Kesalahan Besar! Segala Hasil Migas Digiring ke APBN

Negara-negara berkembang apalagi bekas negara jajahan pada umumnya termasuk miskin, walau buminya kaya raya akan aneka rupa sumber daya alam. Baik kekayaan berupa sumber daya alam pertanian, perkebunan, kehutanan, hasil laut maupun hasil tambang dan lain-lain, tetapi karena segala hasil itu sudah sejak ratusan tahun ternyata dikuras oleh negara-negara penjajah juga semakin menyusut, ditambah lagi dengan alasan membiayai pembangunan pada era Orde Baru, pengurasan sumber daya alam terutama minyak bumi semakin besar. Seolah-olah tanpa memperhatikan bahwa cadangan migas akan segera habis sekiranya tidak ada upaya pencarian cadangan yang baru.

Sifat negara kuat yang mampu menjajah di berbagai negara berkembang yang terutama di berbagai negara yang kaya akan aneka sumber daya alamnya itu membuat negara-negara berkembang seperti Indonesia, walaupun sudah merdeka dan termasuk kaya akan sumber daya alamnya, tetapi masih saja tergantung dari utang luar negeri. Masalahnya pada masa masa Orde Lama, seperti yang diungkapkan HW Arndt,

“Bahwa kesalahan pimpinan negara Orde Lama yang terbesar kepada rakyatnya, yakni penolakannya, khususnya pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya dalam menghadapi persoalan-persoalan ekonomi negara yang demikian kompleksnya, yang dirasionalkan dengan jampi-jampi yang melantunkan tentang “kekayaan” Indonesia.”

Suatu pandangan bahwa Indonesia sebuah negara yang kaya telah menjadi dongeng di luar negeri, seperti halnya di dalam negeri. Kenyataannya hanya tinggal tiga warisan yang kesemuanya bervariasi tingkat memperdayakannya, yakni kesuburan tanah di Jawa, tumbuhan yang lebat dari hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan, serta sumber-sumber mineralnya.

Khusus kekayaan Indonesia mengenai sumber-sumber mineral antara lain diungkapkan,

“Bahwa Indonesia memang banyak memiliki sumber-sumber mineral, khususnya industri minyak yang kaya dan produktif, dan baru 5 persen wilayah yang benar-benar telah disurvey secara pasti yang kelak diharapkan bisa ditemukan lebih banyak lagi.”

HW Arndt menyatakan, bahwa sumber-sumber alam yang mempesonakan bagi orang awam tersebut hanyalah merupakan bagian dari keseluruhan potensi pembangunan ekonomi. Walaupun sumber-sumber alam tersebut dimiliki Indonesia demikian baiknya, khususnya dalam keadaan seperti di Indonesia.

Sebenarnya orang perlu memperhatikan pembangunan ekonomi yang hebat di Jepang, karena negara Jepang yang miskin dengan sumber daya alam khususnya miskin akan sumber energi khususnya migas, tetapi bisa bangkit menjadi negara industri yang besar ditunjang oleh sumber daya manusia serta modal buatan manusia. Kegiatan berusaha serta keahlian rakyat serta tersedianya modal produktif yang secara bertahap mereka kumpulkan melalui tabungan, nampaknya apa yang diungkapkan Ardnt itu seharusnya menjadi bahan pelajaran bagi pemerintah Indonesia terutama dalam upaya memanfaatkan segala aneka hasil sumber daya alamnya, khususnya hasil migas, terutama setelah perang Oktober 1973 di Timur Tengah, dimana harga minyak melonjak dari hanya US$2 per barrel menjadi belasan bahkan puluhan US$ per barrelnya.

Sejak Pelita I tahun pertama 1969/70 pemerintah telah mampu menggiring hasil migas Pertamina yang harusnya disetor ke kas negara lewat Bank Indonesia. Yang selama ini pada setiap diajukan RAPBN oleh pemerintah kepada DPR selalu terdapat pos pendapatan dalam negari yang berasal dari hasil migas, termasuk segala hasil Pertamina berupa aneka rupa bahan bakar minyak (BBM) dan non BBM yang hasilnya terbesar digiring masuk dalam pendapatan dalam negeri pada setiap APBN.

Peranan migas bukan hanya terlihat dari pertumbuhan ekonomi lewat GDP (Gross Domestic Product) atau Produk Domestik Bruto (PDB), juga terlihat terutama dalam Neraca Pembayaran khususnya dalam pos ekspor-impor, juga terlihat peranan migas berupa bahan baku untuk industri seperti gas bumi untuk pembuatan pupuk buatan, seperti pupuk urea. Selain itu, migas juga sebagai sumber energi bagi bagi sektor industri, kelistrikan, angkutan, juga bagi kehidupan rakyat banyak di sektor rumah tangga. Hanya saja ratusan triliun rupiah peran migas lewat APBN seolah-olah salah memanfaatkannya atau salah menggunakannya.

Kalau saja dilihat secara teori comparative advantage pemanfaatan dana migas layak sepenuhnya atau terbesar untuk pengembangan usaha migas, terutama dalam pembangunan kilang-kilang migas yang hasilnya terbesar untuk tujuan ekspor dan pengamanan pengadaan BBM di dalam negeri. Walau secara teorinya, bahwa dana dari hasil migas untuk modal membiayai pembangunan khususnya untuk pengembangan di berbagai non migas yang umumnya milik usaha swasta, tetapi pada akhir masa Orde Baru, ternyata segala hasil migas seolah sia-sia saja.

Karena pada kenyataannya hasil pembangunan selama Orde Baru bukannya untuk meperkecil jumlah yang hidup di bawah garis kemiskinan, malah jumlahnya makin berlipat ganda. Begitu pula besarnya pendapatan per kapita bukannya meningkat malah merosot tajam, malah diperkirakan hanya untuk para pengusaha yang dekat dengan pimpinan negara selama Orde Baru yang dikenal dengan pengusaha konglomerat yang umumnya terlibat telah menyalahgunakan pemanfaatan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

Penulis menganggap, suatu kesalahan besar yang diambil pemerintah Orde Baru sejak segala hasil migas digiring ke APBN, sehingga pengembangan di usaha migas khususnya pengembangan Pertamina seolah-olah terabaikan, bahkan seolah-olah Pertamina hanya dijadikan semacam sapi perahan. Layaklah, jika akhirnya produksi migas Pertamina hanya sekitar 5 persen dan 95 persennya dihasilkan oleh kontraktor khususnya kontraktor migas asing, begitu juga kapasitas kilang-kilang minyak hanya sekitar 900 ribu barrel per hari.

Kalau saja sejak tahun pertama Pelita I pemerintah telah menggunakan dasar kebijakan comparative advantage bagi usaha migas, pasti bukan hanya Pertamina semakin banyak mempunyai lapangan-lapangan migasnya, atau pasti jika segala dana yang berasal dari migas itu dimanfaatkan untuk pembangunan sebanyak mungkin membangun kilang migas di seluruh tanah air, pasti akan jauh lebih menguntungkan. Singapura saja yang wilayahnya sangat kecil dan bukan penghasil minyak maupun gas bumi, tetapi hanya dengan empat kilang minyaknya tetapi kapasitas hampir 1,5 juta barrel per hari, Indonesia dengan delapan kilang minyaknya, tetapi kapasitasnya jauh di bawah Singapura.

Boleh dinilai, bahwa rasa takut pemerintah akan lenyapnya hasil migas untuk pembiayaan pembangunan nasional yang meluas, tetapi nyatanya dalam prakteknya hal tersebut hanya menjadi salah besar. Karena sumbangan migas itu terlalu samar-samar untuk apa saja, yang pasti dana migas terbesar banyak dimanfaatkan oleh para pengusaha konglomerat.

Kalau saja ada yang menyatakan, bahwa dana sumbangan migas untuk membangun pelabuhan, sudah pasti pelabuhan itu dibangun dan hasilnya berupa pelabuhan terbanyak dan setiap hari akan dimanfaatkan oleh para konglomerat, karena sebagian besar pabrik, industri serta perdagangan. Begitu juga kalau dana dari migas untuk membangun jembatan atau jalan-jalan raya yang katanya untuk memperlancar kegiatan perdagangan atau ekonomi, juga pembangunan proyeknya dikerjakan oleh perusahaan besar yang pada umumnya miliki konglomerat dan bukan milik pengusaha kecil maupun koperasi.

Hasil jalan jembatan yang selesai dibangun yang banyak menelan biaya mungkin pula mengandung penggelembungan (mark-up) biaya juga, terbesar dimanfaatkan untuk memperlancar usaha para konglomerat. Celakanya, pada masa akhir Orde Baru justru para konglomerat seluruhnya hijrah ke luar negeri dengan membawa seluruh kekayaannya, bahkan mereka telah meninggalkan utang luar negerinya yang begitu besar.

Peninggalan Orde Lama

Pada waktu bangsa Indonesia merdeka boleh dikata berbagai sumber daya alam terutama yang tidak dapat diperbaharui lagi (un-renewable), seperti migas sudah banyak yang dikuras penjajah. Begitu juga untuk sumber daya alam seperti hasil perkebunan dan hutan, hasil laut sudah terlalu banyak dikuras penjajah. Untuk menghasilkan sumber daya alam yang cukup bukan hanya dibutuhkan para tenaga ahli pada bidangnya, juga dibutuhkan investasi atau modal yang tidak sedikit jumlahnya. Untuk itulah sejak Indonesia merdeka segala kegiatan produksi di segala sektor dan bidang telah meninggalkan semacam warisan yang cukup memprihatinkan bagi pemerintah Orde Baru.

Sepuluh tahun menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Lama banyak yang menilai bahwa pemerintahan Orde Lama salah urus untuk bidang ekonomi yang berakibat terjadi kemerosotan ekonomi, nampaknya hal serupa terjadi pula pada masa Orde Baru, terutama menjelang jatuhnya pemerintahan Orde Baru.

Secara harfiah banyak yang menilai, bahwa dalam masa pemerintahan Orde Lama sektor dan bidang sangat terbatas sekali, karena tidak tersedianya dana yang memadai. Ditambah lagi pemerintahan Orde Lama semakin hari bukannya lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan merata, tetapi lebih banyak pada kepentingan politik. Tidaklah heran pada akhirnya pemerintahan Orde Lama pemerintah sebenarnya telah bangkrut karena sudah tidak mampu lagi memenuhi pembayaran utang luar negerinya tepat pada waktunya (sebagian besar utang digunakan untuk kepentingan militer dan tujuan-tujuan lain yang tergolong tidak produktif). Jumlah utang luar negeri pemerintahan Orde Lama memang tidak begitu terlalu besar jika dibandingkan dengan utang-utang yang ditinglkan pemerintahan Orde Baru.

Jumlah utang luar negeri pemerintahan Orde Lama menjelang berakhirnya Orde Lama hanya sekitar US$2,5 miliar. Di samping itu, pendapatan dari devisa ekspor juga merosot pada suatu tingkat yang sama sekali tidak cukup untuk membayar separuh dari kebutuhan impor minimum karena beban utang, pada masa Orde Lama berakhir tingkat inflasi sangat tinggi. Jumlah uang beredar telah menjadi dua kali lipat pada 1965, begitu juga pada kuartal pertama 1966 pada masa Orde Baru, harga-harga meningkat antara 30-50 persen per bulannya.

Sebagian besar sektor ekonomi ternyata produksinya merosot, produksi beras, makanan pokok, serta bahan makanan lainnya, meskipun tidak mutlak turun, tetapi nyatanya gagal dalam mengimbangi pertumbuhan penduduk hingga pada 1966 yang kira-kira 10 persen dari kebutuhan pangan terpaksa harus impor.

Nampaknya keadaan serupa yang lebih parah juga terjadi pada masa berakhirnya Orde Baru dan tahun-tahun pertama pemerintahan Reformasi juga mengalami yang serupa. Bahkan juga tidak menentunya aneka rupa peraturan serta politik, bahkan keamanan di berbagai daerah khususnya. Begitu juga penyakit Orde Baru soal KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), nampaknya semakin tumbuh berkembang dalam era reformasi.

Nampaknya, menjelang berakhirnya Orde Baru ternyata jauh lebih buruk dibandingkan pada akhir Orde Lama, bukan hanya utang luar negeri sudah tergolong sangat besar sekali, sekitar US$150 miliar lebih, juta telah banyak sumber daya alam, khususnya sumber daya alam yang sangat berharga dan tidak dapat diperbaharui lagi cadangannya, seperti minyak dan gas bumi yang semakin menipis. Di samping adanya korupsi yang merajalela terutama di tempat-tempat yang basah, terutama pada waktu menjelang masa Orde Baru berakhir.

Tabel Laju Inflasi*
1970-1997
Tahun
Laju Inflasi
1970
8,9
1971
2,5
1972
25,8
1973
27,3
1974
33,3
1975
19,7
1976
14,2
1977
11,8
1978
6,7
1979
21,8
1980
16,0
1981
7,1
1982
9,7
1983
11,5
1984
8,8
1985
4,3
1986
8,8
1987
8,9
1988
5,5
1989
6,0
1990
9,5
1991
9,5
1992
4,9
1993
9,8
1994
9,2
1995
8,6
1996
6,5
1997
11,1
*Desember 1969-Maret 1979 didasarkan atas Indeks Hidup di Jakarta. Sejak April 1979-Maret 1990 didasarkan atas Indeks Harga Konsumen 17 Ibukota Propinsi. Sejak April 1990 didasarkan atas Indeks Harga 27 Ibukota Propinsi dan mencakup 200-223 jenis barang dan jasa.

Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002.

Gambaran Ekonomi dari Migas (Bagian 2)

Pengaruh dari kenaikan harga minyak di dunia telah memberikan dampak positif yang sangat besar terutama bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia dari hasil minyak dan gas bumi (migas). Pengaruh dari kenaikan harga minyak dunia juga menyebabkan adanya kenaikan harga minyak Indonesia yang terlihat dari hasil perkembangan nilai ekspor migas yang pada 1981 mencapai nilai US$ 17,8 miliar (fob) lebih, jika dilihat dari angka Nota Keuangan 1984/85 dimana hasil ekspor minyak dan LNG mencapai puncaknya pada 1981/82 dengan nilai lebih dari US$19,4 miliar.

Secara presentase jumlah hasil nilai ekspor migas pada 1981/82 yakni lebih dari 82,3 persennya dari seluruh hasil nilai ekspor Indonesia termasuk hasil ekspor non-migas. Ini berarti hasil non migas hanya sekitar 17,7 persen, untuk itulah nampaknya pemerintah harus terus berupaya, dana dari migas hampir sepenuhnya digunakan bukan untuk migas, walau sebenarnya jika terbesar dana dari hasul migas ditanam kembali di usaha migas khususnya untuk misalnya membangun beberapa kilang minyak ekspor, pasti hasilnya lebih baik.

Jika peranan migas dilihat dari pendapatan negara pada setiap APBN sejak Pelita I hingga Pelita III, ternyata peran migas sangat besar sekali bagi perekonomian Indonesia. Misalnya, selama Pelita I jumlah pendapatan dalam negeri dari migas telah mencapai Rp918,4 miliar atau 35,47 persen dari seluruh pendapatan dalam negeri selama Pelita I. Selama Pelita II pendapatan dari migas sebesar Rp8,1 triliun (terlihat kecil dibanding saat ini yang mencapai Rp300 triliun, karena kurs Rupiah terhadap Dollar AS saat itu tidak seperti saat ini yang sudah mau menyentuh Rp12.000 lagi, padahal bila dinilai Dollar AS mungkin tidak berbeda jauh nilainya atau bahkan sama, berarti ada ‘keuntungan hilang’ dong karena selisih nilai tukar?, Red) atau 55,1 persen dari jumlah seluruh pendapatan dalam negeri. Selama Pelita III pendapatan migas seluruhnya mencapai nilai Rp36,9 triliun lebih atau 66,7 persen dari seluruh jumlah pendapatan dalam negeri.

Pengaruh Produksi dan Harga Migas Terhadap PDB

Dengan naiknya produksi serta harga migas, sudah jelas pengaruhnya semakin sangat besar sekali bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, termasuk semakin besarnya PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) di tiga wilayah migas yakni propinsi Aceh, Kalimantan Timur dan Riau, sekiranya seluruh hasil migas dari setiap propinsi dimasukkan ke dalam PDRBnya.

Sebagai contoh PDB/GDP Indonesia pada 1969 hanya sebesar Rp2,7 triliun termasuk hasil dari sektor pertambangan dan penggalian termasuk dari minyak hanya Rp129 miliar atau hanya 4,75 persen (berdasarkan harga yang berlaku). Baru pada 1974, setelah terjadi perang Oktober 1973 di Timur Tengah harga minyak dunia mulai melonjak, maka PDB/GDP Indonesia atas dasar harga yang berlaku menjadi Rp10,7 triliun lebih dimana dari sektor pertambangan dan penggalian sebesar Rp2,4 triliun atau naik menjadi 22,2 persen dari jumlah PDB, terbesar dari migas. Pada 1981 jumlah PDB/GDP Indonesia atas dasar harga yang berlaku naik menjadi Rp54,9 triliun lebih terbesar berasal dari sektor pertambangan dan penggalian yang berjumlah sekitar Rp13 triliun atau sekitar 24 persen dari jumlah PDB, terbesar dari migas.

Dilihat dari besarnya perkembangan peranan sektor pertambangan dan penggalian dalam PDB serta perkembangan ekspor migas bisa menjadi bukti apa yang diungkapkan oleh Bruce F Johnston dan Peter Kilby (1975) bahwa pertama, mengenai negara berkembang yang peranan sektor pertambangan dalan PDBnya melebihi 2 persen, maka negara tersebut sebagai negara pengekspor hasil pertambangan. Kedua, bahwa penurunan peranan sektor pertanian dalam struktur produksi selama pertumbuhan ekonomi, antara lain juga dipengaruhi oleh adanya peningkatan produksi pertambangan.

Pendapat tersebut menurut penulis masih perlu diberi catatan atau diperbaiki dengan pertama, bahwa peranan net (produksi minus jumlah konsumsi minus jumlah bagian produksi para kontraktor/investor) sektor pertambangan dalam PDBnya melebihi 2 persen. Kedua adalah peningkatan produksi dan harga pertambangan.

Adanya perkembangan produksi dan harga minyak dan LNG memang telah menggeser peranan sektor-sektor lain terutama sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, yang pada 1969 atas dasar harga yang berlaku berperan sebesar 49,3 persen dari jumlah PDB dan kemudian terus turun hingga pada 1980 hanya 24,8 persen kemudian naik lagi, sebaliknya peranan sektor pertambangan dan penggalian dimana terbesar berasal dari hasil minyak dan gas bumi atau LNG, yang pada 1969 hanya berperan sebesar 4,7 persen kemudian terus meningkat menjadi 22,2 persen pada 1974, kemudian turun lagi pada 1980 dan terus naik lagi menjadi 25,7 persen dan turun kembali.

Sebagai gambaran nyata peranan migas dalam PDB yang agak rinci sehingga peranan migas terlihat, misalnya PDB pada 1986 yang berjumlah Rp102,7 triliun diantaranya berasal dari hasil sektor pertambangan dan penggalian sebesar Rp11,5 triliun yang terbesar dari hasil migas sebesar Rp10,5 triliun.

Pada 1989 jumlah PDB sebesar Rp167,2 triliun dari sektor pertambangan dan penggalian sebesar Rp21,8 triliun lebih, terbesar dari migas sebesar Rp19,3 triliun, semuanya atas dasar harga yang berlaku.

Perubahan-perubahan struktur didasarkan hasil penelitian-penelitian empiris yang dilakukan oleh Colin Clark, Simon Kuznets dan Hollis Chenery menunjukkan bahwa peningkatan Produk Nasional Bruto (PNB) maupun PDB mempunyai nilai prediktif dalam arti kata bahwa suatu tingkat pertumbuhan tertentu dalam PNB dan PDB, disertai oleh perubahan-perubahan struktural dalam perekonomian.

Dengan adanya perubahan struktur produksi atau perubahan komposisi PDB menurut sektor dan lapangan usaha biasanya disertai adanya proses pertumbuhan ekonomi atau peningkatan pendapatan per kapita. Selain dari perubahan dalam struktur produksi, pertumbuhan ekonomi juga biasanya disertai dengan adanya perubahan-perubahan struktur kesempatan kerja menurut sektor serta lapangan usaha.

Pengaruh Hasil Migas Terhadap PDRB Penghasil Migas

Apa yang dinyatakan oleh Johnstone dan Kilby, bahwa peningkatan produksi pertambangan atau pemanfaatan potensi kekayaan alam di luar pertanian, biasanya mempengaruhi kecepatan penurunan peranan pertanian dalam struktur produksi selama pertumbuhan ekonomi, terbukti hal itu berlaku juga untuk Indonesia.

Peranan sektor pertambangan terutama yang berasal dari hasil migas baik karena adanya peningkatan jumlah produksi maupun karena adanya kenaikan-kenaikan harga migas terutama setelah 1969, yang ternyata telah mempercepat pertumbuhan PDB Indonesia, bahkan telah mampu menggeser peranan beberapa sektor lainnya termasuk juga tergesernya sektor pertanian yang sejak semula selalu dominan besarnya bagi PDB Indonesia.

Dari data statistik 1969-1980 dan diperkirakan untuk selanjutnya, bahwa peran migas akan tetap besar, layaklah untuk mengukur berapa besar peranan migas dalam PDB, maka agak jauh lebih realistis sekiranya hasil migas dari wilayah migas, yakni di Riau, Aceh dan Kalimantan Timur dimasukkan di masing-masing PDRBnya.

Bagaimana pertumbuhan PDRB di tiga wilayah migas itu untuk masa 1969-1982, bagaimanapun peranan migas dalam PDRB dari tiga wilayah manapun merupakan pendapatan pemerintah pusat, walau jika hasil migas dimasukkan di masing-masing PDRB tiga wilayah migas itu, walau milik pusat tetapi bisa dijadikan bahan perbandingan bahkan bahan pencocokan terhadap pertumbuhan PDB Indonesia untuk tahun-tahun yang sama (maka tak heran semenjak otonomi daerah masing-masing wilayah/daerah penghasil migas menanyakan bagi hasil yang jelas, bila masih berpandangan hasil migas ke pusat sementara dengan adanya otonomi daerah, secara tidak langsung, tentu dipertanyakan kemana larinya dana hasil migas?, Red).

Jika diperhatikan apa yang diungkapkan oleh W Richardson, bahwa cara pendekatan analisa regional dapat dinamakan sebagai ekonomi makro interregional (interregional macroeconomics), cara ini adalah merupakan penetapan model pendapatan nasional dan model pertumbuhan nasional terhadap tingkat regional, walaupun harus dicatat bahwa masing-masing daerah juga diperlakukan sebagai suatu perekonomian terbuka dan dengan demikian model-model tersebut pun menentukan perdagangan serta arus faktor interregional dan juga pendapatan regional.

Apa yang dinyatakan oleh John Glasson, bahwa model-model pertumbuhan ekonomi nasional juga dipergunakan untuk menjelaskan penentu-penentu eksternal dari pertumbuhan regional. Begitu juga Richardson memberikan contoh mengenai penggunaan kelompok model Harrold Domar dalam analisa regional, formulasi ini merupakan suatu teori yang didominasi permintaan yang menjelaskan mengenai laju pertumbuhan berdasarkan faktor-faktor permintaan eksogen, seperti investasi dan ekspor, luas lingkupnya lebih luas lagi dari pada teori basis ekspor, tetapi juga dibatasi oleh pendekatannya yang bersifat satu pihak dan tingkat agregatnya yang tinggi.

Jika dilihat dari pertumbuhan PDB Indonesia yang semakin besar yang ditunjang dari hasil sektor pertambangan dan penggalian terutama dari hasil migas dari tiga wilayah migas, yakni Riau, Aceh dan Kalimantan Timur, memang tidak bisa disangkal lagi bahwa tiga wilayah migas itu telah banyak berperan atau memberikan warna terhadap perekonomian Indonesia. Walau harus diakui, bahwa walaupun tiga wilayah migas itu kaya akan sumber daya alam migasnya, tetapai karena semua hasil migas sebelumnya (sebelum berlakunya UU Otonomi Daerah) dimana saja merupakan milik pemerintah pusat (negara).

Tetapi dengan adanya UU mengenai otonomi daerah, maka semakin penting arti PDRB terutama di wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya alamnya, khususnya migas, sehingga dengan mudahnya untuk menghitung pembagian dana/hasil bagi setiap wilayah. Di samping itu juga untuk dijadikan cek and ricek antar PDRB dan PDB/GDP yang ditunjang dari segala hasil sumber alam migas.


Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002.

Gambaran Ekonomi dari Migas (Bagian 1)

Hingga kini bahkan hingga sepuluh tahun lagi atau mungkin saja lebih dari itu peranan dari minyak dan gas bumi (migas) dilihat dari kepentingan perekonomian Indonesia masih tetap besar. Walaupun pada saatnya Indonesia akan terpaksa menjadi negara net importir minyak (Indonesia jadi net importir pada 2003, bahkan setahun sebelumnya penulis sudah memperkirakan kondisi tersebut, Red), karena jumlah hasil produksi minyak mentah Indonesia, khususnya, lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kebutuhannya.

Tetapi peran Migas dalam roda perekonomian Indonesia akan tetap besar, hanya saja harus diimpor dan semakin banyak membutuhkan devisa untuk mengimpornya, masalahnya segala bahan baku atau energi pembangkit listrik atau mesin-mesin industri masih menggunakan BBM.

Tetapi sekiranya Indonesia mampu membangun beberapa kilang minyak bumi terutama untuk tujuan ekspor berarti masih cukup berperan bagi perekonomian Indonesia, terutama karena adanya nilai tambah dengan cara mengolah minyak mentah impor yang hasil produksinya juga bisa untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri sebagai penggerak industri dan ekonomi yang semakin meningkat (namun, kenapa selama 20 tahun tidak ada pembangunan kilang baru? apakah benar, karena masih didoktrin ‘Indonesia kaya akan minyak’ sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam mengatasi kebutuhan minyak dalam negeri? atau sengaja, karena ‘kue’ di sektor ini sangat ‘manis’ sehingga menggiurkan beberapa pihak sehingga rakyat tidak perlu mengetahui bahwa dari minyak mentah dapat menjadi beberapa produk yang memiliki nilai tambah?, Red).

Mudah-mudahan saja Indonesia tidak terlalu cepat menjadi negara net importir minyak bumi dan masih tetap menjadi negara penghasil dan pengekspor minyak mentah dari hasil produksi, masalahnya yang harus disadari bahwa jauh hari sebelum Indonesia merdeka, minyak dan gas bumi Indonesia telah banyak dikuras untuk membiayai pembangunan negara-negara penjajah. Walau sifatnya terselubung atau tidak nampang (undisguised), tetapi setelah anggota-anggota OPEC bangkit dari berbagai belenggu serta tipu daya negara maju lewat perusahaan minyak raksasanya, maka mulailah terasa bahwa minyak dan gas bumi sebenarnya milik siapa.

Jauh sebelum OPEC terbentuk pada bulan September 1960, negara maju atau industri bisa berpesta pora dengan harga minyak yang sangat murah karena minyak dikuras secara berlebihan, pengadaan atau penawaran minyak dunia boleh dianggap melimpah sedangkan permintaannya sedikit, sudah pasti harga minyak pada waktu OPEC belum dibentuk di Baghdad, maka mudah sekali produksi serta harga minyak OPEC dipermainkan oleh perusahaan-perusahaan minyak raksasa milik negara-negara industri/besar yang juga sebagai pengimpor minyak terbesar di dunia (apakah perlu belajar dari perusahaan minyak raksasa milik negara maju? Meski pengimpor minyak, tapi bisa menghasilkan hasil produk selain minyak dari pengolahan minyak yang memiliki nilai tambah, Red).

Oleh karena itu, pada waktu OPEC OPEC belum terbentuk, nampaknya kalau negara maju/industri, terutama negara pengimpor minyak menghendaki agar minyak dunia murah atau turun, maka pasti mereka berupaya lewat perusahaan-perusahaan minyak raksasanya untuk memompa produksi minyak di berbagai negara anggota OPEC khususnya, tentu saja produksi minyak dunia dalam sekejap saja pasaran dunia banjir minyak. Harga minyak pasti merosot tajam dan pada gilirannya pajak serta royalti negara penghasil minyak juga semakin kecil.

Harus diingat bahwa setelah Perang Dunia II berakhir, maka begitu banyak negara-negara yang dijajah kemudian merdeka, mereka mulai bangkit membangun bangsa dan negaranya. Mereka mencoba menumbuhkan serta menjalankan roda-roda perekonomian mereka agar bisa hidup jauh lebih baik dibandingkan pada waktu mereka masih dijajah, bahkan mereka terus berupaya membangun terutama bagi mereka yang kaya akan sumber daya alamnya seperti migas, emas dan hasil tambang lainnya. Termasuk juga mereka kaya akan aneka sumber daya alam lainnya, seperti hasil hutan, perkebunan, pertanian dan lain-lain.

Karena bagaimanapun mereka terus berupaya agar mereka bisa juga hidup setaraf/setingkat dengan kehidupan bangsa-bangsa di negara maju yang umumnya sebagai penjajah yang berhasil menguras aneka rupa sumber daya alam negara yang dijajah. Layaklah, jika negara-negara berkembang mulai memanfaatkan aneka rupa sumber daya alamnya untuk membiayai pembangunan di segala sektor, bidang dan regional, seperti halnya yang terjadi di Indonesia selama ini terutama sejak adanya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) tahun pertama 1969/70 pada masa Orde Baru.

Walau pada tahun pertama Repelita I itu harga minyak dunia masih sekitar US$2 per barel. Baru setelah harga minyak dunia melonjak sejak perang Oktober 1973 di Timur Tengah, maka Indonesia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang terjadi dan sangat menguntungkan bagi Indonesia yang sedang butuh banyak dana untuk pelaksanaan Pelita I dan seterusnya. Karena harga minyak dunia terus melonjak untuk itulah pemanfaatan sumber daya alam seperti hasil migas semakin ditingkatkan dan dikuras, hanya sayangnya dana dari hasil migas seolah-olah tidak diinventasikan kembali dalam usaha migas, terutama untuk dana pembangunan kilang-kilang minyak bumi khususnya untuk tujuan ekspor.

Oleh karena dengan alasan Indonesia masih kekurangan dana untuk pembangunan nasionalnya, sedangkan sumber daya alam seperti migas masih berada di perut bumi, maka layak akhirnya dalam awal Orde Baru terbukalah peluang besar bagi investor asing untuk mencari serta menghasilkan migas terutama dengan cara sistem Production Sharing Contract/PSC (kontrak bagi hasil).

Sejak awal Pelita I mulai nampak betapa besarnya peranan migas dalam perekonomian Indonesia, baik dilihat dari hasil jumlah serta jenis-jenis minyaknya, juga yang terpenting berupa hasil devisa dari ekspor migas yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia.

Masalahnya di satu pihak peran migas bisa sebagai pemenuh kebutuhan yang sangat penting, artinya bagi kebutuhan bahan bakar atau energi di dalam energi, terutama untuk menghidupkan roda perekonomian di sektor industri, sektor angkutan serta di sektor perdagangan maupun perhotelan dan lain-lain, juga migas sebagai bahan baku di sektor industri terutama di bidang industri petrokimia dalam negeri, maupun sebagai sumber yang sangat besar perannya dilihat dari devisa ekspor maupun dari pendapatan dalam negeri yang selalu terdapat dalam setiap APBN.

Tidak mengherankan kalau dunia migas selalu banyak orang ingin tahu. Seperti OPEC, hampir setiap orang dari berbagai keahlian seperti ingin tahu saja terhadap kebijakan yang akan atau dijalankan OPEC. Bahkan banyak tokoh dunia yang berusaha agar OPEC segera hancur atau bubar, jika OPEC hancur yang tinggal hanya perusahaan Super Multi nasionalnya yang bisa merajalela dan terus menekan harga minyak dunia (apakah perang jadi ‘solusi’nya?, Red).

Kepentingan Ekonomi

Sejak 1893 hingga 1982, jumlah kumulatif produksi minyak mentah Indonesia telah mencapai sekitar 10,4 miliar barel (De Goyler and Mac Naughton: 1982 dan OPEC, Annual Statistical Buletin 1982), ini membuktikan bahwa usi pencarian serta menghasilkan minyak di Indonesia telah lebih dari 100 tahun, walau nyatanya minyak terus mengalis dan belum habis-habisnya juga.

Pada 1982 cadangan terbukti minyak mentah Indonesia sekitar 9,6 miliar barel dari jumlah cadangan minyak bumi Indonesia sebanyak itu hanya sekitar 1,39 persen dari jumlah cadangan minyak dunia atau hanya sekitar 2,1 persen dari cadangan minyak OPEC pada tahun yang sama (nah, siapa yang bilang ‘Indonesia kaya akan minyak’ kemudian didoktrin seperti itu? dari dulu memang cuman ada sekitar 1-2 persen cadangan minyaknya dari cadangan minyak dunia, Red).

Sebagai catatan bahwa minyak mentah Indonesia yang berasal dari Kalimantan sebelum pecah Perang Dunia I ternyata telah digunakan di dalam industri petrokimia di Eropa, yakni untuk menghasilkan nitro toluene (wah, salah satu bahan baku dinamit/bahan peledak, Red), dengan demikian berarti bahwa sudah sejak lama ternyata minyak bumi Indonesia di samping digunakan sebagai bahan bakar atau energi, juga digunakan di dalam upaya pengembangan industri petrokimia Eropa.

Di samping minyak mentah juga, Indonesia mampu menghasilkan gas bumi, pada 1972 cadangan gas bumi Indonesia yang terbukti sebesar 155,8 triliun meter kubik, sedangkan produksi kotornya hanya 4.147 juta meter kubik, preoduksi bersihnya (netto) hanya sebesar 1.234 juta meter kubik atau berarti sebanyak 2.913 juta meter kubik yang tidak dimanfaatkan, tetapi hanya dibakar percuma (sering yang disebut dengan istilah flare/flaring, Red), dengan kata lain lebih dari 70 persen produksi gas bumi kotornya pada mulanya hanya dibakar percuma (kenapa tidak terpikir untuk bangun pipa gas? Kalau alasannya belum ada teknologi yang memadai, haruskah menunggu hingga 30 tahun kemudian? Atau memang lebih gampang diekspor saja? Supaya pembagian ‘kue’nya jelas, Red).

Baru setelah adanya pengaruh yang sangat besar, karena harga minyak dunia begitu mahal di pasaran dunia, karena akibat terjadinya perang Oktober 1973 di Timur Tengah, maka pemanfaatan gas bumi di dunia semakin meningkat jumlahnya. Ini berarti upaya pencarian besar-besaran lapangan/ladang gas bumi di dunia semakin banyak pula. Begitu pula upaya menghasilkan serta memanfaatkan gas bumi di Indonesia, terutama yang unassociated gasnya bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk tujuan ekspor berupa LNG khususnya.

Ternyata pihak Jepanglah yang berhasil merangkul Pertamina untuk bekerja sama dalam upaya memenuhi kebutuhan energi Jepang, baik sebagai pengganti atau upaya diversifikasi pemanfaatan energi di Jepang, di samping upaya Jepang memanfaatkan energi bersih seperti gas bumi. Karenanya, Jepanglah sebagai pengimpor terbesar LNG Indonesia, ini berarti suatu peluang bagi Indonesia untuk membiayai pembangunan nasional khususnya pembangunan ekonominya yang ditunjang dengan semakin banyaknya devisa ekspor LNG dan LPG.

Peran gas bumi bagi perekonomian Indonesia semakin meningkat karena gas bumi bukan hanya sebagai komoditas ekspor yang menghasilkan devisa, serta pendapatan dalam negeri dari gas bumi, juga yang terpenting gas bumi sebagai bahan baku untuk pengembangan industri petrokimia khususnya yang berkenaan dengan pupuk urea.

Pupuk urea merupakan penunjang utama bangkitnya Indonesia sebagai penghasil beras yang cukup baik, ini berarti berkat keberhasilan Indonesia memanfaatkan gas bumi sebagai bahan baku pembuat pupuk, khususnya pupuk urea yang sangat dibutuhkan dalam produk pertanian pangan, terutama padi. Layaklah akhirnya Indonesia mampu swasembada beras yang justru masalah kekurangan pangan khususnya, beras sebagai suatu penghalang besar yang ikut menjatuhkan pemerintahan Orde Lama (dan kemudian hanya terfokus sebagai bahan baku pupuk, apakah tidak pernah terpikir, saat itu, gas sebagai energi seperti yang dilakukan Jepang?, Red).

Pengembangan produksi dan pemanfaatan gas bumi Indonesia yang semakin meningkat pesat terbukti dengan keadaan pada 1982 dimana jumlah produksi gas bumi Indonesia terus meningkat menjadi 31.490 juta meter kubik. Produksi netto sebesar 19.640 juta meter kubik, yang digunakan re-injeksi sumur-sumur minyak sebanyak 6.589 juta meter kubik dan yang dibakar sebanyak 5.261 juta meter kubik. Dari gambaran pemanfaatan gas bumi untuk di re-injeksi sumur-sumur minyak ini, berarti peran gas bumi juga untuk meningkatkan produksi minyak bumi, sekaligus sebagai sumber devisa dan penghasil BBM.

Pada gilirannya, baik langsung maupun tidak langsung, gas bumi yang digunakan untuk menghasilkan minyak dari sumur-sumur minyak yang membutuhkan bantuan tekanan dari gas bumi agar minyak bumi bisa dihasilkan lagi, berarti akan menghasilkan produksi dan sekaligus menambah peranna bagi perekonomian Indonesia.

Dari gambaran 1982, membuktikan bahwa jumlah gas bumi yang dibakar percuma hanya sebesar 16,71 persennya dari produksi kotor gas bumi Indonesia, oleh karena itulah untuk mengurangi jumlah gas bumi yang dibakar percuma itu supaya terus diupayakan peningkatan pemanfaatan gas bumi semakin semaksimal mungkin. Masalahnya, dilihat dari cadangan gas bumi terbukti pada 1982 saja diperkirakan besarnya cadangan gas bumi Indonesia sekitar 838,3 triliun meter kubik, layak jika jumlah itu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Terjadinya peningkatan penemuan-penemuan cadangan baru baik minyak maupun gas bumi, karena semakin banyaknya usaha-usaha pencarian minyak bumi Indonesia bauk yang dilakukan Pertamina sendiri maupun hasil kerjasama antara Pertamina dan pada kontraktor migas asing khususnya yang melakukan operasi di Indonesia.

Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002.