Pertamina Dilanda Badai RUU Migas 1999

Dengan dikeluarkannya UU No. 8 Tahun 1971 tentang berdirinya Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), maka Pertamina menjadi satu-satunya BUMN yang mengusahakan bidang migas secara nasional. Di tangan Pertamina-lah potensi ekonomi migas harus dikembangkan sehingga memperoleh hasil yang semaksimal mungkin untuk keberhasilan pembangunan nasional terutama selama periode Orde Baru.

Salah satu kunci keberhasilan Pertamina yakni mampu menarik puluhan kontraktor minyak asing untuk melakukan pencarian serta menghasilkan migas, terutama di lepas pantai. Peningkatan produksi migas berarti pula ekspor migas semakin besar (perlu diingat, Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak, sejak 2003 telah menjadi negara pengimpor minyak, Red), pendapatan dalam negeri dari migas terus meningkat, pemenuhan kebutuhan dalam negeri akan migas sebagai energi juga meningkat (dan sudah terjadi kelebihan demand dibandingkan supply, Red), yang pada gilirannya GDP Indonesia juga meningkat.

Bahkan dana dari hasil potensi ekonomi migas selama masa Orde Baru berdampak nyata terhadap perubahan dalam struktur ekonomi. Pada mulanya sektor pertanian yang dominan dalam GDP, namun dengan adanya dana dari hasil potensi migas bagi pembangunan nasional, maka sektor-sektor non migas khususnya sektor indsutri meningkat tajam, juga sektor-sektor lainnya. Dengan kata lain, sektor pertanian telah menurun dan industri bangkit.

Hal ini dikarenakan dari Repelita I (1969/70-1973/74) hingga tahun kedua Repelita IV (1984/1985-1985/86) pendapatan dalam negeri dari migas jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil dari non migas. Hasil inilah sebagai sumber dana pembiayaan pembangunan yang sangat diandalkan terutama untuk pengembangan sektor-sektor atau bidang di luar migas atau non migas (yang kemudian terlanjur di’manja’ dengan pemasukan besar dari hasil migas, dan lupa bila migas merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan akan habis bila dikelola tidak semestinya, Red).

Jumlah produksi minyak mentah Indonesia yang pada 1968 hanya 219,9 juta barel terus melonjak menjadi 589,2 juta barel pada akhir Repelita II (1978/79) dan pada tahun kedua Repelita VI (1995/1996) jumlah produksi mentah Indonesia mencapai 588,5 juta barel.

Begitu juga produksi gas bumi Indonesia yang pada 1968 hanya 116 miliar kaki kubik, terus melonjak menjadi 3.040,6 miliar kaki kubik pada tahun kedua Repelita VI (1995/1996).

Dengan adanya peningkatan produksi migas dari tahun ke tahun, berakibat hasil ekspor migas dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Apalagi sejak terjadinya Perang Oktober 1973 di Timur Tengah, ketika harga minyak melonjak tajam dari hanya sekitar US$2 per barel menjadi di atas US$30 per barel (rejeki nomplok tuh, tapi ‘keuntungan’ selisihnya dikemanakan ya?, Red).

Sebagai gambaran, hasil ekspor minyak mentah dan produk hasil kilang pada 1968/1969 hanya senilai US$327 juta dan non migas US$585 juta. Dengan adanya peningkatan produksi migas serta harga minyak dunia makin baik, maka pada tahun ketiga Repelita III (1981/1982) jumlah nilai ekspor migas mencapai puncaknya dengan nilai US$18.824 juta (wow, tapi memang saat itu nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS masih sekitar Rp2000an, lagi-lagi nilai tukar menjadi salah satu variabel perhitungan untuk pemasukan negara, Red) dan nilai ekspor non migas hanya US$4.170 juta.

Begitu pula pendapatan dalam negeri dari migas yang pada tahun pertama Repelita I (1969/1970) hanya senilai Rp65,8 miliar dan dari non migas Rp117,9 miliar, maka pada tahun kedua Repelita IV (1985/1986) pendapatan dalam negeri dari migas terus melonjak menjadi Rp11.144,4 miliar dan dari non migas senilai Rp8.108,4 miliar (terjadi pergeseran penerimaan negara yang tadinya non migas menjadi migas, lagi, lupa kalau migas dikelola tidak semestinya maka akan habis begitu saja, boleh berbangga pernah merasakan jaya atau kaya karena migas telah memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan, tapi bila supply tidak ada, apa mau dikata? ibarat mancing di laut mati, Red).

Dengan memanfaatkan dana migas untuk pembangunan nasional khususnya untuk non migas, maka pada tahun keempat Repelita VI (1997/98) pendapatan dalam negeri dari migas mencapai nilai Rp35.357 miliar dan dari non migas mencapai nilai sangat tertinggi, yakni Rp72.826,8 miliar.

Itulah antara lain keberhasilan Pertamina mengelola potensi ekonomi migas Indonesia. Hanya sayangnya pada 1999 Pertamina dilanda badai dengan diajukan RUU Migas pada 1999 (kemudian menjadi UU Migas 22/2001, Red) oleh pemerintah atau Menteri Pertambangan dan Energi ke DPR (sekarang giliran mau revisi UU Migas di situasi genting setelah pembubaran BP Migas malah main tunggu-tungguan, tak ada inisiatif seperti yang dilakukan pemerintah dulu, apa dulu ada inisiatif karena ada maksud dan tujuan tertentu?, Red).

RUU Migas 1999 itu antara lain menghapus UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina, yang berarti Pertamina harus dibubarkan. Tentu saja RUU itu ditolak melalui DPR-RI dan berbagai media massa, karena jika Pertamina dibubarkan, maka akan berakibat hilangnya sejumlah aset Pertamina yang nilainya tak terhingga, hilangnya peluang usaha Pertamina yang beralih ke tangan keluarga istana dan kawan-kawan dan lenyapnya bukti KKN di Pertamina. Bahagialah mereka yang sudah berhasil merampas hasil kerja keras Pertamina selama masa Orde Baru itu. Untung saja akhirnya RUU Migas 1999 dikembalikan oleh DPR kepada pemerintah, ini berarti Pertamina tidak jadi dibubarkan.

Badai RUU Migas 1999

Walaupun setelah pemilu 7 Juni 1999 masa jabatan wakil rakyat sudah berakhir, tetapi tampaknya ada gejala-gejala RUU Migas akan dipaksakan untuk disetujui. Walau begitu banyak ahli bahkan para pengamat dan juga para mantan pejabat-pejabat Pertamina kontra terhadap RUU Migas 1999 itu.

Fraksi PDI-P dan PPP termasuk yang tidak bersedia membahas apalagi menyetujui RUU Migas 1999 itu dalam kurun waktu menjelang pemilu (tapi pada akhirnya disetujui juga, dan fraksi yang menang saat itu PDI-P, sehingga yang menandatangani UU saat itu, kepala negara dari fraksi yang menang, Red). Lain halnya dengan fraksi Karya Pembangunan, sebagian besar sebagai pemilik suara terbesar karena anggotanya adalah wakil rakyat dari pemerintahan Orde Baru. Walaupun demikian banyak anggapan seharusnya sebelum wakil rakyat hasil pemilu Juni 1999 dinyatakan sah (sepertinya sejarah terulang kembali, bagaimana nasib revisi UU Migas kini?, Red), apalagi ternyata PDI-P yang menang suara, segala persetujuan apa saja, termasuk RUU Migas 1999, tak perlu disetujui. Tetapi tunggu sampai suara wakil rakyat hasil pemilu Juni 1999 disahkan.

Sekiranya RUU Migas 1999 disetujui oleh DPR, maka sesuai isi RUU Migas 1999 Bab X pasal 45 ayat (1a-1c) UU No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara berikut segala perubahannya, terakhir dengan UU No. 10 Tahun 1974, semuanya tidak berlaku lagi. Di samping itu ditetapkan pula bahwa segala peraturan pelaksanaan No. 44 Prp. 1960, UU No. 8 Tahun 1971, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan UU ini.

Ini sebagai pertanda bahwa RUU Migas sepertinya memang dibuat secara mendadak. Untung saja RUU Migas dikembalikan lagi oleh DPR kepada pemerintah, yang berarti UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina tidak dicabut, berarti pula Pertamina tidak dibubarkan dan tidak diganti dengan yang lainnya. Kebijakan yang dibuat secara mendadak ini diperkirakan mengandung aneka kepentingan.

Yang pasti, jika Pertamina bubar, maka bahagialah kelompok yang telah berhasil mengeruk dana serta lapangan usaha Pertamina. Juga para pelaku KKN di Pertamina bisa bebas, karena semakin sulit menemukan data soal KKN di Pertamina selama masa Orde Baru. Inilah yang dinamakan badai RUU Migas 1999.

Berbagai media massa pada hari Rabu, tanggal 24 Oktober 2001, memberitakan mengenai RUU Migas yang disahkan oleh DPR-RI. Begitu berita itu dimuat di koran-koran banyak orang yang bertemu penulis yang seolah-olah mengingatkan kepada penulis bahwa keberatan penulis agar RUU Migas ditolak DPR, ternyata disetujui oleh DPR-RI. Apalagi mereka tahu, bahwa karena keberatan penulislah maka DPR Orde Baru mengembalikan RUU Migas ke pemerintah.

Penulis pernah menelpon pak Hamzah Haz di rumahnya, dan pak Hamzah meminta agar penulis menghubungi pak Zarkasih Nur mengenai RUU Migas itu. Karena pak Hamzah Haz bukan sebagai anggota DPR dan bukan pula ketua/wakil ketua/ketua fraksi di DPR. Bahkan pak Purnomo yang masih menjabat sebagai wakil gubernur Lehamnas menelpon penulis di rumah agar penulis memberitahukan Mentamben.

Penulis yang juga dikenal sebagai orang yang selalu menolak setiap usulan kenaikan harga BBM, jika pendapatan per kapita rakyat secara merata tidak naik setara dengan kenaikan harga BBM. Karena soal UU Migas itu, penulis hanya menjawab singkat dengan kalimat sebagai berikut “DPR saja yang gajinya dibayar oleh negara begitu tinggi setuju, apalagi saya yang tak pernah dibayar”.

Bahkan pada waktu pemerintah mengusulkan harga BBM naik 30 persen terdapat suatu tim di kalangan DPR yang meminta agar harga BBM naik 100 persen. Tampaknya mereka merasa puas dengan jawaban tersebut. Karena mereka tahu, penulisbukan pegawai/pensiunan Pertamina, bukan pula konsultan Pertamina atau konsultan pemerintah. Mereka tahu, penulisadalah kolumnis/pengamat, dosen dan penulis buku.

Mengenai RUU Migas, penulis mempunyai dua kepentingan utama menolak RUU Migas versi 1999. Pertama, untuk kepentingan orang banyak terutama yang berpenghasilan tetap atau kecil apalagi yang penghasilan tidak menentu. Khususnya kalau pengadaan BBM di dalam negeri makin kacau dan harganya makin tidak terjangkau rakyat banyak. Pertamina masih sesuai UU No. 8 Tahun 1971, tetapi banyak yang mempermainkan pengadaan BBM dan harganya, apalagi kalau Pertamina dibubarkan versi RUU Migas Orde Baru. Kedua, untuk kepentingan keuangan negara agar tidak semakin dirugikan. Pada gilirannya untuk menyehatkan kembali ekonomi moneter Indonesia secara keseluruhan.

Sebagai contoh, kalau Anda masih mempunyai surat kabar Sinar Harapantanggal 29 Maret 1973 (dua puluh delapan tahun yang lalu, terhitung pengamatan penulis pada 2001), sebelum Perang Oktober 1973 di Timur Tengah yang melonjakkan harga minyak dunia. Pada tanggal itu, tulisan penulis dimuat dengan judul Produsen Minyak dan Krisis Moneter Internasional. Dalam tulisan itu, antara lain penulis utarakan kalau OPEC mengekspor minyak ke AS bayarannya harus berupa Dollar AS, kalau ke Jepang dengan Yen dan kalau ke Eropa dengan Deustsche Mark (belum menggunakan Euro, Red). Setelah penulis keluarkan artikel itu, beberapa waktu kemudian muncul SDR (special drawing right), karena SDR nilainya masih terus dimonopoli Dollar AS, maka naiknya nilai Yen tak punya arti yang besar untuk meredam kenaikan Dollar AS itu. Bahkan satu mata uang Eropa masih lumayan meredam bangkrutnya Dollar AS dan melonjaknya Yen.

Begitu juga belasan tahun yang lalu melalui media massa, penulismeminta agar OPEC menentukan harga patokan seperti sekarang yang kemudian disesuaikan dengan jumlah permintaan minyak dunia. Bukan sebaliknya, kalau harga minyak dunia turun yang dimainkan oleh negara industri/pengimpor, lalu OPEC melakukan pemangkasan kuota produksi. Penulissejak lama mengharapkan agar OPEC harus sebagai seller’s market bukan buyer’s market seperti puluhan tahun yang lalu.

Ketika harga minyak hanya di bawah US$2 per barel. Seharunsnya kalau menggunakan teori supply dan demand sejak puluhan tahun yang lalu pasti harga minyak sudah belasan bahkan puluhan US$ per barelnya, seperti sekarang. Ini berarti selama puluhan tahun negara-negara penghasil minyak, yang kemudian menjadi OPEC terus memberi subsidi harga minyak tidak kentara kepada negara-negara industri/besar. bahan renungan mengapa pemberian subsidi BBM di dalam negeri justru dianggap baik oleh para teknokrat.

Begitu pula pada 1985, tulisan penulis dimuat di OPEC Bulletin mengenai tiga wilayah migas Riau, Aceh dan Kalimantan Timur agar dijadikan pusat-pusat pembangunan dan harus diberikan alokasi devisa yang cukup. Nyatanya sekarang muncul kebijakan otonomi daerah.

Juga belasan tahun yang lalu secara pribadi penulis sampaikan sebuah memo kepada Bapak Dirjen Migas agar dalam kontrak bagi hasil ditambah dengan kalimat, kalau ditemukan hanya gas bumi maka kontraktor juga harus memenuhi kebutuhan gas bumi di dalam negeri seperti minyak (domestic market obligation/DMO) dengan harga hanya beberapa sen US$ per sejuta BTU. Waktu itu Bapak Dirjen hanya memberikan catatan pada memo penulissimpan saja”, itu belasan tahun lalu pada waktu pemerintah atau Pertamina mempunyai kekuatan terhadap kontraktor.

Kalau sekarang mungkin hanya akan menimbulkan ketidakpercayaan kontraktor terhadap Indonesia, apalagi ditambah dengan masalah pajak. Layak diperhatikan keluhan IPA (Indonesian Petroleum Association) itu.

UU Migas Suatu Harapan

Disahkannya RUU Migas menjadi UU minimal telah menunjukkan hasil kerja DPR itu cukup menggembirakan karena 80 persen dari apa yang dikhawatirkan sudah masuk dalam RUU Migas yang dibahan DPR dan pemerintah hingga disahkan menjadi UU.

Apalagi, akhirnya Pertamina tidak dibubarkan dan hanya berubah menjadi Persero. Hal ini sesuai dengan jawaban penulis pada waktu ada ahli dari Pertamina bertanya pada acara Oil & Gas Associatiates Forum di Jakarta, tanggal 30 September 1999. Pertanyaannya mengenai bagaimana menambah modal Pertamina agar diharapkan bisa semakin besar. Waktu itu penulismenjawab “Sekiranya Pertamina tidak dibubarkan dan menjadi Persero tentu penambahan modalnya dengan menjual saham”.

Tampaknya apa yang penulis utarakan dua tahun yang lalu menjadi kenyataan. Yang penting Pertamina tidak dibubarkan. Untuk itu Pertamina harus ramping, serta mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensinya. Dengan kata lain kekhawatiran penulis mengenai pembubaran Pertamina tidak menjadi kenyataan, malah diharapkan agar Pertamina bisa bekerja serta berkembang lebih sehat lagi.

Juga kekhawatiran penulis mengenai pengadaan atau pendistribusian BBM di dalam negeri, kalau dikelola dengan badan-badan lain dikhawatirkan sangat merugikan rakyat banyak. Tampaknya masalah ini terjawab, karena dalam RUU Migas yang disahkan itu, Pertamina masih diberi tugas, selain dua tahu untuk hulu dan yang terberat yakni tugas hilir empat tahun.

Tugas pengadaan atau pendistribusian BBM ke seluruh pelosok tanah air merupakan tugas terberat Pertamina selama ini. Bahkan hingga tugas inilah yang selalu mengkambinghitamkan Pertamina dalam berbagai kesalahan sehingga tidak sedikit yang menghendaki agar Pertamina dibubarkan. Oleh sebab itu, sekarang perlu diketahui dengan jelas siapa saja yang menyedot atau menyimpan BBM sehingga harganya melonjak. Walaupun demikian, minimal mungkin masa empat tahun itu diharapkan masih bisa diperpanjang demi kepentingan rakyat banyak.

Walaupun demikian, kekhawatiran apakah Pertamina masih bisa bekerja seperti tugas Pertamina sesuai UU No. 8 Tahun 1971 itu masih tetap ada. Karena sejak berlakunya UU Migas, Pertamina menjadi perusahaan yang harus memperoleh laba. Dalam pelaksanaannya hal itu bukan hanya sangat sulit, juga sangat merugikan rakyat banyak dan juga keuangan negara.

Contoh sangat sederhana perjanjian membangun gedung migas. Ternyata dalam praktek atau kenyataannya hingga kini bukan hanya gedung migas yang tak bisa diharapkan sudah berdiri dan berjalan, malah gedung migas yang lama akan digantikan dengan gedung migas mewahpun sudah tidak bisa diharapkan. Apalagi dalam pelaksanaan UU Migas nantinya yang mungkin banyak merugikan rakyat banyak dan kemungkinan besar para kontraktor migas asing bukan hanya tidak ada yang mau melakukan usahanya di Indonesia, mungkin juga mereka akan memutuskan hubungan kerja. Dan akhirnya merugikan keuangan negara.

Pada mulanya justru timbul kekhawatiran UU Migas akan menguntungkan kontraktor asing karena kuasa pertambangan serta pengawasan bukan lagi ditangani oleh Pertamina. Ternyata setelah muncul soal DMO dan perpajakan dalam RUU Migas/UU Migas kontraktor ikut mengeluh. Di samping itu muncul pula kekhawatiran kalau Pertamina bubar maka jeka KKN di Pertamina selama Orde baru hilang. Tetapi karena Pertamina tidak bubar, soal KKN itu menjadi urusan Pertamina dan pemerintah yang harus benar-benar dituntaskan.

Sebenarnya beberapa minggu yang lalu penulis sudah menyampaikan catatan kepada ketua komisi VIII DPR-RI (waktu itu masih ditangani komisi VIII, sekarang komisi VII, Red) mengenai RUU Migas melalui sekretarisnya antara lain berisi sebagai berikut,

Sejak awal hingga sekarang saya tetap menolak RUU Migas. DPR Orde Baru berhasil mengembalikan/menolak membahas RUU Migas, antara lain sesudah saya jelaskan di DPR-RI, bahwa RUU Migas merupakan pelindung para pelaku KKN di Pertamina. Untuk itu mereka terus mengupayakan agar Pertamina bubar. Sekarang saja ketika Pertamina masih ada, BBM sering lenyap, apalagi nanti juga banyak yang turut campur tangan. Alasan lain penolakan RUU Migas adalah untuk mencegah agar aset Pertamina tidak habis karena jika RUU Migas disetujui akan muncul beberapa bahan usaha. Jadi RUU Migas jelas bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3 yang menyatakan bahwa Pertamina hanya BUMN, bukan swasta. RUU Migas merupakan hasil produk para tokoh KKN Orde Baru. Oleh karena itu, jika Pertamina bubar maka jejak pelaku KKN di Pertamina akan lenyap. Kuasa pertambangan juga dipegang pemerintah/badan pasti fungsi pemerintah menjadi dualisme, sebagai pembuat/pelaku kebijaksanaan dan sebagai pengusaha. Dikhawatirkan hal itu akan mempermudah kontraktor memperpanjang kontraknya untuk wilayah-wilayah komersial. Kalau kuasa pertambangan dipegang Pertamina pasti kontrak yang berakhir dan komersial tidak akan diperpanjang. Baru-baru ini sudah ada pelecehan terhadap DPR soal RUU Migas. Misalnya, walaupun RUU Migas belum disetujui tetapi soal kontrak untuk 8 wilayah migas bukan lagi oleh Pertamina tetapi oleh Ditjen Migas/pemerintah.

Penulis juga merasa seharusnya sebelum RUU Migas dipermasalahkan dan menjadi UU, terlebih dahulu harus ada RUU Energi Nasional. Karena segalanya mungkin sudah terlanjur, maka apa yang sudah ada, yakni UU Migas harus dilaksanakan sebaik mungkin.

Oleh karena RUU Migas baru saja disahkan menjadi UU, maka sulit bagi penulis untuk menilai kebaikannya. Karena kebaikannya baru bisa dinilai secara tepat dan baik sekiranya UU itu sudah berjalan lama. Tetapi minimal munculnya ketentuan pajak dan DMO untuk gas bumi dalam UU Migas itu ada baiknya guna menambah keuangan negara dan menjamin pengadaan energi serta bahan baku dari gas bumi dalam negeri.

Tetapi dilihat dari ruginya, karena pasal 33 ayat 2 dan 3 diberlakukan juga di luar Pertamina yang berarti bertentangan dengan UUD 1945 serta memperkecil ruang lingkup kerja Pertamina. Juga dalam hal pengadaan serta pendistribusian BBM pasti tidak semulus ketika tugas Pertamina sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1971. Dengan berubahnya Pertamina menjadi Persero diharapkan dewan komisarisnya tidak perlu dilakukan oleh para menteri, cukup para pejabat di bawah menteri, kalau perlu juga ada dari para ahli/pengamat termasuk untuk unsur anggota Badan Hukum Milik Negara.

Karena RUU Migas sudah menjadi UU, maka layak yang berkepentingan harus melaksanakannya secara baik. Minimal sebagai jawaban bagi mereka yang khawatir RUU menjadi UU Migas.

Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.

Omah Munir, Museum Hak Asasi Manusia di Indonesia

Munir Said Thalib, lahir 8 Desember 1965, meninggal pada 7 September 2004 dalam perjalanan dari Jakarta menuju Belanda, diduga diracun saat berada di pesawat. Perjuangan tak kenal lelah, Suciwati Munir, menjalani setiap proses mencari keadilan, hampir satu dekade berlalu dan kasus kematian suaminya masih terus menemui jalan buntu menuju keadilan.

Suci berdiri paling depan di barisan pejuang hak asasi manusia (HAM) untuk melawan lupa yang dilakukan negara atas kasus-kasus ketidakadilan HAM yang terjadi di negeri ini. Sebagai penggagas pendirian Omah Munir dibuka pada hari Minggu, 8 Desember 2013, bertepatan dengan hari lahir suaminya.

Selain sebagai museum untuk mengenang perjuangan Munir, menyimpan buku-buku serta berbagai memorabilia milik Munir. Omah Munir akan menjadi wadah para pejuang HAM untuk tetap melanjutkan penegakkan keadilan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi, terutama Indonesia.

Menurut Suci, pendirian Omah Munir adalah strategi lain gerakan melawan lupa yang terus digulirkan bersama sahabat-sahabat Munir. Perspektif tentang keadilan HAM dalam masyarakat adalah sesuatu yang harus diubah dan perbaiki agar ketidakadilan yang dialami Munir tidak akan terjadi lagi pada orang lain. Dengan mendukung berdirinya Omah Munir kita belajar menghargai kemanusiaan, pengingat bahwa negara ini pernah melanggar HAM.

Omah Munir, hanyalah satu kepingan batu bata dalam menjadikan pendidikan HAM yang rumit menjadi lebih membumi. OmahMunir berbagi energi untuk melawan rasa takut, untuk bersuara memperjuangkan nasib sendiri dan orang lain, tak ingin melihat orang dibungkam karena protes. Munir dan kisah korban pelanggaran HAM adalah catatan penting perjalanan bangsa ini, untuk mereka Omah Munir didirikan.

Apa Pandangan Mereka?

Dahlan Iskan
Omar Munir akan menjadi suatu museum tempat pembelajaran mengenai hukum, keadilan dan hak asasi manusia (HAM), karena tiga hal itu melekat dalam bagian demokrasi di Indonesia. Dan saya berharap, semakin banyak orang yang terlibat maka akan semakin terwujudnya Omah Munir. Sehingga pembangunan Omah Munir bukan sekedar perwujudan karena komitmen, ataupun sekedar membangun, tapi ini menjadi suatu gerakan. 

Faisal Basri
Omah Munir dapat menjadi tempat dokumen yang lengkap untuk mempelajari hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, yang bisa dikunjungi oleh siapapun. Dan jangan lupa ini harus dirawat yang menjadi tanggungjawab kita bersama. Karena semangat (alm) Munir tiada duanya, dan harus merasuk ke dalam pribadi-pribadi pemuda.

Glenn Fredly
Omah Munir menjadi museum pertama di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Saya berharap ini akan menjadi tempat memperkenalkan hak asasi manusia (HAM) dengan pola lifestyle yang berbeda, lebih modern, lebih artistik, pendekatannya yang lebih bernuansa seni dan budaya. Sehingga bisa menjadi sebuah kanal dalam pendidikan, entertainment dan menginspirasi banyak, karena ini menjadi simbol penting pembelajaran kita mengenal para pejuang HAM.

Tompi
Omah Munir menjadi simbolik, dan tantangan bagaimana membuat orang lain menjadi lebih peka. Dengan adanya Omah Munir saya harap kepekaan tersebut tersentil, mereka yang berjuang di dalamnya (Omah Munir) jangan pernah bosan terhadap apapun supaya ini berjalan dengan baik.

Melanie Subono
Dengan adanya Omah Munir, ini bisa menjadi rumah pendidikan. Dimana orang ingin mengetahui pengetahuan hak asasi manusia (HAM), silahkan datang karena inilah rumahnya, inilah tempatnya. Dan ini juga suatu bagian yang patut dibanggakan menjadikan Omah Munir bukan hanya sekedar museum, sehingga menjadi suatu pendekatan lebih trendy untuk mengenalkan HAM dan bukan lagi sesuatu yang menyeramkan. Bagi gue, Munir adalah tokoh pahlawan yang patut diidolakan, karena pemikiran, pemahaman dan prinsip yang Beliau miliki. Kenali dulu, baru loe bisa men-judge.

Tosca Santosa
Omah Munir ini menjadi tanda yang bagus, sehingga masyarakat bisa datang dan melihat apa yang (alm) Munir kerjakan serta cita-citanya yang diperjuangkan. Munir boleh sudah tidak ada, dengan adanya Omah Munir, saya berharap nilai-nilai yang diperjuangkan terbawa, menghidupkan semangat kita agar bisa berbuat secara nyata.

Ayu Utami
Seorang Munir itu sesungguhnya mewakili serangkaian perjuangan. 

Olga Lydia
Dengan adanya Omah Munir ini, akan ada penerus Munir-Munir lain yang terinspirasi dari apa yang sudah dilakukan oleh (alm) Munir.

Rosiana Silalahi
Bahwa Indonesia yang maju adalah Indonesia yang tidak pernah berhenti mencintai nilai-nilai kemanusiaan. Selama pelanggaran HAM (hak asasi manusia) itu masih terjadi, dan penjahat-penjahat yang terlibat dalam kekerasan HAM atau pembunuh (alm) Munir masih berkeliaran bebas, maka tugas kita belum selesai. Omah Munir ini penting bagi pelajaran generasi muda untuk mencintai kehidupan.

Sidney Jones
Omah Munir dapat menjadi tempat masyarakat belajar kejujuran, integritas dan keberanian. (alm) Munir bisa menjadi contoh sebagai pahlawan hak asasi manusia mungkin tidak hanya untuk Indonesia, agar bagi negara lain, Asia Tenggara khususnya, dapat melihat dan mempelajari, bahkan mungkin menciptakan pahlawan HAM di masing-masing negara.

Ilian Deta Artasari
Selain ditujukan untuk mengingatkan anak muda dan semua warga terhadap kenangan maupun perjuangan (alm) Munir. Dengan Omah Munir bisa menumbuhkan Munir-Munir yang lain, sosok yang berani, konsisten dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran di Indonesia.

Fadjroel Rachman
Omah Munir akan menjadi icon Indonesia tentang perjuangan hak asasi manusia, juga sebagai rumah inspirasi, dan semacam gerbong untuk menyeret nama (alm) Munir tidak hanya di Indonesia tapi skala internasional, sehingga menjadi salah satu icon pejuang kemanusiaan global.

Clara Juwono
Jangan sampai sosok seorang Munir terlupakan. Dengan adanya Omah Munir agar generasi saat ini tidak hanya mengenal dan mengenang Munir, tetapi meneruskan perjuangannya sebagai pejuang kemanusiaan. Karena memperjuangkan kemanusiaan adalah perjuangan seumur hidup bagi pejuang siapapun dan darimanapun.

Twitter @omahmunir
www.omahmunir.com

Wawasan Kebangsaan Para Pelaku Bisnis Perlu Ditingkatkan


Pemahaman nilai-nilai kebangsaan Indonesia bagi para pelaku ekonomi, tanpa terkecuali di kalangan pengusaha dinilai sangat penting bagi ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi dinamika era globalisasi. Hal ini diakui telah menjadi sorotan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI.
 
Ketua Umum Kadin Suryo B. Sulisto mengatakan, anggapan bahwa business is business dan tidak ada kaitannya dengan wawasan kebangsaan adalah keliru. Pasalnya, wawasan kebangsaan  justru diperlukan sebagai orientasi dasar dalam berbisnis.

Lemahnya wawasan kebangsaan, kata dia, bisa menjadi sumber hambatan ekonomi dan bisnis yang kerap ditemui, misalnya buruknya infrastruktur, korupsi, perburuhan, konflik sosial, kerusakan lingkungan, penyelundupan, ketergantungan pada pihak asing dan sebagainya. Oleh karenanya, landasan wawasan kebangsaan perlu diperkuat oleh semua pihak.

“Kita semua mencoba mengatasi hambatan-hambatan ekonomi dengan peraturan perundang-undangan, dengan teknologi dan dengan permodalan serta kerjasama dengan negara lain. Namun kita melupakan bahwa pada dasarnya semua permasalahan tersebut bersumber dari lemahnya wawasan kebangsaan kita,” kata Suryo di sela-sela acara Pelatihan Kadin Bersama Lemhannas dengan tema, Optimalisasi Peran Pengusaha dalam Menghadapi Dinamika Perekonomian Global, Jum’at (6/12).

Menurut Suryo, peran swasta akan sangat besar dalam ASEAN Economic Community yang akan berlaku mulai tahun 2015. Hal ini dikarenakan ASEAN Community bukan sekedar merupakan forum kerjasama, tetapi juga merupakan keterpaduan atau integrasi tiga pillar kehidupan, yaitu sosial budaya, politik dan keamanan, serta ekonomi.

“Peran swasta akan sangat besar, sehingga dengan demikian diperlukan orientasi kebangsaan yang jelas dan kuat untuk kepentingan bisnis yang selaras dengan kepentingan nasional,” kata Suryo.

Sementara itu Ketua Penyelenggara Pelatihan Kadin-Lemhanas Yugi Prayanto mengatakan, salah satu hal yang bisa dipersiapkan Indonesia untuk menghadapi tantangan global adalah dengan memperkuat economic intelligent, sehingga apa yang terjadi di luar bisa diprediksi dampaknya terhadap dalam negeri dengan segera. Tidak hanya itu, pemetaan strategi para pelaku ekonomi nasional juga perlu diperkuat demi ketahanan ekonomi yang harus dijaga.

"Pertumbuhan ekonomi cenderung baik beberapa tahun terakhir dan pandangan dunia terhadap Indonesia juga semakin baik, hanya kesiapan para pelaku ekonomi terhadap itu juga harus diperhatikan,” kata Yugi yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perikanan dan Kelautan itu.

Pada kesempatan yang sama Gubernur Lemhannas, Budi Susilo Soepandji mengatakan, para pelaku usaha juga memiliki tanggung jawab secara moral bersama pemerintah untuk ikut memajukan ekonomi demi kesejahteraan rakyat. Untuk itu, saat ini perlu dibangun kekuatan nasional yang dijiwai dengan nasionalisme. 

"Pengusaha bisa menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan usaha-usaha baru," kata dia.

Melalui pelatihan wawasan kebangsaan, lanjut dia, diharapkan dapat melahirkan pola pikir yang integratif dan holistik, kooperatif dan sinergis, dapat menyelesaikan masalah-masalah perekonomian yang dihadapi secara profesional, serta memantapkan komitmen membangun perekonomian untuk kesejahteraan rakyat.

Gambaran Ekonomi dari Migas (Bagian 3-Selesai)

Dari hasil penelitian penulis mengenai pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di tiga propinsi penghasil minyak dan gas bumi, yakni Aceh, Riau dan Kalimantan Timur untuk periode 1969-1982 pada saat harga minyak makin baik, peranan hasil migas nampak semakin besar terutama bagi perekonomian Indonesia. Sebelum diberlakukan UU Otonomi Daerah, dimana seluruh hasul sumber daya alam migas merupakan hasil atau pendapatan sepenuhnya untuk pemerintah pusat walaupun dihasilkan dari tiga propinsi tersebut.

Sebagai kenyataannya, jika PDRB di tiga propinsi itu termasuk hasil migasnya, maka PDRB di tiga propinsi itu sangat besar sekali, sebelum membahasnya lebih agak rinci perlu dilihat bagaimana perkembangan harga minyak mentah ekspor Indonesia untuk jenis Minas, seperti yang terdapat dalam tabel 1 yang menunjukkan harga minyak mentah jenis Minas yang termasuk kelompok minyak mentah termahal di dunia. Karenanya sangat besar perannya dalam perekonomian Indonesia, terutama pada periode 1969-1982.

Tabel 1
Harga Minyak Mentah Ekspor
Jenis Minas (per barrel)
Periode 1969-1982
Tahun
Harga (US$)
Perubahan Harga (US$)
Januari 1969
1,67
-
April 1971
2,21
0,54
Oktober 1971
2,6
0,39
April 1972
2,96
0,36
April 1973
2.73
-0,23
November 1973
6
3,27
Januari 1974
10,8
4,8
Juli 1974
12,6
1,8
Desember 1979
25,5
12,9
Januari 1981
35
9,5
1982
34,53
-0,47

Dari tabel 1 itu terlihat, pada bulan Januari 1969 harganya hanya US$1,67 per barrel, pada bulan April 1971 naik menjadi US$2,21 per barrel, kemudian naik lagi di bulan Oktober menjadi US$2,6 per barrel, dan seterusnya. Baru sejak bulan November 1973 harga minyak Minas mulai melonjak, karena akibat terjadinya perang Oktober 1973 di Timur Tengah, sehingga harga minyak Minas Indonesia naik menjadi US$6 per barrel.

Sejak itulah harga minyak mentah Indonesia tidak lagi naik, hanya beberapa sen dolar per barelnya, seperti sebelum perang Oktober 1973, tetapi kemudian terus naik berlipat-lipat ganda. Seperti yang terjadi pada bulan Januari 1974 harga minas naik menjadi US$10,8 per barrel dan terus naik hingga pada bulan Desember 1979 harga minyak mentah Minas naik menjadi US$25,5 per barrel dan masih terus naik hingga mencapai puncaknya pada bulan Januari 1981 harga minyak mentah jenis Minas naik menjadi US$35 per barrel yang kemudian merosot lagi.

Dari gambaran kenaikan harga minyak Minas Indonesia terutama sejak bulan November 1973, maka untuk mengukur peran migas bagi perekonomian Indonesia akan lebih realis lagi. jika diambil periode penelitian antara 1969 hingga 1982. Walau setelah 1980-an hingga kini ternyata peran migas dalam perekonomian Indonesia khususnya masih tetap saja besar.

Bahkan dengan adanya UU Otonomi Daerah dimana sebagian dari hasil sumber daya alam migas khususnya diberikan kepada daerah penghasil migas. Ini berarti peran migas juga akan semakin besar bagi pertumbuhan perekonomian daerah selaku wilayah penghasil sumber daya alam migas khususnya.

Atas dasar harga minyak mentah Minas yang terus naik, itulah penulistelah meneliti betapa besarnya peran migas dalam perekonomian Indonesia. Terutama sejak 1973 hingga 1982, dimana hingga 1982 harga minyak mentah minas masih tetap seharga US$34,53 per barrel yang berlaku sejak November 1981.

Dari gambaran pertumbuhan PDRB di tiga wilayah migas, yakni Riau, Aceh dan Kalimantan Timur, jika pendapatan dari migasnya dihitung dalam PDRB-nya maka hasilnya sangat besar sekali dan lebih mudah untuk memahaminya peranan migasnya. Begitu juga karena hasil migas dimasukkan sebagai pendapatan pusat berarti PDB Indonesia juga semakin besar, termasuk presentase pertumbuhan PDB Indonesia juga cukup besar.

PDRB Tiga Wilayah dan PDB Indonesia

Pada 1969 PDRB Aceh, Riau dan Kalimantan Timur termasuk hasil migas berjumlah Rp249.838,6 juta (77,2 persen berasal dari hasil migas). Jumlah ini sebesar 9,2 persennya dari PDB indonesia pada tahun yang sama, pada 1969 jumlah PDB atas dasar harga yang berlaku berjumlah Rp2.718 miliar.

Sumbangan dari migas sebesar itu terutama yang berasal dari Propinsi Riau dan sedikit dari Kalimantan Timur, yaitu hanya mencapai nilai Rp142.905,4 juta atau 5,3 persen dari jumlah PDB Indonesia pada 1969 (atas dasar harga yang berlaku, karena LNG baik di Aceh maupun di Kalimantan Timur belum dihasilkan sebagai LNG komoditas ekspor).

Sebagai hasil perkembangan industri migas yang dibarengi dengan adanya kenaikan-kenaikan tingkat harga minyak dunia, terutama akibat adanya perang Oktober 1973 di Timur Tengah, maka pada 1976 atas dasar harga yang berlaku, PDRB dari tiga wilayah migas itu mencapai 18,64 persen dari PDB Indonesia yang berjumlaj Rp15.466,5 miliar atas dasar harga yang berlaku.

Dengan perkembangan produksi serta kenaikan harga migas ditambah lagi dengan adanya hasil ekspor LNG dari Aceh dan Kalimantan Timur, maka pada 1980 atas dasar harga yang berlaku PDRB tiga wilayah migas itu naik menjadi 23,4 persen dari jumlah PDB Indonesia. Jumlah PDB Indonesia pada 1980 naik menjadi Rp45.445,7 miliar atas dasar harga yang berlaku, sedangkan khusus dari migas mencapai 19,08 persen dari jumlah PDB Indonesia 1980.

Baik dilihat dari komposisi PDRB secara sektoral atau lapangan usaha Indonesia maupun dilihat dari PDRB (termasuk hasil dari migas) di tiga wilayah migas itu, memang sektor pertanian ternyata telah bergeser dengan bidang migas.

Aceh

Pada 1969 sumbangan sektor pertanian Aceh sebesar 60,96 persen dari jumlah PDRB-nya dan sumbangan migas belum terlihat, pada 1976 dimana sumbangan sektor pertaniannya turun menjadi 48,89 persen dari jumlah PDRB-nya dan peran dari migas menjadi 24,04 persennya dari jumlah PDRB Aceh pada 1976. Pada 1980 sumbangan sektor pertanian Aceh terus turun menjadi 15,9 persen dari jumlah PDRB-nya, sedangkan peranan atau sumbangan migasnya terutama dari hasil LNG naik menjadi 74,33 persen dari jumlah PDRB-nya.

Kalimantan Timur

Pada 1969 sumbangan dari sektor pertanian dalam PDRB Kalimantan Timur telah mencapai 62,86 persen dari jumlah PDRB-nya, sedangkan peranan atau sumbangan dari migas hanya sebesar 4,35 persen dari jumlah PDRB-nya pada tahun yang sama. Oleh karena adanya perkembangan pesat terutama setelah berdirinya kilang LNG dan sebagai penghasil devisa ekspor LNG yang sangat besar, maka pada 1976 peranan sektor pertanian dalam PDRB-nya turun menjadi hanya 12,07 persennya, sedangkan peran migasnya naik menjadi 62,34 persennya dari jumlah PDRB-nya.

Pada 1980, sumbangan sektor pertanian menjadi 11,45 persen dan dari migas naik menjadi 70,26 persen dari jumlah PDRB-nya, baik PDB mapun PDRB di tiga wilayah itu atas dasar harga yang berlaku. hal ini agar peran migas dengan harga migas yang terus naik semakin jelas besarnya peran migas baik dalam PDB maupun dalam PDRB di tiga wilayah migas itu dan dengan mudah terminateperannya.

Riau

Pada 1969, sektor pertanian dari wilayah migas Riau (penghasil minyak tertua di Indonesia) hanya sebesar 8,92 persen dan dari migas telah mencapai 75,74 persennya dari jumlah PDRB. Pada 1976 peranan sektor pertanian dalam PDRB-nya turun menjadi 3,42 persen dan peranan dari migas meningkat menjadi 87,44 persen dari jumlah PDRB-nya.

Pada 1980, sumbangan sektor pertanian dari propinsi Riau turun sedikit menjadi 3,22 persen dan peranan migasnya juga sedikit turun menjadi 86,95 persennya dari jumlah PDRB-nya, pada 1980 juga dihitung atas dasar harga yang berlaku.

Arti Tiga Wilayah Migas

Migas di samping sebagai sumber devisa utama, maupun sebagai sumber pendapatan negara, juga sangat penting, artinya bagi pemenuhan kebutuhan BBM di dalam negeri khususnya juga sebagai bahan baku industri.

Migas merupakan usaha yang padat modal, di lain pihak persoalan segi kependudukan serta kesempatan kerja sangat terkait sekali.

Jika diperhatikan apa yang diungkapkan Prof DR Sumitro Djojohadikusumo, bahwa dalam jangka menengah, sektor-sektor yang menunjukkan laju pertumbuhan yang paling pesat leading growth sectors terletak pada sektor ekstraktif, migas, barang mineral, kayu dan hasil hutan dan lainnya. Penggalian dan pengolahan kekayaan alam ini merupakan usaha produksi yang padat modal serta membutuhkan teknologi maju, dalam tahap-tahap jangka menengah (10-15 tahun) usaha ini belum menunjukkan daya serap yang luas dan baru terdapat pada tahap sesudah mulai tumbuhnya kekuatan-kekuatan efek sekunder di bidang industri.

Dengan meningkatnya produksi migas yang padat modal dari sektoral terutama dari instansi pemerintah sudah sejak Pelita I Ditjen Migas dan Pertamina telah merintis untuk melakukan inventarisasi barang-barang yang dibutuhkan perusahaan migas baik untuk barang-barang modal, barang barang konsumtif maupun untuk jasa-jasa yang biasanya harus diimpor.

Kemudian secara berangsur-angsur barang-barang yang semula diimpor itu bisa diusahakan atau dihasilkan atau diadakan atau disediakan dari hasil dalam negeri, ini berarti telah ada upaya peralihan sebagian produk impor aneka rupa barang migas dari impor ke hasil dalam negeri (sayangnya, kurang berjalan, dan penulissudah tidak sempat melihat apa yang sedang terjadi saat ini, Red).

Sekaligus secara tidak langsung hal demikian telah menumbuhkan peran migas yang terus berkembang serta tumbuh untuk pertumbuhan serta perkembangan berbagai bidang usaha dalam negeri, terutama usaha-usaha penunjang di bidang migas yang pada akhirnya juga mempunyai peran yang berarti baik bagi perekonomian daerah migas maupun perekonomian nasional karena adanya usaha-usaha penunjang kegiatan-kegiatan di bidang migas di Indonesia.

Di samping itu dengan dihasilkannya gas bumi baik dari Kalimantan Timur maupun Aceh dan sebagainya, maka hasilnya secara kentara atau tidak kentara usaha-usaha atau keberhasilan itu akan memberikan kesempatan berkembangnya industri baik di tiga wilayah migas tersebut maupun di daerah lain terutama kota-kota industri. Misalnya, adanya hasil gas bumi maka muncullah industri-industri petrokimia di berbagai daerah, terutama di Kalimantan TImur dan Aceh, misalnya industri-industri pupuk urea, amoniak, kertas, methanol dan lain-lain industri yang banyak kaitannya dengan hasil gas bumi.

Oleh karena struktur industri berbeda-beda antar daerah, maka muncul kecenderungan antar struktur industri serta pertumbuhan regional terdapat suatu hubungan klausal.

Dengan perkembangan migas yang begitu pesat di tiga wilayah migas tersebut, nampaknya perannya sebagai penunjang PDB bahkan PNB termasuk PDRB atau perekonomian daerah nampak sangat besar. Layaklah jika tiga wilayah migas itu setelah berlakunya UU Otonomi Daerah, maka tiga wilayah itu memperoleh hasil dari migas yang cukup memadai. Karena dananya cukup besar, maka cukup untuk menbiayai pembangunan di tiga wilayah migas itu yang pada gilirannya juga sebagai penunjang perekonomian nasional yang tercermin terutama dalam PDB.

Dari gambaran tersebut secara garis besarnya dari perbandingan angka antara PDRB dan PDB Indonesia memang peran migas sangat besar dalam perekonomian nasional terutama pada saat harga migas sangat tinggi, apalagi jika ditambah volume produksi dan ekspor migas Indonesia makin meningkat.

Dalam tabel 2,3, dan 4 terlihat angka PDRB, hasil dari migas Aceh, Kalimantan Timur dan Riau, dibandingkan dengan jumlah PDB periode 1983-1989, sebagai berikut

Tabel 2
Jumlah PDRB Aceh Dibanding PDB Indonesia
Periode 1983-1989
(dalam triliun Rupiah, atas dasar harga yang berlaku)
Tahun
Jumah dari Migas
Jumlah PDRB
Jumlah PDB
1983
2,241
3,425
77,623
1984
2,890
4,224
89,886
1985
2,711
4,251
96,997
1986
3,495
5,208
102,683
1987
3,234
5,201
124,817
1988
3,774
6,067
142,105
1989
4,676
7,232
167,185
*Sumber: diolah dari Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia. Menurut Lapangan Usaha, 1983-1989, BPS, Juli 1991 dan Pembangunan Dalam Angka, 1997 Bappenas, Juli 1998.


Tabel 3
Jumlah PDRB Kalimantan Timur Dibanding PDB Indonesia
Periode 1983-1989
(dalam triliun Rupiah, atas dasar harga yang berlaku)
Tahun
Jumah dari Migas
Jumlah PDRB
Jumlah PDB
1983
3,268
4,316
77,623
1984
4,152
5,575
89,886
1985
4,377
5,962
96,997
1986
3,628
5,502
102,683
1987
4,751
7,218
124,817
1988
4,869
7,927
142,105
1989
5,096
8,883
167,185
*Sumber: diolah dari Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia. Menurut Lapangan Usaha, 1983-1989, BPS, Juli 1991 dan Pembangunan Dalam Angka, 1997 Bappenas, Juli 1998.


Tabel 4
Jumlah PDRB Riau Dibanding PDB Indonesia
Periode 1983-1989
(dalam triliun Rupiah, atas dasar harga yang berlaku)
Tahun
Jumah dari Migas
Jumlah PDRB
Jumlah PDB
1983
6,534
7,510
77,623
1984
6,449
7,616
89,886
1985
6,118
7,433
96,997
1986
6,063
7,539
102,683
1987
7,649
9,393
124,817
1988
7,198
9,225
142,105
1989
9,254
11,635
167,185
*Sumber: diolah dari Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia. Menurut Lapangan Usaha, 1983-1989, BPS, Juli 1991 dan Pembangunan Dalam Angka, 1997 Bappenas, Juli 1998.


Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002.