6 Komoditas Pangan Strategis Masih Jadi Mainan Kartel

Kamar Dagang dan industri (Kadin) Indonesia menyebutkan bahwa potensi kartel untuk 6 komoditas pangan strategis mencapai Rp 11,34 trilyun. Kadin juga telah meminta kepada pemerintah untuk merombak tata niaga impor nasional yang disebabkan karena adanya ketidakseimbangan antara supply dan demand sehingga rentang dengan spekulasi dan kartel.

“Nilai potensi kartel yang mencapai Rp 11,34 ini belum termasuk dengan komoditas lainnya yang juga berpengaruh pada tata niaga pangan” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog Natsir Mansyur  (10/9/2013).

Bila dirinci, perkiraan kebutuhan konsumsi nasional dengan nilai potensi kartel bisa diperkirakan, kebutuhan daging sapi yang mencapai 340 ribu ton nilai kartelnya diperkirakan mencapai Rp 340 milyar, daging ayam 1,4 juta ton mencapai Rp 1,4 trilyun, gula 4,6 juta ton mencapai Rp 4,6 trilyun, kedelai 1,6 juta ton mencapai Rp 1,6 trilyun,  jagung 2,2 juta ton mencapai Rp 2,2 trilyun dan beras impor 1,2 juta ton kartelnya diperkirakan mencapai Rp 1,2 trilyun.

Menurut Natsir, gambaran seperti itu diakibatkan karena penataan manajemen pangan nasional yang sangat lemah dari aspek produksi,distribusi dan perdagangannya.  Kadin mengapresiasi kinerja KPPU dalam memberantas praktek kartel pangan ini. Menurut dia, Kemendag-Kementan-DPR harus ikhlas menyerahkan persoalan itu ke proses hukum. 

“Kami berharap KPK, BPK, Kejaksaan menindak lanjuti temuan KPPU ini,  sebenarnya Menteri Perdagangan dan Menteri  Pertanian tidak perlu panik di dalam memanaje pangan strategis ini mulai dari produksi, distribusi, dan perdagangannya asal mereka tegas konsisten tidak hanya berwacana,” ujar Natsir.

Dia menilai, dengan melihat kondisi sekarang  itu 6 komoditas strategis ini masih barang mainan pelaku kartel yang dibarengi ketidak konsistenan kebijakan pangan strategis oleh Mendag dan Mentan, sehingga akhirnya berdampak kepada rakyat.

“Akibat turbulensi kebijakan pangan ini, kita tidak bisa berharap banyak dari DPR Komisi VI dan IV karena DPR sendiri hanya bisa sebatas himbauan saja kepada pemerintah, tidak ada punishment anggaran bagi kementerian yang main-main terhadap persoalan pangan,” kata Natsir.

Menurut dia, kartel pangan ini dapat dicegah apabila pemegang otoritas pangan strategis ini tidak bermain 2 kaki. “Ya kalau perlu ada Perpres Bulog tunggal tangani 6 komoditas pangan ini. Kalau terus dibiarkan seperti ini, dari tahun ke tahun iya bakal terus begini karena pemainnya 2 kaki,” pungkas Natsir.

Hutan (Tak Lagi) Lindung

terkurung,
seakan tidak ada yang boleh mengetahui keberadaannya


Hutan lindung adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi, agar fungsi-fungsi ekologisnya, terutama menyangkut tata air dan kesuburan tanah, tetap dapat berjalan dan dinikmati manfaatnya oleh masyarakat di sekitarnya. Undang-undang RI No. 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan,

“Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah”

Dari pengertian di atas tersirat bahwa hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan hujan, di sepanjang aliran sungai bilamana dianggap perlu, di tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan bakau), dan tempat-tempat lain sesuai fungsi yang diharapkan.

Mungkin bagi masyarakat perkotaan tidak mungkin memiliki hutan lindung. Ternyata tidak demikian, ibu kota Indonesia yaitu DKI Jakarta punya hutan lindung. Hanya saja keberadaannya tidak pernah ada yang mengetahui, atau memang disengaja supaya tidak ada yang tahu agar manfaat untuk masyarakat sekitarnya tidak dapat dirasakan dan tenggelam dengan paradigma hutan lindung tidak akan pernah ada di perkotaan.

Sekitar 11 hari setelah pertama kali saya berkunjung ke Taman Wisata Alam Angke Kapuk yang juga, katanya, sebagai Pusat Pendidikan Konservasi dan Lingkungan Suaka Margasatwa Muara Angke (lihat Tenggelam Lebih Cepat). Kembali saya diajak seorang teman, kali ini bersama Welly, melihat kondisi Kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk yang letaknya tidak jauh dari lokasi pertama.

Terkurung dan Terabaikan

Awalnya, saya pikir kondisi sama dengan hutan mangrove lainnya, tapi letak hutan lindung ini benar-benar diluar dugaaan. Sebab, menuju lokasinya tanpa disadari harus melalui kompleks perumahan, yang mungkin nilainya bisa milyaran rupiah, dan ternyata terdapat hutan lindung seperti sedang dikurung. Kondisinya pun terabaikan, seakan hutan tersebut dibiarkan tak terawat sehingga gambaran hutan hijau nan lebat tidak pernah berwujud. Padahal, mereka berguna sebagai wilayah penangkap air, tak heran bila daerah Jakarta Utara sulit sekali air bersih.


Seakan menunggu bom waktu yang akan meledak, hutan lindung itu bisa saja lenyap begitu saja. Belum lagi, sampah kiriman terbawa dari arus laut menumpuk di dalam hutan tersebut. Beberapa gambar dapat dilihat di kumpulan foto Hutan (Tak Lagi) Lindung. Tak perlulah menunggu suatu kebijakan atau langkah birokrat setempat agar dapat membenahi dan menyelamatkan hutan lindung, dengan memulainya dari diri sendiri untuk tidak membuang sampah sembarangan bisa menjadi satu langkah menghidupkan kembali hutan.

Bayangkan bila hutan tersebut tidak ada, maka permukaan laut akan semakin tinggi tidak ada yang mampu menahannya, sehingga mengakibatkan banjir tiba-tiba tanpa adanya hujan. Dalam waktu 5 tahun terakhir saja permukaan air laut sudah naik 1-2 meter, yang dulu pernah menjadi daratan kini sudah tergenang air. Beberapa mangrove berusaha menahan arus laut, tapi karena kesuburan tanah terganggu akibat tumpukan sampah sehingga banyak yang tumbang, dan bibit mangrove tidak mampu tumbuh karena pernapasannya tertutup lautan sampah.

Beruntung saya masih bisa melihat sekelompok monyet ekor panjang yang bertahan di hutan itu, bila mereka bisa bicara mungkin pertanyaan yang terlontar adalah “akankah kami digusur?”. Sungguh kasihan, asupan makanan yang mereka dapatkan tak lain dari mengais tumpukan sampah tadi. Ntah, berapa lama lagi hutan lindung ini dapat bertahan, padahal hutan ini akan menjadi warisan dari generasi ke generasi.

Tak mengenalnya maka tak sayang, tidak perlu jauh-jauh melihat dan mendatangi rumput tetangga sebelah, hutan ini ada di depan mata, di daerah dimana kita berpijak. Bila bukan dimulai dari sekarang, kelak yang menanggung kelalaian kita dalam menjaga keasrian alam adalah anak cucu kita.

Pada saatnya nanti. Tak bisa bersembunyi. Kitapun menyesali, kita merugi -Efek Rumah Kaca / Pandai Besi-


Sekolah Tidak Sekolah

sewaktu saya mengajar, prihatin ketika menghadapi bahwa ada orangtua tidak mengizinkan anaknya sekolah. umumnya alasan biaya selalu menjadi argumentasi, sepintas saya kecewa dengan pemikiran tersebut. tapi…

beda, ketika saya bertemu seorang pengusaha yang cukup sukses, sebut saja namanya Mr. X dan memiliki 3 anak, namun tak satupun anaknya menyentuh jenjang sekolah menengah…

padahal kondisi keuangan Mr. X sangat berkecukupan dan bisa dikategorikan menengah ke atas. lalu alasan apa tidak menyekolahkan anak-anaknya hingga capai perguruan tinggi?...

Mr. X menjelaskan, saya tanyakan ke anak-anak “kalian mau jadi apa sudah besar nanti?”, mereka menjawab “jadi pengusaha”, kemudian saya tanya “perlu sekolah berapa lama, supaya kamu jadi pengusaha?”…

mereka jawab “sampai tidak ada guru yang bisa mengajarkan saya”. terjadilah, anak pertama sekolah hingga 3 SMP, anak kedua 1 SMP, dan bungsu 5 SD. ada apa dibenak keluarga ini?...

Mr. X bilang, mereka berhenti atas kemauan masing-masing, saya tidak paksa untuk lanjut sekolah, karena semuanya mau jadi pengusaha, yang mana tidak perlu teori hapalan, tapi…

harus belajar kemauan kerja keras menghadapi kenyataan hidup sebenarnya dengan lingkungan di sekitar mereka. mereka berhenti karena yang mengajarnya sudah tidak sepaham…

setidaknya, kata Mr. X, mereka tidak buta huruf, kemampuan yang lainnya bisa dilatih berdasarkan kemampuan mereka dan ternyata mereka sendiri menemukan caranya masing-masing…

Mr. X bilang, bagi keluarga saya jadi pengusaha tidak perlu gelar, lain cerita bila anak-anak ternyata ingin jadi salah satu profesi, seperti dokter, arsitek, dan profesi lainnya yang butuh gelar…

begitu drastisnya perbedaan yang saya hadapi, antara orangtua yang tidak mengizinkan anak untuk sekolah dengan orangtua yang mengizinkan anak untuk tidak bersekolah…

seakan dunia terbalik, tapi begitu menyimak penjelasan Mr. X ada benarnya, karena beban sekolah bukan hanya dari keuangan, tapi yang menjalankan saat di sekolah…

hingga Mr. X bilang, ketahui dahulu cita-cita anak saat dewasa nanti mau jadi apa, di saat itulah sebagai orangtua mempersiapkan kebutuhan anak, bukan sebaliknya…