada 1977 mencapai jumlah 22.607.000 ribu barel. Yang berarti pada 1977 peranan dari produksi minyak OPEC lebih dari 50 persen produksi minyak dunia. Bisa dibandingkan dengan keadaan pada 1982 produksi minyak OPEC sebesar 6.751.708 ribu barel sedangkan produksi minyak dunia mencapai jumlah 20.136.000 ribu barel. Yang berarti pada 1982 peranan minyak dari OPEC hanya 33,5 persen. Ini membuktikan bahwa kebangkitan minyak dari non OPEC cukup meyakinkan. (P.E., March, 1984).

Itu jika dilihat hanya dari segi permainan angka produksi minyak OPEC dan minyak dunia. Tentu yang lebih menentukan lagi merosotnya jumlah minyak dunia yang diminta karena munculnya energi lain termasuk juga peningkatan pemanfaatan gas alam, nuklir, batubara. Bahkan di negara-negara berkembang mulai bermunculan energi listrik dengan panas bumi dan sebagainya. Belum lagi penentu kunci negara pengimpor minyak yang berupa penghematan penggunaan energi minyak bumi (negara pengimpor minyak melakukan penghematan, Indonesia lupa kalau sudah tidak bisa lagi melakukan ekspor minyak atau sudah termasuk negara pengimpor minyak sejak 2003, tapi komoditi satu ini masih juga jadi bahan perdebatan untuk penerimaan negara, apalagi kalau hasilnya kecil atau menurun, wuahyang di bilangan Senayan pasti koar-koar‘jatahnya mengecil’, Red) dan yang lebih sulit dibuat model dalam teori perhitungan matematika atau ekonometri, yaitu kebijaksanaan negara pengimpor yang berusaha pilih kasih mengimpor dari OPEC ke non OPEC, malah lebih parah lagi adanya proteksi.

Hal ini bisa terjadi karena pengaruh adanya perbedaan warna politik antara anggota OPEC itu sendiri yang buktinya terjadi peperangan antar anggota OPEC dalam arti perang berdarah, bukan perang mutu atau harga minyak. Keadaan demikianlah yang terpaksa memojokkan OPEC harus berbuat menurunkan tingkat produksinya yang berarti ada peluang baik bagi non OPEC, kemudian disusul dengan penurunan harga minyak OPEC.

Pengaruh Resesi Ekonomi Dunia

Sengaja penulis menganggap pengaruh resesi ekonomi dunia terutama yang melanda ekonomi negara maju atau industri bukan sebagai akibat dekat. Karena bagaimana pun resesi ekonomi dunia yang melanda negara maju atau industri bila direnungkan sebagian disebabkan karena melonjaknya harga minyak dunia terutama dari OPEC, sehingga industri atau pabrik-pabrik yang sangat tergantung akan energi terutama minyak bumi terpaksa banyak yang menurunkan produksinya seperti halnya OPEC hingga kini. Atau banyak pabrik atau industri yang terpaksa tutup yang pada akhirnya menjadi masalah besar, yaitu tingkat pengangguran yang cukup tinggi. Jika ekonomi negara industri menjadi suram pasti dampak negatifnya, akan menimpa kepada negara-negara bekembang. Bahkan berpengaruh besar terhadap hasil devisa negara-negara pengekspor minyak terutama OPEC (ini yang dinamakan multiplier effect, Red).

Perkembangan dunia ekonomi yang cukup pahit itu akhirnya juga membawa dampak yang kurang menyenangkan bagi neraca perdagangan maupun neraca pembayaran Indonesia. Sekaligus cukup menggoyahkan cadangan devisa Indonesia. Oleh karena itu, memang harus diakui para pengelola dan perencana ekonomi Indonesia cukup pusing juga. Karena pembangunan harus jalan terus. Karena makin tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai, besarnya investasi yang dibutuhkan juga harus makin besar. Juga tabungan dalam negeri yang harus dimobilisir untuk pembiayaan pembangunan juga harus semakin besar juga.

Kalau saja tabungan dalam negeri sulit ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan investasi, tentu masih ada jalan lain yang mungkin kurang enak dibaca dan kurang enak didengar, yaitu dengan cara usaha peningkatan pemasukan modal dari luar negeri guna membiayai sebagian dari investasi yang dibutuhkan itu. Pemasukan modal dari luar negeri atau capital inflow tersebut juga ditentukan oleh besarnya penanaman modal asing dan besarnya pinjaman luar negeri. Batas besarnya pinjaman luar negeri juga sangat ditentukan oleh kemampuan dari hasil ekspor. Nah, kalau gambaran hasil devisa dari migas belum cerah, begitu juga devisa dari non migas masih saja terus digalakkan, tetapi pinjaman dari luar negeri seperti dari IGGI untuk 1984/1985 Indonesia bisa memperoleh US$2,4 miliar adalah wajar kalau disebut suatu kepercayaan dan juga kebanggaan.

Di samping usaha peningkatan ekspor terutama dari non migas harus terus ditingkatkan terus dan pemanfaatannya harus seefektif dan seefisien mungkin. Karena harus diingat segala pinjaman darimanapun akhirnya juga akan menyangkut kehidupan anak cucu. Memang kalau bisa mungkin lebih baik mewariskan sebuah pabrik besar dengan seluruhnya modal sendiri dibandingkan kalau sebagian modal yang tertanam dalam pabrik itu berasal dari pinjaman. Walau harus diakui dengan mewariskan suatu pabrik besar yang modalnya sebagian berasal dari hutang, berarti si ahli waris harus bekerja lebih keras lagi. Di satu pihak si penerima warisan harus mampu meningkatkan produksinya, di lain pihak harus mampu membayar hutangnya tanpa mengganggu pertumbuhan pabrik itu sendiri.

Pengaruh Terhadap Cadangan Devisa

Dalam tulisan bukan maksud penulis akan mengungkapkan kemungkinan adanya kerawanan terhadap cadangan devisa sebagai akibat dari merosotnya dari hasil ekspor migas (minyak dan LNG), atau kemungkinan beralihnya kepada usaha meningkatkan pinjaman dari luar negeri seperti IGGI. Tetapi hanya sekedar menunjukkan angka-angka perkembangan dari hasil migas, besarnya pinjaman IGGI dan juga perkembangan cadangan devisa. Terutama yang bisa dibaca lewat tabel-tabel yang disuguhkan pada buku Nota Keuangan 1984/1985, maupun Laporan Tahunan Pembukuan Bank Indonesia 1982/1983.

Yang mungkin sering menjadi soroton serta spekulasi pada ahli dan pengamat ekonomi bahwa kemerosotan cadangan devisa bisa menimbulkan tindakan devaluasi. Suatu tindakan yang mungkin kurang enak dirasakan terutama bagi mereka yang berpenghasilan tetap seperti pegawai atau buruh. Kemerosotan cadangan devisa bisa mempengaruhi jumlah kemampuan impor akan turun juga. Apalagi jika akan mengancam impor barang-barang modal atau bahan baku bagi pembangunan. Dengan cadangan devisa itu pula bisa dijadikan bahan permainan untuk penentuan kurs devisa yang bisa mempengaruhi impor dan ekspor, tentu lewat devaluasi lagi.

Bicara soal migas, IGGI dan cadangan devisa. Bicara masalah migas tentu akan tertuju kepada neraca perdagangan yang menyangkut perbandingan antara nilai ekspor dan nilai impor barang dan jasa. Bicara masalah IGGI dan cadangan devisa tidak bisa lepas dengan neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Neraca pembayaran merupakan perbandingan atau selisih antara nilai ekspor dan nilai impor barang dan jasa ditambah dengan lalu lintas devisa. Baik devisa yang berasal dari modal asing, atau bantuan luar negeri (pinjaman) atau dari dana SDR (special drawing right) yang berhak ditarik dari IMF selaku anggota.

Secara kasarnya, jika neraca perdagangan menghasilkan angka plus dan pemasukan modal dari luar negeri plus, maka cadangan devisa bertambah. Jika neraca perdagangan minus, sedangkan pemasukan modal dari luar negeri plus, maka cadangan devisa bisa plus lebih besar dari minusnya neraca perdagangan, yang berarti cadangan devisa bertambah. Bisa juga, kalau plusnya lebih kecil daripada minusnya neraca perdagangan, maka cadangan devisa berkurang. Oleh karena itu, tidak selamanya neraca perdagangan yang minus atau defisit akan adanya kecenderungan cadangan devisa berkurang, kalau ternyata modal dari luar negeri (pinjaman, modal asing dan SDR) masih menunjukkan plus yang besar (waduh, bisa-bisa malah jadi lebih senang pinjam-meminjam dong, tapi perlu diingat kalau pinjaman itu harus dikembalikan dan yang menanggung bebannya pewaris generasi selanjutnya, Red).

Kalau sudah bicara masalah neraca perdagangan barang dan jasa berarti peranan migas sangat besar. bicara masalah modal dari luar negeri, terutama pinjaman luar negeri dari IGGI cukup meyakinkan. Jika semuanya menunjukkan angka plus, bahagialah untuk cadangan devisanya.

Khusus peranan migas dalam neraca perdagangan (transaksi berjalan) menunjukkan angka yang terus meningkat apabila pada 1969/70 hanya US$92 juta, maka pada 1973/74 menjadi US$641 juga, pada 1975/76 nauk terus menjadi US$3.138 juta, pada 1977/78 US$4.445 juta, pada 1981/82 naik terus menjadi US$10.452 juta (Nota Keuangan 1984/85).

Perkembangan pinjaman dan bantuan IGGI (bantuan program dan bantuan proyek) pada 1978/79 sebesar US$1.674 juta, 1979/80 US$2.237 juta, 1980/81 US$2.406 juta, 1981/82 US$2.415 juta, dan 1982/83 US$2.905 juta (BI Laporan Tahunan Pembukuan 1982/83).

Perkembangan cadangan devisa yang 1969/70 dan 1970/71 masing-masing berkurang US$43 juta dan US$18 juta, maka pada 1971/72 bertambah bertambah sebesar US$100 juta, 1972/73 bertambah US$425 juta, 1973/74 bertambah US$360 juta, 1974/75 dan 1975/76 masing-masing US$9 juta dan US$364 juta, 1976/77 bertambah lagi sebesar US$1.001 juta, 1977/78 bertambah US$651 juta, 1978/79 bertambah US$708 juta, 1979/80 bertambah US$1.690, 1980/81 bertambah US$2.736 juga dan pada 1981/82 dan 1982/83 masing-masing berkurang US$988 juta dan US$3.279 juta. 1983/84 diperkirakan bertambah US1.711 juta.

Kalau saja dalam Pelita I-III yang diambil pertambahan cadangan devisa tertinggi, yaitu yang terjadi pada 1980/81 sebesar US$2.706 juta maka peranan dari migas, IGGI dalam menunjang pertambahan cadangan devisa bisa terlihat data sebagai berikut, pada 1980/81 Neraca Perdagangan barang dan jasa (transaksi berjalan) mengalami angka plus sebesar US$439 juta (angka ini berasal dari peranan migas yang plus US$9.089 juta dan yang tanpa migas minus US$8.650 juta). SDR terdapat angka plus US$62 juta. Pemasukan Modal Pemerintah juga plus sebesar US$2.698 juta (terbesar berasal dari pinjaman/bantuan IGGI sebesar US$2.406 juta). Lalu lintas modal lainnya minus US$361 juta. Pembayaran hutang minus US$617 juta.

Keseluruhannya berjumlah US$2.221 juta (US$439 + US$62 + US$2.698 – US$361 – US$617 jutaan). Selisih yang belum dapat diperhitungkan menunjukkan angka plus US$515 juta. Sedangkan jumlah Lalu Lintas Moneternya minus angka US$2.736 juta. Ini berarti bahwa cadangan devisa Indonesia pada 1980/81 bertambah sebesar US2.736 juta.

Dari gambaran angka tersebut jelas sekali betapa eratnya hubungan antara migas dan IGGI terhadap perkembangan cadangan devisa. Oleh karena itu adalah wajar dalam keadaan devisa dari migas tetap murung dan devisa dari non migas masih digalakkan terus, maka peranan dari bantuan atau pinjaman luar negeri terutama dari IGGI masih sangat dibutuhkan. Di satu pihak Indonesia berhasil menambah hutangnya dari IGGI, di lain pihak sektor-sektor yang akan memanfaatkan pinjaman itu harus lebih efektif dan efisien. Penggunaannya harus sebaik mungkin.


Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi Mengubah Ekonomi Dunia, 1985.