Benarkah Pola Asuh Sejak Kecil Jadi Penyebab Gangguan Kepribadian Narsistik?

Setiap orang tua pasti ingin memberikan pola asuh yang terbaik untuk anaknya. Mereka punya pola asuh yang menurut mereka merupakan pola asuh yang tepat untuk diberikan kepada anak. Namun, ternyata pola asuh sejak dini yang salah dapat mengakibatkan seorang anak mengalami gangguan kepribadian narsistik di masa depan. 

Menurut dr. Azimatul Karimah, Sp.KJ(K) bahwa jika seseorang mengalami gangguan kepribadian narsistik, maka sejak kecil ia sudah memiliki gangguan tersebut atau saat masa tumbuh kembang

Oppie Muharti / Getty Images / EyeEm
“Jika membahas tentang gangguan kepribadian narsistik kita perlu menelusuri pola perilaku, pikir, dan emosi yang terjadi sejak masa tumbuh kembang. Artinya, jika ada seseorang mendapatkan diagnosa gangguan kepribadian, maka sebetulnya konsep masalah perilakunya sudah ada sejak dia kecil atau pada masa tumbuh kembang,” terang dosen psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu. 

Faktor Genetik

Gangguan kepribadian ini membuat penderitanya sulit berempati bahkan tidak memiliki empati atas kesulitan orang lain, tentu hal itu dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya dengan orang lain. Banyak faktor pencetus dari gangguan kepribadian tersebut salah satunya adalah faktor genetik. 

“Gangguan kepribadian narsistik jika ingin ditelusuri, maka yang ditelusuri adalah biopsikososial, artinya mungkin ada faktor genetik dari orang tuanya,” ujar dr. Azimatul. 

Faktor Psikologis

Selain faktor genetik, faktor psikologis juga jadi salah satu pencetus timbulnya gangguan kepribadian ini. Faktor psikologis ini terjadi akibat pola asuh terhadap anak yang salah. 

“Pola asuh orang tua yang salah bisa jadi pemicunya. Orang tua tidak memberikan penghargaan atau mungkin melebih-lebihkan pujian terhadap anaknya. Jadi, anak kekurangan pujian itu tidak baik begitu juga dengan kelebihan pujian juga tidak bagus,” katanya. 

Pola asuh yang tidak adekuat juga menjadikan anak akan cenderung memanipulasi orang lain hanya untuk kepentingannya saat ia dewasa. 

“Pola pengasuhan tidak adekuat atau pengasuhan yang manipulatif, jadi dia merasa bahwa dia menjadi objek manipulasi dari orang tuanya. Maka anak akan belajar untuk juga memanipulasi orang lain untuk kepentingannya,” ucapnya. 

Faktor Sosial

Faktor sosial bisa terjadi karena anak pernah mendapatkan bullying, pelecehan, bahkan juga kerap diremehkan. 

“Faktor sosial bisa jadi karena pembullyan, dia pernah dilecehkan atau diremehkan. Intinya dia tidak mendapatkan penghargaan yang appropriate menjadi pencetus munculnya gangguan kepribadian narsistik,” tutupnya.


sumber: UNAIR News

Melawan Mafia Tanah, Negara Tak Boleh Kalah

Oleh: Iwan Nurdin, Kompas 5 Maret 2021 

Mafia Tanah telah lama menjadi aktor masalah agraria. Tidak heran, sebagai akibat dari Mafia Tanah persoalan seperti konflik, sengketa dan perkara agrarian dan pertanahan seolah tidak dapat terselesaikan secara adil bahkan angkanya terus naik setiap tahun. 

Sebagai masalah lama yang belum terpecahkan, tercatat telah terdapat beberapa upaya untuk memberantas Mafia Tanah. Misalnya, pada 2009 Presiden SBY pernah membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH), dalam laporan Satgas ini, kasus pertanahan menempati urutan pertama. Kemudian, pada era Jokowi, pada 2017 pernah dibentuk Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria. Sayangnya, hingga sekarang persoalan pertanahan tetap menjadi persoalan utama laporan masyarakat kepada institusi seperti DPR, Kantor Staf Presiden (KSP), Komnas HAM, Ombudsman RI yang belum terselesaikan. 

Ekosistem Mafia 

Apa yang melatari tumbuh suburnya mafia tanah? Di manapun, persekutuan mafia tumbuh karena ketertutupan, rendahnya pengawasan publik dan minimnya penegakan hukum. Tiga hal tersebut semakin mengonservasi ekosistem mafia tanah ketika pembangunan ekonomi telah menjadikan tanah melulu menjadi asset dan komoditas ekonomi. Melupakan bahwa tanah juga memiliki fungsi sosial. Bahkan lebih jauh, tanah telah menjadi alat bagi penciptaan ruang akumulasi baru yang lebih menjanjikan ketika perencanaan tata ruang juga disetir oleh modal dan pasar (market and capital driven). 

Sebagai asset tanah adalah instrumen investasi dan salah satu agunan perbankan terbesar. Bahkan, menurut Hernando de Soto (2003) nilainya puluhan kali dari seluruh Foreign Direct Investment (FDI) negara-negara pemburu investasi. Sebagai komoditas, tanah dapat diperjual belikan secara mudah, namun dengan pencatatan yang buruk. Keadaan ini telah menghasilkan jenis Mafia Tanah model pertama yakni melakukan usaha sistematis dengan pejabat terkait untuk melakukan pensertifikatan, tumpang tindih sertifikat, jual beli palsu, hingga balik nama sertifikat tanah-tanah milik masyarakat. Korban dari mafia ini akan mengalami penggusuran baik karena ketiadaan bukti formil dan minimnya jejaring kekuasaan. 

Biasanya, operasi mafia semacam ini berkesinambungan dengan jenis Mafia Tanah lanjutan, yakni kelompok besar yang mampu melakukan perubahan tata ruang. Persekongkolan semacam ini dapat menghasilkan perubahan kawasan hijau dan konservasi menjadi kawasan perumahan dan bisnis, pemutihan terhadap pelanggaran tata ruang, hingga perubahan arah proyek infrastruktur yang ironisnya semakin memudahkan komersialisasi atas perubahan ruang yang terjadi. 

Patut dicatat bahwa situasi ini bukan hanya terjadi di perkotaan. Pada areal sumber daya alam khususnya kawasan kehutanan, perkebunan, pesisir kelautan, pertambangan situasi nyaris serupa juga terjadi (Mafia Agraria dan SDA). Upaya untuk memperbaiki keadaan semacam ini bukan perkara yang ringan. Sebab, perlawanan balik Mafia Tanah kepada pihak yang mencoba melakukan ralat, revisi atau pembatalan terhadap kesalahan yang sebelumnya terjadi berujung kepada kriminalisasi masyarakat, bahkan mutasi dan demosi birokrat. 

Melawan Mafia 

Bagaimanapun negara harus menang dengan persoalan mafia tanah semacam ini? Masalah Mafia Tanah jenis yang pertama dapat segera diselesaikan dengan secara terbuka oleh Kementerian ATR/BPN jika tanpa tebang pilih melakukan upaya revisi, ralat, pembatalan atas terbitnya sejumlah sertifikat tanah yang telah menghasilkan sejumlah konflik, sengketa agraria dan perampasan tanah masyarakat. Tradisi lama BPN dengan melemparkan kepada Pengadilan untuk memutus keabsahan produk BPN sendiri harus ditinjau ulang. 

Kepercayaan publik akan terbangun bahwa lembaga pertanahan serius memberantas mafia tanah juga dapat dibuktikan dengan menggandeng lembaga pengawas pelayanan publik, kepolisian, dan masyarakat sipil. Sehingga proses penyelesaian masalah publik ini tidak dilokalisir menjadi masalah internal ATR/BPN. 

Langkah selanjutnya, adalah mecegah dan menghentikan model mafia tanah kedua dengan cara menerapkan keterbukaan data pertanahan (open land data) sebagai bagian dari sistem informasi pertanahan dan tata ruang secara lengkap. Pembangunan sistem data pertanahan yang terbuka selama ini justru mendapat tentangan keras dari ATR/BPN sendiri. Sehingga, beberapa putusan Mahkamah Agung terkait informasi publik pertanahan justru tidak dilaksanakan. 

Menciptakan ekosistem semacam ini, sangat penting bagi pemerintah untuk mengajak seluruh pemangku kepentingan segera menentukan aspek keterbukaan dari isu utama keterbukaan data pertanahan selama ini yakni: tranparansi vs privasi; ketersediaan vs aksesibilitas; data resmi (official) dan tidak resmi (unofficial), dan umum vs tematik. Tanpa keterbukaan semacam ini, upaya Kementerian ATR/BPN melakukan proses sertifikat elektronik bisa menimbulkan persoalan baru karena belum didukung semangat transparansi proses yang diawasi publik. 

Keuntungan utama dari keterbukaan data pertanahan akan mempercepat lahirnya data agraria nasional yang akurat sehingga dapat dijadikan dasar bagi perencanaan pembangunan, baik dilakukan sebagai langkah untuk melakukan pengurangan ketimpangan struktur agraria (agrarian reform) dan proses pembangunan selanjutnya.

Presiden Minta Kemendag Kembangkan Pasar untuk Produk Indonesia


Presiden Joko Widodo memberikan sejumlah arahan saat membuka secara resmi Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 4 Maret 2021. Selain meminta agar perdagangan digital dikelola dengan baik, Presiden juga meminta agar Kementerian Perdagangan memiliki kebijakan dan strategi yang tepat untuk mengembangkan pasar produk nasional Indonesia. 

“Misalnya, dengan mendukung program Bangga Buatan Indonesia. Pusat perbelanjaan, mal di Jakarta sampai ke daerah, harus didorong untuk memberikan ruang bagi produk-produk Indonesia, khususnya UMKM. Jangan sampai ruang depan, lokasi-lokasi strategis justru diisi oleh brand dari luar negeri. Ini harus mulai digeser, mereka digeser ke tempat yang tidak strategis. Tempat yang strategis, lokasi yang baik berikan ruang untuk brand lokal,” jelas Presiden. 

Menurut Presiden, penjenamaan (branding) harus melekat agar masyarakat lebih mencintai produk Indonesia dibandingkan produk luar negeri. Penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 270 juta jiwa sudah seharusnya menjadi konsumen paling loyal untuk produk-produk dalam negeri. 
 
“Ajakan-ajakan untuk cinta produk-produk kita sendiri, produk-produk Indonesia harus terus digaungkan. Produk-produk dalam negeri gaungkan,” tegasnya. 

Di samping itu, pasar ekspor juga harus mendapatkan perhatian yang serius. Untuk itu, Presiden meminta pasar-pasar nontradisional terus diperluas. Presiden kembali mengingatkan jajarannya agar tidak terjebak pada pasar ekspor yang itu-itu saja, misalnya Uni Eropa dan Amerika. 

“Banyak negara-negara yang pertumbuhan ekonominya lebih dari 5 persen, di Asia Selatan, di Eropa Timur, dan negara-negara lainnya. Harus diseriusi,” imbuhnya. 

Berikutnya, Presiden meminta agar usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dibantu agar lebih mampu untuk melakukan ekspor. Menurutnya, Indonesia perlu UMKM yang menjadi eksportir dalam jumlah yang besar. Saat ini 90 persen pelaku ekspor adalah UMKM, namun kontribusi ekspornya hanya 13 persen. Artinya, kapasitasnya perlu ditambah dan diperbesar. 

“Saya tahun lalu mengingatkan kepada Menteri Perdagangan, Dewan Penunjang Ekspor dihidupkan lagi, membantu UMKM agar bisa memperbaiki produksinya, membantu UMKM memperbaiki desainnya, membantu UMKM memperbaiki packaging-nya, sehingga kualitasnya menjadi lebih baik dan ini harus berkolaborasi dengan kementerian/lembaga yang lain, institusi yang lain, dalam rangka meningkatkan daya saing UMKM kita di pasar global,” jelasnya. 

Oleh karena itu, Presiden meminta agar penyelesaian perundingan dengan negara-negara potensial dipercepat. Ini adalah agenda prioritas karena menurut Presiden, di masa-masa seperti ini Indonesia membutuhkan pasar ekspor baru. “Kita telah menyelesaikan IA-CEPA dengan Australia, dengan Korea, dengan EU tolong ini Pak Menteri didorong agar juga selesai dan negara-negara lain yang kita belum memiliki CEPA ini segera dirampungkan, segera diselesaikan,” ungkapnya. 

Implementasi 23 perjanjian perdagangan bilateral dan regional yang sudah ditandatangani juga harus benar-benar dimanfaatkan oleh para pelaku usaha. Presiden memberikan contoh, misalnya dengan Australia di mana sudah ada Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), pelaku usaha harus jeli melihat peluang-peluang yang ada di sana. 

“Saya kira yang gede peluangnya adalah otomotif. Pelajari betul pasarnya seperti apa, konsumennya seperti apa, informasikan ke Tanah Air sehingga kita betul-betul bisa membuka pasar di Australia dan tentu saja produk-produk UMKM yang lainnya yang memiliki opportunity, memiliki peluang itu perlu dibantu dan didorong dalam rangka meningkatkan nilai ekspor dan diversifikasi produk ke negara mitra dagang kita,” ujarnya. 

Khusus untuk sektor-sektor industri manufaktur yang menyerap tenaga kerja yang banyak seperti otomotif, elektronik, tekstil, kimia, dan farmasi, serta makanan dan minuman, Presiden meminta agar diberikan stimulus, fasilitas-fasilitas ekspor, serta insentif. Hal tersebut untuk memperluas pasar terutama negara-negara non-tradisional dengan memanfaatkan kerja sama perdagangan dan mengoptimalkan kinerja perwakilan perdagangan Indonesia di luar negeri. 

Terakhir, Presiden meminta agar jajaran terkait terus menjaga ketersediaan bahan kebutuhan pokok di seluruh pelosok Tanah Air dengan harga yang stabil dan terjangkau. Presiden juga meminta untuk mengupayakan terus perbaikan kesetaraan harga di daerah-daerah pinggiran. 
 
“Harus diantisipasi, ini juga perlu saya ingatkan, bulan Ramadan yang tinggal 40 hari lagi, sebulan kemudian Idulfitri. Siapkan dari sekarang, antisipasi dari sekarang, walaupun nanti kita akan menyambut dengan sederhana, tetapi sekali lagi, ketersediaan stok dan harga yang stabil harus dijamin,” tandasnya.

sumber: BPMI Setpres