Hutan (Tak Lagi) Lindung

terkurung,
seakan tidak ada yang boleh mengetahui keberadaannya


Hutan lindung adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi, agar fungsi-fungsi ekologisnya, terutama menyangkut tata air dan kesuburan tanah, tetap dapat berjalan dan dinikmati manfaatnya oleh masyarakat di sekitarnya. Undang-undang RI No. 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan,

“Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah”

Dari pengertian di atas tersirat bahwa hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan hujan, di sepanjang aliran sungai bilamana dianggap perlu, di tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan bakau), dan tempat-tempat lain sesuai fungsi yang diharapkan.

Mungkin bagi masyarakat perkotaan tidak mungkin memiliki hutan lindung. Ternyata tidak demikian, ibu kota Indonesia yaitu DKI Jakarta punya hutan lindung. Hanya saja keberadaannya tidak pernah ada yang mengetahui, atau memang disengaja supaya tidak ada yang tahu agar manfaat untuk masyarakat sekitarnya tidak dapat dirasakan dan tenggelam dengan paradigma hutan lindung tidak akan pernah ada di perkotaan.

Sekitar 11 hari setelah pertama kali saya berkunjung ke Taman Wisata Alam Angke Kapuk yang juga, katanya, sebagai Pusat Pendidikan Konservasi dan Lingkungan Suaka Margasatwa Muara Angke (lihat Tenggelam Lebih Cepat). Kembali saya diajak seorang teman, kali ini bersama Welly, melihat kondisi Kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk yang letaknya tidak jauh dari lokasi pertama.

Terkurung dan Terabaikan

Awalnya, saya pikir kondisi sama dengan hutan mangrove lainnya, tapi letak hutan lindung ini benar-benar diluar dugaaan. Sebab, menuju lokasinya tanpa disadari harus melalui kompleks perumahan, yang mungkin nilainya bisa milyaran rupiah, dan ternyata terdapat hutan lindung seperti sedang dikurung. Kondisinya pun terabaikan, seakan hutan tersebut dibiarkan tak terawat sehingga gambaran hutan hijau nan lebat tidak pernah berwujud. Padahal, mereka berguna sebagai wilayah penangkap air, tak heran bila daerah Jakarta Utara sulit sekali air bersih.


Seakan menunggu bom waktu yang akan meledak, hutan lindung itu bisa saja lenyap begitu saja. Belum lagi, sampah kiriman terbawa dari arus laut menumpuk di dalam hutan tersebut. Beberapa gambar dapat dilihat di kumpulan foto Hutan (Tak Lagi) Lindung. Tak perlulah menunggu suatu kebijakan atau langkah birokrat setempat agar dapat membenahi dan menyelamatkan hutan lindung, dengan memulainya dari diri sendiri untuk tidak membuang sampah sembarangan bisa menjadi satu langkah menghidupkan kembali hutan.

Bayangkan bila hutan tersebut tidak ada, maka permukaan laut akan semakin tinggi tidak ada yang mampu menahannya, sehingga mengakibatkan banjir tiba-tiba tanpa adanya hujan. Dalam waktu 5 tahun terakhir saja permukaan air laut sudah naik 1-2 meter, yang dulu pernah menjadi daratan kini sudah tergenang air. Beberapa mangrove berusaha menahan arus laut, tapi karena kesuburan tanah terganggu akibat tumpukan sampah sehingga banyak yang tumbang, dan bibit mangrove tidak mampu tumbuh karena pernapasannya tertutup lautan sampah.

Beruntung saya masih bisa melihat sekelompok monyet ekor panjang yang bertahan di hutan itu, bila mereka bisa bicara mungkin pertanyaan yang terlontar adalah “akankah kami digusur?”. Sungguh kasihan, asupan makanan yang mereka dapatkan tak lain dari mengais tumpukan sampah tadi. Ntah, berapa lama lagi hutan lindung ini dapat bertahan, padahal hutan ini akan menjadi warisan dari generasi ke generasi.

Tak mengenalnya maka tak sayang, tidak perlu jauh-jauh melihat dan mendatangi rumput tetangga sebelah, hutan ini ada di depan mata, di daerah dimana kita berpijak. Bila bukan dimulai dari sekarang, kelak yang menanggung kelalaian kita dalam menjaga keasrian alam adalah anak cucu kita.

Pada saatnya nanti. Tak bisa bersembunyi. Kitapun menyesali, kita merugi -Efek Rumah Kaca / Pandai Besi-


Sekolah Tidak Sekolah

sewaktu saya mengajar, prihatin ketika menghadapi bahwa ada orangtua tidak mengizinkan anaknya sekolah. umumnya alasan biaya selalu menjadi argumentasi, sepintas saya kecewa dengan pemikiran tersebut. tapi…

beda, ketika saya bertemu seorang pengusaha yang cukup sukses, sebut saja namanya Mr. X dan memiliki 3 anak, namun tak satupun anaknya menyentuh jenjang sekolah menengah…

padahal kondisi keuangan Mr. X sangat berkecukupan dan bisa dikategorikan menengah ke atas. lalu alasan apa tidak menyekolahkan anak-anaknya hingga capai perguruan tinggi?...

Mr. X menjelaskan, saya tanyakan ke anak-anak “kalian mau jadi apa sudah besar nanti?”, mereka menjawab “jadi pengusaha”, kemudian saya tanya “perlu sekolah berapa lama, supaya kamu jadi pengusaha?”…

mereka jawab “sampai tidak ada guru yang bisa mengajarkan saya”. terjadilah, anak pertama sekolah hingga 3 SMP, anak kedua 1 SMP, dan bungsu 5 SD. ada apa dibenak keluarga ini?...

Mr. X bilang, mereka berhenti atas kemauan masing-masing, saya tidak paksa untuk lanjut sekolah, karena semuanya mau jadi pengusaha, yang mana tidak perlu teori hapalan, tapi…

harus belajar kemauan kerja keras menghadapi kenyataan hidup sebenarnya dengan lingkungan di sekitar mereka. mereka berhenti karena yang mengajarnya sudah tidak sepaham…

setidaknya, kata Mr. X, mereka tidak buta huruf, kemampuan yang lainnya bisa dilatih berdasarkan kemampuan mereka dan ternyata mereka sendiri menemukan caranya masing-masing…

Mr. X bilang, bagi keluarga saya jadi pengusaha tidak perlu gelar, lain cerita bila anak-anak ternyata ingin jadi salah satu profesi, seperti dokter, arsitek, dan profesi lainnya yang butuh gelar…

begitu drastisnya perbedaan yang saya hadapi, antara orangtua yang tidak mengizinkan anak untuk sekolah dengan orangtua yang mengizinkan anak untuk tidak bersekolah…

seakan dunia terbalik, tapi begitu menyimak penjelasan Mr. X ada benarnya, karena beban sekolah bukan hanya dari keuangan, tapi yang menjalankan saat di sekolah…

hingga Mr. X bilang, ketahui dahulu cita-cita anak saat dewasa nanti mau jadi apa, di saat itulah sebagai orangtua mempersiapkan kebutuhan anak, bukan sebaliknya…


Berbagi Pengetahuan dengan Kesederhanaan

Berawal dari surat elektronik (email) yang saya baca di suatu mailist pada awal bulan Mei 2013, surat itu berisikan ajakan untuk menjadi pengajar di suatu sekolah dalam kurun waktu 1 hari. Saya sempat penasaran, bukan karena sekolah yang akan diajar nanti berada di sebuah pulau yang cukup dikenal di seluruh mancanegara, yaitu pulau yang disebut Pulau Dewata (Bali), namun saya bertanya dalam diri sendiri.

“Apakah mungkin seseorang yang tidak memiliki pengalaman mengajar bisa menjadi guru di sekolah?”

Akhirnya, saya membuka websiteyang tertera dalam surat itu, www.kelasinspirasi.org, pada halaman pertama terdapat penjelasan singkat mengenai tujuan akan Kelas Inspirasi (KI) dan beberapa kegiatan KI bersama Indonesia Mengajar (IM) yang pernah dilakukan sejak 2012. Saat itu juga, saya mengetahui anak murid yang diajarkan adalah tingkat Sekolah Dasar (SD). Sesaat, pertanyaan saya masih belum dapat terjawab, karena setiap anak murid yang dihadapi pastinya memiliki tingkat emosional yang sulit diterka, dibandingkan mengajar tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) ataupun Sekolah Menengah Atas (SMA), yang mana bentuk kepribadiannya sudah terfokus.

Saya mulai merasakan tantangan yang akan dihadapi nanti. Padahal, saya sama sekali tidak punya latar belakang mengajar. Sebab, mengajar tingkat SD, bagi saya, merupakan beban yang cukup berat untuk menyampaikan suatu pesan kepada mereka. Mengingat kita sebagai orang yang sudah memiliki perkerjaan, mungkin sesuai dengan cita-cita atau ada juga yang belum tentu sesuai, pastinya melewati masa-masa SD dan beberapa belum tentu dapat mengingatnya lagi.

Efek Berkelanjutan

“Apa rasanya menjadi seorang pengajar, tapi bukan profesi seorang guru?”

pintu gerbang SDN 1 Pengotan
Sebenarnya, saya sempat ragu apakah bisa mengajar anak murid SD, tapi apabila tidak mencobanya maka tidak akan tahu rasanya menjadi guru. Ternyata, memang tidak mudah. Saya diberi kesempatan merasakan pengalaman menjadi guru dalam 1 hari, pada tanggal 11 Juni 2013 di Sekolah Dasar Negeri 1 Pengotan, Bangli, Bali, melalui kegiatan Kelas Inspirasi (KI). Seminggu sebelum hari mengajar tiba, saya bersama relawan KI yang datang dari berbagai daerah maupun yang berada di Bali, berkumpul di kantor bupati Bangli untuk melakukan briefing. Membahas apa saja yang perlu dipersiapkan dalam mengajar nanti.

Adapun materi yang akan disampaikan berbagi cerita dan pengalaman kerja yang sedang saya jalani, meski terlihat mudah tapi yang akan diajarkan saya adalah anak-anak berumur 6 tahun hingga 12 tahun. Tentunya tidak akan sama penyampaian saya terhadap orang-orang dewasa.

Meluangkan 1 hari untuk mengajar di sekolah? Apa salahnya berbagi informasi atau pengetahuan kepada mereka, anak-anak penerus bangsa ini. Kelak, mereka mungkin bisa meneruskan cita-cita kita yang belum tercapai, kemudian dilanjutkan oleh mereka sehingga terjadi efek keberlanjutan dalam hal berbagi.

Tak perlu harus saya yang merasakan hasilnya, setidaknya ada yang bisa meneruskan dan berguna bagi kalangan banyak. Tak harus juga langsung untuk masyarakat luas, bisa dimulai dari ruang lingkup keluarganya, kelak nanti mereka memiliki keluarga sendiri dapat “menularkan” rasa berbagi ini.

Tema mengajar adalah menceritakan profesi apa yang sedang dijalani dari masing-masing relawan KI untuk memberikan gambaran kepada anak murid. Berangsur-angsur, pertanyaan awal saya sedikit terjawab. Tapi, timbul pertanyaan selanjutnya.

“Bagaimana cara saya mengajarkannya atau menyampaikannya?”

Saya mendapatkan tugas mengajar di SDN 1 Pengotan, meski sudah melakukan briefing, tetapi untuk teknik atau gaya mengajar merupakan kreativitas masing-masing relawan KI. Sebab, masing-masing profesi tidak akan sama, saya hanya punya waktu 1 minggu untuk memikirkan bagaimana memecahkan pertanyaan itu. Waktu yang sangat singkat agar bisa menjadi seorang guru.

Berdasarkan informasi dari ibu Kepala Sekolah, I.A. Astiti biasa dipanggil Dayu, ada beberapa anak murid kelas, terutama kelas 1, tidak melalui proses Taman Kanak-Kanak (TK). Tentu, diumur 6-7 tahun tidak mungkin menggunakan cara yang sama dalam mengajar, sementara dalam 1 hari itu, saya harus mengajar bergiliran dari kelas 1 hingga kelas 6, diberi waktu 35 menit setiap kelasnya. Dengan profesi saya sebagai jurnalis, kemudian apa yang harus saya sampaikan atau berbagi kepada mereka? Belum lagi, desa Bangli jauh dari hiruk pikuknya kota, sehingga tidak bisa disamakan cara mengajar di lingkungan kota dengan desa.

Jujur dan Berprestasi

Tak perlu membandingkan fasilitas yang ada di sekolah tersebut, dan harapan harus mendapatkan nilai bagus. Saya teringat, Bupati Bangli I Made Gianyar mengatakan, dua hal yang paling penting dalam menerapkan pendidikan, yaitu jujur dan berprestasi. Sehingga beliau menekankan proses mengajarnya.

Untuk apa mendapatkan nilai bagus misalkan 9 atau 10, tapi didapatkan dengan cara mencontek atau curang, itukan tidak jujur. Lebih baik, mendapatkan nilai hanya 6 atau 7, tapi dari hasil kerja keras. Karena saya ingin dalam dunia pendidikan tidak hanya sekedar naik kelas atau lulus, tapi anak murid bisa mempersiapkan bekal ilmu untuk dirinya. Sebab, tidak guna juga pintar tapi tidak mau kerja keras,” I Made Gianyar
sebelum memulai kegiatan belajar mengajar,
dilakukan berdoa bersama

Berangkat dari ucapan pak Gianyar, yang juga menjadi relawan KI dalam kelompok SDN 1 Pengotan, perangkat sederhana saya siapkan. Tentunya tidak jauh-jauh dari tulisan saya sendiri, yang memang saya kliping, sehingga tidak perlu memerlukan perangkat yang “berbau” teknologi. Sebab, selama bentuk visualnya jelas, nantinya dapat dijelaskan dengan memberikan contoh-contoh lainnya.

Menulis dan Membaca

Walaupun saya tahu, topik dalam tulisan tersebut masih terlalu jauh untuk setingkat SD, tapi di sini saya tekankan, bahwa untuk menjadi seorang jurnalis hanya perlu 2 bekal utama, yaitu menulis dan membaca, guna mencari informasi yang ingin disebarluaskan kepada orang yang belum tahu agar menjadi tahu. Selain itu, menulis dan membaca juga dapat menjadi bekal untuk berbagai profesi lainnya.

Meski, sudah menyiapkan perangkat mengajar, tetap saja menghadapi anak murid ini menjadi masalah tersendiri, yaitu grogi. Bahasa yang saya gunakan tidak berbelit-belit agar mereka mengerti. Intinya, ketahui dahulu apa yang mereka ketahui, sehingga saya menugaskan anak murid, layaknya seperti guru, untuk menuliskan kegiatan apa saja yang mereka lakukan dari pagi hari hingga siang hari. Kemudian, hasil tulisan mereka bacakan di depan kelas. Ini yang saya sebut, berbagi informasi atau pengetahuan, karena belum tentu antar teman satu dengan teman yang lainnya melakukan kegiatan yang sama.

di sela jam istirahat, Bupati I Made Gianyar
berbincang sejenak bersama relawan KI
Saya tersentuh, ketika anak murid kelas 3 menceritakan sepulang sekolah membantu orangtuanya di kebun sayur hingga malam hari, dan menjualnya ke pasar, kemudian hasil jualannya digunakan untuk membayar sekolahnya. Sungguh, suatu kerja keras sebagai seorang anak yang berusaha agar tidak putus sekolah karena tidak ada biaya, sebab dirinya menginginkan cita-citanya terwujud.

Rasa ingin tahu yang sangat besar ada dalam diri mereka, hingga terdapat beberapa murid membacakan kliping hasil tulisan yang sudah dimuat di media dimana saya pernah bekerja,  dihadapan teman-temannya. Meski mereka belum mengerti isi dari tulisan tersebut, tapi semangat keingintahuannya sudah ada. Cara seperti ini, saya terapkan disemua kelas, kecuali kelas 1, dengan begitu mereka bisa mengungkapkan mau jadi apa kelak sudah dewasa nanti.

Mengajar dengan berbagi informasi atau pengetahuan dapat dilakukan dengan sesederhana mungkin, banyak perangkat mengajar yang bisa digunakan dari sekeliling sekolahan, rumah maupun areal dimanapun kita sedang berada. Suatu pengetahuan dapat kita pahami tentunya dimulai dengan membacanya, ketika ingin hasil membaca mendapatkan pengembangan dari pendapat diri sendiri, mulailah untuk menulis. Sehingga, mereka yang belum mengetahui informasi tersebut, menjadi tahu karena membacanya.

Melalui KI, mungkin masih banyak yang belum dapat saya sampaikan kepada anak murid, tapi dengan kehadiran para relawan KI mudah-mudahan mereka bisa mendapatkan pengetahuan baru dari berbagai daerah, serta pengalaman yang mungkin tidak bisa didapatkan setiap waktu. KI, selain menginspirasi anak-anak penerus bangsa, ternyata mampu juga menginspirasi saya dalam hal berbagi.

halaman sekolah yang sederhana ini, menjadi
tempat mewujudkan cita-cita generasi penerus bangsa
artikel terkait Jujur dan Prestasi Pendidikan Kabupaten Bangli