Salah satu alasan mengapa kontraktor minyak asing swasta melakukan operasinya di Indonesia, karena dianggapnya potensi ekonomi migas Indonesia sangat menguntungkan mereka baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang. Dengan kata lain, upaya memburu untung maksimal dalam operasi migas di Indonesia mungkin tidak bisa dibantah lagi.
Walaupun demikian pemerintah juga sangat beruntung karena migas yang semula hanya terbenam di dalam bumi tanpa hasil, akhirnya bisa menghasilkan devisa dan penerimaan pemerintah yang jumlahnya sangat besar pada setiap APBN. Hal ini karena adanya kerja keras dari para kontraktor swasta asing bidang migas, sudah pasti kontraktor asinglah yang banyak menikmatinya, karena mereka punya modal, mereka yang menanggung risiko dan lain-lain (apakah kontraktor dalam negeri ada yang berani atau belum diberi kesempatan?, Red).
Sejak awal kemerdekaan dan masa Orde Baru semua hasil dari migas sekitar 60 persennya masuk ke kas negara untuk dana pembangunan nasional, bukan untuk pengembangan usaha migas. Ini jelas berlawanan dengan teori COR (capital output ratio) atau ICOR (incremental capital output ratio).
Minta Hutang Luar Negeri
Sayangnya, walau hasil migas semakin tinggi, tetapi pemerintah Orde Baru masih saja meminta hutang luar negeri. Untuk itulah pada waktu Prof. Dr. Ali Wardhana menjabat sebagai menteri keuangan, penulis pernah menyampaikan usul di ruang kerjanya di Lapangan Banteng agar uang migas digunakan untuk membayar hutang luar negeri. Usul yang sama juga penulis sampaikan kepada Gus Dur (panggilan akrab untuk Presiden Abdurrahman Wahid) beberapa minggu sebelum Gus DUr dipilih menjadi kepala negara.
Ali Wardhana tidak menerima usul itu. Menurut beliau, pinjaman itu diterima karena fasilitas bunganya rendah. Padahal, hal itu justru akan berakibat menumpuknya utang Indonesia dan sumber daya alam migas semakin habis.
Oleh karena itu, ketika surat-surat kabar memberitakan mengenai agar uang migas digunakan untuk membayar hutang luar negeri, penulishanya tersenyum, karena itu sudah belasan tahun yang lalu penulis ucapkan kepada Ali Wardhana.
Ternyata kini memang demikian, Hutang makin menumpuk dan uang hasil migas yang ratusan triliun rupiah selama masa Orde Baru yang dimasukkan ke dalam pendapatan dalam negeri dari migas. Uang itupun lenyap tidak tahu kemana digunakannya. Cadangan migas terus terkuras dan ditambah lagi hutang luar negeri setiap tahunnya dari berbagai sumber terus bertambah.
Memang, para perencana ekonomi nasional menyatakan bahwa hasil dari migas selama Orde Baru digunakan untuk membangun berbagai proyek. Namun, tidak tertutup kemungkinan hasil migas juga, telah dipinjamkan kepada para pengusaha istana alias kaum konglomerat.
Pinjaman bernilai triliunan rupiah, hingga kini terus menjadi beban bangsa dan negara. Karena segala hasil migas harus disetor Pertamina ke kas negara lewat Bank Indonesia, yang alokasinya juga tidak jelas (saat itu belum terbentuk BP Migas atau SKK Migas, Red).
Tidak menutup kemungkinan dana migas itu juga hanyut dalam skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dana Migas untuk berbagai pembangunan berbagai proyek besar seperti jalan raya, pelabuhan, jembatan dan lain-lain, juga paling banyak dimanfaatkan oleh perusahaan konglomerat rekan pemerintah Soeharto.
Bahkan pemborong proyek itu juga konglomerat. Dampaknya, menjelang akhir pemerintahan Orde Baru semakin terlihat konglomerat mempunyai andil besar dalam memporakporandakan ekonomi dan moneter. Semuanya itu telah terbenam dalam bentuk hutang yang menggunung dari kas negara yang mengering.
Sudah sejak lama disarankan, agar hasil migas seharusnya dimanfaatkan untuk dana pembangunan migas, khususnya bagaimana agar Pertamina bisa mempunyai lapangan-lapangan migas yang hasilnya lebih besar dibandingkan hasil para kontraktor minyak asing. Juga disarankan, agar dana migas itu digunakan untuk membangun kilang-kilang migas sebanyak mungkin terutama agar Indonesia akan jauh lebih banyak mengekspor migas hasil pengolahan.
Tujuannya, jika suatu saat Indonesia tidak lagi menjadi negara penghasil atau pengekspor minyak mentah, Indonesia telah siap dalam pengembangan industrinya (Indonesia sudah menjadi net importir sejak 2003, keluar dari keanggotaan OPEC di 2008, dan penulis sudah tidak aktif pada 2005, sehingga tidak sempat mendorong serta menyemangati ke bangsa ini untuk pengembangan industri migas ke depannya, Red). Akan tetapi, tampaknya pemanfaatan dana dari hasil migas selam 32 tahun Orde Baru dan juga tampaknya dilanjutkan sekarang, bukan sepenuhnya untuk pengembangan industri migas.
Harga Minyak Tinggi Bagi Kontraktor Asing
Sejak adanya kontraktor asing melakukan kegiatan mencari dan menghasilkan migas pemerintah tidak bermodalkan apa-apa. Pemerintah hanya mampu mengubah isi kontrak dalam upaya meningkatkan penghasilan bagi negara (kantong negara atau kantong lainnya?, Red).
Berbagai perubahan isi kontrak mulai dari kontrak karya hingga kontrak bagi hasil akhirnya juga hanya akan menguntungkan para kontraktor asing. Karena itu, para kontraktor migas asing merupakan perusahaan yang berkembang menjadi raksasa dan sudah puluhan tahun mengejar laba maksimum dari usaha migas di negara-negara penghasil migas.
Maka layak, jika pada saat harga minyak dunia tinggi, maka kontraktorlah yang banyak menikmati hasil kenaikan minyak yang makin mahal. Karena merekalah yang memiliki modal, teknologi, tenaga ahli yang cukup baik serta berani menanggung risiko yang sangat besar dalam dunia industri migas.
Sebaliknya, pemerintah Indonesia hanya mengharapkan hasil migasnya saja, terutama jika datang waktunya menyusun rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN).
Selama ini setiap akan disusun RAPBN selalu ada harapan berapa besarnya hasil dari migas (saatnya bagi-bagi ‘kue’, Red). Akan tetapi, tidak ada pertanyaan berapa dana yang dibutuhkan Pertamina di dalam industri migas Indonesia agar hasil migas dari eksplorasi dan eksploitasi migas semakin besar.
Itulah kelemahannya. Oleh karena itu, tidak seharusnya rakyat merasa iri dengan kontraktor minyak asing yang sangat beruntung besar pada saat harga minyak dunia melambung (mereka sudah bermodal, tanggung risiko, dan lagipula kontrak bagi hasil sudah jelas bagiannya masing-masing, tanpa mereka bagaimana mau bagi-bagi ‘kue’?, Red). Sumbangan migas baik berupa devisa maupun pendapatan dalam negeri dari migas, tentu berasal dari berapa besarnya bagian untuk negara (waktu itu melalui Pertamina sebelum adanya BP Migas atau SKK Migas, Red) dan bagian untuk para kontraktor.
Dari waktu ke waktu isi kontrak bagi hasil terus berkembang sesuai dengan perkembangan harga minyak, dengan harapan agar bagian negara semakin besar. Walau dalam prakteknya, ada juga kontraktor migas yang pendapatannya makin berkurang.
Generasi PSC
Sebagai gambaran, perkembangan serta hitungan pembagian laba migas dalam production sharing contract/PSC (kontrak bagi hasil), khususnya minyak, ada beberapa periode tertentu yang berlaku di Indonesia selama ini, yakni sebagai berikut
Pertama, periode PSC hingga 1973 dengan pembagian profit 65-67,5 persen menjadi bagian Pertamina dan bagian kontraktor 35-32,5 persen. Sedangkan pajak penghasilan merupakan beban Pertamina.
Kedua, periode 1974-1975. Pertamina memperoleh bagian 65-67,5 persen dan kontraktor 35-32,5 persen dan additional cash payment 20 persen di atas base price (pada harga 10/8 adalah US$5) dan pajak beban Pertamina
Ketiga, periode 1976-1978 bagian :
a) Pertamina 65-67,5 persen dan kontraktor 35-32,5 persen
b) Additional cash payment
c) Financial adjusmentdari ketiganya itu (A+B+C) adalah 85 persen dari net operating income dan untuk gas pembagiannya, tetap 65 persen dan pajak sebagai beban Pertamina.
Periode PSC 1964-1977 dinamakan PSC generasi I, dan periode 1978-1987 PSC generasi II. Dalam PSC generasi II ini, antara lain pembagian hasil setelah dikurangi biaya-biaya, maka pembagiannya (minyak) untuk Pertamina 65,91 persen dan kontraktor 34,09 persen. Untuk itu, bagian Pertamina 31,80 persen dan kontraktor 68,20 persen. Kontraktor membayar pajak 56 persen ke pemerintah.
PSC generasi III, mulai berlaku periode 1988 hingga sekarang. Pembagian hasil berubah menjadi untuk minyak, 71,15 persen menjadi bagian Pertamina dan 28,85 persen untuk kontraktor. Sedangkan untuk gas bumi, sebesar 42,31 persen hasil untuk Pertamina dan 57,64 persen untuk kontraktor.
Bagian bersih hasil setelah dikurangi pajak, untuk minyak perbandingan pembagian antara pemerintah Indonesia dengan kontraktor adalah 85:15 dan untuk gas bumi perbandingan 70:30. Sebagai catatan, hasil migas khususnya minyak yang sekitar 1,2 juta barel per hari (produksi pada saat itu, sekarang untuk menyentuh 900 ribu barel per hari saja sulit, Red), terbesar dari hasil kontraktor PSC generasi I. Khususnya dari hasil minyak dari PT Caltex (jadi siapa yang berjasa mengumpulkan dana untuk pembangunan nasional? mengingat dana hasil migas seluruhnya masuk ke kas negara, Red), kemudian bermunculan aneka rupa insentif. Akan tetapi, tetap saja sepertinya minat kontraktor asing tidak semakin besar. Apalagi jika dikaitkan dengan keterikatan Indonesia dengan pembatasan produksi OPEC.
Oleh karena itu, sejak lama sudah disarankan agar Indonesia keluar saja dari OPEC, agar bebas memproduksi seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Meksiko dan lain-lain (Indonesia keluar dari OPEC karena sudah tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak, tapi merasa bangga pada saat itu menjadi anggota OPEC dengan menuruti berbagai aturan yang bernuansa politik menekan perkembangan industri migas Indonesia, sampai kalah dengan negara sahabat, Red).
Adapun cara memperkirakan berapa besarnya sumbangan migas, khususnya dalam setiap RAPBN, maka harus dihitung misalnya, dengan menggunakan cara pembagian pendapatan dari sistem PSC biasa dengan insentif.
Misalnya, untuk setiap minyak yang diproduksi sebesar 1.000 barel dengan harga US$30 per barelnya, maka untuk investment credit dibutuhkan US$10 per barel, untuk cost recovery US$200 per barel, maka perhitungan seperti terlihat pada tabel berikut,
Aliran Minyak | Barel | Pertamina | Kontraktor |
I Production/Lifting | 1000 | - | - |
Invesment Credit | 10 | - | - |
Cost Recovery | 200 | - | - |
Equity to be Split | 790 | - | - |
Pertamina’s Share (65,91% x 790) |
| 520,7 | - |
Contractor’s Share (34,09% x 790) |
| - | 269,3 |
Domestic Market (25% x 34,09% x 1000) |
| 85,2 | (85,2) |
Total Aliran Minyak |
| 605,9 | 184,1 |
(Asumsi harga minyak US$30/barrel) |
|
|
|
II Aliran Uang – US$ |
|
|
|
Government tax Entitlement (US$) |
| 4692 | (4692) |
Fee domestic 85,2 x US$30 |
| (2556) | 2556 |
Interest non capital carry forward (US$) |
| (20) | 20 |
Total Aliran Uang (US$) |
| 2116 | (2116) |
III Jumlah Pembagian (I+II), US$ |
| 20293 | 9707 |
Catatan: Government tax Entitlement 50% x US$ (11823 + 2556 – 6000)
US$6000 = Hasil recovery 200 barel x US$30
Sebagai gambaran, produksi minyak mentah Indonesia bulan Maret 2000 sebanyak 1,191 juta barel per hari. Sebagian berasal dari PSC, yakni sebesar 1,076 juta barel per hari, terutama hasil kontraktor migas asing. Selisihnya merupakan hasil produksi Pertamina dan hasil kerjasama Pertamina dengan cara joint operation body(JOB) dan cara lainnya yang sangat kecil produksinya (hanya 9,6 persen effort Pertamina dalam produksi minyak, benarkah sanggup bila seluruh lapangan migas di Indonesia Pertamina yang mengelola? dengan seluruh dana hasil migas di setor ke kas negara? bagaimana nasib perkembangan perusahaan minyak nasional?, Red).
Jika harga minyak dunia makin tinggi, makin besarlah profit para kontraktor itu. Untuk memudahkan membuat rencana pendapatan migas dari migas maka digunakan perhitungan dengan harga yang dipatok dalam RAPBN. Jumlah produksi minyak juga dipatok, berapa nilai yang dimasukkan dalam suatu perhitungan, misalnya dengan formula di atas.
Adapun realisasinya harus dihitung satu per satu kontraktor, karena tahun serta isi kontrak berbeda, juga harga serta jenis minyak mentahnya termasuk syarat-syarat pembagiannya. Oleh karena itu, antara rencana dan realisasi pendapatan dalam negeri dari minyak bumi khususnya selalu berbeda.
Yang pasti selama bulan Maret 2000 produksi minyak mentah dari 17 kontraktor PSC daratan jumlah produksi minyak mentahnya 752,7 ribu barel per hari, yang terbesar dari PT Caltex sebesar 590,7 ribu barel per hari. Dari 10 kontraktor PSC lepas pantai yang jumlah hasil minyak mentahnya sebanyak 323,1 ribu barel per hari, terbesar dari Maxus 111,3 ribu barel per hari.
Selama Januari-Maret 2000 jumlah produksi minyak mentah Indonesia sebesar 108,17 juta barel. Ini berarti laba yang diterima sangat tinggi, karena harga minyak sedang tinggi, dan sebagian besar laba itu akan diterima para kontraktor migas asing.
Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.