Kerja sama dengan GoPay, Paper.id Permudah Pelaku Usaha Bayar E-Invoicing

Paper.id mengumumkan kerjasama strategis dengan GoPay untuk pembayaran e-invoicing melalui GoTagihan. Lewat kerja sama ini, pelaku usaha kini dapat membayar tagihan faktur pembayaran dengan GoPay. Pembayaran dapat langsung terverifikasi dalam hitungan detik sehingga dapat mendukung efisiensi operasional bisnis. Paper.id dan GoTagihan menghadirkan solusi mutakhir pembayaran digital dengan sistem keamanan terbaik guna menanggulangi masalah pencurian data atau identitas. 

Paper.id merupakan sebuah platform yang memudahkan pelaku usaha untuk membuat invoice dan laporan keuangan. Pelaku usaha dapat membuat faktur di Paper.id untuk dikirimkan ke pelanggan, kemudian pelanggan dapat membayar tagihan tersebut lewat GoTagihan di aplikasi Gojek. Jeremy Limman selaku CEO Paper.id mengungkapkan upaya ini sebagai bentuk komitmen Paper.id dalam mendukung transformasi digitalisasi pembayaran di semua lini industri yang lebih menitikberatkan ke layanan pembayaran digital. 

“Saat ini, lebih dari 5.000 perusahaan yang aktif bertransaksi melalui Paper.id lewat pembayaran digital dengan nilai mencapai 113 miliar Rupiah. Kami percaya lewat integrasi dengan GoTagihan, proses pembayaran dokumen dapat terverifikasi dalam hitungan detik, sehingga transaksi bisnis bisa berjalan lebih cepat,” ujar Jeremy

Di sisi lain, Arno Tse, Head of Digital Inclusion GoPay mengungkapkan, "Sulitnya penagihan hutang yang biasanya menjadi momok macetnya arus kas. Saat ini hal tersebut tidak lagi menjadi kekhawatiran mengingat proses pembayaran bisa berlangsung lebih cepat dan pemantauan bisa dilakukan secara mandiri baik oleh pihak pemasok maupun pembeli.” Melalui GoTagihan, pengguna GoPay juga dapat membayar lebih dari 680 tagihan lainnya termasuk PLN, PAM, BPJS, PBB dan berbagai tagihan rutin lainnya di aplikasi Gojek dengan pemotongan saldo GoPay. 

Tingkat penggunaan pembayaran digital di Indonesia sendiri meningkat drastis pada tahun 2020. Berdasarkan laporan Deloitte, angka transaksi digital naik signifikan sebanyak 37,8 persen yang didominasi oleh transaksi e-commerce yang banyak dipilih masyarakat selama pandemi COVID-19 berlangsung. Selain itu, QRIS telah digunakan 5 juga pedagang dan memfasilitasi sekitar 11 juta transaksi dengan total nilai sekitar 790 miliar Rupiah di pertengahan 2020 menurut riset dari Deloitte. Hal ini menstimulasi 46 penyedia layanan digital, 25 institusi bank dan 21 institusi non-bank, telah mendaftarkan diri untuk mendapatkan lisensi QRIS. 

Cara mudah membayar tagihan lewat Paper.id lewat GoTagihan: 

  1. Buka aplikasi Gojek 
  2. Swipe up dan pilih GoTagihan 
  3. Pilih icon E-invoicing untuk pembayaran Paper.id
  4. Masukkan kode bayar 
  5. Lakukan konfirmasi pembayaran 
  6. Masukan PIN Rahasia GoPay 
  7. Setelah pembayaran berhasil, tarik layar ke atas untuk melihat detail transaksi

Vaksinasi Mandiri : Strategi Jitu atau Keliru?

Seiring sedang berlangsungnya proses program vaksinasi Covid-19 Nasional, yang telah dimulai sejak tanggal 13 Januari 2021. Wacana vaksin mandiri (berbayar) menjadi kegundahan pro dan kontra dari masyarakat dan juga para tenaga kesehatan dan relawan Covid-19 saat ini. 

Betapa tidak? dari berbagai komentar muncul beberapa isu ini dikaitkan antara lain isu komersial dan bisnis, berbicara keadilan, dan ada juga beranggapan merusak tatanan program vaksinasi yang berjalan saat ini, dan tentunya juga ada berpendapat, ini merupakan upaya akselerasi percepatan dari program vaksinasi Covid-19 di Indonesia. 

Apakah vaksin mandiri ini merupakan strategi jitu yang diambil pemerintah? atau sebuah kekeliruan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap program vaksinasi Covid-19 secara Nasional. 

Partisipasi Masyarakat Untuk di Vaksin 

Hasil program vaksinasi tentunya diharapkan efektif terbentuknya herd immunity (kekebalan kelompok/komunal), dan berdampak terhadap produktifitas sosial dan ekonomi kedepan. Saat ini, ketika efikasi vaksin sudah terpenuhi dan diikuti kehalalan vaksin sudah dijamin. 

Kunci keberhasilan kedepan harus menitik beratkan peningkatkan partisipasi masyarakat untuk di vaksinasi (vaccination rate) untuk tercapainya kekebalan kelompok yang diharapkan. Disini sebenarnya tantangan terbesar, perlu kita ketahui apa sebenarnya yang menjadi masalah terhadap penerimaan vaksin dan penolakan/anti vaksin dari masyarakat. 

Merujuk hasil survei persepsi penerimaan vaksin di seluruh Provinsi di Indonesia yang dilaksanakan kerjasama WHO, ITAGI, UNICEF dan KEMENKES RI yang dirilis November 2020 yang lalu, melaporkan alasan penolakan vaksin COVID-19 paling umum adalah terkait dengan keamanan vaksin (30%); keraguan terhadap efektifitas vaksin (22%); ketidakpercayaan terhadap vaksin (13%); kekhawatiran adanya efek samping seperti demam dan nyeri (12%); dan alasan keagamaan (8%). Jika dilihat dari kesediaan responden membayar yang menerima divaksin hanya (35%) di antaranya mau membayar; sekitar (38%) tidak mau membayar untuk memperoleh vaksin, sedangkan (27%) sisanya masih ragu. 

Dilihat dari data ini sangat menarik, bahwa proporsi masyarakat untuk membayar dan tidak mau membayar untuk menerima vaksin tidak jauh berbeda. 

Keinginan masyarakat untuk menerima vaksin dengan mengeluarkan uang secara mandiri merupakan peluang untuk menjangkau dan meningkatkan cakupan partisipasi masyarakat untuk di vaksin kedepan. 

Disisi lain, vaksinasi memang merupakan tanggung jawab pemerintah tetapi keinginan dan kesadaran masyarakat dengan mengeluarkan uang secara pribadi untuk melindungi dirinya, keluarganya dan membantu pemerintah dalam mengakselerasikan capaian cakupan vaksinasi perlu diapresiasi sebagai bentuk solidaritas bersama kita bisa keluar dari pandemi ini.

Tantangan Vaksinasi Mandiri

Oppie Muharti / Getty Images / EyeEm
Tantangan utama adalah persepsi masyarakat yang berbeda, mulai dari anggapan vaksin berbayar lebih baik dari pada yang gratis atau sebaliknya. Pendekatan vaksin mandiri yang seolah-olah lebih mementingkan pendekatan ekonomi dibandingkan kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat. Selanjutnya, ada juga anggapan ketika vaksin mandiri disediakan, kepercayaan masyarakat terhadap vaksin akan menurun. 

Sebenarnya, sudut pandang yang berbeda saja melihat ini. Padahal yang perlu dipahami masyarakat adalah ketika orang mau mengeluarkan uang untuk vaksinasi, artinya adalah tidak hanya vaksinasi tersebut dapat melindungi dirinya, tanpa sadar atau tidak langsung sebenarnya orang tersebut melindungi keluarganya dan kita sebagai masyarakat umum yang masih menunggu vaksin secara gratis dari pemerintah. 

Ini sebenarnya, efek domino yang diharapkan dalam mengakselerasi capaian cakupan vaksinasi agar tercapai herd immunity, dan kita bisa keluar dari pandemi yang panjang ini. Jadi, ketika kita menunggu jatah vaksin gratis dari pemerintah, sedangkan orang telah melakukan vaksinasi mandiri dengan mengeluarkan uangnya secara pribadi atau ditanggung/dibebankan oleh badan usaha/badan hukum. Bukan berarti keadilan tidak berpihak kepada kita, justru vaksinasi yang dilakukan secara mandiri telah menolong kita dan bangsa ini. Ini sebenarnya arti solidaritas bersama, bergotong royong dengan kapasitas masing-masing untuk kepentingan orang banyak. 

Tantangan berikutnya adalah ketersedian dan distribusi vaksin, ini bagian penting yang tidak bisa dipisahkan. Bagaimanapun ketersedian dan alokasi vaksin yang terbatas ini juga akan menghambat proses distribusi vaksin. Vaksin mandiri seharusnya bisa melibatkan pihak swasta dalam distriubusi jaringan rantai dingin dan penyediaan vaksin secara proporsional untuk menjangkau daerah-daerah yang masih terbatas kapasitas penyimpanannya. 

Yang perlu menjadi catatan penting adalah meskipun melibatkan pihak swasta, kontrol itu tetap berada dibawah pemerintah. Ini sebagai jaminan bahwa vaksin mandiri tidak sepenuhnya lepas dari kontrol pemerintah, untuk antisipasi mafia vaksin dan vaksin palsu yang dikwatirkan masyarakat kedepan.

KIE Menjadi Kunci

Strategi dan upaya pengendalian dan pencegahan yang dilakukan merupakan sebuah ikhtiar bangsa ini bisa keluar dari Pandemi ini. Vaksin mandiri telah diputuskan dilarang diperjualbelikan, semuanya dibebankan pada badan usaha/badan hukum. Artinya secara prinsip seolah-olah ini juga gratis diterima oleh individu dibawah badan usaha/badan hukum tersebut. Kekhawatiran masyarakat tidak terlepas dari buruknya model komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selama ini. 

Persepsi, anggapan dan pandangan yang berbeda tidak luput dari KIE yang diterima oleh masyarakat. KIE menjadi kunci dan juga sebagai penangkal hoak yang beredar selama ini. Model KIE yang perlu disusun dan dijelaskan secara utuh kepada masyarakat, dan apa manfaat dari strategi yang diambil oleh pemerintah saat ini. 

Gerakan masif bersama secara nasional perlu digalakan dalam upaya meningkatkan cakupan vaksinasi kedepan, apakah nanti itu berbayar atau tidak? Apakah vaksin mandiri sebagai strategi jitu apa keliru yang diambil pemerintah? Inilah sebuah ikhtiar yang akan buktikan kedepan dengan berbagai sudut padang yang berbeda ini diputuskan.


Defriman Djafri

Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas; Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi, Provinsi Sumatera Barat

Benarkah Pola Asuh Sejak Kecil Jadi Penyebab Gangguan Kepribadian Narsistik?

Setiap orang tua pasti ingin memberikan pola asuh yang terbaik untuk anaknya. Mereka punya pola asuh yang menurut mereka merupakan pola asuh yang tepat untuk diberikan kepada anak. Namun, ternyata pola asuh sejak dini yang salah dapat mengakibatkan seorang anak mengalami gangguan kepribadian narsistik di masa depan. 

Menurut dr. Azimatul Karimah, Sp.KJ(K) bahwa jika seseorang mengalami gangguan kepribadian narsistik, maka sejak kecil ia sudah memiliki gangguan tersebut atau saat masa tumbuh kembang

Oppie Muharti / Getty Images / EyeEm
“Jika membahas tentang gangguan kepribadian narsistik kita perlu menelusuri pola perilaku, pikir, dan emosi yang terjadi sejak masa tumbuh kembang. Artinya, jika ada seseorang mendapatkan diagnosa gangguan kepribadian, maka sebetulnya konsep masalah perilakunya sudah ada sejak dia kecil atau pada masa tumbuh kembang,” terang dosen psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu. 

Faktor Genetik

Gangguan kepribadian ini membuat penderitanya sulit berempati bahkan tidak memiliki empati atas kesulitan orang lain, tentu hal itu dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya dengan orang lain. Banyak faktor pencetus dari gangguan kepribadian tersebut salah satunya adalah faktor genetik. 

“Gangguan kepribadian narsistik jika ingin ditelusuri, maka yang ditelusuri adalah biopsikososial, artinya mungkin ada faktor genetik dari orang tuanya,” ujar dr. Azimatul. 

Faktor Psikologis

Selain faktor genetik, faktor psikologis juga jadi salah satu pencetus timbulnya gangguan kepribadian ini. Faktor psikologis ini terjadi akibat pola asuh terhadap anak yang salah. 

“Pola asuh orang tua yang salah bisa jadi pemicunya. Orang tua tidak memberikan penghargaan atau mungkin melebih-lebihkan pujian terhadap anaknya. Jadi, anak kekurangan pujian itu tidak baik begitu juga dengan kelebihan pujian juga tidak bagus,” katanya. 

Pola asuh yang tidak adekuat juga menjadikan anak akan cenderung memanipulasi orang lain hanya untuk kepentingannya saat ia dewasa. 

“Pola pengasuhan tidak adekuat atau pengasuhan yang manipulatif, jadi dia merasa bahwa dia menjadi objek manipulasi dari orang tuanya. Maka anak akan belajar untuk juga memanipulasi orang lain untuk kepentingannya,” ucapnya. 

Faktor Sosial

Faktor sosial bisa terjadi karena anak pernah mendapatkan bullying, pelecehan, bahkan juga kerap diremehkan. 

“Faktor sosial bisa jadi karena pembullyan, dia pernah dilecehkan atau diremehkan. Intinya dia tidak mendapatkan penghargaan yang appropriate menjadi pencetus munculnya gangguan kepribadian narsistik,” tutupnya.


sumber: UNAIR News