Pemimpin Tak Jadi Seniman

Impiannya sebagai seniman kandas karena ditolak dua kali oleh Akademi Seni Wina (1907-1908), tapi siapa sangka dari penolakan tersebut membawanya ke perjalanan menuju seorang pemimpin. Meski banyak yang memandang sebagai pemimpin kejam pada era perang dunia kedua, namun dibalik kekejaman sebenarnya di dalam dirinya masih jiwa seorang seniman. Tanpa disadari telah terukir melalui kata-kata di setiap pidatonya.

Kita ingin orang-orang menjadi setia dan kamu harus belajar kesetiaan.
Kita ingin orang-orang ini menjadi taat dan kamu harus berlatih ketaatan.
Kita ingin orang-orang ini menjadi cinta damai dan pada saat bersamaan juga berani, dan karena itu kamu harus cinta damai dan berani.
Kita ingin orang-orang ini tumbuh lembut, tetapi kita ingin menjadi keras sehingga mampu menahan kesulitan hidup.
Kamu harus keras pada dirimu sendiri, di masa muda.
Kamu harus belajar untuk keras, untuk berdiri pada kemiskinan tanpa jatuh.
Kita ingin orang-orang ini mencintai kehormatan dan sudah tiba waktumu untuk hidup dengan konsep kehormatan.
Adolf Hitler, 14 September 1935

Aku berkata bahwa mereka bisa diselesaikan.
Tidak ada masalah yang tidak bisa selesai, tetapi diperlukan keyakinan.
Pikirkan keyakinan yang aku miliki delapan belas tahun yang lalu, seorang laki-laki di jalan sepi.
Namun, aku datang untuk kepemimpinan rakyat Jerman.
Hidup keras dalam segala hal, tetapi yang terkeras jika kamu tidak bahagia dan tidak memiliki keyakinan.
Miliki keyakinan.
Tidak ada yang bisa membuat aku mengubah keyakinanku.
Adolf Hitler, 12 September 1936

Tetap kuatkanlah keyakinanmu seperti kamu pada tahun-tahun sebelumnya.
Dalam keyakinan ini, dalam kedekatan, rajut persatuan rakyat kita untuk hari yang berjalan lurus ke depan dalam jalan tersebut dan tidak ada kekuatan di bumi yang akan bisa menghentikannya.
Adolf Hitler, 15 Oktober 1937

Dewa perang telah pergi ke sisi lainnya.
Adolf Hitler, pernyataan untuk Alfred Jodl setelah kalah dalam pertempuran di Stalingrad

Seandainya diterima di Akademi Seni Wina, mungkin tidak akan lahir seorang pemimpin, melainkan seorang seniman. Sejarahpun telah diukir olehnya, meski yang sering dikenang atau diingat adalah kekejamannya.

“Aku, untuk bagianku, mengakui persepsi lain yang mengatakan bahwa manusia harus menghadapi pukulan terakhir untuk orang yang nasib buruknya telah ditakdirkan oleh Tuhan” 
Adolf Hitler


*kutipan-kutipan diambil dari Buku Kata-Kata yang Mengubah Dunia, 2013

Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 3)

Tampaknya pemerintahan Abdurrahman Wahid berupaya mengambil hati rakyat/pengusaha kecil dengan kebijaksanaan menaikkan harga BBM sekitar bulan Oktober 2000. Hasilnya diperkirakan terkumpul dana subsidi Rp800 miliar (saat APBN 2001, sekarang mungkin sudah ratusan triliun, kenapa terus naik ya?, Red), dan konon dana itu diperuntukkan bagi rakyat kurang mampu, pengusaha kecil.koperasi, dan penciptaan lapangan kerja.

Dana dari hasil kenaikan harga BBM (berdasarkan pengamatan penulissaat kenaikan harga BBM di 2001, Red) yang diperkirakan mengurangi subsidi BBM sekitar Rp800 miliar itu, menurut rencana akan disalurkan. Pertama, untuk dana yang sifatnya mendesak berupa dana tunai (cash transfer) yang ditujukan untuk keluarga kurang mampu. Kedua, kompensasi pemberian dana berupa modal usaha bergilir (revolving fund). Ketiga, untuk menciptakan lapangan kerja produktif melalui pemberdayaan masyarakat di desa maupun kawasan kumuh perkotaan.

Tampaknya rencana ini seperti yang diharapkan Theodore WS Schultz, pada waktu memperoleh hadiah nobel 1979, “Most of people in the world are poor, so if we knew the economics of being poor we would know much of economics that really matter,”

Disadari begitu banyak kemiskinan di Indonesia, maka tepat jika sedikit  dana itu ditujukan untuk membantu rakyat yang dianggap kurang mampu atau miskin, walau sayangnya pemanfaatan dana subsidi BBM itu menyimpang sejak masa Orde Baru.

Kebijakan itu sangat bertentangan dengan usul wakil rakyat, karena pada waktu menyetujui kenaikan harga BBM, dana itu bukan disalurkan untuk tiga saluran. Yang pasti, DPRlah pemegang kunci aneka rupa persetujuan, mulai dari berbagai UU hingga kenaikan tarif jasa apalagi persetujuan atau penolakan kenaikan harga BBM.

Kredibilitas wakil rakyat diuji lagi, mampukah mereka mengawasi pemerintah yang menurut penilaian banyak kalangan bahwa hasil kerja kepala negara bernilai rapor merah. Memang jumlah dana, menurut penulis, sangat kecil dibandingkan dengan jangkauan yang sangat luas itu.

Justru kebijakan itu, hanya mengulang permainan kata yang lembut seperti masa Orde Baru. Waktu itu, pada setiap ada kenaikan BBM, yang selalu berdampak negatif bagi rakyat banyak, dinamakan penyesuaian harga. Dengan permainan kata ini diharapkan agar rakyat tidak menuntut tugas pemerintah menurut UUD 1945 atau Pancasila, yakni usaha memakmurkan bangsa (merasa terjebak, tapi memang yang pencari celahlah memanfaatkan UUD 1945, Red).

Jika bicara soal kemakmuran berarti seolah-olah tugas utama pemerintah, yakni meningkatkan/menaikkan daya beli masyarakat dengan mudah tercapai. Kenyataannya selama ini yang terhadi hanya penurunan daya beli masyarakat. Pada 2000 daya beli masyarakat turun 25 persen, terutama lewat kenaikan-kenaikan harga termasuk kenaikan harga BBM dan terpuruknya kurs rupiah yang nyaris Rp20.000 per Dollar AS (masih juga ingin terulang?, Red).

Tampaknya sekarang pemerintah mencoba memikat hati rakyat yang daya belinya terus tersungkur karena tarif angkutan, pos yang naik, dan harga BBM yang segera akan naik dengan dana untuk tiga jalur itu.

Bagi para menteri dan wakil rakyat yang gajinya sudah belasan atau puluhan juta rupiah per bulannya, harga BBM naik menjadi Rp20.000 per liter pun tidak menjadi masalah, karena gaji mereka itu sangat besar. Apalagi jika mereka mendapat jatah BBM gratis dari pemerintah. Terlepas dari itu, yang pasti penulis khawatir dana yang sangat kecil dengan jangkauan sangat luas dan banyak tangan yang mengurusnya itu akan terjadi kebocoran dana di penyalurannya atau mungkin saja muncul KKN-KKN baru.

Di samping itu, biaya penyalurannya juga pasti tidak kecil, dari mana dana biaya itu, apakah menjadi beban APBN dana bantuan itu. Oleh karena itu, jalur pengawasan penyaluran dana tersebut juga harus jelas, sehingga setiap bulan secara transparan bisa diperlihatkan kepada media massa melalui wakil rakyat, berapa jumlah pengeluaran dan pemasukan dana tersebut.

Sebenarnya sangat disayangkan mengapa untuk membantu rakyat kecil harus menggunakan dana yang berasal dari hasil menaikkan harga BBM yang merupakan hasil mencekik lehr kehidupan rakyat kecil. Mengapa bukan berasal dari hasil pajak, dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan lain-lain sehingga dananya bisa sangat besar.

Pedagang non-migas dan penjual jasa tidak mau tahu soal kenaikan harga BBM, diperuntukkan bagi siapa hasilnya, untuk tiga saluran itu atau rakyat kecil. Bagi golongan ekonomi menengah ke atas baik sebagai produsen atau penjual jada profesional seperti pengacara, dan konsultan pasti ikut menaikkan biaya-biayanya sehingga harga jual barang dan jasanya juga ikut naik. Bahkan biasanya kenaikannya itu melampaui kenaikan harga BBM.

Jadi tidak benar kalau subsidi dinilai hanya dinikmati/menguntungkan pengusaha/golongan menengah ke atas. Justru setiap ada kenaikan harga BBM merekalah yang lebih cepat menaikkan harga barang atau tarif jasanya. Sebaliknya yang menderita tetap rakyat kecil terutama yang berpenghasilan tetap, berpenghasilan tak menentu dan juga para pensiunan pegawai negeri/TNI/Polisi.

Oleh karena itu, penulis beranggapan selama jumlah hasil ekspor migas plus hasil penjualan migas khususnya BBM di dalam negeri, tidak rugi secara, perhitungan untung migas masih lebih besar, jadi harga BBM tidak usah dinaikkan (saat itu, Indonesia masih ekspor migas, dan kebutuhan masih tercukupi, tapi setelah 2003 dinyatakan net importir minyak, otomatis belum tentu dapat menyuplai BBM dari dalam negeri, dan harga jadi permainan untuk pengkondisian/penyesuaian, Red).

Kecuali, jika pemerintah sudah berhasil menaikkan daya beli rakyat, misalnya juga kurs Dollar di bawah Rp3.500 per US$ yang otomatis jumlah subsidi BBM sekarang sekitar Rp42 triliun bisa berkurang, bukan hanya hitungan Rp800 miliar, tetapi puluhan triliun rupiah tanpa menaikkan harga BBM.

Juga penulis merasa pemerintah terus melaksanakan kebijakan yang menyimpang selama Orde Baru dan hasil migas yang ratusan triliun itu tidak digunakan untuk pengembangan kembali hasil migas, misalnya membangun kilang-kilang baru, mencari cadangan baru, membeli lapangan-lapangan migas para kontraktor dan fasilitas penyimpanan, penyaluran, serta pengangkutan BBM dan lain-lain.

Juga mengapa dana itu tidak dimanfaatkan, misalnya, untuk pengembangan energi alternatif seperti briket batubara yang bisa menggantikan minyak tanah. Sekiranya, briket batubara tersedia banyak dan mudah diperoleh serta harganya bersaing dan pemerintah mau menaikkan harga minyak tanah, maka rakyat akan bisa segera beralih ke briket batubara. Termasuk alat-alatnya juga banyak dan harganya terjangkau.

Cara menaikkan harga BBM dengan alasan apapun tanpa tersedianya energi pengganti BBM yang lebih murah dan banyak, maka persoalan justru semakin rumit. Akhirnya ketergantungan akan impor BBM terus meningkat dan devisa akan habis tersedot.

Hal ini pasti akan berjalan berkepanjangan selama Indonesia belum mau memanfaatkan seluruh dana migas untuk pengembangan migas dan energi alternatif.

Kalau saja selama Orde baru seluruh dana hasil migas digunakan untuk pengembangan hasil migas yang ketat dan efisien mungkin Indonesia bukan hanya terbebas dari kekurangan BBM, bahkan justru bisa sebagai pengekspor BBM. Perlu diingat apa yang diungkapkan Harold Domar soal Incremental Capital Output Ration (ICOR) yang pada intinya jika mau memperoleh tambahan hasil maka dibutuhkan sejumlah tambahan modal.

Begitu juga dalam migas, jika pemerintah masih mengharapkan hasil dari migas terus bertambah maka modalnya juga harus ditambah. Jangan hanya mengandalkan investor asing selaku kontraktor (tapi, siapa lagi yang punya modal dan berani berisiko? kalaupun pinjaman luar negeri, apakah yakin hutang dapat terbayarkan? atau apakah benar digunakan untuk kegiatan yang sebenarnya?, Red). Layak jika harga minyak mahal dan yang paling banyak menikmati hasilnya yakni para kontraktor migas asing, dimana para pemegang sahamnya hanya puluhan orang untuk memperoleh sekitar 35 persen dari hasil produksi minyak Indonesia. Sisanya untuk bangsa Indonesia yang jumlah penduduknya lebih dari 200 juta orang.


Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.

Ekonomi Setelah Merdeka (Bagian 1)

Mengapa setelah bangsa Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945 dengan adanya pergantian beberapa kali kepala negara dengan corak kebijakannya, khususnya dalam bidang ekonomi bahkan hingga sekarang justru keadaan ekonomi rakyat kecil makin terpuruk, bahkan sebenarnya lahirnya UUD 1945 tidak bisa lepas juga sebagai upaya agar bangsa Indonesia bukan hanya tidak lagi dijajah, juga mungkin termasuk tidak dijajah dalam bidang ekonomi/keuangan yang melibatkan utang luar negeri, tetapi yang penting bagaimana menciptakan agar segenap rakyat Indonesia bisa hidup makmur secara adil dan merata.

Justru setelah Orde Baru runtuh bukan hanya telah begitu banyaknya sumber daya alam terkuras dan makin menipis, terutama yang tidak dapat diperbaharui lagi seperti migas, juga hutang luar negeri pemerintah dan swasta lebih dari US$150 miliar. Walaupun demikian, mengapa investor asing mau menanam modalnya di Indonesia. Masalahnya sejak jaman penjajahan bumi Indonesia terkenal kaya akan aneka sumber daya alamnya yang bisa bermanfaat bagi pengembangan industri dan dunia perdagangan.

Tetapi setelah Orde Baru runtuh segala hasil pengurasan sumber daya alam plus jumlah hutang luar negeri terbesar tidak dimanfaatkan sesuai sasaran yang tepat, bahkan sebagian besar dari berbagai hasil pembangunan serta dana pembangunan banyak yang bocor yang mungkin masuk dalam putaran KKN pada masa reformasi.

Karena pergulatan elit politik makin tajam bahkan melibatkan banyak rakyat kecil yang tidak mempunyai lapangan kerja tetap dan tidak tahu soal politik akibatnya aneka rupa sumber dana yang masuk dalam kantong-kantong pelaku KKN seolah-olah tidak atau kurang mendapat perhatian. Malah yang semakin diperhatikan seperti pengemis yang meminta agar IMF, bank dunia atau lembaga-lembaga keuangan dunia mau segera memberi pinjaman serta segera mencairkannya.

Walaupun, jika saja pemerintah mau segera membersihkan segala kekayaan seluruh pejabat terutama pejabat BUMN yang masih saja aktif sejak masa Orde Baru hingga masa reformasi atau sudah lengser seluruh kekayaan anak beranaknya diusut termasuk juga pejabat sekarang, pasti hasilnya cukup besar. Masalahnya, memang pemerintah ingin mengambil langkah enaknya saja, apalagi terus bertengkar dengan wakil rakyat, bahkan pemerintah tidak segan-segan untuk menaikkan harga BBM.

Tentu saja segala penataan ekonomi selama ini memang sudah salah arah dan seolah-olah sudah salah memanfaatkan teori ekonomi apa yang harus dilaksanakan Indonesia. Masalahnya memang sudah sejak lama para ahli dunia sudah banyak yang menyoroti soal kehidupan perekonomian Indonesia.

Misalnya pada 1930, ketika Prof. JH Boeke berpidato waktu dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Leiden, dia menyatakan antara lain

“Dimana tak terdapat suatu kesatuan…serta hubungan seperti halnya dibanyak negara lain yang kapitalis, bahkan modern…dimana terdapat jurang lebar, tajam dan dalam dalam memecah masyarakat dalam dua bagian, di situlah terdapat berbagai masalah ekonomi dan sosial yang memperlihatkan wajah yang baru sama sekali dan teori ekonomi Barat kehilangan hubungannya dengan kenyataannya, maka berarti hilang pulalah nilainya”.

Adapun maksud dari Prof. Boeke, bahwa perekonomian Indonesia masih berbeda cukup jelas dari negara-negara Barat pada waktu itu, bahkan katanya perekonomian Indonesia berbeda dengan negara berkembang lainnya, dalam banyak sifat-sifat penting. Itu kata Prof. Boeke dahulu, bahkan sekarangpun perekonomian Indonesia sangat berbeda dengan banyak negara berkembang lainnya, walau diakui oleh banyak ahli, bahwa perekonomian Indonesia telah banyak berubah sejak 1930.

Sama halnya perubahan-perubahan yang terjadi banyak negara di dunia, bahkan ilmu ekonomi pun telah berubah setelah muncul sebuah buku yang berjudul The General of Theory of Employment, Interest and Money yang ditulis oleh John Maynard Keynes pada 1936.

Begitu banyaknya perubahan berbagai teori ekonomi di banyak negara, yang pasti setiap negara apalagi negara kuat dan besar pada akhirnya juga selalu ingin merebut suatu kekuatan ekonomi dan moneter seperti halnya Amerika Serikat, walau harus ditunjang dengan cara perang secara besar-besaran untuk menindas banyak negara di dunia.

Jika teori mengejar laba maksimal seperti yang menjadi sasaran kaum kapitalis, kemudian diikuti oleh para ahli dari berbagai negara berkembang seperti di Indonesia, maka akhirnya seperti sekarang ini. Ekonomi sosial bukan, ekonomi kapitalis bukan, ekonomi Pancasila juga bukan, ekonomi kerakyatan juga bukan, yang mungkin adalah ekonomi kepentingan golongan politik/pengusaha tertentu, bahkan nyaris bisa dianggap sebagai ekonomi penuh dengan aneka rupa KKN.

Berapa ratus triliun rupiah sejak awal Orde Baru uang hasil migas disebar dengan alasan untuk membiayai aneka rupa berbagai proyek bagi kemakmuran rakyat, apakah alasan uang migas untuk membangun waduk, jalan, jembatan, pelabuhan, irigasi, dan lain-lain bahkan mungkin devisa migas karena milik BUMN bisa setiap saat untuk menekan kurs Dollar AS, sehingga rupiah tidak ambruk.

Tetapi nyatanya dana migas tidak sepenuhnya untuk mencari lapangan migas baru yang potensialnya besar atau uang migas untuk membangun berbagai kilang migas, karena secara comparative advantage sangat menguntungkan, karena pengalaman bangsa Indonesia lebih dari 100 tahun, tentu dengan syarat harus bersih dari segala rupa KKN, apalagi mark upbiaya. Karena uang migas menyebar lewat terkumpul dalam setiap pendapatan dalam negeri dalam APBN, sehingga hasilnya menjadi tidak menentu, tidak heran Pertamina yang sebagai BUMN sangat besar bisa kalah dengan perusahaan migas swasta yang produksinya bisa mencapai puluhan ribu barrel per hari.

Mungkin karena ekonomi Indonesia yang tidak jelas, sehingga apa saja dikerjakan walau hasilnya, bahkan negatif dan akhirnya sangat merugikan rakyat banyak. Memang tidak sepenuhnya para ahli ekonomi yang duduk sebagai birokrat dan perencana dapat disalahkan, sekiranya imam negara mendikte mereka untuk memanfaatkan sebagian dananya untuk keperluan lain yang berada di luar alur rencana nasional.

Walau para ahli tahu, bahwa untuk membangun perekonomian Indonesia secara historisnya sudah lama diketahui baik dilihat dari sisi geografis, ekonomis, demografis maupun historisnya yang sangat penting bagi ekonomi Indonesia secara makro.

Meningkatnya peran migas baik sebagai sumber dana maupun sebagai bahan energi dan bahan baku bagi berbagai sektor secara efek ganda, maka pertumbuhan GDP/PDB secara sektoral semakin meningkat. Begitu pula jumlah GDP/PDB Indonesia makin meningkat, ini berarti besarnya peran migas baik langsung maupun tidak langsung, sehingga seluruh sektor meningkat berarti pula berakibat terjadinya pergeseran struktur ekonomi yang semula sektor pertanian yang sangat dominan, kemudian struktur ekonomi itu berubah. Ini berarti peran migas dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia juga sangat besar pengaruhnya di berbagai sektor, bidang maupun regional.


Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002

Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 2)

Salah satu alasan mengapa kontraktor minyak asing swasta melakukan operasinya di Indonesia, karena dianggapnya potensi ekonomi migas Indonesia sangat menguntungkan mereka baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang. Dengan kata lain, upaya  memburu untung maksimal dalam operasi migas di Indonesia mungkin tidak bisa dibantah lagi.

Walaupun demikian pemerintah juga sangat beruntung karena migas yang semula hanya terbenam di dalam bumi tanpa hasil, akhirnya bisa menghasilkan devisa dan penerimaan pemerintah yang jumlahnya sangat besar pada setiap APBN. Hal ini karena adanya kerja keras dari para kontraktor swasta asing bidang migas, sudah pasti kontraktor asinglah yang banyak menikmatinya, karena mereka punya modal, mereka yang menanggung risiko dan lain-lain (apakah kontraktor dalam negeri ada yang berani atau belum diberi kesempatan?, Red).

Sejak awal kemerdekaan dan masa Orde Baru semua hasil dari migas sekitar 60 persennya masuk ke kas negara untuk dana pembangunan nasional, bukan untuk pengembangan usaha migas. Ini jelas berlawanan dengan teori COR (capital output ratio) atau ICOR (incremental capital output ratio).

Minta Hutang Luar Negeri

Sayangnya, walau hasil migas semakin tinggi, tetapi pemerintah Orde Baru masih saja meminta hutang luar negeri. Untuk itulah pada waktu Prof. Dr. Ali Wardhana menjabat sebagai menteri keuangan, penulis pernah menyampaikan usul di ruang kerjanya di Lapangan Banteng agar uang migas digunakan untuk membayar hutang luar negeri. Usul yang sama juga penulis sampaikan kepada Gus Dur (panggilan akrab untuk Presiden Abdurrahman Wahid) beberapa minggu sebelum Gus DUr dipilih menjadi kepala negara.

Ali Wardhana tidak menerima usul itu. Menurut beliau, pinjaman itu diterima karena fasilitas bunganya rendah. Padahal, hal itu justru akan berakibat menumpuknya utang Indonesia dan sumber daya alam migas semakin habis.

Oleh karena itu, ketika surat-surat kabar memberitakan mengenai agar uang migas digunakan untuk membayar hutang luar negeri, penulishanya tersenyum, karena itu sudah belasan tahun yang lalu penulis ucapkan kepada Ali Wardhana.

Ternyata kini memang demikian, Hutang makin menumpuk dan uang hasil migas yang ratusan triliun rupiah selama masa Orde Baru yang dimasukkan ke dalam pendapatan dalam negeri dari migas. Uang itupun lenyap tidak tahu kemana digunakannya. Cadangan migas terus terkuras dan ditambah lagi hutang luar negeri setiap tahunnya dari berbagai sumber terus bertambah.

Memang, para perencana ekonomi nasional menyatakan bahwa hasil dari migas selama Orde Baru digunakan untuk membangun berbagai proyek. Namun, tidak tertutup kemungkinan hasil migas juga, telah dipinjamkan kepada para pengusaha istana alias kaum konglomerat.

Pinjaman bernilai triliunan rupiah, hingga kini terus menjadi beban bangsa dan negara. Karena segala hasil migas harus disetor Pertamina ke kas negara lewat Bank Indonesia, yang alokasinya juga tidak jelas (saat itu belum terbentuk BP Migas atau SKK Migas, Red).

Tidak menutup kemungkinan dana migas itu juga hanyut dalam skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dana Migas untuk berbagai pembangunan berbagai proyek besar seperti jalan raya, pelabuhan, jembatan dan lain-lain, juga paling banyak dimanfaatkan oleh perusahaan konglomerat rekan pemerintah Soeharto.

Bahkan pemborong proyek itu juga konglomerat. Dampaknya, menjelang akhir pemerintahan Orde Baru semakin terlihat konglomerat mempunyai andil besar dalam memporakporandakan ekonomi dan moneter. Semuanya itu telah terbenam dalam bentuk hutang yang menggunung dari kas negara yang mengering.

Sudah sejak lama disarankan, agar hasil migas seharusnya dimanfaatkan untuk dana pembangunan migas, khususnya bagaimana agar Pertamina bisa mempunyai lapangan-lapangan migas yang hasilnya lebih besar dibandingkan hasil para kontraktor minyak asing. Juga disarankan, agar dana migas itu digunakan untuk membangun kilang-kilang migas sebanyak mungkin terutama agar Indonesia akan jauh lebih banyak mengekspor migas hasil pengolahan.

Tujuannya, jika suatu saat Indonesia tidak lagi menjadi negara penghasil atau pengekspor minyak mentah, Indonesia telah siap dalam pengembangan industrinya (Indonesia sudah menjadi net importir sejak 2003, keluar dari keanggotaan OPEC di 2008, dan penulis sudah tidak aktif pada 2005, sehingga tidak sempat mendorong serta menyemangati ke bangsa ini untuk pengembangan industri migas ke depannya, Red). Akan tetapi, tampaknya pemanfaatan dana dari hasil migas selam 32 tahun Orde Baru dan juga tampaknya dilanjutkan sekarang, bukan sepenuhnya untuk pengembangan industri migas.

Harga Minyak Tinggi Bagi Kontraktor Asing

Sejak adanya kontraktor asing melakukan kegiatan mencari dan menghasilkan migas pemerintah tidak bermodalkan apa-apa. Pemerintah hanya mampu mengubah isi kontrak dalam upaya meningkatkan penghasilan bagi negara (kantong negara atau kantong lainnya?, Red).

Berbagai perubahan isi kontrak mulai dari kontrak karya hingga kontrak bagi hasil akhirnya juga hanya akan menguntungkan para kontraktor asing. Karena itu, para kontraktor migas asing merupakan perusahaan yang berkembang menjadi raksasa dan sudah puluhan tahun mengejar laba maksimum dari usaha migas di negara-negara penghasil migas.

Maka layak, jika pada saat harga minyak dunia tinggi, maka kontraktorlah yang banyak menikmati hasil kenaikan minyak yang makin mahal. Karena merekalah yang memiliki modal, teknologi, tenaga ahli yang cukup baik serta berani menanggung risiko yang sangat besar dalam dunia industri migas.

Sebaliknya, pemerintah Indonesia hanya mengharapkan hasil migasnya saja, terutama jika datang waktunya menyusun rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN).

Selama ini setiap akan disusun RAPBN selalu ada harapan berapa besarnya hasil dari migas (saatnya bagi-bagi ‘kue’, Red). Akan tetapi, tidak ada pertanyaan berapa dana yang dibutuhkan Pertamina di dalam industri migas Indonesia agar hasil migas dari eksplorasi dan eksploitasi migas semakin besar.

Itulah kelemahannya. Oleh karena itu, tidak seharusnya rakyat merasa iri dengan kontraktor minyak asing yang sangat beruntung besar pada saat harga minyak dunia melambung (mereka sudah bermodal, tanggung risiko, dan lagipula kontrak bagi hasil sudah jelas bagiannya masing-masing, tanpa mereka bagaimana mau bagi-bagi ‘kue’?, Red). Sumbangan migas baik berupa devisa maupun pendapatan dalam negeri dari migas, tentu berasal dari berapa besarnya bagian untuk negara (waktu itu melalui Pertamina sebelum adanya BP Migas atau SKK Migas, Red) dan bagian untuk para kontraktor.

Dari waktu ke waktu isi kontrak bagi hasil terus berkembang sesuai dengan perkembangan harga minyak, dengan harapan agar bagian negara semakin besar. Walau dalam prakteknya, ada juga kontraktor migas yang pendapatannya makin berkurang.

Generasi PSC

Sebagai gambaran, perkembangan serta hitungan pembagian laba migas dalam production sharing contract/PSC (kontrak bagi hasil), khususnya minyak, ada beberapa periode tertentu yang berlaku di Indonesia selama ini, yakni sebagai berikut

Pertama, periode PSC hingga 1973 dengan pembagian profit 65-67,5 persen menjadi bagian Pertamina dan bagian kontraktor 35-32,5 persen. Sedangkan pajak penghasilan merupakan beban Pertamina.

Kedua, periode 1974-1975. Pertamina memperoleh bagian 65-67,5 persen dan kontraktor 35-32,5 persen dan additional cash payment 20 persen di atas base price (pada harga 10/8 adalah US$5) dan pajak beban Pertamina

Ketiga, periode 1976-1978 bagian :
a)      Pertamina 65-67,5 persen dan kontraktor 35-32,5 persen
b)      Additional cash payment
c)      Financial adjusmentdari ketiganya itu (A+B+C) adalah 85 persen dari net operating income dan untuk gas pembagiannya, tetap 65 persen dan pajak sebagai beban Pertamina.

Periode PSC 1964-1977 dinamakan PSC generasi I, dan periode 1978-1987 PSC generasi II. Dalam PSC generasi II ini, antara lain pembagian hasil setelah dikurangi biaya-biaya, maka pembagiannya (minyak) untuk Pertamina 65,91 persen dan kontraktor 34,09 persen. Untuk itu, bagian Pertamina 31,80 persen dan kontraktor 68,20 persen. Kontraktor membayar pajak 56 persen ke pemerintah.

PSC generasi III, mulai berlaku periode 1988 hingga sekarang. Pembagian hasil berubah menjadi untuk minyak, 71,15 persen menjadi bagian Pertamina dan 28,85 persen untuk kontraktor. Sedangkan untuk gas bumi, sebesar 42,31 persen hasil untuk Pertamina dan 57,64 persen untuk kontraktor.

Bagian bersih hasil setelah dikurangi pajak, untuk minyak perbandingan pembagian antara pemerintah Indonesia dengan kontraktor adalah 85:15 dan untuk gas bumi perbandingan 70:30. Sebagai catatan, hasil migas khususnya minyak yang sekitar 1,2 juta barel per hari (produksi pada saat itu, sekarang untuk menyentuh 900 ribu barel per hari saja sulit, Red), terbesar dari hasil kontraktor PSC generasi I. Khususnya dari hasil minyak dari PT Caltex (jadi siapa yang berjasa mengumpulkan dana untuk pembangunan nasional? mengingat dana hasil migas seluruhnya masuk ke kas negara, Red), kemudian bermunculan aneka rupa insentif. Akan tetapi, tetap saja sepertinya minat kontraktor asing tidak semakin besar. Apalagi jika dikaitkan dengan keterikatan Indonesia dengan pembatasan produksi OPEC.

Oleh karena itu, sejak lama sudah disarankan agar Indonesia keluar saja dari OPEC, agar bebas memproduksi seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Meksiko dan lain-lain (Indonesia keluar dari OPEC karena sudah tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak, tapi merasa bangga pada saat itu menjadi anggota OPEC dengan menuruti berbagai aturan yang bernuansa politik menekan perkembangan industri migas Indonesia, sampai kalah dengan negara sahabat, Red).

Adapun cara memperkirakan berapa besarnya sumbangan migas, khususnya dalam setiap RAPBN, maka harus dihitung misalnya, dengan menggunakan cara pembagian pendapatan dari sistem PSC biasa dengan insentif.

Misalnya, untuk setiap minyak yang diproduksi sebesar 1.000 barel dengan harga US$30 per barelnya, maka untuk investment credit dibutuhkan US$10 per barel, untuk cost recovery US$200 per barel, maka perhitungan seperti terlihat pada tabel berikut,

Aliran Minyak
Barel
Pertamina
Kontraktor
I  Production/Lifting
1000
-
-
   Invesment Credit
10
-
-
   Cost Recovery
200
-
-
   Equity to be Split
790
-
-
   Pertamina’s Share (65,91% x 790)

520,7
-
   Contractor’s Share (34,09% x 790)

-
269,3
   Domestic Market (25% x 34,09% x 1000)

85,2
(85,2)
   Total Aliran Minyak

605,9
184,1
   (Asumsi harga minyak US$30/barrel)



II Aliran Uang – US$



   Government tax Entitlement (US$)

4692
(4692)
   Fee domestic 85,2 x US$30

(2556)
2556
   Interest non capital carry forward (US$)

(20)
20
   Total Aliran Uang (US$)

2116
(2116)
III Jumlah Pembagian (I+II), US$

20293
9707
            Catatan:   Government tax Entitlement 50% x US$ (11823 + 2556 – 6000)
                                US$6000 = Hasil recovery 200 barel x US$30

Sebagai gambaran, produksi minyak mentah Indonesia bulan Maret 2000 sebanyak 1,191 juta barel per hari. Sebagian berasal dari PSC, yakni sebesar 1,076 juta barel per hari, terutama hasil kontraktor migas asing. Selisihnya merupakan hasil produksi Pertamina dan hasil kerjasama Pertamina dengan cara joint operation body(JOB) dan cara lainnya yang sangat kecil produksinya (hanya 9,6 persen effort Pertamina dalam produksi minyak, benarkah sanggup bila seluruh lapangan migas di Indonesia Pertamina yang mengelola? dengan seluruh dana hasil migas di setor ke kas negara? bagaimana nasib perkembangan perusahaan minyak nasional?, Red).

Jika harga minyak dunia makin tinggi, makin besarlah profit para kontraktor itu. Untuk memudahkan membuat rencana pendapatan migas dari migas maka digunakan perhitungan dengan harga yang dipatok dalam RAPBN. Jumlah produksi minyak juga dipatok, berapa nilai yang dimasukkan dalam suatu perhitungan, misalnya dengan formula di atas.

Adapun realisasinya harus dihitung satu per satu kontraktor, karena tahun serta isi kontrak berbeda, juga harga serta jenis minyak mentahnya termasuk syarat-syarat pembagiannya. Oleh karena itu, antara rencana dan realisasi pendapatan dalam negeri dari minyak bumi khususnya selalu berbeda.

Yang pasti selama bulan Maret 2000 produksi minyak mentah dari 17 kontraktor PSC daratan jumlah produksi minyak mentahnya 752,7 ribu barel per hari, yang terbesar dari PT Caltex sebesar 590,7 ribu barel per hari. Dari 10 kontraktor PSC lepas pantai yang jumlah hasil minyak mentahnya sebanyak 323,1 ribu barel per hari, terbesar dari Maxus 111,3 ribu barel per hari.

Selama Januari-Maret 2000 jumlah produksi minyak mentah Indonesia sebesar 108,17 juta barel. Ini berarti laba yang diterima sangat tinggi, karena harga minyak sedang tinggi, dan sebagian besar laba itu akan diterima para kontraktor migas asing.


Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.

Indonesia Bisa Mundur Kalau Masih Ekspor Bahan Mentah Mineral

Pemerintah dan para pelaku usaha tambang menetapkan keputusan bersama untuk pengolahan konsetrat kadar 15 persen, pemurnian tembaga 90 persen, dan emas 99 persen. Penetapan itu dinilai telah mengakomodasi kepentingan kontrak karya (KK), Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin usaha pertambangan khusus pengolahan pemurnian.

Hal tersebut merupakan keputusan bersama yang diputuskan pada rapat tertangal  8 Januari 2014  diantara Kementerian ESDM, Kadin Indonesia, Asosiasi Mineral Indonesia (AMI), Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI), PT Freeport, dan PT Newmont.

“Keputusan ini agar pengolahan IUP tembaga bisa memproduksi konsentrat kadar 15 persen, dengan begitu IUP terakomodasi, kontrak karya tetap bisa ekspor,  UU No.4/2009  bisa jalan, pergerakan ekonomi di daerah pun aktif tidak terjadi stagnasi dan PHK tidak terjadi,” kata Ketua ATEI, Natsir Mansyur.

Menurut Natsir, dalam masa waktu persiapan yang hanya 3-4 tahun program hilirisasi mineral ini memerlukan dukungan, namun semestinya bertahap dan memerlukan waktu sambil menunggu  pembangunan industri pengolahan dan pemurnian berproduksi. 

Dalam implementasinya, kata dia, sebaiknya Kementrian ESDM proaktif melibatkan Kadin dan Asosiasi untuk memutuskan bersama.  “Pokoknya tidak ekspor ore (bahan mentah mineral), negara ini mundur kalau masih ekspor ore,” kata Natsir yang juga merupakan Dirut PT Indosmelt.

Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 1)

Dalam menghadapi ekonomi migas sekarang banyak tantangan yang harus diperhatikan, antara lain yang berkaitan dengan jumlah kebutuhan akan BBM (Bahan Bakar Minyak) di dalam negeri yang terus meningkat, harga jual dan kurs Rupiah serta subsidi BBM, keuntungan para kontraktor migas asing, penerimaan negara dari migas serta yang berkenaan dengan upaya meningkatkan produksi migas yang semakin menurun, sedangkan kebutuhan BBM dalam negeri terus meningkat.

Bagaimanapun juga hasil migas secara riil harus bertambah, minimal pertambahan rata-ratanya harus jauh lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan penggunaan minyak dalam negeri. Untuk itulah, karena Indonesia semakin kekurangan dana, dan hutang luar negeri tinggi, maka jalan yang lebih baik dalam menghasilkan migas hanya dengan kerjasama yang baik dengan para kontraktor migas asing.

Merekalah yang mempunyai dana/investasi yang dibutuhkan, mereka pulalah yang mampu memanfaatkan tenaga ahli dunia perminyakan. Di samping itu, mereka berani menanggung risiko yang sangat besar dalam kegiatan usaha migas(pertanyaannya, apakah investor dalam negeri tidak mampu? memiliki kendaraan pribadi hingga jet yang notabene bukan buatan dalam negeri malah bisa kebeli, atau memang tidak ada yang berani?, Red).

Untuk itu perkembangan paket-paket insentif perlu terus diperbaiki, sehingga para kontraktor asing merasakan insentif yang diberikan Indonesia saling menguntungkan kedua belah pihak.

Seberapa jauh mereka berminat beroperasi migas di Indonesia tentu akhirnya sangat ditentukan dengan keadaan pasar minyak dunia serta tinggi rendahnya harga minyak dunia. Untuk itu pula, perlu dikaji kembali mengenai prospek permintaan dan penawaran minyak bumi dunia (perlu diingat, dunia melihat Indonesia karena kekayaan alamnya yang terbentang dari Sabang hingga Marauke, namun masih bingung mau diolah seperti apa, sehingga bisa jadi kesempatan bagi dunia mengambil alih dengan berbagai dalih, kemana karya anak bangsa ini?, Red). Dengan kajian itu, diharapkan akan mendorong investor asing melakukan operasi di berbagai negara penghasil minyak, seperti di Indonesia, sekiranya memang prospek harga minyak dunia semakin membaik.

Sebaliknya, jika prospek harga minyak dunia suram, berarti pula akan terjadi kemerosotan upaya mencari minyak bumi dunia, sehingga produksi minyak dunia juga turun (lagi, permainan supply dan demand, Red).

Harga, Subsidi dan Kebutuhan BBM Dalam Negeri
(penulis mengkaji dari APBN 2001, sebagai salah satu contoh dan gambaran dibandingkan dengan APBN tahun-tahun lainnya, Red)

Dalam upayanya merevisi APBN 2001, pemerintah sudah memutuskan untuk menaikkan harga BBM sebesar 30 persen IMF menyetujuinya. Menurut rakyat kecil, kenaikan harga BBM merupakan kesalahan pemerintah serta ketidakmampuan pemerintah menekan kurs Dollar AS khususnya. Kebijakan menaikkan harga BBM tidak sesuai dengan UUD 1945 yang mengatur agar bangsa Indonesia bisa menjadi masyarakat yang makmur, daya belinya terus meningkat, bukan sebaliknya malah daya beli masyarakat semakin ambruk (sebenarnya daya beli meningkat, tapi untuk produk yang bukan produksi dalam negeri atau hasil karya anak bangsa alias produk impor, dan bangga memanfaatkan momen tersebut, Red).

Pada 2000 daya beli rakyat Indonesia turun sekitar 25 persen. Turunnya daya beli terutama sebagai akibat semakin ambruknya kurs Rupiah terhadap Dollar AS yang nyaris mencapai Rp12.000 per US$ (apakah tidak kapok? dimana kurs Rupiah 2013 telah menembus Rp12.000 per US$, apakah ingin diibaratkan seekor keledai yang mengulangi kesalahan yang sama?, Red).

Akibat segala serta tarif secara nilai rupiah terus melonjak juga. Seharusnya pemerintah menanggulangi defisit anggaran 2001 yang dari Rp41,6 triliun menjadi Rp66,8 triliun (itu baru 2001, bagaimana kabar defisit anggaran 2013 dan 2014 serta tahun-tahun berikutnya?, Red), jangan cepat-cepat menaikkan harga BBM dahulu. Karena kenaikan BBM pasti akan diikuti dengan kenaikan aneka rupa dan tarif. Pada gilirannya inflasi naik, daya beli rakyat merosot dan defisit anggatan makin membengkak (sudah terlambatkah? mengingat biaya produksi pengolahan BBM juga semakin membengkak, mengakibatkan subsidinya habis dan belum tentu rakyat menikmatinya, rakyat yang mana?, Red).

Apalagi, di samping kenaikan harga BBM itu juga pajak penghasilan naik dari 10 persen menjadi 12,5 persen dan tarif listrik naik 20 persen. Ini merupakan kebijakan pemerintah yang salah (kayak pemalak aja ya, demi ‘kesehatan’ APBN, Red).

Langkah yang perlu diambil, yakni menciutkan besarnya anggaran belanja negara. Misalnya, agar gaji presiden, wakil rakyat hingga pejabat kelas bawah harus dikembalikan seperti gaji pada masa Orde Baru (kan, gaji dibesarkan dengan alasan hindari korupsi, tapi sepertinya tidak ngaruh, gaji diciutkan nanti alasan tidak ada anggaran, akhirnya minta sampingan sana-sini, memang kalau sudah dimanja dengan gaji ‘aman’ malah makin tidak puas, Red).

Pola hidup sederhana harus dihidupkan kembali. Juga anggaran pembangunan non-fisik yang selama ini diperkirakan sebagai gudang munculnya proyek-proyek fiktif, serta anggaran pejabat/aparat birokrat berjalan-jalan antar daerah atau antar negara harus dihentikan.

Jumlah penggunaan BBM di dalam negeri harus mampu diturunkan agar subsidi BBM semakin kecil. Untuk itu, mungkin perlu kebijakan pengaturan lalu lintas untuk kendaraan-kendaraan pribadi. Misalnya, pada tanggal kalender ganjil, seluruh mobil pribadi bernomor polisi ujungnya genap tidak boleh digunakan. Sebaliknya pada tanggal genap, seluruh mobil pribadi bernomor polisi ujungnya ganjil tidak boleh digunakan (wah, penulisbahkan sudah punya ide seperti ini di 2001, tapi lagi-lagi pengawasan menerbitkan nomor polisi kendaraan yang perlu diawasi, kalau tidak tetap saja punya kendaraan pribadi sebanyak-banyaknya atau bisnis plat nomor polisi makin marak, Red).

Hal ini akan mengakibatkan jumlah penjualan BBM akan merosot dan faktor lingkungan hidup, karena pencemaran pembakaran BBM diharapkan semakin baik. Di samping itu, pemerintah daerah tidak perlu menggunakan sistem three in onepada jam-jam tertentu di jalan-jalan yang dianggap sangat ramai. Karena jumlah kendaraan pribadi tiap harinya bisa turun sekitar 30 persen.

Sampai Kapan Pemerintah Harus Memberi Subsidi BBM

Jawabnya tentu hanya sederhana, antara lain pertama, sekiranya biaya produksi BBM lebih rendah dibandingkan dengan harga jualnya, sehingga muncul laba bersih minyak, bukan subsidi (karena kalau subsidi, yang rugi siapa yang mengambil untung siapa, itulah sebabnya kilang pengolahan minyak tidak ada kemajuan, berdalih kebutuhan yang semakin meningkat (demand) tapi segi supply terabaikan, yang mudah ya impor, akankah seperti itu terus-terusan?, Red).

Kedua, sepanjang pemerintah masih terikat dengan UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat (2) dan ayat (3). Ini berarti harga jual BBM di dalam negeri harus disesuaikan dengan daya beli masyarakat (dan menutup mata hingga telinga, ketika harga BBM subsidi di Indonesia bagian timur bisa 3-4 kali lipat dari harga BBM subsidi yang ditetapkan, sementara yang menikmati harga subsidi yang sebenarnya semakin beramai-ramai membakar BBM subsidi, Red).

Ketiga, pemerintah berhasil menaikkan daya beli masyarakat. Pendapatan per kapita yang merata makin tinggi, sehingga penghapusan subsidi BBM tidak menjadi masalah (beranikah? mana yang berdalih bahwa pendapatan per kapita Indonesia semakin meningkat, daya beli masyarakat dikatakan semakin membaik, sudah seharusnya dongsubsidi BBM dihilangkan? atau masih ada ‘tekanan’ bagi yang mau cicipi ‘kue’ subsidi?, Red).

Justru sekarang pemerintah Indonesia, baru gagal dalam ekonomi dan moneter, sehingga kurs Dollar AS khususnya semakin kuat, sedangkan kurs Rupiah makin terpuruk. Semua kegagalan pemerintah harus dibayar dengan pengorbanan rakyat banyak dengan cara menaikkan harga BBM yang berakibat segala barang dan jasa ikut-ikutan naik (pada saat itu, di 2000-2001, sekarang dilema deh, imbas dari kebijakan terdahulu mengakibatkan multiplier effect yang berkelanjutan hingga sekarang dan mau sampai kapan?, Red). Harus disadari meningkatnya daya beli atau taraf hidup rakyat banyak, ditambah dengan adanya kemajuan dalam pembangunan nasional maka kebutuhan BBM di dalam negeri pasti meningkat.

Sejalan dengan laju roda pembangunan di segala sektor, bidang maupun regional sejak mulai dilaksanakannya tahun pertama Repelita I (1969/70) ternyata kebutuhan BBM (avgas, avtur, premium, minyak tanah, solar, minyak diesel dan minyak bakar) terus meningkat tajam. Sebagai gambaran dalam tabel 1 tampak pertumbuhan jumlah kebutuhan BBM di dalam negeri sebagai berikut,

Tabel 1
Pertumbuhan Kebutuhan BBM dalam Negeri
1984/1985 – 1998/1999
(dalam jutaan kiloliter)
Tahun
Jumlah
Tahun
Jumlah
1984/1985
25,8
1991/1992
36,9
1985/1986
24,9
1992/1993
39,8
1986/1987
25,1
1993/1994
42,1
1987/1988
26,8
1994/1995*
43,7
1988/1989
28,2
1995/1996*
47,9
1989/1990
30,5
1996/1997*
50,5
1990/1991
34,8
1997/1998*
50,9


1998/1999*
53,5
                        *perkiraan
                                Sumber: diolah dari Buku Data Pertamina, 1994

Dari tabel 1, tampak jelas betapa besarnya jumlah kebutuhan BBM di dalam negeri. Adapun pemakai utama BBM di dalam negeri, yakni sektor rumah tangga, listrik PLN dan non-PLN, sektor angkutan serta sektor industri.

Dalam tabel 2 tampak pertumbuhan jumlah kebutuhan BBM di dalam negeri di beberapa sektor sebagai berikut,

Tabel 2
Perkiraan Kebutuhan BBM di Beberapa Sektor
1994/1995 – 1998/1999
(dalam jutaan kiloliter)
Sektor
1994/95
1995/96
1996/97
1997/98
1998/99
Industri
11,6
10,9
12,3
13,8
15,3
Angkutan
18,3
19,8
21,6
23,4
25,5
PLN & Non
10,3
11,1
12,3
11,1
11,9
Rumah Tangga
9,6
9,1
8,7
8,5
8,5
Jumlah
49,8
50,9
54,9
56,8
61,2
            Sumber: diolah dari Buku Repelita VI, Departemen Pertambangan dan Energi, 1994/1995 – 1998/1999

Jika diperhatikan dari tabel 1, jumlah kebutuhan BBM di dalam negeri sesuai dengan perhitungan pihak produsen, yakni Pertamina. Sebaliknya, dalam tabel 15 dihitung angka perkiraan kebutuhan BBM per sektor agak lebih besar jumlahnya (data tidak sinkron?, Red). Hal ini memungkinkan terjadinya defisit jumlah kebutuhan BBM di dalam negeri yang untuk pemenuhannya sesuai kebutuhan berarti harus ada impor BBM (memang selalu over kuota kan? atau memang itu yang diinginkan terjadi?, Red). Untuk itu diupayakan beberapa sektor agar lebih banyak lagi memanfaatkan gas bumi, batubara dan lainnya (sudah diingatkan berkali-kali loh, Red).

Besarnya jumlah BBM yang dibutuhkan serta semakin mahalnya harga minyak mentah dan bahan-bahan bakunya, maka pemerintah dan DPR yang memegang kunci kenaikan harga BBM. Jika harga jual BBM lebih rendah dibandingkan dengan biaya produksi, maka pemerintah terpaksa harus memberi subsidi BBM. Sebaliknya, sekiranya harga jual BBM lebih tinggi dibandingkan dengan biaya produksinya, berarti pemerintah untung, karena tidak ada subsidi namun yang ada adalah laba bersih minyak (LBM) (hati-hati, ada yang ‘sadar’ dengan gunakan ‘celah’ agar kedapatan ‘kue’, Red).

Sebagai gambaran singkat dalam tabel 3 dirinci, bagaimana menghitung biaya pokok yang dilakukan pihak Pertamina, apakah ada subsidi BBM atau sebaliknya ada LBM.

Tabel 3
Perhitungan Biaya Pokok BBM Tahun 1991/1992
Keterangan
Rp / liter
US$ / liter
A.    Biaya Penyediaan Minyak
1.      Minyak Mentah Prorata

1.1. Pertamina
3,53
0,0018
1.2. Kontraktor
4,32
0,0022
2.      Minyak Mentah Inkind

2.1. Pertamina
19,32
0,0093
2.2. Kontraktor
184,17
0,0936
3.      Minyak Mentah Impor
82,19
0,0417
4.      Produk Impor
27,35
0,0139
5.      Jumlah Biaya Pembelian Minyak
320,88
0,1629
6.      Jumlah Perubahan Persediaan
5,5
0,0028
7.      Nilai Surplus BBM/Non BBM
(73,37)
(0,0372)
8.      Jumlah Biaya Penyediaan Minyak
253,06
0,1285
B.     Biaya Operasi
1.      Biaya Pengolahan
22,97
0,0117
2.      Biaya Distribusi
10,72
0,0054
3.      Biaya Angkutan Laut
20,99
0,0017
4.      Biaya Biaya Umum Kantor Pusat
(0,47)
(0,0020)
5.      Biaya Bunga
1,38
0,0007
6.      Biaya Penyusutan
7,74
0,0039
7.      Jumlah Biaya Operasi
63,33
0,0322
C.    Biaya Pokok BBM (A+B)
316,90
0,1607
D.    Penjualan Bersih BBM
(273,34)
(0,1388)
E.     Subsidi BBM
43,05
0,0219
F.     Volume Penjualan BBM (jutaan kiloliter)
36,24

Kurs 1 US$ = Rp1.969,92
            Sumber: diolah dari Buku Data Pertamina, 1994

Itulah sekedar gambaran yang berkaitan dengan jumlah kebutuhan BBM dan subsidinya. Adapun faktor penentu utama besar kecilnya biaya produksi BBM, yakni kurs Rupiah terhadap Dollar AS, harga minyak mentah dan produk, serta jumlah kebutuhan BBM. Di samping faktor efisiensi dalam pengolahan dan lain-lain (permasalahannya, kurs Rupiah sudah tidak lagi di kisaran Rp2.000 seperti era 90-an, lalu kenapa Rupiah lemah sekali bisa menembus Rp12.000 per Dollar AS?, Red)

Semakin terpuruknya kurs Rupiah terhadap Dollar AS, walaupun harga minyak mentah dunia tidak naik, maka biaya produksi BBM secara rupiah makin tinggi. Akhirnya jumlah subsidi BBM makin membengkak seperti tahun anggaran 2001 (dan sepertinya masih terus berlanjut, selama yang membagikan ‘kue’ belum rata, Red).

Ini merupakan kesalahan pemerintah, karena tidak mampu bahkan gagal mengendalikan ekonomi serta moneter. Akhirnya yang dikorbankan adalah rakyat banyak. Sangat disayangkan wakil rakyat yang terpilih setuju akan kenaikan harga BBM, dengan alasan dana subsidi untuk kepentingan lain. Seharusnya wakil rakyat jangan setuju saja, tetapi harus mampu menilai hasil kerja pemerintah yang gagal dalam hal ekonomi dan moneter.


Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.